"Uda ... makan dulu. Aku sudah siapkan makan siang di meja."Datuk Sinai tetap saja bergeming mendengar ujaran Fatma. Lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban, setia menatap keluar jendela. Pandangan lelaki tersebut berlabuh pada hamparan sawah-sawah menguning yang siap disabit. Fatma menganjur napas pelan dan panjang. Pelan-pelan perempuan itu mendekat, lalu duduk di sebelah sang suami."Tunda dulu kemarahan Uda pada Farida. Lihatlah tubuhnya, kering kerontang seperti padi yang mati dimakan tikus sawah. Melihatnya saja, aku tak tega, Uda ...," lirih Fatma dengan suara tertahan.Terdengar embusan pelan dari bibir Datuk Sinai. Lelaki itu menjalin kesepuluh jemarinya di atas paha."Aku tak marah padanya. Aku marah pada diriku sendiri. Tak bisa menjaga anakku sendiri. Melihat Farida, terasa jantungku ditusuk belati berkarat. Dulu, susah payah kuberi makan, kusediakan semua keperluannya. Dia bak bunga mawar nan merekah. Tapi, kini ...."Datuk Sinai tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Ma
Farida menunduk menekuni makanannya. Duduk satu meja dengan ayah dan bunda, sudah dilakoni sejak dua minggu kepulangannya. Sikap Datuk Sinai tak sedingin hari-hari sebelumnya. Lelaki tersebut mulai bicara dengan sang putri meski satu atau dua patah kata. Itu sudah cukup membesarkan hati Farida. Dia yakin, cepat atau lambat, dinding es yang dibangun ayahnya akan segera runtuh."Tambuahlah makannya Farida. Kurus benar badannya sekarang." Fatma menambahkan satu sendok nasi ke dalam piring putrinya.Farida hanya mengangguk mendengar ujaran sang bunda. Matanya melirik sekilas ke arah Datuk Sinai. Ayahnya itu sedang menatapnya sekilas, lalu beralih pandangan kepada sang istri."Jangan terlalu dipaksa. Nanti kekenyangan dia."Singkat, tetapi mampu membuat dada Farida mengembang bahagia. Rasa-rasanya ingin menghambur memeluk sang ayah. Namun, sekuat mungkin dia tahan. Farida menunduk untuk menyembunyikan matanya yang mulai memerah. Kata-kata itu adalah perhatian pertama sang ayah sejak dia ke
"Ayah sudah mendaftarkan kamu di sini."Datuk Sinai meletakkan berkas pendaftaran sekolah kesehatan di hadapan Farida. Lelaki tersebut telah mengambil langkah agar sang putri kembali melanjutkan pendidikan di sekolah kesehatan swasta tertua di Sumatera Barat. Dia ingin mewujudkan cita-cita putrinya bekerja di bidang kesehatan."Nak, kamu senang, kan?" Fatma mengusap punggung Farida dengan lembut.Farida tak mampu menjawab. Lidahnya kelu untuk berkata-kata karena terimpit rasa bahagia yang bergulung-gulung di dada. Mata si perempuan memanas melihat upaya sang ayah untuk mengubah takdirnya. Dia tak mengira, dalam sikap acuh lelaki cinta pertamanya itu diam-diam memikirkan masa depannya."Ayah ...." Suara Farida terdengar serak, dia gagal menahan linangan air mata yang berderai di pipi. "Terima kasih Ayah sudah melakukan ini untuk aku. Maaf, bila sikapku buruk pada Ayah dan Bunda."Datuk Sinai menghela napas berat. Dia mengalihkan pandangan ke pintu yang terbuka. Dia takut tangisan sang
Farida tak bisa menahan buncahan rasa bahagia di dada. Perjalanan bersama Iman menuju kampung halamannya sangat menyenangkan. Lelaki itu tak berhenti membuat wajahnya bersemu merah. Bukan gombalan receh, tetapi tatapan si lelaki yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sorot dari mata setajam elang itu, sangat hangat. Padu dengan tutur kata lemah lembut. Belum lagi candaan-candaan ringan yang dilontarkan, rasa-rasanya bila keliling dunia menggunakan mobil, Farida tak berkeberatan."Hayoo, lagi ngelamunin apa?" Iman menggoda Farida yang dia perhatikan senyum-senyum sendiri sejak tadi.Farida tergagap, dia melirik Iman sekilas, lalu kemudian membuang pandangan ke jalanan melalui jendela mobil."Bukan melamun, Uda dokter. Tapi ...." Farida menggigit bibirnya. Salah satu kebiasaan si perempuan bila ragu pada sesuatu."Tapi ...?" Iman menunggu perkataan Farida yang menggantung."Sampai detik ini, aku tak percaya kalau kita bersama. Maksudku ... apa Uda tak akan menyesal nanti. Banyak gadi
"Uda, hari ini aku ikut ke Padang, ya?" Fatma menghampiri Datuk Sinai lalu duduk di sebelah lelaki itu setelah menghidangkan secangkir kopi hitam kesukaan sang suami."Tumben kamu mau ikut? Biasanya kuajak tak mau," balas Datuk Sinai, sembari mengamati laporan hasil panen sawahnya."Ingin saja, Uda. Sudah lama tak melihat Kota Padang. Macam manalah bentuknya sekarang.""Ah, ada-ada saja. Lalu Farida bagaimana?" Datuk Sinai melirik Fatma sekilas."Dia bukan anak kecil lagi. Lagipula kita balik hari, kan? Tak payah memikirkan Farida."Datuk Sinai bangkit, setelah mengemasi semua lembaran kwitansi ke dalam tas kecil. "Ya sudah, salinlah bajumu, aku tunggu di bawah."Fatma tersenyum lega. Entah angin apa yang membuat sang suami mengijinkan membawanya ikut serta. Biasanya, Datuk Sinai enggan membawanya berdagang. Mungkin ini nasib baik untuknya. Tak ingin si lelaki menunggu lama, Fatma bergegas ke kamar mengganti pakaian dengan yang lebih pantas. Tak lupa sebelum pergi, dia berpesan kepada
Fatma berjalan tak tentu arah. Dia hanya mengikuti ke mana kaki membawanya pergi. Pandangan perempuan itu kosong ke depan dengan mata sembab. Kata-kata yang diucapkan Buk Ratih seolah-olah mer0bek jantungnya tanpa ampun. Apalagi kedatangan Iman, membuat semua kacau-balau. Dia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan putrinya andai tabir masa lalu terbuka.Langkah Fatma berhenti di sebuah taman. Kakinya tak mampu lagi melangkah. Bukan bobot tubuh yang berat, tetapi pikiran kalut membuat semuanya menjadi tak berdaya. Di bangku besi di bawah naungan pohon lansano perempuan itu duduk termenung. Kenapa takdir begitu kejam pada putrinya? Apakah kesalahan yang dilakukan kedua orang tua harus anak yang menebusnya? Inikah hukum tabur-tuai yang dimuntahkan oleh Laila? Mau tidak mau kenangan silam menyapa benaknya.Laila ... wajah perempuan malang itu melintas di ruang mata Fatma. Dia ingat kedatangan si perempuan ke hotel tempatnya menginap saat menemani sang suami mencari dagangan di Kota Pada
Iman merasa dunia jatuh tepat di hadapan, saat mendengar sang nenek berkisah. Lelaki itu terpaku duduk di atas kursi dengan kedua tangan terkepal. Ada yang berderak patah di dadanya. Sakit, tetapi tak berdarah. Ada gemuruh yang menggulungnya dalam amarah. Namun, amarah itu surut berganti dengan denyut pilu saat wajah Farida melintas di ruang mata. Bagaimana bisa, perempuan yang bertahta di hati adalah adik tirinya sendiri?Detik itu juga Iman mengutuk rasa yang terpatri di relung paling palung. Semua impian yang dia bangun dengan segenap cinta runtuh seketika. Seperti tsunami yang meluluhlantakkan apa saja yang dihantamnya. "Mungkin mereka belum menceritakan hal ini pada Farida. Tentu saja, mana mungkin kedua orang itu membuka aib sendiri." Suara Buk Ratih memecah kebisuan yang membekukan suasana di sekitar cucu dan nenek itu.Iman tak merespon. Sebenarnya dia tak tahu harus bagaimana. Lelaki itu masih berharap semua mimpi. Namun, suara neneknya membuat Iman harus mengemasi sisa cint
Waktu seminggu terasa sangat lambat bagi Farida. Tak ada lagi tawa, canda menghiasi hari-harinya. Hubungan bak musim semi, tiba-tiba beku begitu saja, seperti musim salju yang datang sebelum waktunya. Semua pesan yang dia kirim hanya dijawab seperlunya oleh Iman, itu pun setelah berjam-jam. Bukan kebiasaan si lelaki membiarkan dia menunggu. Dulu, lebih sering lelaki tersebut mengabari.Berkali-kali Farida menilas, apa yang salah dalam hubungan mereka. Berkali-kali memikirkan, tak ada yang aneh. Bahkan, pertemuan Iman dengan keluarganya berakhir hangat. Lalu apa yang membuat lelaki itu beku dan membentangkan jarak darinya? Ingin rasanya dia ke Padang, mencari tahu langsung. Sesak rasanya hanya menunggu tanpa pernah diberi jawaban.Seperti hari ini, keinginan Farida menyusul Iman ke Padang menggebu-gebu. Setelah melihat postingan si lelaki yang berfoto dengan seorang perempuan yang akhir-akhir ini sering berbalas komentar dengannya. Mereka bahkan saling men-tag akun masing-masing. Dan y