Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
Tinggal di perkampungan kumuh, dengan rumah sewaan satu kamar, dan kamar mandi bersama dengan penghuni kontrakan yang lain, tak bisa ditolak Farida. Sang suami, Nusa, selalu mengatakan uangnya hanya cukup mengontrak rumah sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai tukang di sebuah toko mebel, membuat mereka harus hidup pas-pasan. Tak masalah bagi Farida. Rasa cinta pada Nusa, membuatnya menerima segala kekurangan sang suami. Karena cinta itulah dia mau berbuat nekat, meninggalkan segala kesenangan yang diberikan kedua orang tuanya. Namun, rasa itu perlahan pupus, rumah tangga bahagia seperti bayangan di awal pernikahan, hanya angan semu yang tak pernah bisa dia wujudkan. "Kenapa Uda? Apa yang kurang padaku hingga tega melakukan ini?" Suara Farida bergetar menahan amarah yang berputar-putar di dadanya. Rasa-rasanya dia ingin berteriak kuat-kuat, tetapi rasa malu pada tetangga membuatnya meredam keinginan itu. "Perempuan itu sudah hamil. Aku tak mungkin membiarkan anakku lahir tanpa sta
"Banyak arti perihal rindu. Namun, bila bersamamu belum tentu aku bisa mengatakannya."-------------------------Farida duduk di pinggiran ranjang dengan hati gelisah. Dia menggigiti ujung-ujung kuku untuk menenangkan gemuruh yang berputar-putar di dada. Selalu begitu setiap malam. Berkali-kali menatap ke arah jendela yang tirainya sengaja dia buka separuh, tetapi sosok yang ditunggu belum jua datang. Gadis delapan belas tahun yang sedang ranum itu, menunggu kekasih hati yang setiap malam akan menemuinya dari balik jendela. Tentunya sang lelaki menyusup pelan-pelan seperti kucing yang takut ketahuan sedang mengintai mangsanya. Dengan menyurukkan wajah di balik topi dan kain sarung yang ditutupkan ke tubuhnya, Nusa--nama lelaki itu--akan mengetuk kaca jendela kamar si gadis.Kegelisahan Farida usai saat kaca jendelanya ada yang mengetuk. Farida tersenyum lega, lalu mendekat. Dia membuka kaca yang melekat pada bingkai jendela, demi bisa melihat wajah sang pujaan."Ah, Uda ... mengapa l
"Sejahatnya lelaki adalah yang mempermainkan pikiran dan hati wanita untuk kepentingan pribadinya."----------------------Farida terbangun saat azan magrib berkumandang. Dia merasakan udara begitu dingin berembus masuk ke dalam kamar. Perempuan itu berusaha bangun meski kepayahan. Seluruh sendi tubuhnya terasa ngilu dan penat. Andai saja tak bertumpu pada kaki tempat tidur, tentu dia tak bisa berdiri dengan sempurna. Farida berjalan meraba-raba ke arah jendela yang terbuka. Dari sana rupanya udara dingin menyusup. Dahinya berkerut melihat cahaya di rumah-rumah tetangga begitu benderang. Namun, di tempatnya gelap gulita. Dia berpikir apa terjadi korsleting di rumahnya atau apa?Pelan-pelan Farida mencari kontak lampu. Beberapa kali mencoba memencet, tetapi lampu tak juga menyala. Perempuan itu kembali tersandar ke dinding dengan napas terengah-engah. Sejak kecil Farida takut pada gelap. Dia merasa ada seseorang keluar dari kegelapan tersebut, lalu menerkamnya. Oleh karena itu dia sela
"Wanita adalah penipu ulung. Dia mampu menahan perihnya luka dan tetap tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja."----------------------Pagi-pagi sekali Farida sudah bangun. Dia melihat ranjang di sebelahnya masih rapi, pertanda Nusa tak pulang lagi semalam. Sudah satu minggu sejak lelaki itu meminta izin untuk menikah lagi. Sejak saat itu, tak terlihat batang hidungnya pulang ke rumah. Padahal janji sudah lelaki itu ucap, tetapi Farida tahu lidah Nusa sudah terlatih berdusta setahun ini. Jadi, berbohong lagi bukan masalah bagi si lelaki.Perempuan itu mengikat rambutnya dengan karet gelang, lalu bangkit hendak ke kamar mandi hendak bersiap-siap. Sejenak dia terpaku menatap pantulan seorang perempuan di dalam cermin yang digantung di dinding dekat jendela. Wajah kusam dengan lingkar hitam di sekitar mata. Bibirnya tak lagi seranum dulu, kini bagian yang dulu menjadi candu sang suami kering terkelupas. Pipinya yang tirus juga menunjukkan Farida banyak kehilangan bobot tubuh. Dulu,
"Jika aku bukanlah dermagamu, mengapa tak kau lepas ikatan yang mengekang langkahku? Malah kau hadiahkan luka sedalam samudera. Salahku, memasung hati hanya padamu."--------------------"Eh, Farida, suamimu, kok, jarang keliatan, ya?" tanya seorang tetangga saat perempuan itu pulang bekerja.Farida tersenyum tipis. Selalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya oleh tetangga yang berpapasan. Entah apa kepentingan mereka. Oleh sebab itu dia tak pernah sekalipun bercerita masalah rumah tangga kepada siapa pun, kecuali Buk Ratih."Uda Nusa sering lembur akhir-akhir ini, Uni." Farida menjawab sambil lalu.Alih-alih berhenti bertanya, sang tetangga sepertinya belum puas hingga menyusul Farida yang hendak membuka pintu kontrakannya."Eh, Farida, kau jangan terlalu percaya sama suamimu itu. Bilang lembur, aslinya dia kawin lagi, lho."Farida tertegun sebentar. Kabar pernikahan Nusa rupanya sudah tersiar ke semua orang."Kau ini, dibilangin suamimu kawin lagi diam aja. Apa benar itu?""Say
"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."------------------------------Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak.Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan me
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, saat aku memutuskan pergi, percayalah ... menoleh pun tak sudi."--------------------"Buk Ratih?"Farida mencoba tersenyum, meski canggung saat majikan perempuannya ikut memunguti semua pakaian yang tercecer."Tak usah, Buk. Biar aku saja ...."Farida meminta secara halus kain di tangan Buk Ratih. Alih-alih mendengar, dia malah menjawab. "Sudah, kemasi saja semua bajumu, lalu ikut aku ke rumah."Farida hendak menolak, tetapi Buk Ratih lebih dulu memotong."Tak usah banyak alasan. Kau di rumahku sampai si Nusa pulang. Lagi pula tak ada saudara yang bisa kau tumpangi di kota ini, kan?"Helaan napas panjang dan lemah keluar dari bibir Farida yang memucat. Dia tak lagi membantah. Apa yang dikatakan Buk Ratih benar adanya. Dia tak memiliki sanak saudara di kota ini. Masih untung sang majikan mau berbaik hati menampungnya."Makasih, Buk. Maaf, aku merepotkan."Buk Ratih tak menjawab. Dia menggandeng lengan Farida untuk masuk kembali ke dalam mobil