Beranda / Romansa / Luka Perselingkuhan / Sesal Tak Berarti

Share

Luka Perselingkuhan
Luka Perselingkuhan
Penulis: Maheera

Sesal Tak Berarti

Tinggal di perkampungan kumuh, dengan rumah sewaan satu kamar, dan kamar mandi bersama dengan penghuni kontrakan yang lain, tak bisa ditolak Farida. Sang suami, Nusa, selalu mengatakan uangnya hanya cukup mengontrak rumah sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai tukang di sebuah toko mebel, membuat mereka harus hidup pas-pasan. Tak masalah bagi Farida. Rasa cinta pada Nusa, membuatnya menerima segala kekurangan sang suami. Karena cinta itulah dia mau berbuat nekat, meninggalkan segala kesenangan yang diberikan kedua orang tuanya. Namun, rasa itu perlahan pupus, rumah tangga bahagia seperti bayangan di awal pernikahan, hanya angan semu yang tak pernah bisa dia wujudkan.

"Kenapa Uda? Apa yang kurang padaku hingga tega melakukan ini?" Suara Farida bergetar menahan amarah yang berputar-putar di dadanya. Rasa-rasanya dia ingin berteriak kuat-kuat, tetapi rasa malu pada tetangga membuatnya meredam keinginan itu.

"Perempuan itu sudah hamil. Aku tak mungkin membiarkan anakku lahir tanpa status." Nusa memberi alasan tanpa beban, rautnya pun juga tak menunjukkan penyesalan. Bahkan, lelaki itu ber-kau, aku dengan keras.

"Apa Uda bilang? Kalian sudah sejauh itu?! Sejak kapan Uda berbuat curang di belakangku?!" Farida mencengkeram baju Nusa hendak meluapkan amarahnya. Alih-alih lelaki itu mendorong sang istri hingga terduduk di lantai.

"Aku sudah bosan padamu. Lihatlah! Kau tak bisa merawat diri. Tak bisa pula memberi anak. Badanmu sudah tak menarik lagi. Melihat wajahmu aku tak berselera."

Tajam! Kata-kata Nusa bukan belati, tetapi mampu melukai dada Farida sangat dalam. Apa lelaki itu lupa, berapa uang yang diberi setiap hari? Itu pun harus diminta. Kalau tidak, jangan harap Nusa ingat. Untuk makan saja susah, apalagi membeli untuk perawatan diri.

"Sangat berbisa lidah Uda. Dulu aku gadis rancak bungo di kampuang. Memilih Uda karna cinta. Sekarang Uda hinakan aku. Tak ingatkah semua pengorbananku?" Mata Farida mulai berkaca-kaca. Dadanya terasa sakit hingga dia harus menekan bagian itu kuat-kuat.

Nusa tersenyum mengejek, sambil berkacak pinggang. "Itu dulu. Asal kau tau, aku menikahimu untuk memberi pelajaran Ayahmu yang sombong itu. Aku senang mendengar dia mendapat malu di kampung sejak kau kawin denganku. Puas sudah hati melihat harga dirinya dihan-curkan oleh putrinya sendiri."

Farida terperangah mendengar ujaran Nusa. Tak pernah terpikir olehnya jika lelaki tersebut berhati bu-suk. Salahnya yang dibutakan oleh cinta hingga rela mencoreng aib di kening kedua orang tuanya. Perempuan itu hanya bisa terduduk lemah di lantai. Nanar pandangannya ke depan. Terbayang dahulu bagaimana angkuhnya keluar dari rumah dan menghempaskan pintu sangat keras. Farida lupa jika suatu saat pintu itu akan dia ketuk kembali. Kini hanya pilu yang mengelayuti hati. Dia bimbang, apakah tetap bertahan dengan pernikahan itu atau kembali mengetuk pintu rumah yang telah dia ha-ramkan dahulu? Manisnya pernikahan hanya dirasa selama satu tahun. Di tahun berikutnya, rumah tangga dirasa seperti neraka bagi Farida. Ingin rasanya kembali pulang kepada orang tua. Namun, rasa takut dan doktrin yang selama ini ditanamkan Nusa, bahwa kedua orang tuanya tak akan pernah menerimanya kembali, menciutkan keinginan Farida. Jadi, perempuan itu menahan semua penderitaan di dalam hatinya.

*

Teriakan anak-anak yang bermain di depan rumah, membuyarkan lamunan Farida. Pedih hatinya bila mengingat keputusan yang diambil dulu. Kini, kilasan kejadian itu datang kembali dan menghantam dengan keras. Mengorek-ngorek hati Farida hingga nyerinya berakar ke sekujur tubuh.

Terbayang tangis sang bunda yang menahan kepergiannya. Bagaimana lembutnya wanita yang telah melahirkannya itu berujar, agar Farida memikirkan lagi keputusannya. Bahkan, saat perempuan itu telah melangkah keluar dari rumah, bundanya masih mengejar dan meminta untuk kembali. Namun, setan telanjur menguasai dada, hingga kesombongan membuat Farida ingin membuktikan bahwa lelaki pilihannya sangat sempurna.

Tanpa terasa mata perempuan yang terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya, memanas. Kelopak mata segera melinangkan cairan beningnya. Mati-matian Farida menahan agar linangan itu tak meruah ke pipi, tetapi dia gagal. Pedihnya kata-kata Nusa merobohkan pertahanan hatinya.

Farida tak mengira, tega sekali lelaki itu mengkhianatinya. Salahnya, yang mudah saja termakan kata-kata manis. Dulu dia hanya tahu sekolah, mengaji ke surau, dan membantu bunda di rumah. Sejak pertemuan tak sengaja dengan Nusa di pasar Kota Solok, hati Farida langsung terpaut. Tutur kata manis dan sopan dari si lelaki, menyemaikan benih cinta di dada gadis lugu itu.

Hubungan kedua terajut diam-diam. Farida akan senang sekali bila diajak oleh sang bunda ke pasar tiap pekan. Itu artinya dia akan bersua dengan sang pujaan hati. Keduanya akan saling mencuri pandang bila Bunda Farida berbelanja di toko kelontong tempat Nusa bekerja. Sebulan, dua bulan, lalu hubungan itu semakin dalam dan intens. Keduanya selalu berjanji bertemu di tempat yang tidak ada yang mengenal mereka berdua. Seperti di kebun teh Alahan Panjang dan Puncak Gobah.

Namun, kini Farida menyesali keputusan yang sangat gegabah. Dia seperti batang tebu yang meranggas. Manisnya masih ada, tetapi tak terlihat lagi. Sekarang apa yang dimakan rasa sekam, yang diminum serasa duri. Sungguh bimbang hati perempuan itu.

Derit pintu yang terbuka, mengalihkan pandangan Farida. Dia melihat sosok Nusa masuk sambil membawa sehelai kertas. Wajah lelaki itu tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.

"Kau tanda-tangani kertas ini!" Keras sekali ucapan Nusa, seraya menyodorkan kertas tersebut kepada Farida.

Si perempuan melihat kertas itu dengan pandangan kosong. "Kertas apa itu, Uda?"

"Banyak sekali tanya kau. Tanda-tangan saja, habis perkara!" Nusa memaksa Farida memegang pena, lalu meletakkan kertas tersebut di atas meja rias.

Mata bengkak Farida membaca tulisan di kertas tersebut. Perih karena ucapan Nusa belum hilang, kini ditambah lagi dengan isi yang tertulis di kertas tersebut.

"Tega sekali Uda menyiram lukaku dengan garam. Belum hilang sakit karna pengkhianatan Uda, sekarang memintaku rela dimadu dengan perempuan yang tak punya malu itu?!

Suara Farida kembali terdengar bergetar. Badai amarah yang tadi sempat tenang, kini berputar lagi bak puting beliung di dadanya.

Nusa memukul pipi Farida, membuat kepala perempuan itu membentur kaca meja. Dia juga merenggut rambut sang istri yang tak lagi bercahaya saat masih gadis dulu.

"Mulut kau busuk. Setidaknya perempuan itu mengandung anakku. Dari pada kau, mandul!"

"Aku tidak mandul!" seru Farida keras. Tatapan matanya menajam ke arah Nusa. Andai dia punya kekuatan, ingin rasanya menerjang dan mencakar wajah lelaki itu.

Alih-alih iba, Nusa semakin keras menjambak rambut Farida. Hilang semua kata-kata manisnya dahulu. Kini, dia memperlakukan sang istri dengan sangat biadab. Dia mencengkeram dagu Farida dengan tangannya. "Kau tanda-tangani saja surat itu. Tak usah banyak cincong!"

"Aku tidak mau!"jerit Farida lantang. Rasa takutnya hilang bersama rasa sakit yang terus mendera tubuhnya. Bukan itu saja, hatinya lebih perih karena tuduhan Nusa. Ke mana lelaki yang dulu menyanjungnya? Farida lupa jika dia tak terlalu mengenal sang suami. Rupanya dia adalah sosok yang berwujud malaikat, tetapi berhati iblis. Maka perempuan itu pun seketika berubah menjadi iblis pula.

Entah kekuatan dari mana, Farida menggigit tangan Nusa yang mencengkeram dagunya kuat-kuat hingga sang lelaki berteriak kesakitan. Gigitan Farida seperti lintah, enggan lepas sebelum puas.

Nusa bahkan memukul kepala Farida agar perempuan itu melepaskan gigitannya.

"Kau gila!" tuding Nusa melihat mulut Farida penuh darah yang berasal dari tangannya yang terluka.

"Iya, aku gila! Kau yang membuat aku gila. Kuserahkan hidupku padamu, kuputuskan tali darah dengan kedua orang tuaku, kutentang Ayah Bundaku demi hidup bersamamu, kutinggalkan tanah kelahiranku agar bisa bersamamu, tapi apa yang kudapat?!"

Farida meracau dengan buas. Sorot matanya liar menikam Nusa, seolah-olah hendak mencabik-cabik tubuh lelaki tersebut.

"Kau yang bodoh. Tak berpikir. Pantas saja sekarang aku memilih perempuan lain." Nusa masih menjawab meski hatinya kecut melihat perubahan Farida. Dia tak mengira perempuan tersebut bisa menjadi beringas.

"Kalau begitu ceraikan aku!" Farida mendekat hendak menyerang Nusa kembali. Namun si lelaki sigap keluar dan mengunci pintu dari luar. Dia tak peduli gerungan sang istri dari balik pintu. Kerasnya pukulan Farida di papan kayu tersebut, tak membuat Nusa berniat membuka pintu.

"Tak semudah itu kau lepas dariku. Begitu kau kucerai, kau akan kembali ke Ayahmu yang sombong itu dan saat itu aku kalah. Tak akan kubiarkan. Kau akan tetap menjadi istriku sampai mati. Biar jasadmu saja yang keluar dari rumah ini."

Farida semakin meradang mendengar ocehan Nusa dari balik pintu. Dia melempar gelas ke dinding kamar untuk melampiaskan amarahnya. Tak cukup itu saja, dia menjambak rambut dan berteriak, membiarkan sesak mencari jalan keluar. Bayang-bayang kedua orang tuanya semakin menenggelamkan Farida dalam penyesalan. Andai dulu dia berpikir sebelum bertindak, tentu hidupnya tidak seperti di neraka.

Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur, Farida begitu berani menentang kedua orang tuanya. Dia lupa, ridho ayah-bunda sangatlah keramat. Bila hati keduanya tersakiti, jangankan kebahagiaan justru malapetaka yang menghampiri.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau farida. nikmati cinta butamu. udah tau suami miskin tapi kau tetap seperti benalu yg cuma bisa menadahkan tangan. kau pikir menikah itu cukup bermodal cinta dan mengangkang saja. wanita tolol
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
bagus ceritanya, awal yg menyedihkan kisah farida yg di selingkuhin suami nya nusa dan di kdrt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status