Tinggal di perkampungan kumuh, dengan rumah sewaan satu kamar, dan kamar mandi bersama dengan penghuni kontrakan yang lain, tak bisa ditolak Farida. Sang suami, Nusa, selalu mengatakan uangnya hanya cukup mengontrak rumah sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai tukang di sebuah toko mebel, membuat mereka harus hidup pas-pasan. Tak masalah bagi Farida. Rasa cinta pada Nusa, membuatnya menerima segala kekurangan sang suami. Karena cinta itulah dia mau berbuat nekat, meninggalkan segala kesenangan yang diberikan kedua orang tuanya. Namun, rasa itu perlahan pupus, rumah tangga bahagia seperti bayangan di awal pernikahan, hanya angan semu yang tak pernah bisa dia wujudkan.
"Kenapa Uda? Apa yang kurang padaku hingga tega melakukan ini?" Suara Farida bergetar menahan amarah yang berputar-putar di dadanya. Rasa-rasanya dia ingin berteriak kuat-kuat, tetapi rasa malu pada tetangga membuatnya meredam keinginan itu. "Perempuan itu sudah hamil. Aku tak mungkin membiarkan anakku lahir tanpa status." Nusa memberi alasan tanpa beban, rautnya pun juga tak menunjukkan penyesalan. Bahkan, lelaki itu ber-kau, aku dengan keras. "Apa Uda bilang? Kalian sudah sejauh itu?! Sejak kapan Uda berbuat curang di belakangku?!" Farida mencengkeram baju Nusa hendak meluapkan amarahnya. Alih-alih lelaki itu mendorong sang istri hingga terduduk di lantai. "Aku sudah bosan padamu. Lihatlah! Kau tak bisa merawat diri. Tak bisa pula memberi anak. Badanmu sudah tak menarik lagi. Melihat wajahmu aku tak berselera." Tajam! Kata-kata Nusa bukan belati, tetapi mampu melukai dada Farida sangat dalam. Apa lelaki itu lupa, berapa uang yang diberi setiap hari? Itu pun harus diminta. Kalau tidak, jangan harap Nusa ingat. Untuk makan saja susah, apalagi membeli untuk perawatan diri. "Sangat berbisa lidah Uda. Dulu aku gadis rancak bungo di kampuang. Memilih Uda karna cinta. Sekarang Uda hinakan aku. Tak ingatkah semua pengorbananku?" Mata Farida mulai berkaca-kaca. Dadanya terasa sakit hingga dia harus menekan bagian itu kuat-kuat. Nusa tersenyum mengejek, sambil berkacak pinggang. "Itu dulu. Asal kau tau, aku menikahimu untuk memberi pelajaran Ayahmu yang sombong itu. Aku senang mendengar dia mendapat malu di kampung sejak kau kawin denganku. Puas sudah hati melihat harga dirinya dihan-curkan oleh putrinya sendiri." Farida terperangah mendengar ujaran Nusa. Tak pernah terpikir olehnya jika lelaki tersebut berhati bu-suk. Salahnya yang dibutakan oleh cinta hingga rela mencoreng aib di kening kedua orang tuanya. Perempuan itu hanya bisa terduduk lemah di lantai. Nanar pandangannya ke depan. Terbayang dahulu bagaimana angkuhnya keluar dari rumah dan menghempaskan pintu sangat keras. Farida lupa jika suatu saat pintu itu akan dia ketuk kembali. Kini hanya pilu yang mengelayuti hati. Dia bimbang, apakah tetap bertahan dengan pernikahan itu atau kembali mengetuk pintu rumah yang telah dia ha-ramkan dahulu? Manisnya pernikahan hanya dirasa selama satu tahun. Di tahun berikutnya, rumah tangga dirasa seperti neraka bagi Farida. Ingin rasanya kembali pulang kepada orang tua. Namun, rasa takut dan doktrin yang selama ini ditanamkan Nusa, bahwa kedua orang tuanya tak akan pernah menerimanya kembali, menciutkan keinginan Farida. Jadi, perempuan itu menahan semua penderitaan di dalam hatinya. * Teriakan anak-anak yang bermain di depan rumah, membuyarkan lamunan Farida. Pedih hatinya bila mengingat keputusan yang diambil dulu. Kini, kilasan kejadian itu datang kembali dan menghantam dengan keras. Mengorek-ngorek hati Farida hingga nyerinya berakar ke sekujur tubuh. Terbayang tangis sang bunda yang menahan kepergiannya. Bagaimana lembutnya wanita yang telah melahirkannya itu berujar, agar Farida memikirkan lagi keputusannya. Bahkan, saat perempuan itu telah melangkah keluar dari rumah, bundanya masih mengejar dan meminta untuk kembali. Namun, setan telanjur menguasai dada, hingga kesombongan membuat Farida ingin membuktikan bahwa lelaki pilihannya sangat sempurna. Tanpa terasa mata perempuan yang terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya, memanas. Kelopak mata segera melinangkan cairan beningnya. Mati-matian Farida menahan agar linangan itu tak meruah ke pipi, tetapi dia gagal. Pedihnya kata-kata Nusa merobohkan pertahanan hatinya. Farida tak mengira, tega sekali lelaki itu mengkhianatinya. Salahnya, yang mudah saja termakan kata-kata manis. Dulu dia hanya tahu sekolah, mengaji ke surau, dan membantu bunda di rumah. Sejak pertemuan tak sengaja dengan Nusa di pasar Kota Solok, hati Farida langsung terpaut. Tutur kata manis dan sopan dari si lelaki, menyemaikan benih cinta di dada gadis lugu itu. Hubungan kedua terajut diam-diam. Farida akan senang sekali bila diajak oleh sang bunda ke pasar tiap pekan. Itu artinya dia akan bersua dengan sang pujaan hati. Keduanya akan saling mencuri pandang bila Bunda Farida berbelanja di toko kelontong tempat Nusa bekerja. Sebulan, dua bulan, lalu hubungan itu semakin dalam dan intens. Keduanya selalu berjanji bertemu di tempat yang tidak ada yang mengenal mereka berdua. Seperti di kebun teh Alahan Panjang dan Puncak Gobah. Namun, kini Farida menyesali keputusan yang sangat gegabah. Dia seperti batang tebu yang meranggas. Manisnya masih ada, tetapi tak terlihat lagi. Sekarang apa yang dimakan rasa sekam, yang diminum serasa duri. Sungguh bimbang hati perempuan itu. Derit pintu yang terbuka, mengalihkan pandangan Farida. Dia melihat sosok Nusa masuk sambil membawa sehelai kertas. Wajah lelaki itu tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. "Kau tanda-tangani kertas ini!" Keras sekali ucapan Nusa, seraya menyodorkan kertas tersebut kepada Farida. Si perempuan melihat kertas itu dengan pandangan kosong. "Kertas apa itu, Uda?" "Banyak sekali tanya kau. Tanda-tangan saja, habis perkara!" Nusa memaksa Farida memegang pena, lalu meletakkan kertas tersebut di atas meja rias. Mata bengkak Farida membaca tulisan di kertas tersebut. Perih karena ucapan Nusa belum hilang, kini ditambah lagi dengan isi yang tertulis di kertas tersebut. "Tega sekali Uda menyiram lukaku dengan garam. Belum hilang sakit karna pengkhianatan Uda, sekarang memintaku rela dimadu dengan perempuan yang tak punya malu itu?! Suara Farida kembali terdengar bergetar. Badai amarah yang tadi sempat tenang, kini berputar lagi bak puting beliung di dadanya. Nusa memukul pipi Farida, membuat kepala perempuan itu membentur kaca meja. Dia juga merenggut rambut sang istri yang tak lagi bercahaya saat masih gadis dulu. "Mulut kau busuk. Setidaknya perempuan itu mengandung anakku. Dari pada kau, mandul!" "Aku tidak mandul!" seru Farida keras. Tatapan matanya menajam ke arah Nusa. Andai dia punya kekuatan, ingin rasanya menerjang dan mencakar wajah lelaki itu. Alih-alih iba, Nusa semakin keras menjambak rambut Farida. Hilang semua kata-kata manisnya dahulu. Kini, dia memperlakukan sang istri dengan sangat biadab. Dia mencengkeram dagu Farida dengan tangannya. "Kau tanda-tangani saja surat itu. Tak usah banyak cincong!" "Aku tidak mau!"jerit Farida lantang. Rasa takutnya hilang bersama rasa sakit yang terus mendera tubuhnya. Bukan itu saja, hatinya lebih perih karena tuduhan Nusa. Ke mana lelaki yang dulu menyanjungnya? Farida lupa jika dia tak terlalu mengenal sang suami. Rupanya dia adalah sosok yang berwujud malaikat, tetapi berhati iblis. Maka perempuan itu pun seketika berubah menjadi iblis pula. Entah kekuatan dari mana, Farida menggigit tangan Nusa yang mencengkeram dagunya kuat-kuat hingga sang lelaki berteriak kesakitan. Gigitan Farida seperti lintah, enggan lepas sebelum puas. Nusa bahkan memukul kepala Farida agar perempuan itu melepaskan gigitannya. "Kau gila!" tuding Nusa melihat mulut Farida penuh darah yang berasal dari tangannya yang terluka. "Iya, aku gila! Kau yang membuat aku gila. Kuserahkan hidupku padamu, kuputuskan tali darah dengan kedua orang tuaku, kutentang Ayah Bundaku demi hidup bersamamu, kutinggalkan tanah kelahiranku agar bisa bersamamu, tapi apa yang kudapat?!" Farida meracau dengan buas. Sorot matanya liar menikam Nusa, seolah-olah hendak mencabik-cabik tubuh lelaki tersebut. "Kau yang bodoh. Tak berpikir. Pantas saja sekarang aku memilih perempuan lain." Nusa masih menjawab meski hatinya kecut melihat perubahan Farida. Dia tak mengira perempuan tersebut bisa menjadi beringas. "Kalau begitu ceraikan aku!" Farida mendekat hendak menyerang Nusa kembali. Namun si lelaki sigap keluar dan mengunci pintu dari luar. Dia tak peduli gerungan sang istri dari balik pintu. Kerasnya pukulan Farida di papan kayu tersebut, tak membuat Nusa berniat membuka pintu. "Tak semudah itu kau lepas dariku. Begitu kau kucerai, kau akan kembali ke Ayahmu yang sombong itu dan saat itu aku kalah. Tak akan kubiarkan. Kau akan tetap menjadi istriku sampai mati. Biar jasadmu saja yang keluar dari rumah ini." Farida semakin meradang mendengar ocehan Nusa dari balik pintu. Dia melempar gelas ke dinding kamar untuk melampiaskan amarahnya. Tak cukup itu saja, dia menjambak rambut dan berteriak, membiarkan sesak mencari jalan keluar. Bayang-bayang kedua orang tuanya semakin menenggelamkan Farida dalam penyesalan. Andai dulu dia berpikir sebelum bertindak, tentu hidupnya tidak seperti di neraka. Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur, Farida begitu berani menentang kedua orang tuanya. Dia lupa, ridho ayah-bunda sangatlah keramat. Bila hati keduanya tersakiti, jangankan kebahagiaan justru malapetaka yang menghampiri."Banyak arti perihal rindu. Namun, bila bersamamu belum tentu aku bisa mengatakannya."-------------------------Farida duduk di pinggiran ranjang dengan hati gelisah. Dia menggigiti ujung-ujung kuku untuk menenangkan gemuruh yang berputar-putar di dada. Selalu begitu setiap malam. Berkali-kali menatap ke arah jendela yang tirainya sengaja dia buka separuh, tetapi sosok yang ditunggu belum jua datang. Gadis delapan belas tahun yang sedang ranum itu, menunggu kekasih hati yang setiap malam akan menemuinya dari balik jendela. Tentunya sang lelaki menyusup pelan-pelan seperti kucing yang takut ketahuan sedang mengintai mangsanya. Dengan menyurukkan wajah di balik topi dan kain sarung yang ditutupkan ke tubuhnya, Nusa--nama lelaki itu--akan mengetuk kaca jendela kamar si gadis.Kegelisahan Farida usai saat kaca jendelanya ada yang mengetuk. Farida tersenyum lega, lalu mendekat. Dia membuka kaca yang melekat pada bingkai jendela, demi bisa melihat wajah sang pujaan."Ah, Uda ... mengapa l
"Sejahatnya lelaki adalah yang mempermainkan pikiran dan hati wanita untuk kepentingan pribadinya."----------------------Farida terbangun saat azan magrib berkumandang. Dia merasakan udara begitu dingin berembus masuk ke dalam kamar. Perempuan itu berusaha bangun meski kepayahan. Seluruh sendi tubuhnya terasa ngilu dan penat. Andai saja tak bertumpu pada kaki tempat tidur, tentu dia tak bisa berdiri dengan sempurna. Farida berjalan meraba-raba ke arah jendela yang terbuka. Dari sana rupanya udara dingin menyusup. Dahinya berkerut melihat cahaya di rumah-rumah tetangga begitu benderang. Namun, di tempatnya gelap gulita. Dia berpikir apa terjadi korsleting di rumahnya atau apa?Pelan-pelan Farida mencari kontak lampu. Beberapa kali mencoba memencet, tetapi lampu tak juga menyala. Perempuan itu kembali tersandar ke dinding dengan napas terengah-engah. Sejak kecil Farida takut pada gelap. Dia merasa ada seseorang keluar dari kegelapan tersebut, lalu menerkamnya. Oleh karena itu dia sela
"Wanita adalah penipu ulung. Dia mampu menahan perihnya luka dan tetap tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja."----------------------Pagi-pagi sekali Farida sudah bangun. Dia melihat ranjang di sebelahnya masih rapi, pertanda Nusa tak pulang lagi semalam. Sudah satu minggu sejak lelaki itu meminta izin untuk menikah lagi. Sejak saat itu, tak terlihat batang hidungnya pulang ke rumah. Padahal janji sudah lelaki itu ucap, tetapi Farida tahu lidah Nusa sudah terlatih berdusta setahun ini. Jadi, berbohong lagi bukan masalah bagi si lelaki.Perempuan itu mengikat rambutnya dengan karet gelang, lalu bangkit hendak ke kamar mandi hendak bersiap-siap. Sejenak dia terpaku menatap pantulan seorang perempuan di dalam cermin yang digantung di dinding dekat jendela. Wajah kusam dengan lingkar hitam di sekitar mata. Bibirnya tak lagi seranum dulu, kini bagian yang dulu menjadi candu sang suami kering terkelupas. Pipinya yang tirus juga menunjukkan Farida banyak kehilangan bobot tubuh. Dulu,
"Jika aku bukanlah dermagamu, mengapa tak kau lepas ikatan yang mengekang langkahku? Malah kau hadiahkan luka sedalam samudera. Salahku, memasung hati hanya padamu."--------------------"Eh, Farida, suamimu, kok, jarang keliatan, ya?" tanya seorang tetangga saat perempuan itu pulang bekerja.Farida tersenyum tipis. Selalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya oleh tetangga yang berpapasan. Entah apa kepentingan mereka. Oleh sebab itu dia tak pernah sekalipun bercerita masalah rumah tangga kepada siapa pun, kecuali Buk Ratih."Uda Nusa sering lembur akhir-akhir ini, Uni." Farida menjawab sambil lalu.Alih-alih berhenti bertanya, sang tetangga sepertinya belum puas hingga menyusul Farida yang hendak membuka pintu kontrakannya."Eh, Farida, kau jangan terlalu percaya sama suamimu itu. Bilang lembur, aslinya dia kawin lagi, lho."Farida tertegun sebentar. Kabar pernikahan Nusa rupanya sudah tersiar ke semua orang."Kau ini, dibilangin suamimu kawin lagi diam aja. Apa benar itu?""Say
"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."------------------------------Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak.Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan me
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, saat aku memutuskan pergi, percayalah ... menoleh pun tak sudi."--------------------"Buk Ratih?"Farida mencoba tersenyum, meski canggung saat majikan perempuannya ikut memunguti semua pakaian yang tercecer."Tak usah, Buk. Biar aku saja ...."Farida meminta secara halus kain di tangan Buk Ratih. Alih-alih mendengar, dia malah menjawab. "Sudah, kemasi saja semua bajumu, lalu ikut aku ke rumah."Farida hendak menolak, tetapi Buk Ratih lebih dulu memotong."Tak usah banyak alasan. Kau di rumahku sampai si Nusa pulang. Lagi pula tak ada saudara yang bisa kau tumpangi di kota ini, kan?"Helaan napas panjang dan lemah keluar dari bibir Farida yang memucat. Dia tak lagi membantah. Apa yang dikatakan Buk Ratih benar adanya. Dia tak memiliki sanak saudara di kota ini. Masih untung sang majikan mau berbaik hati menampungnya."Makasih, Buk. Maaf, aku merepotkan."Buk Ratih tak menjawab. Dia menggandeng lengan Farida untuk masuk kembali ke dalam mobil
"Berbuatlah semaumu, lukai hatiku sedalam yang engkau bisa. Namun, saat semua sudah dibatas akhir, saat itulah kau menyadari, cinta sejati itu aku."---------------------Farida tak tahu hendak dibawa ke mana. Dia hanya diam duduk di belakang Nusa. Tatapan perempuan itu kosong. Masih terbayang raut cemas dari Buk Ratih. Ingin rasanya kembali ke rumah sang majikan, tetapi dia takut Nusa berbuat lebih kejam. Tiga tahun bersama sang suami, Farida paham, Nusa tipe temperamental. Mudah saja bagi lelaki tersebut melayangkan tangan serta makian. Setelah amarahnya reda, si lelaki akan kembali baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Lupa bahwa ucapan kasar lebih menyakitkan dari pada siksa fisik. Luka di raga mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin akan terus ada selama ingat siapa yang menorehkan. Farida tak mau Buk Ratih ikut menanggung getah dari pernikahannya yang sekarat.Lamunan Farida tersadar saat sepeda motor Nusa berhenti di depan rumah permanen. Perempuan itu melihat ke sekeliling. Mat
"Pernahkah kau merasa lelah? Saat apa yang kau lakukan tak pernah dihargai. Menyerah? Tentu saja tidak, tetapi hati mulai mati rasa.-------------------------Malam semakin menua, tetapi mata Farida tak mau juga terpejam. Tidur di ruang tamu, beralaskan lapiak pandan pemberian Aida, tanpa bantal, tak membuatnya merasa terhina. Apa yang dilakukan Nusa jauh lebih kejam dari itu. Jika selama tiga tahun dia bisa bertahan, kenapa perkara tidur saja harus dipermasalahkan? Hatinya pun juga begitu, tak ada lagi getar cemburu membayangkan sang suami tidur di kamar bersama sang madu. Justru dia sangat bersyukur tak perlu meladeni Nusa.Perempuan yang belum berganti pakaian sejak datang, menatap langit-langit ruang tamu dengan menjadikan tangan kiri sebagai bantalan, sementara tangan kanan diletakkan di atas perut. Otaknya mengira-ngira apa yang akan dilakukan Aida padanya. Sejak awal masuk ke rumah, dia sudah merasakan aura permusuhan diuarkan si perempuan. Tatapan mata saja seolah-olah ingin