Tinggal di perkampungan kumuh, dengan rumah sewaan satu kamar, dan kamar mandi bersama dengan penghuni kontrakan yang lain, tak bisa ditolak Farida. Sang suami, Nusa, selalu mengatakan uangnya hanya cukup mengontrak rumah sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai tukang di sebuah toko mebel, membuat mereka harus hidup pas-pasan. Tak masalah bagi Farida. Rasa cinta pada Nusa, membuatnya menerima segala kekurangan sang suami. Karena cinta itulah dia mau berbuat nekat, meninggalkan segala kesenangan yang diberikan kedua orang tuanya. Namun, rasa itu perlahan pupus, rumah tangga bahagia seperti bayangan di awal pernikahan, hanya angan semu yang tak pernah bisa dia wujudkan.
"Kenapa Uda? Apa yang kurang padaku hingga tega melakukan ini?" Suara Farida bergetar menahan amarah yang berputar-putar di dadanya. Rasa-rasanya dia ingin berteriak kuat-kuat, tetapi rasa malu pada tetangga membuatnya meredam keinginan itu. "Perempuan itu sudah hamil. Aku tak mungkin membiarkan anakku lahir tanpa status." Nusa memberi alasan tanpa beban, rautnya pun juga tak menunjukkan penyesalan. Bahkan, lelaki itu ber-kau, aku dengan keras. "Apa Uda bilang? Kalian sudah sejauh itu?! Sejak kapan Uda berbuat curang di belakangku?!" Farida mencengkeram baju Nusa hendak meluapkan amarahnya. Alih-alih lelaki itu mendorong sang istri hingga terduduk di lantai. "Aku sudah bosan padamu. Lihatlah! Kau tak bisa merawat diri. Tak bisa pula memberi anak. Badanmu sudah tak menarik lagi. Melihat wajahmu aku tak berselera." Tajam! Kata-kata Nusa bukan belati, tetapi mampu melukai dada Farida sangat dalam. Apa lelaki itu lupa, berapa uang yang diberi setiap hari? Itu pun harus diminta. Kalau tidak, jangan harap Nusa ingat. Untuk makan saja susah, apalagi membeli untuk perawatan diri. "Sangat berbisa lidah Uda. Dulu aku gadis rancak bungo di kampuang. Memilih Uda karna cinta. Sekarang Uda hinakan aku. Tak ingatkah semua pengorbananku?" Mata Farida mulai berkaca-kaca. Dadanya terasa sakit hingga dia harus menekan bagian itu kuat-kuat. Nusa tersenyum mengejek, sambil berkacak pinggang. "Itu dulu. Asal kau tau, aku menikahimu untuk memberi pelajaran Ayahmu yang sombong itu. Aku senang mendengar dia mendapat malu di kampung sejak kau kawin denganku. Puas sudah hati melihat harga dirinya dihan-curkan oleh putrinya sendiri." Farida terperangah mendengar ujaran Nusa. Tak pernah terpikir olehnya jika lelaki tersebut berhati bu-suk. Salahnya yang dibutakan oleh cinta hingga rela mencoreng aib di kening kedua orang tuanya. Perempuan itu hanya bisa terduduk lemah di lantai. Nanar pandangannya ke depan. Terbayang dahulu bagaimana angkuhnya keluar dari rumah dan menghempaskan pintu sangat keras. Farida lupa jika suatu saat pintu itu akan dia ketuk kembali. Kini hanya pilu yang mengelayuti hati. Dia bimbang, apakah tetap bertahan dengan pernikahan itu atau kembali mengetuk pintu rumah yang telah dia ha-ramkan dahulu? Manisnya pernikahan hanya dirasa selama satu tahun. Di tahun berikutnya, rumah tangga dirasa seperti neraka bagi Farida. Ingin rasanya kembali pulang kepada orang tua. Namun, rasa takut dan doktrin yang selama ini ditanamkan Nusa, bahwa kedua orang tuanya tak akan pernah menerimanya kembali, menciutkan keinginan Farida. Jadi, perempuan itu menahan semua penderitaan di dalam hatinya. * Teriakan anak-anak yang bermain di depan rumah, membuyarkan lamunan Farida. Pedih hatinya bila mengingat keputusan yang diambil dulu. Kini, kilasan kejadian itu datang kembali dan menghantam dengan keras. Mengorek-ngorek hati Farida hingga nyerinya berakar ke sekujur tubuh. Terbayang tangis sang bunda yang menahan kepergiannya. Bagaimana lembutnya wanita yang telah melahirkannya itu berujar, agar Farida memikirkan lagi keputusannya. Bahkan, saat perempuan itu telah melangkah keluar dari rumah, bundanya masih mengejar dan meminta untuk kembali. Namun, setan telanjur menguasai dada, hingga kesombongan membuat Farida ingin membuktikan bahwa lelaki pilihannya sangat sempurna. Tanpa terasa mata perempuan yang terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya, memanas. Kelopak mata segera melinangkan cairan beningnya. Mati-matian Farida menahan agar linangan itu tak meruah ke pipi, tetapi dia gagal. Pedihnya kata-kata Nusa merobohkan pertahanan hatinya. Farida tak mengira, tega sekali lelaki itu mengkhianatinya. Salahnya, yang mudah saja termakan kata-kata manis. Dulu dia hanya tahu sekolah, mengaji ke surau, dan membantu bunda di rumah. Sejak pertemuan tak sengaja dengan Nusa di pasar Kota Solok, hati Farida langsung terpaut. Tutur kata manis dan sopan dari si lelaki, menyemaikan benih cinta di dada gadis lugu itu. Hubungan kedua terajut diam-diam. Farida akan senang sekali bila diajak oleh sang bunda ke pasar tiap pekan. Itu artinya dia akan bersua dengan sang pujaan hati. Keduanya akan saling mencuri pandang bila Bunda Farida berbelanja di toko kelontong tempat Nusa bekerja. Sebulan, dua bulan, lalu hubungan itu semakin dalam dan intens. Keduanya selalu berjanji bertemu di tempat yang tidak ada yang mengenal mereka berdua. Seperti di kebun teh Alahan Panjang dan Puncak Gobah. Namun, kini Farida menyesali keputusan yang sangat gegabah. Dia seperti batang tebu yang meranggas. Manisnya masih ada, tetapi tak terlihat lagi. Sekarang apa yang dimakan rasa sekam, yang diminum serasa duri. Sungguh bimbang hati perempuan itu. Derit pintu yang terbuka, mengalihkan pandangan Farida. Dia melihat sosok Nusa masuk sambil membawa sehelai kertas. Wajah lelaki itu tak menunjukkan penyesalan sedikit pun. "Kau tanda-tangani kertas ini!" Keras sekali ucapan Nusa, seraya menyodorkan kertas tersebut kepada Farida. Si perempuan melihat kertas itu dengan pandangan kosong. "Kertas apa itu, Uda?" "Banyak sekali tanya kau. Tanda-tangan saja, habis perkara!" Nusa memaksa Farida memegang pena, lalu meletakkan kertas tersebut di atas meja rias. Mata bengkak Farida membaca tulisan di kertas tersebut. Perih karena ucapan Nusa belum hilang, kini ditambah lagi dengan isi yang tertulis di kertas tersebut. "Tega sekali Uda menyiram lukaku dengan garam. Belum hilang sakit karna pengkhianatan Uda, sekarang memintaku rela dimadu dengan perempuan yang tak punya malu itu?! Suara Farida kembali terdengar bergetar. Badai amarah yang tadi sempat tenang, kini berputar lagi bak puting beliung di dadanya. Nusa memukul pipi Farida, membuat kepala perempuan itu membentur kaca meja. Dia juga merenggut rambut sang istri yang tak lagi bercahaya saat masih gadis dulu. "Mulut kau busuk. Setidaknya perempuan itu mengandung anakku. Dari pada kau, mandul!" "Aku tidak mandul!" seru Farida keras. Tatapan matanya menajam ke arah Nusa. Andai dia punya kekuatan, ingin rasanya menerjang dan mencakar wajah lelaki itu. Alih-alih iba, Nusa semakin keras menjambak rambut Farida. Hilang semua kata-kata manisnya dahulu. Kini, dia memperlakukan sang istri dengan sangat biadab. Dia mencengkeram dagu Farida dengan tangannya. "Kau tanda-tangani saja surat itu. Tak usah banyak cincong!" "Aku tidak mau!"jerit Farida lantang. Rasa takutnya hilang bersama rasa sakit yang terus mendera tubuhnya. Bukan itu saja, hatinya lebih perih karena tuduhan Nusa. Ke mana lelaki yang dulu menyanjungnya? Farida lupa jika dia tak terlalu mengenal sang suami. Rupanya dia adalah sosok yang berwujud malaikat, tetapi berhati iblis. Maka perempuan itu pun seketika berubah menjadi iblis pula. Entah kekuatan dari mana, Farida menggigit tangan Nusa yang mencengkeram dagunya kuat-kuat hingga sang lelaki berteriak kesakitan. Gigitan Farida seperti lintah, enggan lepas sebelum puas. Nusa bahkan memukul kepala Farida agar perempuan itu melepaskan gigitannya. "Kau gila!" tuding Nusa melihat mulut Farida penuh darah yang berasal dari tangannya yang terluka. "Iya, aku gila! Kau yang membuat aku gila. Kuserahkan hidupku padamu, kuputuskan tali darah dengan kedua orang tuaku, kutentang Ayah Bundaku demi hidup bersamamu, kutinggalkan tanah kelahiranku agar bisa bersamamu, tapi apa yang kudapat?!" Farida meracau dengan buas. Sorot matanya liar menikam Nusa, seolah-olah hendak mencabik-cabik tubuh lelaki tersebut. "Kau yang bodoh. Tak berpikir. Pantas saja sekarang aku memilih perempuan lain." Nusa masih menjawab meski hatinya kecut melihat perubahan Farida. Dia tak mengira perempuan tersebut bisa menjadi beringas. "Kalau begitu ceraikan aku!" Farida mendekat hendak menyerang Nusa kembali. Namun si lelaki sigap keluar dan mengunci pintu dari luar. Dia tak peduli gerungan sang istri dari balik pintu. Kerasnya pukulan Farida di papan kayu tersebut, tak membuat Nusa berniat membuka pintu. "Tak semudah itu kau lepas dariku. Begitu kau kucerai, kau akan kembali ke Ayahmu yang sombong itu dan saat itu aku kalah. Tak akan kubiarkan. Kau akan tetap menjadi istriku sampai mati. Biar jasadmu saja yang keluar dari rumah ini." Farida semakin meradang mendengar ocehan Nusa dari balik pintu. Dia melempar gelas ke dinding kamar untuk melampiaskan amarahnya. Tak cukup itu saja, dia menjambak rambut dan berteriak, membiarkan sesak mencari jalan keluar. Bayang-bayang kedua orang tuanya semakin menenggelamkan Farida dalam penyesalan. Andai dulu dia berpikir sebelum bertindak, tentu hidupnya tidak seperti di neraka. Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur, Farida begitu berani menentang kedua orang tuanya. Dia lupa, ridho ayah-bunda sangatlah keramat. Bila hati keduanya tersakiti, jangankan kebahagiaan justru malapetaka yang menghampiri."Banyak arti perihal rindu. Namun, bila bersamamu belum tentu aku bisa mengatakannya."-------------------------Farida duduk di pinggiran ranjang dengan hati gelisah. Dia menggigiti ujung-ujung kuku untuk menenangkan gemuruh yang berputar-putar di dada. Selalu begitu setiap malam. Berkali-kali menatap ke arah jendela yang tirainya sengaja dia buka separuh, tetapi sosok yang ditunggu belum jua datang. Gadis delapan belas tahun yang sedang ranum itu, menunggu kekasih hati yang setiap malam akan menemuinya dari balik jendela. Tentunya sang lelaki menyusup pelan-pelan seperti kucing yang takut ketahuan sedang mengintai mangsanya. Dengan menyurukkan wajah di balik topi dan kain sarung yang ditutupkan ke tubuhnya, Nusa--nama lelaki itu--akan mengetuk kaca jendela kamar si gadis.Kegelisahan Farida usai saat kaca jendelanya ada yang mengetuk. Farida tersenyum lega, lalu mendekat. Dia membuka kaca yang melekat pada bingkai jendela, demi bisa melihat wajah sang pujaan."Ah, Uda ... mengapa l
"Sejahatnya lelaki adalah yang mempermainkan pikiran dan hati wanita untuk kepentingan pribadinya."----------------------Farida terbangun saat azan magrib berkumandang. Dia merasakan udara begitu dingin berembus masuk ke dalam kamar. Perempuan itu berusaha bangun meski kepayahan. Seluruh sendi tubuhnya terasa ngilu dan penat. Andai saja tak bertumpu pada kaki tempat tidur, tentu dia tak bisa berdiri dengan sempurna. Farida berjalan meraba-raba ke arah jendela yang terbuka. Dari sana rupanya udara dingin menyusup. Dahinya berkerut melihat cahaya di rumah-rumah tetangga begitu benderang. Namun, di tempatnya gelap gulita. Dia berpikir apa terjadi korsleting di rumahnya atau apa?Pelan-pelan Farida mencari kontak lampu. Beberapa kali mencoba memencet, tetapi lampu tak juga menyala. Perempuan itu kembali tersandar ke dinding dengan napas terengah-engah. Sejak kecil Farida takut pada gelap. Dia merasa ada seseorang keluar dari kegelapan tersebut, lalu menerkamnya. Oleh karena itu dia sela
"Wanita adalah penipu ulung. Dia mampu menahan perihnya luka dan tetap tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja."----------------------Pagi-pagi sekali Farida sudah bangun. Dia melihat ranjang di sebelahnya masih rapi, pertanda Nusa tak pulang lagi semalam. Sudah satu minggu sejak lelaki itu meminta izin untuk menikah lagi. Sejak saat itu, tak terlihat batang hidungnya pulang ke rumah. Padahal janji sudah lelaki itu ucap, tetapi Farida tahu lidah Nusa sudah terlatih berdusta setahun ini. Jadi, berbohong lagi bukan masalah bagi si lelaki.Perempuan itu mengikat rambutnya dengan karet gelang, lalu bangkit hendak ke kamar mandi hendak bersiap-siap. Sejenak dia terpaku menatap pantulan seorang perempuan di dalam cermin yang digantung di dinding dekat jendela. Wajah kusam dengan lingkar hitam di sekitar mata. Bibirnya tak lagi seranum dulu, kini bagian yang dulu menjadi candu sang suami kering terkelupas. Pipinya yang tirus juga menunjukkan Farida banyak kehilangan bobot tubuh. Dulu,
"Jika aku bukanlah dermagamu, mengapa tak kau lepas ikatan yang mengekang langkahku? Malah kau hadiahkan luka sedalam samudera. Salahku, memasung hati hanya padamu."--------------------"Eh, Farida, suamimu, kok, jarang keliatan, ya?" tanya seorang tetangga saat perempuan itu pulang bekerja.Farida tersenyum tipis. Selalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya oleh tetangga yang berpapasan. Entah apa kepentingan mereka. Oleh sebab itu dia tak pernah sekalipun bercerita masalah rumah tangga kepada siapa pun, kecuali Buk Ratih."Uda Nusa sering lembur akhir-akhir ini, Uni." Farida menjawab sambil lalu.Alih-alih berhenti bertanya, sang tetangga sepertinya belum puas hingga menyusul Farida yang hendak membuka pintu kontrakannya."Eh, Farida, kau jangan terlalu percaya sama suamimu itu. Bilang lembur, aslinya dia kawin lagi, lho."Farida tertegun sebentar. Kabar pernikahan Nusa rupanya sudah tersiar ke semua orang."Kau ini, dibilangin suamimu kawin lagi diam aja. Apa benar itu?""Say
"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."------------------------------Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak.Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan me
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, saat aku memutuskan pergi, percayalah ... menoleh pun tak sudi."--------------------"Buk Ratih?"Farida mencoba tersenyum, meski canggung saat majikan perempuannya ikut memunguti semua pakaian yang tercecer."Tak usah, Buk. Biar aku saja ...."Farida meminta secara halus kain di tangan Buk Ratih. Alih-alih mendengar, dia malah menjawab. "Sudah, kemasi saja semua bajumu, lalu ikut aku ke rumah."Farida hendak menolak, tetapi Buk Ratih lebih dulu memotong."Tak usah banyak alasan. Kau di rumahku sampai si Nusa pulang. Lagi pula tak ada saudara yang bisa kau tumpangi di kota ini, kan?"Helaan napas panjang dan lemah keluar dari bibir Farida yang memucat. Dia tak lagi membantah. Apa yang dikatakan Buk Ratih benar adanya. Dia tak memiliki sanak saudara di kota ini. Masih untung sang majikan mau berbaik hati menampungnya."Makasih, Buk. Maaf, aku merepotkan."Buk Ratih tak menjawab. Dia menggandeng lengan Farida untuk masuk kembali ke dalam mobil
"Berbuatlah semaumu, lukai hatiku sedalam yang engkau bisa. Namun, saat semua sudah dibatas akhir, saat itulah kau menyadari, cinta sejati itu aku."---------------------Farida tak tahu hendak dibawa ke mana. Dia hanya diam duduk di belakang Nusa. Tatapan perempuan itu kosong. Masih terbayang raut cemas dari Buk Ratih. Ingin rasanya kembali ke rumah sang majikan, tetapi dia takut Nusa berbuat lebih kejam. Tiga tahun bersama sang suami, Farida paham, Nusa tipe temperamental. Mudah saja bagi lelaki tersebut melayangkan tangan serta makian. Setelah amarahnya reda, si lelaki akan kembali baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Lupa bahwa ucapan kasar lebih menyakitkan dari pada siksa fisik. Luka di raga mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin akan terus ada selama ingat siapa yang menorehkan. Farida tak mau Buk Ratih ikut menanggung getah dari pernikahannya yang sekarat.Lamunan Farida tersadar saat sepeda motor Nusa berhenti di depan rumah permanen. Perempuan itu melihat ke sekeliling. Mat
"Pernahkah kau merasa lelah? Saat apa yang kau lakukan tak pernah dihargai. Menyerah? Tentu saja tidak, tetapi hati mulai mati rasa.-------------------------Malam semakin menua, tetapi mata Farida tak mau juga terpejam. Tidur di ruang tamu, beralaskan lapiak pandan pemberian Aida, tanpa bantal, tak membuatnya merasa terhina. Apa yang dilakukan Nusa jauh lebih kejam dari itu. Jika selama tiga tahun dia bisa bertahan, kenapa perkara tidur saja harus dipermasalahkan? Hatinya pun juga begitu, tak ada lagi getar cemburu membayangkan sang suami tidur di kamar bersama sang madu. Justru dia sangat bersyukur tak perlu meladeni Nusa.Perempuan yang belum berganti pakaian sejak datang, menatap langit-langit ruang tamu dengan menjadikan tangan kiri sebagai bantalan, sementara tangan kanan diletakkan di atas perut. Otaknya mengira-ngira apa yang akan dilakukan Aida padanya. Sejak awal masuk ke rumah, dia sudah merasakan aura permusuhan diuarkan si perempuan. Tatapan mata saja seolah-olah ingin
Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
"Aku ndak nyangka kamu serendah itu?"Sorot mata Elia terlihat marah saat mengatakan kalimat tersebut. Beberapa saat yang lalu, dia menghampiri Farida di kantin. Untung saja keadaan tempat tersebut tidak terlalu ramai."Maksud kamu apa?" tanya Farida dengan dahi berkerut. Teh es yang dia pesan tak jadi diminum karena Elia telanjur menyerangnya."Kamu itu munafik, Farida! Kamu cuek aja pas aku bilang soal Pak dokter. Kamu juga seolah-olah tak tertarik, ternyata kamu main belakang."Dahi Farida berkerut. Dia mencoba mencerna ucapan Elia. "Maksud kamu aku main belakang?"Elia melemparkan beberapa foto ke atas meja. Farida membeku melihat lembaran foto yang di dalamnya ada dia dan Iman. Sepertinya foto itu diambil dua hari yang lalu, saat mereka keluar dan mampir di lapak penjual jagung."Lihat! Betapa murahannya kamu. Meluk Pak dokter segala. Kamu tau aku suka sama dia, trus kamu pake cara licik untuk mendapatkan perhatiannya. Benarkan?"Farida menganjur napas perlahan. Suara Elia sangat
Farida berkali-kali mengintip dari balik jendela. Dia menyingkap gorden putih penutup jendela dan melihat Iman sedang berdiri tepat di seberang jalan. Perempuan itu mendesis. Dia membaca kembali pesan yang dikirim si lelaki satu jam yang lalu. Farida pikir Iman sudah gila. Bagaimana tidak, dia mengajak, lebih tepat memaksanya menemani dokter muda itu ke suatu tempat. Belum sempat Farida menolak, Iman terlebih dahulu mengirimkan pesan susulan yang bertuliskan, jika menolak, maka lelaki tersebut akan datang menjemput langsung ke kos-an."Tinggal sepuluh menit lagi. Kalau kamu ndak datang, aku jemput ke kos-an."Mata Farida melebar membaca pesan yang baru masuk dari Iman. Dia kembali mengintip dan melihat si lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Sepertinya sang dokter tahu sedang diintip."Mau ke mana? Kenapa harus ajak aku?"Farida mengirim pesan balasan kepada Iman."Nanti kamu bakal tahu. Ayo, di luar mulai dingin."Decak keras keluar dari bibir Farida. Dia berjalan menuju lemari, lal
Sepanjang perjalanan tak sepatah kata dua insan itu berbicara. Hanya suara merdu Ari Lasso membawakan tembang lawas dari grup band Dewa 19 yang berjudul 'Cinta'kan membawamu kembali' menemani keduanya membelah jalan raya di pagi hari. Iman sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang selalu tampak cantik di matanya. Lelaki itu terkadang menertawakan diri sendiri, mengapa bisa begitu bucin kepada Farida? Dia seperti menjelma menjadi sosok yang lain bila berhubungan dengan perempuan tersebut.Entah apa yang terjadi pada dirinya. Di otak Iman, hanya Farida dan Farida. Mungkin dia sudah terkena tulah dari ucapannya sendiri. Mengatakan perempuan itu tak pantas, tetapi justru sekarang dia yang mengejar-ngejar. Ingin memulai pembicaraan, tetapi lidahnya tak mampu bergerak, seolah-olah diimpit beban puluhan ton.Begitupun Farida. Sejak naik ke mobil Iman, dia menghindari bersitatap. Dia mencoba terlihat setenang mungkin, padahal jantungnya sudah seperti orang berparade di dalam sana. Dari
Hari demi hari dilalui Farida dengan belajar demi mengejar ketertinggalannya. Cuti selama satu semester membuatnya harus ekstra bekerja keras. Lagi pula hanya dengan cara itu dia bisa melupakan Iman. Lelaki itu masih terus menghantui ingatannya. Tak mudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka. Kisah bersama Iman telah meninggalkan lubang besar di dada, menyarangkan luka serta kerinduan yang kerap membuatnya menangis sendirian di tengah malam. Kadang, bila rindu itu tak terbendung, dia menatap foto-foto saat masih bersama yang tersimpan di galeri teleponnya. Lalu dia akan tertidur dalam keadaan telepon masih menyala.Pagi ini, Farida tak terganggu sama sekali dengan celotehan teman-temannya, yang mengabarkan ada dosen baru yang akan masuk ke kelas mereka. Dia lebih suka membenamkan diri ke dalam diktat setebal 457 halaman. Dia juga tak peduli saat semua teman sekelasnya grasak-grusuk duduk di kursi masing-masing. Keadaan yang tadi riuh, mendadak sepi. Farida mengangkat pandangan
"Saya sangat senang melihat perkembangan Farida. Semangatnya untuk bisa berjalan normal, luar biasa," puji dr. Wahyu yang selama ini menangani Farida. Matanya sesekali mengamati si perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu. Ruang kerjanya disekat kaca transparan, sehingga bisa melihat keadaan di sekitarnya.Pujian itu disambut Fatma dengan senyum lega. Memang, Farida selalu bersemangat setiap kali jadwal terapi. Dia berusaha mengerjakan instruksi yang disampaikan oleh dokter atau pun perawat. Meski awalnya terlihat sulit, seringpula melihat sang putri meneteskan air mata karena kepayahan dan sakit menerjang otot dan tulang kaki, tetapi Farida tak menyerah. Dia akan berhenti saat terapi tersebut selesai."Jadi putri saya bisa berjalan seperti biasa lagi, dok?" tanya Fatma bersemangat, karena selama ini Farida berjalan dengan menyeret kakinya."Kali ini saya berani menjamin. Dibutuhkan sekitar dua kali terapi lagi. Sekarang saja sudah terlihat perubahannya. Jadi, tak butuh waktu lama
Hari demi hari dijalani Farida dengan sabar. Datuk Sinai menyewakan sebuah rumah di Kota Padang, dekat dengan rumah sakit untuk mempermudah mobilisasi putrinya berobat. Jadwal fisioterapi Farida, sekali seminggu, tentu akan sangat merepotkan bila harus bolak-balik ke kota mereka. Tentu saja Fatma senang dengan keputusan sang suami. Selain bisa menemani sang putri, sudah lama dia ingin merasakan suasana tinggal di ibukota Provinsi Sumatera Barat tersebut.Kota Padang menyimpan banyak kenangan untuknya. Fatma menempuh pendidikan di kota tersebut. Di kota itu pula dia bertemu dengan sang suami. Banyak kisah yang terangkai dan tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Dia juga rindu teriakan pedagang keliling yang menjajakan barang dagangan mereka. Seperti pagi ini, Fatma menunggu tukang sayur langganannya di depan rumah.Mata Fatma menyipit melihat sepeda motor matic berhenti tepat di hadapan. Dia menganjur napas pelan ketika si pengendara membuka helmnya. Entah berapa kali lelaki tersebut
Farida hanya diam melihat sang bunda memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas. Satu bulan lebih berada di rumah sakit, dengan pengawasan dan perawatan intensif dari dokter serta perawat, membuat kesehatannya membaik. Meski untuk berjalan, Farida harus menggunakan tongkat, tak masalah dari pada duduk di kursi roda.Menurut dokter, kecelakaan yang terjadi membuat tulang belakang Farida retak. Bagi sebagian kasus, sang pasien akan sangat susah untuk bisa berjalan. Namun, Tuhan masih menyelamatkan perempuan itu dari kelumpuhan. Dia hanya perlu melakukan fisioterapi secara rutin untuk melatih anggota tubuh agar bisa kembali normal seperti sedia kala."Bun, setelah ini aku ingin kembali ke kampus," ucap Farida, membuat gerakan tangan Fatma terhenti. Perempuan paruh baya itu mengangkat pandangannya, seraya mengulas senyum."Iya, tapi nanti setelah kondisimu jauh lebih baik. Ayah sudah mengajukan cuti perkuliahan ke kampusmu. Jadi, selama lima bulan ini kita akan fokus pada kesehatan agar kam
Cahaya mentari bersinar tak terlalu terik. Sisa hujan tadi pagi masih menyisakan mendung yang bergelayut di awan. Fatma menyibak kain penutup jendela kamar tempat Farida di rawat, melihat air menggantung di ujung daun-daun Bunga bugenvil yang tumbuh tepat di depan jendela. Dia menghela napas pelan, sekadar mengisi paru-parunya dengan oksigen setelah beberapa waktu yang lalu sesak oleh banyak kejadian. Sudah dua hari putrinya dipindahkan dari ruang steril. Keadaan Farida jauh lebih baik. Perempuan tersebut sudah siuman dan bisa berkomunikasi, meski bicara terbata-bata."Ayah mana, Bun?"Pertanyaan Farida membuat Fatma memalingkan wajah menatap putrinya. Dia mendekat, seraya mengulas senyum. "Ayah baru keluar, katanya ada yang harus diurus." Tangan Fatma membelai pucuk kepala Farida, "makan dulu, ya? Bunda siapin."Farida menggeleng lemah. Dia menatap Fatma sangat lama. Beberapa waktu yang lalu, dia ingin menanyakan sesuatu, tetapi keadaannya belum terlalu stabil. Pengaruh obat bius s