"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, bila telah memutuskan melangkah pergi jangan pernah berharap aku kembali."-----------------Tak terasa, hampir satu bulan Farida tinggal serumah dengan Nusa dan Aida. Nyaris semua pekerjaan rumah dia yang mengerjakan. Sementara Aida lebih banyak menghabiskan waktu tidur-tiduran di dalam kamar. Hidup istri kedua Nusa itu sangat mewah. Entah bagaimana si lelaki mencukupi gaya hidup yang seperti itu. Dia tak mau ambil pusing. Toh, dia sudah tak memiliki rasa apa-apa lagi kepada Nusa. Satu-satunya alasan Farida bertahan karena statusnya masih istri si lelaki."Uni, tolong buatkan aku teh hangat. Dari tadi perutku tak enak." Suara Aida terdengar lembut sekali. Dia menoleh ke arah Nusa yang merangkul bahunya. Lelaki itu tersenyum sambil mengusap bahu sang istri.Farida yang sedang membersihkan meja makan, melangkah ke dapur. Dia memasak air untuk membuat teh. Sekalian kopi untuk Nusa. Dua sendok gula dan sesendok kopi dituang ke dalam gelas. Aroma
"Aku sampai pada kata selesai. Bukan berarti rasaku terbangkalai, tetapi engkau yang membuat usai."--------------------Angin berembus sangat kencang. Ranting-ranting pohon menari mengikuti ayunan sang bayu yang datang bersama hujan deras. Buk Ratih baru saja selesai mengerjakan salat Isya ketika petir mengejutkannya. Entah mengapa pikirannya melayang menuju Farida. Satu bulan ini dia tak mendengar sepatah pun kabar dari si perempuan. Bagaimana nasibnya sekarang? Apa dia baik-baik saja? Atau ....Buk Ratih menggelengkan kepalanya cepat ketika hal buruk masuk ke benaknya. Dia bangkit, lalu melipat mukena, kemudian meletakkan ke atas punggung kursi. Perempuan itu berjalan ke luar kamar untuk mengisi gelas dengan air mineral. Sejenak berhenti di depan kamar yang di pintunya bertuliskan, 'Cuma Orang Ganteng Yang Boleh Masuk.'Buk Ratih tersenyum. Pikiran tentang Farida teralihkan sejak sang cucu pulang dan berhasil meraih gelar sebagai dokter, membuatnya rasa bangga bertumpuk-tumpuk di d
"Aku tersenyum untuk menutupi luka dan tertawa untuk menahan tangis. Sejahat itu aku pada hati."----------------------Iman terjaga mendengar suara muazin yang membaca Al-Qur'an sebelum azan subuh dikumandangkan. Dia menggeliat, seraya mengumpulkan kemauan bangun di waktu subuh. Lelaki itu tidak terlalu taat pada ajaran agamanya, tetapi salat tak pernah ditinggalkan satu waktu pun. Bagi Iman, boleh saja nakal karena itu naluri seorang jantan. Namun, dada harus penuh dengan tauhid.Dia bangun perlahan untuk membersihkan diri dan berwudhu. Sudah menjadi kebiasaan Iman mandi di kala subuh. Mandi di waktu tersebut, mempunyai banyak manfaat bagi tubuh. Selain membuat tubuh terasa segar, juga memperlancar peredaran darah dan meningkatkan sel darah putih. Sebagai dokter yang paham dengan kesehatan, dia juga meniru kebiasaan sang nenek.Setelah ritual membersihkan diri selesai, Iman menyandang sajadah di bahu, bermaksud salat berjamaah di masjid. Melewati musala kecil yang berada di ruang te
Hujan masih betah membasahi bumi. Mengalirkan setiap derainya ke retak-retak tanah yang masih basah. Sepertinya kandungan langit itu masih akan terus menemani hingga bulan Februari. Satu setengah bulan setelah menarik laporan KDRT yang dilakukan oleh Nusa, lelaki itu memberi kabar akte cerai segera keluar. Awalnya Farida ragu jika si lelaki menepati janji, tetapi Iman meyakinkan bahwa Nusa tak bisa mengelak. Ada perjanjian tertulis yang harus disepakati. "Farida, lihat!" Suara Iman mengalihkan mata si perempuan yang sedang mengamati kaca yang ditimpa tempias hujan. "Nusa baru saja transfer uang tuntutanmu." Iman memperlihatkan notifikasi banking yang bernilai seratus juta rupiah. "Dari mana dia punya uang sebanyak itu Uda dokter?" tanya Farida dengan raut tak percaya. Seratus juta satu bulan? Dulu saja kontrakan ratusan ribu saja payah lelaki itu mencari, tapi seratus juta .... Iman tersenyum. "Bukan urusan kita dia dapat uang dari mana. Jika tak membayar sesuai dengan nominal yan
"Cinta itu datang tanpa diundang, kalau dia datang, jangan harap bisa hengkang."----------------"Seperti ini caranya."Farida tak bisa mengendalikan debar-debar di dada, saat aroma parfum Iman menusuk penciumannya. Meski keduanya duduk terpisah oleh meja bulat di ruang keluarga, tetapi wangi si lelaki tercium saat mencondongkan badannya.Perempuan itu mencoba berkonsentrasi dengan apa yang Iman katakan, tetapi nihil. Jantungnya bertalu-talu seperti suara alu yang beradu dengan lesung. Menciptakan simfoni indah yang membuat pipinya memerah."Kamu ngerti, kan?"Farida tergagap. Matanya beradu dengan manik mata milik Iman. Lagi-lagi dia tertunduk. Malu rasanya bersitatap dengan lelaki yang satu bulan lalu mengaku sebagai calon suaminya. Yang membuatnya salah tingkah adalah, Iman tak pernah mengoreksi ucapan tersebut."Lumayan mengerti Uda dokter," sahut Farida, sambil menatap lantai marmer di bawah kakinya."Apa wajahku begitu buruk hingga lantai lebih menarik?""Bukan begitu Uda dokte
"Kamu bisa menuliskan apa pun di sini kalau terlalu malu menyampaikan padaku." Farida menerima buku bersampul biru muda, seukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dia menatap benda tersebut dengan mata berbinar. Bukan bukunya, tetapi lelaki yang memberi. Senyum malu-malu menghiasi bibir merah muda miliknya. Entah hal baik apa yang telah dia lakukan, sehingga seorang dokter muda, tampan, dan berasal dari keluarga kaya, sudi menjalin hubungan dengannya. Farida tidak hanya kejatuhan buah durian, tetapi sekalian dengan pohonnya. Kalau boleh diibaratkan seperti itu. Namun, rasa rendah diri membuat perempuan itu menekan kuat-kuat perasaan yang melambung. Dia takut jika Iman berubah pikiran, maka jatuhnya akan sangat sakit."Nanti, kalau sampai di rumah kabari aku.""Uda dokter, apa tak sebaiknya berpikir lagi. Maksudku ...." Pegangan Farida pada buku tadi mengerat. Seolah-olah mencari kekuatan dari sana. "Aku hanya janda, tak berpendidikan pula. Sungguh tak pantas bersanding dengan lelaki
"Uda ... makan dulu. Aku sudah siapkan makan siang di meja."Datuk Sinai tetap saja bergeming mendengar ujaran Fatma. Lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban, setia menatap keluar jendela. Pandangan lelaki tersebut berlabuh pada hamparan sawah-sawah menguning yang siap disabit. Fatma menganjur napas pelan dan panjang. Pelan-pelan perempuan itu mendekat, lalu duduk di sebelah sang suami."Tunda dulu kemarahan Uda pada Farida. Lihatlah tubuhnya, kering kerontang seperti padi yang mati dimakan tikus sawah. Melihatnya saja, aku tak tega, Uda ...," lirih Fatma dengan suara tertahan.Terdengar embusan pelan dari bibir Datuk Sinai. Lelaki itu menjalin kesepuluh jemarinya di atas paha."Aku tak marah padanya. Aku marah pada diriku sendiri. Tak bisa menjaga anakku sendiri. Melihat Farida, terasa jantungku ditusuk belati berkarat. Dulu, susah payah kuberi makan, kusediakan semua keperluannya. Dia bak bunga mawar nan merekah. Tapi, kini ...."Datuk Sinai tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Ma
Farida menunduk menekuni makanannya. Duduk satu meja dengan ayah dan bunda, sudah dilakoni sejak dua minggu kepulangannya. Sikap Datuk Sinai tak sedingin hari-hari sebelumnya. Lelaki tersebut mulai bicara dengan sang putri meski satu atau dua patah kata. Itu sudah cukup membesarkan hati Farida. Dia yakin, cepat atau lambat, dinding es yang dibangun ayahnya akan segera runtuh."Tambuahlah makannya Farida. Kurus benar badannya sekarang." Fatma menambahkan satu sendok nasi ke dalam piring putrinya.Farida hanya mengangguk mendengar ujaran sang bunda. Matanya melirik sekilas ke arah Datuk Sinai. Ayahnya itu sedang menatapnya sekilas, lalu beralih pandangan kepada sang istri."Jangan terlalu dipaksa. Nanti kekenyangan dia."Singkat, tetapi mampu membuat dada Farida mengembang bahagia. Rasa-rasanya ingin menghambur memeluk sang ayah. Namun, sekuat mungkin dia tahan. Farida menunduk untuk menyembunyikan matanya yang mulai memerah. Kata-kata itu adalah perhatian pertama sang ayah sejak dia ke