"Aku ndak nyangka kamu serendah itu?"Sorot mata Elia terlihat marah saat mengatakan kalimat tersebut. Beberapa saat yang lalu, dia menghampiri Farida di kantin. Untung saja keadaan tempat tersebut tidak terlalu ramai."Maksud kamu apa?" tanya Farida dengan dahi berkerut. Teh es yang dia pesan tak jadi diminum karena Elia telanjur menyerangnya."Kamu itu munafik, Farida! Kamu cuek aja pas aku bilang soal Pak dokter. Kamu juga seolah-olah tak tertarik, ternyata kamu main belakang."Dahi Farida berkerut. Dia mencoba mencerna ucapan Elia. "Maksud kamu aku main belakang?"Elia melemparkan beberapa foto ke atas meja. Farida membeku melihat lembaran foto yang di dalamnya ada dia dan Iman. Sepertinya foto itu diambil dua hari yang lalu, saat mereka keluar dan mampir di lapak penjual jagung."Lihat! Betapa murahannya kamu. Meluk Pak dokter segala. Kamu tau aku suka sama dia, trus kamu pake cara licik untuk mendapatkan perhatiannya. Benarkan?"Farida menganjur napas perlahan. Suara Elia sangat
Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
Tinggal di perkampungan kumuh, dengan rumah sewaan satu kamar, dan kamar mandi bersama dengan penghuni kontrakan yang lain, tak bisa ditolak Farida. Sang suami, Nusa, selalu mengatakan uangnya hanya cukup mengontrak rumah sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai tukang di sebuah toko mebel, membuat mereka harus hidup pas-pasan. Tak masalah bagi Farida. Rasa cinta pada Nusa, membuatnya menerima segala kekurangan sang suami. Karena cinta itulah dia mau berbuat nekat, meninggalkan segala kesenangan yang diberikan kedua orang tuanya. Namun, rasa itu perlahan pupus, rumah tangga bahagia seperti bayangan di awal pernikahan, hanya angan semu yang tak pernah bisa dia wujudkan. "Kenapa Uda? Apa yang kurang padaku hingga tega melakukan ini?" Suara Farida bergetar menahan amarah yang berputar-putar di dadanya. Rasa-rasanya dia ingin berteriak kuat-kuat, tetapi rasa malu pada tetangga membuatnya meredam keinginan itu. "Perempuan itu sudah hamil. Aku tak mungkin membiarkan anakku lahir tanpa sta
"Banyak arti perihal rindu. Namun, bila bersamamu belum tentu aku bisa mengatakannya."-------------------------Farida duduk di pinggiran ranjang dengan hati gelisah. Dia menggigiti ujung-ujung kuku untuk menenangkan gemuruh yang berputar-putar di dada. Selalu begitu setiap malam. Berkali-kali menatap ke arah jendela yang tirainya sengaja dia buka separuh, tetapi sosok yang ditunggu belum jua datang. Gadis delapan belas tahun yang sedang ranum itu, menunggu kekasih hati yang setiap malam akan menemuinya dari balik jendela. Tentunya sang lelaki menyusup pelan-pelan seperti kucing yang takut ketahuan sedang mengintai mangsanya. Dengan menyurukkan wajah di balik topi dan kain sarung yang ditutupkan ke tubuhnya, Nusa--nama lelaki itu--akan mengetuk kaca jendela kamar si gadis.Kegelisahan Farida usai saat kaca jendelanya ada yang mengetuk. Farida tersenyum lega, lalu mendekat. Dia membuka kaca yang melekat pada bingkai jendela, demi bisa melihat wajah sang pujaan."Ah, Uda ... mengapa l
"Sejahatnya lelaki adalah yang mempermainkan pikiran dan hati wanita untuk kepentingan pribadinya."----------------------Farida terbangun saat azan magrib berkumandang. Dia merasakan udara begitu dingin berembus masuk ke dalam kamar. Perempuan itu berusaha bangun meski kepayahan. Seluruh sendi tubuhnya terasa ngilu dan penat. Andai saja tak bertumpu pada kaki tempat tidur, tentu dia tak bisa berdiri dengan sempurna. Farida berjalan meraba-raba ke arah jendela yang terbuka. Dari sana rupanya udara dingin menyusup. Dahinya berkerut melihat cahaya di rumah-rumah tetangga begitu benderang. Namun, di tempatnya gelap gulita. Dia berpikir apa terjadi korsleting di rumahnya atau apa?Pelan-pelan Farida mencari kontak lampu. Beberapa kali mencoba memencet, tetapi lampu tak juga menyala. Perempuan itu kembali tersandar ke dinding dengan napas terengah-engah. Sejak kecil Farida takut pada gelap. Dia merasa ada seseorang keluar dari kegelapan tersebut, lalu menerkamnya. Oleh karena itu dia sela
"Wanita adalah penipu ulung. Dia mampu menahan perihnya luka dan tetap tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja."----------------------Pagi-pagi sekali Farida sudah bangun. Dia melihat ranjang di sebelahnya masih rapi, pertanda Nusa tak pulang lagi semalam. Sudah satu minggu sejak lelaki itu meminta izin untuk menikah lagi. Sejak saat itu, tak terlihat batang hidungnya pulang ke rumah. Padahal janji sudah lelaki itu ucap, tetapi Farida tahu lidah Nusa sudah terlatih berdusta setahun ini. Jadi, berbohong lagi bukan masalah bagi si lelaki.Perempuan itu mengikat rambutnya dengan karet gelang, lalu bangkit hendak ke kamar mandi hendak bersiap-siap. Sejenak dia terpaku menatap pantulan seorang perempuan di dalam cermin yang digantung di dinding dekat jendela. Wajah kusam dengan lingkar hitam di sekitar mata. Bibirnya tak lagi seranum dulu, kini bagian yang dulu menjadi candu sang suami kering terkelupas. Pipinya yang tirus juga menunjukkan Farida banyak kehilangan bobot tubuh. Dulu,
"Jika aku bukanlah dermagamu, mengapa tak kau lepas ikatan yang mengekang langkahku? Malah kau hadiahkan luka sedalam samudera. Salahku, memasung hati hanya padamu."--------------------"Eh, Farida, suamimu, kok, jarang keliatan, ya?" tanya seorang tetangga saat perempuan itu pulang bekerja.Farida tersenyum tipis. Selalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya oleh tetangga yang berpapasan. Entah apa kepentingan mereka. Oleh sebab itu dia tak pernah sekalipun bercerita masalah rumah tangga kepada siapa pun, kecuali Buk Ratih."Uda Nusa sering lembur akhir-akhir ini, Uni." Farida menjawab sambil lalu.Alih-alih berhenti bertanya, sang tetangga sepertinya belum puas hingga menyusul Farida yang hendak membuka pintu kontrakannya."Eh, Farida, kau jangan terlalu percaya sama suamimu itu. Bilang lembur, aslinya dia kawin lagi, lho."Farida tertegun sebentar. Kabar pernikahan Nusa rupanya sudah tersiar ke semua orang."Kau ini, dibilangin suamimu kawin lagi diam aja. Apa benar itu?""Say
"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."------------------------------Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak.Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan me