"Jika aku bukanlah dermagamu, mengapa tak kau lepas ikatan yang mengekang langkahku? Malah kau hadiahkan luka sedalam samudera. Salahku, memasung hati hanya padamu."--------------------"Eh, Farida, suamimu, kok, jarang keliatan, ya?" tanya seorang tetangga saat perempuan itu pulang bekerja.Farida tersenyum tipis. Selalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya oleh tetangga yang berpapasan. Entah apa kepentingan mereka. Oleh sebab itu dia tak pernah sekalipun bercerita masalah rumah tangga kepada siapa pun, kecuali Buk Ratih."Uda Nusa sering lembur akhir-akhir ini, Uni." Farida menjawab sambil lalu.Alih-alih berhenti bertanya, sang tetangga sepertinya belum puas hingga menyusul Farida yang hendak membuka pintu kontrakannya."Eh, Farida, kau jangan terlalu percaya sama suamimu itu. Bilang lembur, aslinya dia kawin lagi, lho."Farida tertegun sebentar. Kabar pernikahan Nusa rupanya sudah tersiar ke semua orang."Kau ini, dibilangin suamimu kawin lagi diam aja. Apa benar itu?""Say
"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."------------------------------Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak.Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan me
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, saat aku memutuskan pergi, percayalah ... menoleh pun tak sudi."--------------------"Buk Ratih?"Farida mencoba tersenyum, meski canggung saat majikan perempuannya ikut memunguti semua pakaian yang tercecer."Tak usah, Buk. Biar aku saja ...."Farida meminta secara halus kain di tangan Buk Ratih. Alih-alih mendengar, dia malah menjawab. "Sudah, kemasi saja semua bajumu, lalu ikut aku ke rumah."Farida hendak menolak, tetapi Buk Ratih lebih dulu memotong."Tak usah banyak alasan. Kau di rumahku sampai si Nusa pulang. Lagi pula tak ada saudara yang bisa kau tumpangi di kota ini, kan?"Helaan napas panjang dan lemah keluar dari bibir Farida yang memucat. Dia tak lagi membantah. Apa yang dikatakan Buk Ratih benar adanya. Dia tak memiliki sanak saudara di kota ini. Masih untung sang majikan mau berbaik hati menampungnya."Makasih, Buk. Maaf, aku merepotkan."Buk Ratih tak menjawab. Dia menggandeng lengan Farida untuk masuk kembali ke dalam mobil
"Berbuatlah semaumu, lukai hatiku sedalam yang engkau bisa. Namun, saat semua sudah dibatas akhir, saat itulah kau menyadari, cinta sejati itu aku."---------------------Farida tak tahu hendak dibawa ke mana. Dia hanya diam duduk di belakang Nusa. Tatapan perempuan itu kosong. Masih terbayang raut cemas dari Buk Ratih. Ingin rasanya kembali ke rumah sang majikan, tetapi dia takut Nusa berbuat lebih kejam. Tiga tahun bersama sang suami, Farida paham, Nusa tipe temperamental. Mudah saja bagi lelaki tersebut melayangkan tangan serta makian. Setelah amarahnya reda, si lelaki akan kembali baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Lupa bahwa ucapan kasar lebih menyakitkan dari pada siksa fisik. Luka di raga mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin akan terus ada selama ingat siapa yang menorehkan. Farida tak mau Buk Ratih ikut menanggung getah dari pernikahannya yang sekarat.Lamunan Farida tersadar saat sepeda motor Nusa berhenti di depan rumah permanen. Perempuan itu melihat ke sekeliling. Mat
"Pernahkah kau merasa lelah? Saat apa yang kau lakukan tak pernah dihargai. Menyerah? Tentu saja tidak, tetapi hati mulai mati rasa.-------------------------Malam semakin menua, tetapi mata Farida tak mau juga terpejam. Tidur di ruang tamu, beralaskan lapiak pandan pemberian Aida, tanpa bantal, tak membuatnya merasa terhina. Apa yang dilakukan Nusa jauh lebih kejam dari itu. Jika selama tiga tahun dia bisa bertahan, kenapa perkara tidur saja harus dipermasalahkan? Hatinya pun juga begitu, tak ada lagi getar cemburu membayangkan sang suami tidur di kamar bersama sang madu. Justru dia sangat bersyukur tak perlu meladeni Nusa.Perempuan yang belum berganti pakaian sejak datang, menatap langit-langit ruang tamu dengan menjadikan tangan kiri sebagai bantalan, sementara tangan kanan diletakkan di atas perut. Otaknya mengira-ngira apa yang akan dilakukan Aida padanya. Sejak awal masuk ke rumah, dia sudah merasakan aura permusuhan diuarkan si perempuan. Tatapan mata saja seolah-olah ingin
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, bila telah memutuskan melangkah pergi jangan pernah berharap aku kembali."-----------------Tak terasa, hampir satu bulan Farida tinggal serumah dengan Nusa dan Aida. Nyaris semua pekerjaan rumah dia yang mengerjakan. Sementara Aida lebih banyak menghabiskan waktu tidur-tiduran di dalam kamar. Hidup istri kedua Nusa itu sangat mewah. Entah bagaimana si lelaki mencukupi gaya hidup yang seperti itu. Dia tak mau ambil pusing. Toh, dia sudah tak memiliki rasa apa-apa lagi kepada Nusa. Satu-satunya alasan Farida bertahan karena statusnya masih istri si lelaki."Uni, tolong buatkan aku teh hangat. Dari tadi perutku tak enak." Suara Aida terdengar lembut sekali. Dia menoleh ke arah Nusa yang merangkul bahunya. Lelaki itu tersenyum sambil mengusap bahu sang istri.Farida yang sedang membersihkan meja makan, melangkah ke dapur. Dia memasak air untuk membuat teh. Sekalian kopi untuk Nusa. Dua sendok gula dan sesendok kopi dituang ke dalam gelas. Aroma
"Aku sampai pada kata selesai. Bukan berarti rasaku terbangkalai, tetapi engkau yang membuat usai."--------------------Angin berembus sangat kencang. Ranting-ranting pohon menari mengikuti ayunan sang bayu yang datang bersama hujan deras. Buk Ratih baru saja selesai mengerjakan salat Isya ketika petir mengejutkannya. Entah mengapa pikirannya melayang menuju Farida. Satu bulan ini dia tak mendengar sepatah pun kabar dari si perempuan. Bagaimana nasibnya sekarang? Apa dia baik-baik saja? Atau ....Buk Ratih menggelengkan kepalanya cepat ketika hal buruk masuk ke benaknya. Dia bangkit, lalu melipat mukena, kemudian meletakkan ke atas punggung kursi. Perempuan itu berjalan ke luar kamar untuk mengisi gelas dengan air mineral. Sejenak berhenti di depan kamar yang di pintunya bertuliskan, 'Cuma Orang Ganteng Yang Boleh Masuk.'Buk Ratih tersenyum. Pikiran tentang Farida teralihkan sejak sang cucu pulang dan berhasil meraih gelar sebagai dokter, membuatnya rasa bangga bertumpuk-tumpuk di d
"Aku tersenyum untuk menutupi luka dan tertawa untuk menahan tangis. Sejahat itu aku pada hati."----------------------Iman terjaga mendengar suara muazin yang membaca Al-Qur'an sebelum azan subuh dikumandangkan. Dia menggeliat, seraya mengumpulkan kemauan bangun di waktu subuh. Lelaki itu tidak terlalu taat pada ajaran agamanya, tetapi salat tak pernah ditinggalkan satu waktu pun. Bagi Iman, boleh saja nakal karena itu naluri seorang jantan. Namun, dada harus penuh dengan tauhid.Dia bangun perlahan untuk membersihkan diri dan berwudhu. Sudah menjadi kebiasaan Iman mandi di kala subuh. Mandi di waktu tersebut, mempunyai banyak manfaat bagi tubuh. Selain membuat tubuh terasa segar, juga memperlancar peredaran darah dan meningkatkan sel darah putih. Sebagai dokter yang paham dengan kesehatan, dia juga meniru kebiasaan sang nenek.Setelah ritual membersihkan diri selesai, Iman menyandang sajadah di bahu, bermaksud salat berjamaah di masjid. Melewati musala kecil yang berada di ruang te
Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
"Aku ndak nyangka kamu serendah itu?"Sorot mata Elia terlihat marah saat mengatakan kalimat tersebut. Beberapa saat yang lalu, dia menghampiri Farida di kantin. Untung saja keadaan tempat tersebut tidak terlalu ramai."Maksud kamu apa?" tanya Farida dengan dahi berkerut. Teh es yang dia pesan tak jadi diminum karena Elia telanjur menyerangnya."Kamu itu munafik, Farida! Kamu cuek aja pas aku bilang soal Pak dokter. Kamu juga seolah-olah tak tertarik, ternyata kamu main belakang."Dahi Farida berkerut. Dia mencoba mencerna ucapan Elia. "Maksud kamu aku main belakang?"Elia melemparkan beberapa foto ke atas meja. Farida membeku melihat lembaran foto yang di dalamnya ada dia dan Iman. Sepertinya foto itu diambil dua hari yang lalu, saat mereka keluar dan mampir di lapak penjual jagung."Lihat! Betapa murahannya kamu. Meluk Pak dokter segala. Kamu tau aku suka sama dia, trus kamu pake cara licik untuk mendapatkan perhatiannya. Benarkan?"Farida menganjur napas perlahan. Suara Elia sangat
Farida berkali-kali mengintip dari balik jendela. Dia menyingkap gorden putih penutup jendela dan melihat Iman sedang berdiri tepat di seberang jalan. Perempuan itu mendesis. Dia membaca kembali pesan yang dikirim si lelaki satu jam yang lalu. Farida pikir Iman sudah gila. Bagaimana tidak, dia mengajak, lebih tepat memaksanya menemani dokter muda itu ke suatu tempat. Belum sempat Farida menolak, Iman terlebih dahulu mengirimkan pesan susulan yang bertuliskan, jika menolak, maka lelaki tersebut akan datang menjemput langsung ke kos-an."Tinggal sepuluh menit lagi. Kalau kamu ndak datang, aku jemput ke kos-an."Mata Farida melebar membaca pesan yang baru masuk dari Iman. Dia kembali mengintip dan melihat si lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Sepertinya sang dokter tahu sedang diintip."Mau ke mana? Kenapa harus ajak aku?"Farida mengirim pesan balasan kepada Iman."Nanti kamu bakal tahu. Ayo, di luar mulai dingin."Decak keras keluar dari bibir Farida. Dia berjalan menuju lemari, lal
Sepanjang perjalanan tak sepatah kata dua insan itu berbicara. Hanya suara merdu Ari Lasso membawakan tembang lawas dari grup band Dewa 19 yang berjudul 'Cinta'kan membawamu kembali' menemani keduanya membelah jalan raya di pagi hari. Iman sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang selalu tampak cantik di matanya. Lelaki itu terkadang menertawakan diri sendiri, mengapa bisa begitu bucin kepada Farida? Dia seperti menjelma menjadi sosok yang lain bila berhubungan dengan perempuan tersebut.Entah apa yang terjadi pada dirinya. Di otak Iman, hanya Farida dan Farida. Mungkin dia sudah terkena tulah dari ucapannya sendiri. Mengatakan perempuan itu tak pantas, tetapi justru sekarang dia yang mengejar-ngejar. Ingin memulai pembicaraan, tetapi lidahnya tak mampu bergerak, seolah-olah diimpit beban puluhan ton.Begitupun Farida. Sejak naik ke mobil Iman, dia menghindari bersitatap. Dia mencoba terlihat setenang mungkin, padahal jantungnya sudah seperti orang berparade di dalam sana. Dari
Hari demi hari dilalui Farida dengan belajar demi mengejar ketertinggalannya. Cuti selama satu semester membuatnya harus ekstra bekerja keras. Lagi pula hanya dengan cara itu dia bisa melupakan Iman. Lelaki itu masih terus menghantui ingatannya. Tak mudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka. Kisah bersama Iman telah meninggalkan lubang besar di dada, menyarangkan luka serta kerinduan yang kerap membuatnya menangis sendirian di tengah malam. Kadang, bila rindu itu tak terbendung, dia menatap foto-foto saat masih bersama yang tersimpan di galeri teleponnya. Lalu dia akan tertidur dalam keadaan telepon masih menyala.Pagi ini, Farida tak terganggu sama sekali dengan celotehan teman-temannya, yang mengabarkan ada dosen baru yang akan masuk ke kelas mereka. Dia lebih suka membenamkan diri ke dalam diktat setebal 457 halaman. Dia juga tak peduli saat semua teman sekelasnya grasak-grusuk duduk di kursi masing-masing. Keadaan yang tadi riuh, mendadak sepi. Farida mengangkat pandangan
"Saya sangat senang melihat perkembangan Farida. Semangatnya untuk bisa berjalan normal, luar biasa," puji dr. Wahyu yang selama ini menangani Farida. Matanya sesekali mengamati si perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu. Ruang kerjanya disekat kaca transparan, sehingga bisa melihat keadaan di sekitarnya.Pujian itu disambut Fatma dengan senyum lega. Memang, Farida selalu bersemangat setiap kali jadwal terapi. Dia berusaha mengerjakan instruksi yang disampaikan oleh dokter atau pun perawat. Meski awalnya terlihat sulit, seringpula melihat sang putri meneteskan air mata karena kepayahan dan sakit menerjang otot dan tulang kaki, tetapi Farida tak menyerah. Dia akan berhenti saat terapi tersebut selesai."Jadi putri saya bisa berjalan seperti biasa lagi, dok?" tanya Fatma bersemangat, karena selama ini Farida berjalan dengan menyeret kakinya."Kali ini saya berani menjamin. Dibutuhkan sekitar dua kali terapi lagi. Sekarang saja sudah terlihat perubahannya. Jadi, tak butuh waktu lama
Hari demi hari dijalani Farida dengan sabar. Datuk Sinai menyewakan sebuah rumah di Kota Padang, dekat dengan rumah sakit untuk mempermudah mobilisasi putrinya berobat. Jadwal fisioterapi Farida, sekali seminggu, tentu akan sangat merepotkan bila harus bolak-balik ke kota mereka. Tentu saja Fatma senang dengan keputusan sang suami. Selain bisa menemani sang putri, sudah lama dia ingin merasakan suasana tinggal di ibukota Provinsi Sumatera Barat tersebut.Kota Padang menyimpan banyak kenangan untuknya. Fatma menempuh pendidikan di kota tersebut. Di kota itu pula dia bertemu dengan sang suami. Banyak kisah yang terangkai dan tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Dia juga rindu teriakan pedagang keliling yang menjajakan barang dagangan mereka. Seperti pagi ini, Fatma menunggu tukang sayur langganannya di depan rumah.Mata Fatma menyipit melihat sepeda motor matic berhenti tepat di hadapan. Dia menganjur napas pelan ketika si pengendara membuka helmnya. Entah berapa kali lelaki tersebut
Farida hanya diam melihat sang bunda memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas. Satu bulan lebih berada di rumah sakit, dengan pengawasan dan perawatan intensif dari dokter serta perawat, membuat kesehatannya membaik. Meski untuk berjalan, Farida harus menggunakan tongkat, tak masalah dari pada duduk di kursi roda.Menurut dokter, kecelakaan yang terjadi membuat tulang belakang Farida retak. Bagi sebagian kasus, sang pasien akan sangat susah untuk bisa berjalan. Namun, Tuhan masih menyelamatkan perempuan itu dari kelumpuhan. Dia hanya perlu melakukan fisioterapi secara rutin untuk melatih anggota tubuh agar bisa kembali normal seperti sedia kala."Bun, setelah ini aku ingin kembali ke kampus," ucap Farida, membuat gerakan tangan Fatma terhenti. Perempuan paruh baya itu mengangkat pandangannya, seraya mengulas senyum."Iya, tapi nanti setelah kondisimu jauh lebih baik. Ayah sudah mengajukan cuti perkuliahan ke kampusmu. Jadi, selama lima bulan ini kita akan fokus pada kesehatan agar kam
Cahaya mentari bersinar tak terlalu terik. Sisa hujan tadi pagi masih menyisakan mendung yang bergelayut di awan. Fatma menyibak kain penutup jendela kamar tempat Farida di rawat, melihat air menggantung di ujung daun-daun Bunga bugenvil yang tumbuh tepat di depan jendela. Dia menghela napas pelan, sekadar mengisi paru-parunya dengan oksigen setelah beberapa waktu yang lalu sesak oleh banyak kejadian. Sudah dua hari putrinya dipindahkan dari ruang steril. Keadaan Farida jauh lebih baik. Perempuan tersebut sudah siuman dan bisa berkomunikasi, meski bicara terbata-bata."Ayah mana, Bun?"Pertanyaan Farida membuat Fatma memalingkan wajah menatap putrinya. Dia mendekat, seraya mengulas senyum. "Ayah baru keluar, katanya ada yang harus diurus." Tangan Fatma membelai pucuk kepala Farida, "makan dulu, ya? Bunda siapin."Farida menggeleng lemah. Dia menatap Fatma sangat lama. Beberapa waktu yang lalu, dia ingin menanyakan sesuatu, tetapi keadaannya belum terlalu stabil. Pengaruh obat bius s