Share

Cinta Tak Menyakiti

"Wanita adalah penipu ulung. Dia mampu menahan perihnya luka dan tetap tersenyum seolah-olah semua baik-baik saja."

----------------------

Pagi-pagi sekali Farida sudah bangun. Dia melihat ranjang di sebelahnya masih rapi, pertanda Nusa tak pulang lagi semalam. Sudah satu minggu sejak lelaki itu meminta izin untuk menikah lagi. Sejak saat itu, tak terlihat batang hidungnya pulang ke rumah. Padahal janji sudah lelaki itu ucap, tetapi Farida tahu lidah Nusa sudah terlatih berdusta setahun ini. Jadi, berbohong lagi bukan masalah bagi si lelaki.

Perempuan itu mengikat rambutnya dengan karet gelang, lalu bangkit hendak ke kamar mandi hendak bersiap-siap. Sejenak dia terpaku menatap pantulan seorang perempuan di dalam cermin yang digantung di dinding dekat jendela. Wajah kusam dengan lingkar hitam di sekitar mata. Bibirnya tak lagi seranum dulu, kini bagian yang dulu menjadi candu sang suami kering terkelupas. Pipinya yang tirus juga menunjukkan Farida banyak kehilangan bobot tubuh.

Dulu, dia gadis manis dengan wajah berseri bak purnama. Bibir manis selalu mengulas senyum malu-malu. Apalagi bila barisan gigi bak mutiara berjajar rapi terlihat, semakin membuat yang memandang terpesona. Bukan hanya lelaki, tetapi juga wanita. Banyak yang meminta Farida untuk dijadikan menantu. Dia adalah bungo desa yang wanginya semerbak hingga ke desa tetangga. Bahkan, para toke dari kota seberang juga terbuai oleh paras Farida.

Namun, kini dia tak ubahnya mayat hidup. Tubuh kurus seperti kurang gizi dan rambut kusam tak terurus. Farida terlihat jauh lebih tua dari umur sebenarnya yang menginjak dua puluh satu tahun. Harusnya, umur segitu perempuan sedang 'boneh-bonehnya'.

Farida mengusap wajah, sambil tersenyum tipis. Ada segumpal penyesalan bersarang di dada. Andai dulu dia mengalah dan mengikuti nasehat ayah dan bunda, tentu hidupnya tak akan sesukar ini. Sekarang hanya sesal yang dituai, setelah menebar benih pembangkangan kepada kedua orang tuanya. Merasa cukup menyesali kesalahan, Perempuan itu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini pertama dia masuk kerja setelah meminta izin satu minggu. Bukan apa-apa, Farida tak mau orang-orang melihat lebam di wajahnya, lalu bertanya-tanya ada apa. Kebanyakan tetangga yang bertanya bukan karena simpati, tetapi lebih mencari bahan untuk digibahkan dengan tetangga lain. Jadi, dia memilih menghindar dan diam di rumah.

*

"Gimana keadaanmu Farida?" Ratih, majikan Farida bertanya saat si perempuan sedang menyetrika pakaian sudah bertumpuk.

"Udah baikan, Buk," jawab Farida melirik sekilas saja. Dia tak mau bersitatap lama dengan perempuan kelahiran kota Bandung itu.

Ratih adalah pemilik toko baju gamis di Pasar Raya Padang. Menikah dengan lelaki minang, membawanya tinggal dan berniaga di kota yang terkenal dengan slogan 'Padang Kota Tercinta'.

Ratih menghela napas. Meski ditutupi, dia bisa melihat bekas kehijauan di tulang pipi Farida. Tidak hanya di bagian wajah, kadang perempuan berusia tujuh puluh tahun itu juga melihat tanda biru keunguan di lengan dan betis Farida, yang sudah bekerja padanya sejak satu tahun yang lalu.

"Farida, aku tak mau ikut campur urusan rumah tanggamu. Namun, tak seharusnya kau terus melindungi perbuatan suamimu. Itu kejahatan."

"Uda Nusa baik, kok, Buk. Dia tak pernah jahat padaku." Farida masih menutupi perbuatan sadis sang suami.

"Memang tak seharusnya aib suami kau umbar. Tapi, kau sudah kuanggap seperti putriku sendiri, kalian sepantaran. Perih hatiku melihat kau terus dianiaya. Serasa putri kandungku yang dizalimi," lirih Ratih, yang sedang merajut syal dari benang sutra di samping Farida.

Farida menghentikan gerakan tangannya. Dia memutar suhu di setrika menjadi rendah. Perempuan itu menunduk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata Ratih menyentuh jiwanya. Farida teringat kepada sang bunda, membuat kerinduan semakin mengebu-gebu. Namun, apalah daya ... ketakutan tak diterima dan diusir setiap kali keinginan untuk pulang hadir, menciut seketika.

"Uda Nusa hanya sedang capek, Buk. Dulu dia tak seperti itu."

"Mana ada suami yang tega memukuli istrinya setiap saat. Kau itu hanya dimanfaatkan. Sekarang, coba kau pikir dengan akal sehatmu. Kau ini istri, tempatnya di hati. Tapi, dia menempatkanmu di kaki, seolah-olah kau tak punya harga diri. Kau itu pintar Farida, kenapa tak tinggalkan saja lelaki biadab seperti itu? Tak ingatkah kau, aku yang mengantarmu saat kau pendarahan karna dibenturkan ke dinding? Sampai kau kehilangan janinmu. Apa dia tau itu?"

Emosi Ratih terpancing mengingat kejadian delapan bulan yang lalu. Saat itu, Farida mengetuk rumahnya malam-malam. Keadaan perempuan itu babak belur, sambil meringis menekan perutnya. Cemas terjadi sesuatu kepada Farida, Ratih membawa perempuan tersebut ke rumah sakit. Di sanalah dia mengetahui bahwa asisten rumah tangganya itu sering mengalami kekerasan. Yang membuat hati pilu adalah, saat Farida meraung kala diberitahu kehilangan janin yang berusia lima belas minggu.

Saat itu Ratih bermaksud melaporkan Nusa ke polisi sesuai saran dokter yang menangani. Akan tetapi, Farida memohon, sambil bersimpuh di kakinya agar tak memperpanjang masalah. Perempuan itu takut jika terjadi sesuatu kepada Nusa, lalu dia akan tinggal dengan siapa? Suatu pola pikir yang membuat Ratih mengelus dada.

Panas di mata membuat cairan bening berkumpul di kelopak mata Farida. Bila ingat kejadian itu, dadanya seolah-olah dikorek oleh belati berkarat. Ngilu sekali.

"Uda Nusa tak tau, Buk. Aku tak bisa memberitahu, bisa-bisa nanti aku yang disalahkan."

Ratih bangkit dari kursinya. Perempuan yang masih terlihat bugar dan awet muda dari usia sebenarnya itu, duduk di sebelah Farida.

"Kamu itu masih muda, Farida. Kalau kau pandai mengurus diri, lelaki lebih dari Nusa bisa kau dapat. Jangan sia-siakan hidupmu untuk laki-laki seperti itu. Apalagi kudengar dia menikah lagi. Benar itu?"

Farida mengangguk lemah, sementara tanganya sibuk mengusap air mata yang meruah di pipi.

"Farida ... Farida ...." Ratih memegang bahu si perempuan erat-erat, sehingga pandangan keduanya bertemu. "Baru kali ini aku berjumpa perempuan bodoh sepertimu. Ingat! Polos dan bodoh sangat tipis perbedaannya. Begitu juga cinta dan obsesi. Nusa itu terobsesi padamu!"

Farida menggeleng. "Tidak, Buk. Uda Nusa benar-benar mencintaiku." Dia bersikeras.

"Cinta tak menyakiti, Nak." Ratih melembut. "Cinta melindungi, cinta tak memaksa, cinta menguatkan bukan melemahkan."

Air mata Farida semakin menderas membentuk sungai kecil di pipinya. Bahu perempuan itu bergetar menahan sesak yang mengimpit jiwanya.

"Kalau boleh memilih, aku juga ingin pergi, Buk. Tapi tak bisa. Masa kecilku amat suram. Saat bertemu Uda Nusa, jantungku berdebar kencang. Tak pernah sebelumnya aku seperti itu. Dia membuatku nyaman dan merasa dibutuhkan. Dia mampu membuat hatiku hangat setelah dingin yang membekukan. Sehingga aku menganggapnya sebagai rumah kedua. Kalau aku meninggalkan rumah kedua, lalu ke mana aku akan pergi? Sementara pintu rumah pertamaku telah tertutup.

Ratih tak mampu lagi berkata-kata. Dari tutur kata dan sinar mata Farida, dia mengerti, perempuan tersebut hanya ketakutan hidup sendirian, karena merasa hanya Nusa satu-satunya yang mau menerimanya. Satu doktrin sesat telah dihunjam si lelaki sejak tiga tahun yang lalu. Ratih melihat ada luka sangat dalam di labirin mata yang berusaha disembunyikan Farida.

*

Catki:

Boneh = segar/cantik

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
farida otaknya sdh di cuci sama si nusa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status