"Jika aku bukanlah dermagamu, mengapa tak kau lepas ikatan yang mengekang langkahku? Malah kau hadiahkan luka sedalam samudera. Salahku, memasung hati hanya padamu."
-------------------- "Eh, Farida, suamimu, kok, jarang keliatan, ya?" tanya seorang tetangga saat perempuan itu pulang bekerja. Farida tersenyum tipis. Selalu pertanyaan yang sama ditanyakan kepadanya oleh tetangga yang berpapasan. Entah apa kepentingan mereka. Oleh sebab itu dia tak pernah sekalipun bercerita masalah rumah tangga kepada siapa pun, kecuali Buk Ratih. "Uda Nusa sering lembur akhir-akhir ini, Uni." Farida menjawab sambil lalu. Alih-alih berhenti bertanya, sang tetangga sepertinya belum puas hingga menyusul Farida yang hendak membuka pintu kontrakannya. "Eh, Farida, kau jangan terlalu percaya sama suamimu itu. Bilang lembur, aslinya dia kawin lagi, lho." Farida tertegun sebentar. Kabar pernikahan Nusa rupanya sudah tersiar ke semua orang. "Kau ini, dibilangin suamimu kawin lagi diam aja. Apa benar itu?" "Saya percaya sama Uda Nusa, Uni. Apa pun yang dia lakukan, pasti sudah dipikirkan," balas Farida, sambil memutar anak kunci rumahnya. "Kau ini!" Tetangga itu semakin mendekat kepada Farida. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, seakan mengawasi jangan sampai ada yang mendengar apa yang hendak dikatakan. "Sebenarnya, aku lihat sendiri suamimu itu Pasar Siteba. Dia menggandeng seorang perempuan. Aku penasaran, jadi kuikuti mereka. Eh, ternyata tinggal tak jauh dari sana. Aku tanya sama penjaga warung, ternyata mereka baru nikah." Lalu sang tetangga menyebutkan alamat di mana Nusa tinggal bersama istri barunya. Menyarankan agar dia melihat sendiri. Setelah tetangga itu pergi, Farida masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintu rapat-rapat. Dia tak ingin lagi diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menambah goresan luka di dadanya. Meski Nusa meminta izin menikah lagi, tetapi hati Farida tak sepenuhnya ikhlas. Selama ini, hanya lelaki itu yang dia anggap satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya. Sejak kecil, Farida tak sebebas anak-anak lain. Sang ayah amat sangat keras. Bukan hanya ke dia, tetapi juga terhadap ibunya. Pekerjaan Datuak Sinai sebagai pedagang barang-barang mudo di Padang, membuatnya pulang sekali dalam seminggu. Itu pun hanya sebentar karena sore hari harus kembali membeli barang dagangan ke daerah Padang Panjang yang terkenal sebagai penghasil sayur-mayur dengan kualitas bagus. Farida kecil tak pernah mendapat kasih sayang dari sang ayah. Untung saja ibunya perempuan yang sangat sabar. Tak pernah mengeluhkan apa pun. Meski sering Farida melihat Datuak Sinai memarahi sang ibu. Entah apa sebabnya. Yang bisa dilakukan ibunya hanya menangis dan menangis. Setiap kali dia bertanya, perempuan yang melahirkannya itu hanya menjawab, suatu hari nanti dia akan tahu. Pertemuan dengan Nusa membuat hidup Farida menjadi lebih bermakna. Lelaki itu mampu menghadirkan musim semi ke hatinya. Hari-harinya yang membosankan lesap oleh candaan si lelaki. Kasih sayang yang diharapkan dari sang ayah, tumpah ruah diberikan oleh Nusa. Dunia Farida hanya tentang lelaki tersebut. Bersama Nusa, dia merasa menjadi perempuan paling diinginkan, dibutuhkan, dan keberadaannya seolah-olah diakui. Namun, semua berubah setelah satu tahun pernikahan. Surga yang diidamkan oleh Farida, tiada kekal. Sama halnya dengan cinta Nusa yang terbagi. Kata-kata manis dahulu kini berubah menjadi racun yang dia telan dalam diam, serta siksasan fisik yang selalu dimaklumi olehnya. Bersama Nusa dia pernah bahagia, sekaligus tersayat teramat perih. Lamunan Farida tersentak oleh suara azan yang sayup-sayup masuk dari kisi-kisi jendela. Perempuan itu tertegun. Sudah lama panggilan Tuhan tak pernah menggetarkan hatinya. Dia terlalu sibuk memperhatikan sang suami, menjadi istri terbaik, tetapi lupa menjadi hamba yang baik. Selama ini dia selalu saja berpikir bagaimana membahagiakan Nusa. Namun, lupa menyenangkan Sang Pemilik Jiwa. Air mata Farida jatuh begitu saja. Penyesalan kembali menghantamnya bertubi-tubi. Pantas saja hidupnya tak pernah bahagia, karena dia begitu sombong kepada-Nya. Tak pernah meluangkan waktu untuk bersujud, sibuk mencari uang yang tak pernah cukup. Dia bersyukur, hari ini panggilan Tuhan masuk dan meresap ke dalam jiwanya. Bergegas Farida membersihkan diri, bersiap menemui Rabb-nya setelah lama lupa. * Tangis Farida menganak sungai. Air matanya seolah-olah ingin menghanyutkan semua luka yang lama mengendap di dalam dada. Perempuan itu salat dengan wajah basah. Tak pernah dia merasa senikmat itu dalam hidup. Apalagi saat dahinya menyentuh lantai. Air matanya tak bisa dibendung. Andai saja dia mau menjemput hidayah, tentu hatinya tak akan berat menyimpan beban hidup seorang diri. Dia lupa, seberat apa pun masalah, masih ada lantai untuk bersujud dan bersedia mendengarkan semua keluh-kesah, lalu langit akan membukakan pintu agar doa-doa itu melesat ke Arsy-Nya. Dia alpa, jarak antara Tuhan dengan hambanya sedekat kening dengan sajadah. Baru saja Farida mengucap salam, terdengar suara Nusa memanggil. Gegas dia melipat mukena, lalu keluar kamar untuk membuka pintu. "Apa yang kau lakukan di dalam? Lama sekali buka pintunya!" Senyum yang susah payah diulas Farida seketika surut. Rasa rindu yang mengebu di dada, hilang mendengar suara keras Nusa. Alih-alih peduli dengan hatinya, lelaki tersebut masuk dengan langkah lebar dan terburu-buru. "Uda, ada apa?" tanya Farida mengikuti Nusa masuk ke kamar. "Aku mau jalan-jalan sama Aida besok ke Payakumbuh. Dia bilang sejak dulu mau ke sana. Kebetulan aku ada uang. Jadi kami mau nginap di sana barang seminggu," jawab Nusa, sambil memasukkan bajunya ke dalam tas. Hati Farida yang sudah luka, semakin perih seperti diberi tetesan asam. Tiga tahun menikah tak pernah Nusa membawanya jalan-jalan. Setiap kali meminta, lelaki tersebut selalu berkata tak sempat, tak punya uang, atau capek. Padahal dia tak meminta jauh-jauh. Berjalan-jalan di Pantai Padang atau berputar-putar di Plaza Andalas saja, tidak belanja juga tak mengapa, asal bersama sang suami. Namun, dengan Aida--istri barunya--Nusa memiliki waktu membawa ke Payakumbuh, bahkan menginap. Jatuh ke dalam air mata Farida mengingat timpangnya perlakukan suaminya. "Uda, kalau ada uang, bagilah. Yang punya rumah sudah menagih uang kontrakan. Aku belum punya uang." Farida mencoba meminta kepada Nusa. Dia ingat dua hari yang lalu, ditagih oleh pemilik kontrakan. "Kau ini, tak boleh mendengar pitih saja! Aku tak punya, kau carilah pinjaman ke Buk Ratih dulu." Nusa berwajah masam mendengar permintaan Farida. Dia masih sibuk memasukkan pakaiannya. "Sudah banyak hutangku pada Buk Ratih. Hutang Uda yang dulu, belum juga dibayar. Aku malu, Da." Suara Farida terdengar serak, mati-matian dia menahan tangis agar tak pecah di depan laki-laki yang tak berhati itu. Hatinya tak tahu lagi bagaimana bentuknya. Nusa sudah menghancurkan tanpa rasa iba. Lelaki itu punya uang untuk bersenang-senang. Sementara untuk membayar kontrakan, Farida harus mengusahakan sendiri, selalu begitu. Mendengar Farida mengungkit-ungkit hutangnya, tangan Nusa langsung bergerak memukul wajah istrinya, hingga tubuh Farida jatuh ke atas pembaringan. "Lancang kau! Belum seberapa hutangku sudah kau ungkit-ungkit! Lupa kau jasaku selama ini?! Kalau tak kunikahi kau saat kawin lari itu, mungkin sudah jadi jalang. Tak mau orang tuamu menerima anak gadis yang sudah lari sama laki-laki!" Farida bangkit, sambil memegang pipi yang terasa panas karena pukulan sang suami, tetapi hatinya lebih sakit. Matanya dengan cepat menggenangkan air mata mendengar hinaan Nusa. "Itu semua karna Uda. Kalau Uda tak merayuku, tak mungkin aku mau. Uda yang memberi harapan padaku. Uda yang berjanji akan bahagiakan aku. Sekarang diungkit semuanya. Aku bukan perempuan hina. Uda dapat aku masih gadis!" Farida menumpahkan semua kekesalan di dadanya. Selama ini Nusa selalu menanamkan di otaknya bahwa dia perempuan hina, tak punya harga diri. Akan tetapi, malam ini keberanian Farida hadir untuk menjawab semua doktrin itu. Entah kekuatan dari mana lidahnya yang biasanya kelu, bisa berkata-kata seperti itu. Alih-alih menyadari kesalahannya, amarah Nusa malah semakin menjadi. "Lalu kau mau apa? Kau mau aku cerai?!" "Iya, ceraikan saja aku! Tak sudi lagi bersama lelaki sepertimu. Munafik, tak jantan, beraninya sama perempuan!" Satu t4mpar4n lagi dilayangkan Nusa, membuat Farida kembali tersungkur hingga kepalanya membentur sudut meja. "Kau dengar baik-baik, lalu simpan di otak kau yang b3b4l itu. Sampai kapan pun tak akan kucerai. Kau akan membayar sakit hatiku karna dihinakan Ayahmu dulu. Akan kugantung status kau sampai hatiku puas!" Nusa menyudahi berkemas. Dia berlalu tanpa peduli pada keadaan Farida yang kesakitan. Farida mendengar ucapan Nusa sayup-sayup karena kepalanya sangat sakit. Ditambah lagi perutnya yang belum diisi nasi sejak tadi pagi. Perempuan itu terduduk lemah, bersandar ke kaki ranjang sambil menekan kepalanya yang terasa basah. Dia hanya bisa menyesali kebodohannya selama ini. Tak bisa membela diri sendiri, membiarkan dihina suami sendiri. Farida merasa perempuan paling bodoh di dunia, memasung diri sendiri dengan kata cinta. * Catki Barang-barang mudo = sayur-mayur, cabe, dan bawang. Pitih = Uang"Bukan tentang luka yang entah kapan pulih, tetapi hati yang masih menyelisih perihal cinta."------------------------------Farida masih termenung duduk di lantai. Pandangannya nanar menatap pintu kamar yang dihajar Nusa sebelum pergi. Habis sudah seluruh dinding rumah yang terbuat dari triplek, retak-retak ditinju lelaki tersebut. Setiap Nusa murka, semua menjadi pelampiasan amarahnya. Barang-barang pecah belah tak ada lagi tersisa, bahkan lemari kaca yang dibeli setelah menabung setahun, hancur ditendang, hanya gara-gara Farida tak bisa mencarikan uang untuk membayar angsuran motor yang menunggak.Triplek saja retak, lemari pecah, apalagi tubuh Farida yang gemar dipukuli si lelaki. Namun, luka tubuh tak seberapa dibanding luka hati. Selama ini dia hanya diam menerima semua hinaan sang suami. Sebuah kesalahan yang seharusnya bisa dicegah sejak awal. Andai saja, saat pertama Nusa menjatuhkan tangan, dia memberontak, tentu lelaki itu tak berani berbuat lebih. Salahnya yang diam dan me
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, saat aku memutuskan pergi, percayalah ... menoleh pun tak sudi."--------------------"Buk Ratih?"Farida mencoba tersenyum, meski canggung saat majikan perempuannya ikut memunguti semua pakaian yang tercecer."Tak usah, Buk. Biar aku saja ...."Farida meminta secara halus kain di tangan Buk Ratih. Alih-alih mendengar, dia malah menjawab. "Sudah, kemasi saja semua bajumu, lalu ikut aku ke rumah."Farida hendak menolak, tetapi Buk Ratih lebih dulu memotong."Tak usah banyak alasan. Kau di rumahku sampai si Nusa pulang. Lagi pula tak ada saudara yang bisa kau tumpangi di kota ini, kan?"Helaan napas panjang dan lemah keluar dari bibir Farida yang memucat. Dia tak lagi membantah. Apa yang dikatakan Buk Ratih benar adanya. Dia tak memiliki sanak saudara di kota ini. Masih untung sang majikan mau berbaik hati menampungnya."Makasih, Buk. Maaf, aku merepotkan."Buk Ratih tak menjawab. Dia menggandeng lengan Farida untuk masuk kembali ke dalam mobil
"Berbuatlah semaumu, lukai hatiku sedalam yang engkau bisa. Namun, saat semua sudah dibatas akhir, saat itulah kau menyadari, cinta sejati itu aku."---------------------Farida tak tahu hendak dibawa ke mana. Dia hanya diam duduk di belakang Nusa. Tatapan perempuan itu kosong. Masih terbayang raut cemas dari Buk Ratih. Ingin rasanya kembali ke rumah sang majikan, tetapi dia takut Nusa berbuat lebih kejam. Tiga tahun bersama sang suami, Farida paham, Nusa tipe temperamental. Mudah saja bagi lelaki tersebut melayangkan tangan serta makian. Setelah amarahnya reda, si lelaki akan kembali baik seolah-olah tak terjadi apa-apa. Lupa bahwa ucapan kasar lebih menyakitkan dari pada siksa fisik. Luka di raga mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin akan terus ada selama ingat siapa yang menorehkan. Farida tak mau Buk Ratih ikut menanggung getah dari pernikahannya yang sekarat.Lamunan Farida tersadar saat sepeda motor Nusa berhenti di depan rumah permanen. Perempuan itu melihat ke sekeliling. Mat
"Pernahkah kau merasa lelah? Saat apa yang kau lakukan tak pernah dihargai. Menyerah? Tentu saja tidak, tetapi hati mulai mati rasa.-------------------------Malam semakin menua, tetapi mata Farida tak mau juga terpejam. Tidur di ruang tamu, beralaskan lapiak pandan pemberian Aida, tanpa bantal, tak membuatnya merasa terhina. Apa yang dilakukan Nusa jauh lebih kejam dari itu. Jika selama tiga tahun dia bisa bertahan, kenapa perkara tidur saja harus dipermasalahkan? Hatinya pun juga begitu, tak ada lagi getar cemburu membayangkan sang suami tidur di kamar bersama sang madu. Justru dia sangat bersyukur tak perlu meladeni Nusa.Perempuan yang belum berganti pakaian sejak datang, menatap langit-langit ruang tamu dengan menjadikan tangan kiri sebagai bantalan, sementara tangan kanan diletakkan di atas perut. Otaknya mengira-ngira apa yang akan dilakukan Aida padanya. Sejak awal masuk ke rumah, dia sudah merasakan aura permusuhan diuarkan si perempuan. Tatapan mata saja seolah-olah ingin
"Aku akan bertahan sekuat aku bisa. Namun, bila telah memutuskan melangkah pergi jangan pernah berharap aku kembali."-----------------Tak terasa, hampir satu bulan Farida tinggal serumah dengan Nusa dan Aida. Nyaris semua pekerjaan rumah dia yang mengerjakan. Sementara Aida lebih banyak menghabiskan waktu tidur-tiduran di dalam kamar. Hidup istri kedua Nusa itu sangat mewah. Entah bagaimana si lelaki mencukupi gaya hidup yang seperti itu. Dia tak mau ambil pusing. Toh, dia sudah tak memiliki rasa apa-apa lagi kepada Nusa. Satu-satunya alasan Farida bertahan karena statusnya masih istri si lelaki."Uni, tolong buatkan aku teh hangat. Dari tadi perutku tak enak." Suara Aida terdengar lembut sekali. Dia menoleh ke arah Nusa yang merangkul bahunya. Lelaki itu tersenyum sambil mengusap bahu sang istri.Farida yang sedang membersihkan meja makan, melangkah ke dapur. Dia memasak air untuk membuat teh. Sekalian kopi untuk Nusa. Dua sendok gula dan sesendok kopi dituang ke dalam gelas. Aroma
"Aku sampai pada kata selesai. Bukan berarti rasaku terbangkalai, tetapi engkau yang membuat usai."--------------------Angin berembus sangat kencang. Ranting-ranting pohon menari mengikuti ayunan sang bayu yang datang bersama hujan deras. Buk Ratih baru saja selesai mengerjakan salat Isya ketika petir mengejutkannya. Entah mengapa pikirannya melayang menuju Farida. Satu bulan ini dia tak mendengar sepatah pun kabar dari si perempuan. Bagaimana nasibnya sekarang? Apa dia baik-baik saja? Atau ....Buk Ratih menggelengkan kepalanya cepat ketika hal buruk masuk ke benaknya. Dia bangkit, lalu melipat mukena, kemudian meletakkan ke atas punggung kursi. Perempuan itu berjalan ke luar kamar untuk mengisi gelas dengan air mineral. Sejenak berhenti di depan kamar yang di pintunya bertuliskan, 'Cuma Orang Ganteng Yang Boleh Masuk.'Buk Ratih tersenyum. Pikiran tentang Farida teralihkan sejak sang cucu pulang dan berhasil meraih gelar sebagai dokter, membuatnya rasa bangga bertumpuk-tumpuk di d
"Aku tersenyum untuk menutupi luka dan tertawa untuk menahan tangis. Sejahat itu aku pada hati."----------------------Iman terjaga mendengar suara muazin yang membaca Al-Qur'an sebelum azan subuh dikumandangkan. Dia menggeliat, seraya mengumpulkan kemauan bangun di waktu subuh. Lelaki itu tidak terlalu taat pada ajaran agamanya, tetapi salat tak pernah ditinggalkan satu waktu pun. Bagi Iman, boleh saja nakal karena itu naluri seorang jantan. Namun, dada harus penuh dengan tauhid.Dia bangun perlahan untuk membersihkan diri dan berwudhu. Sudah menjadi kebiasaan Iman mandi di kala subuh. Mandi di waktu tersebut, mempunyai banyak manfaat bagi tubuh. Selain membuat tubuh terasa segar, juga memperlancar peredaran darah dan meningkatkan sel darah putih. Sebagai dokter yang paham dengan kesehatan, dia juga meniru kebiasaan sang nenek.Setelah ritual membersihkan diri selesai, Iman menyandang sajadah di bahu, bermaksud salat berjamaah di masjid. Melewati musala kecil yang berada di ruang te
Hujan masih betah membasahi bumi. Mengalirkan setiap derainya ke retak-retak tanah yang masih basah. Sepertinya kandungan langit itu masih akan terus menemani hingga bulan Februari. Satu setengah bulan setelah menarik laporan KDRT yang dilakukan oleh Nusa, lelaki itu memberi kabar akte cerai segera keluar. Awalnya Farida ragu jika si lelaki menepati janji, tetapi Iman meyakinkan bahwa Nusa tak bisa mengelak. Ada perjanjian tertulis yang harus disepakati. "Farida, lihat!" Suara Iman mengalihkan mata si perempuan yang sedang mengamati kaca yang ditimpa tempias hujan. "Nusa baru saja transfer uang tuntutanmu." Iman memperlihatkan notifikasi banking yang bernilai seratus juta rupiah. "Dari mana dia punya uang sebanyak itu Uda dokter?" tanya Farida dengan raut tak percaya. Seratus juta satu bulan? Dulu saja kontrakan ratusan ribu saja payah lelaki itu mencari, tapi seratus juta .... Iman tersenyum. "Bukan urusan kita dia dapat uang dari mana. Jika tak membayar sesuai dengan nominal yan