Share

Lelaki Manipulatif

"Sejahatnya lelaki adalah yang mempermainkan pikiran dan hati wanita untuk kepentingan pribadinya."

----------------------

Farida terbangun saat azan magrib berkumandang. Dia merasakan udara begitu dingin berembus masuk ke dalam kamar. Perempuan itu berusaha bangun meski kepayahan. Seluruh sendi tubuhnya terasa ngilu dan penat. Andai saja tak bertumpu pada kaki tempat tidur, tentu dia tak bisa berdiri dengan sempurna. Farida berjalan meraba-raba ke arah jendela yang terbuka. Dari sana rupanya udara dingin menyusup. Dahinya berkerut melihat cahaya di rumah-rumah tetangga begitu benderang. Namun, di tempatnya gelap gulita. Dia berpikir apa terjadi korsleting di rumahnya atau apa?

Pelan-pelan Farida mencari kontak lampu. Beberapa kali mencoba memencet, tetapi lampu tak juga menyala. Perempuan itu kembali tersandar ke dinding dengan napas terengah-engah. Sejak kecil Farida takut pada gelap. Dia merasa ada seseorang keluar dari kegelapan tersebut, lalu menerkamnya. Oleh karena itu dia selalu membenci kegelapan. Suatu hal sepele menurut Nusa, hingga selalu menjadi perdebatan. Pada akhirnya, Farida mengalah dan tidur dengan menghidupkan senter kecil. Cukup cahaya temaram saja, tetapi mampu membuatnya merasa nyaman.

Farida kembali berjalan mendekati jendela. Setidaknya, cahaya dari luar membuatnya aman. Mata perempuan itu memejam. Bayang-bayang masa indah bersama Nusa kembali melintas di benaknya. Setelah melarikan dari kampuang, menuju Kota Padang, Nusa mencari seorang ustad untuk menikahkan mereka secara siri. Akan tetapi Farida tak mau. Dia ingin pernikahan dilakukan di KUA. Dia takut sewaktu-waktu kedua orang tuanya datang menjemput dan memisahkan mereka. Dengan adanya kekuatan hukum, dia berharap pernikahan keduanya dilindungi oleh negara. Setelah mencari oknum petugas yang bisa disogok untuk membuatkan surat-surat resmi sebagai syarat agar pernikahan tersebut tercatat, dua anak manusia yang sedang mabuk kepayang itu menikah memakai wali hakim.

"Uda janji, kan, tidak akan pernah menyakiti aku?" tanya Farida waktu itu.

Nusa membelai rambut perempuan yang sudah sah menjadi istrinya itu, seraya tersenyum. "Uda janji. Bagaimana mungkin menyakiti perempuan yang Uda cintai. Bisa dilaknat Uda. Apalagi kamu sudah mau berkorban meninggalkan keluarga demi Uda."

Farida merebahkan tubuhnya ke dada bidang lelaki pujaannya. "Bagaimana kalau Ayah dan Bunda menemukan kita? Apa Uda akan tetap mempertahankan aku?"

"Tentu saja. Uda tak akan membiarkan kamu tersakiti seujung kuku pun. Bahkan, nyawa Uda adalah taruhannya. Terkutuk Uda kalau sampai menyakiti istri Uda yang cantik ini."

Air mata yang menetes di pipi Farida, mengembalikan kesadarannya. Sakit hati perempuan tersebut mengingat semua janji-janji manis Nusa. Ke manakah akal lelaki itu? Sekarang, dia tidak hanya menyakiti hati si perempuan, tetapi fisiknya juga. Sudah penuh raga sang istri lebam-lebam. Bekas di tubuhnya karena pukulan tak pernah habis, karena setiap tiga hari sekali, Nusa pasti meninggalkan maha karyanya. Entah di pipi, tangan, atau badan.

Pernah Farida mencoba pergi, tetapi dia bingung ke mana arah yang hendak dituju. Teman tak punya karena Nusa selalu melarangnya berinteraksi dengan orang lain, bahkan tetangga sendiri. Usai bekerja, perempuan tersebut harus segera pulang dan tak boleh ke mana-mana lagi. Telepon seluler yang hanya bisa untuk menelepon dan SMS saja diambil Nusa. Alasan lelaki itu, Farida hanya punya dirinya, jadi tak payah harus punya telepon segala.

Mata Farida seketika terpejam ketika tiba-tiba ruangan menjadi benderang. Dia harus memalingkan wajah ke arah jendela yang kini terlihat kelam karena kalah oleh cahaya di dalam ruangan. Perempuan itu kembali menoleh dan melihat pintu terbuka perlahan. Sosok Nusa masuk, sambil menenteng satu bungkus nasi dan teh tawar di dalam kantong plastik bening.

"Uda tau kau lapar. Makanlah." Lembut nian lelaki itu berujar. Seakan tak pernah ada silap yang dia buat tadi sore.

Farida masih bergeming saat Nusa membuka nasi bungkus tersebut. Aroma ikan bakar laut dan gulai kapau, wangi menggoda selera. Namun, bagi Farida terlihat hambar saja.

"Ayo, makan. Uda suapin, ya?"

Farida kembali menangis. Selalu seperti itu. Setelah mengasari, menjadikan tubuhnya samsak hidup, lelaki tersebut akan kembali dengan sikap yang sangat manis. Dia pandai bagaimana meluluhkan si perempuan. Dia tahu sang istri memiliki hati yang lemah, jadi dia memanfaatkan itu.

"Aku tak berselera," balas Farida pelan, nyaris tak terdengar di antara isaknya.

Raut muka Nusa seketika mengelam. Farida memalingkan wajah dan menarik tubuhnya menjauh. Begitu takutnya perempuan itu, sampai perubahan air muka Nusa membuatnya menciut.

"Percuma aku beli makanan kalau kau tak mau makan!" Nusa menggebrak meja, hingga Farida berjengit, sambil memeluk tubuhnya.

"A-aku tak lapar. Uda saja yang makan," jawab Farida terbata.

"Kau memang perempuan tak tahu diuntung! Sukur aku masih perhatian sama kau. Lihat orang tuamu? Mana peduli sama kau. Sampai sekarang tak mencari bukan? Hanya aku yang peduli sama kau!"

Lagi, Nusa menusukkan racun ke dalam pikiran Farida. Dia mengatakan kalau orang tua sang istri tak mau lagi mengganggap sebagai anak. Pernah Nusa bercerita, dia bertemu Ayah Farida di Pasar Raya Padang, bertemu muka pula, tetapi tak bertanya perihal putrinya.

Selama tiga tahun Nusa selalu mendoktrin Farida, bahwa dia tak punya siapa-siapa lagi. Tak punya kemampuan apa-apa, bodoh, dan hidup hanya bergantung pada sang suami. Malangnya, kata-kata itu termakan oleh Farida. Dia menyakini semua ucapan si lelaki. Perempuan manis tersebut bagai kerbau dicocok hidungnya, menurut saja apa pun perkataan Nusa. Bahkan, saat lelaki itu sakit dan tak bekerja dalam waktu yang cukup lama, Farida merelakan diri menjadi babu tetangganya. Dari pagi sampai malam dia bekerja. Tak ubahnya kuda pembawa beban. Kaki ke kepala, kepala ke kaki. Semua dijalaninya demi mendapatkan uang agar dapur mereka tetap berasap, sewa rumah terbayar, dan sang suami bisa berobat.

Farida pikir, setelah Nusa Sembuh, lelaki itu akan bekerja lebih giat. Iya, dia bekerja dari pagi sampai malam, tetapi tak pernah penghasilannya dinikmati sang istri. Farida yang malang ... dia terlalu polos untuk bertanya haknya. Saat Nusa berkata tak punya uang, justru dia rela memberikan gajinya untuk lelaki itu.

Melihat racunnya masih berpengaruh pada sang istri, Nusa mendekat. Dia duduk berjongkok di hadapan Farida. Mengusap pipi sang istri yang berwarna biru keunguan.

"Uda sayang sama kau, Farida. Tak seperti orang tuamu itu. Takut mereka mengeluarkan hartanya untuk kau. Percayalah ... hanya Uda yang kau punya."

Salah satu kelebihan Nusa, dia tahu di mana titik lemah Farida. Suaranya yang dibuat lembut seperti buluh perindu, dan gurat sendu yang sengaja dipasang di wajahnya, membuat Farida luluh. Perempuan itu menangis tersedu-sedu.

"Mengapa Uda tega sama aku. Sakit hatiku, Uda."

"Maafkan Uda. Uda janji tak akan sakiti kau lagi."

Farida mengangkat pandangannya, menatap Nusa dengan mata yang basah. "Uda tak berdusta?"

Nusa menggeleng. "Asal, kau ijinkan aku menikah lagi. Perempuan itu sedang mengandung anakku. Kasihan dia. Aku akan tetap sayang padamu, meski ada dia."

Perih hati Farida mendengar permintaan Nusa. Lelaki itu masih saja berniat menduakannya. Namun, melihat pancaran mata sang suami yang memohon, Farida tak sanggup menolak. Lagi pula, kalau bercerai ke manakah dia akan tinggal? Sementara di otaknya, dia tak punya siapa-siapa lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
ya...Allah kok masih mau sih farida sama nusa mending pergi aja farida dr pd punya suami kayak nusa mending jd janda
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status