Share

Ayo Kawin Lari

"Banyak arti perihal rindu. Namun, bila bersamamu belum tentu aku bisa mengatakannya."

-------------------------

Farida duduk di pinggiran ranjang dengan hati gelisah. Dia menggigiti ujung-ujung kuku untuk menenangkan gemuruh yang berputar-putar di dada. Selalu begitu setiap malam. Berkali-kali menatap ke arah jendela yang tirainya sengaja dia buka separuh, tetapi sosok yang ditunggu belum jua datang.

Gadis delapan belas tahun yang sedang ranum itu, menunggu kekasih hati yang setiap malam akan menemuinya dari balik jendela. Tentunya sang lelaki menyusup pelan-pelan seperti kucing yang takut ketahuan sedang mengintai mangsanya. Dengan menyurukkan wajah di balik topi dan kain sarung yang ditutupkan ke tubuhnya, Nusa--nama lelaki itu--akan mengetuk kaca jendela kamar si gadis.

Kegelisahan Farida usai saat kaca jendelanya ada yang mengetuk. Farida tersenyum lega, lalu mendekat. Dia membuka kaca yang melekat pada bingkai jendela, demi bisa melihat wajah sang pujaan.

"Ah, Uda ... mengapa lama sekali datangnya. Waktu terasa lambat sekali berputar sekarang," ucap Farida pelan dari balik jendela.

"Maafkan Uda. Hari ini banyak sekali orang datang ke toko. Rang kayo Hamzah lambat pula menutup toko. Tidak tahu dia kalau ada jantung yang bertalu-talu dilanda rindu."

Farida tersenyum mendengar ucapan Nusa. Dia menunduk menyurukkan wajah karena malu. Untung saja lampu kamar telah diredupkan, kalau tidak, mungkin Nusa bisa melihat pipi putih bak pualam Farida memerah seperti diberi pupur wajah.

"Duh, cantik nian engkau malam ini. Bolehkah Uda menciummu?"

Semakin kencanglah dada Farida berdetak. Ada yang berdebur di sana, keras membuncahkan perasaan bahagia bercampur segan.

"Jangan Uda, tak elok seperti itu. Tahanlah sampai kita menikah." Farida berusaha mengalahkan bisikan-bisikan setan. Walau bagaimanapun, dia sudah terdidik menjadi gadis yang tahu dengan malu, raso pareso, dan adap.

"Kapan kita menikah? Rasanya Uda putus asa menunggu Ayahmu merestui hubungan kita. Tidakkah kau dengar apa jawaban Ayahmu saat Uda datang meminang dua bulan yang lalu?"

Suara Nusa terdengar lirih bercampur geram. Dia Ingat bagaimana angkuhnya Ayah Farida bertanya apa yang dia punya untuk melamar gadis yang terkenal sebagai 'kambang desa' tersebut. Nusa hanya menjawab dia sangat mencintai Farida. Namun, jawaban itu tak memuaskan hati sang Datuak.

Menurut tambo, keluarga Farida masih memiliki garis kebangsawanan dari leluhur mereka. Mereka memiliki banyak sawah dan tanah yang merupakan warisan turun temurun. Selain pusako tinggi milik Amainya, keluarga mereka juga memiliki pusako rendah yang merupakan hasil usaha kedua orang tuanya. Dan Farida merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarga, tentu saja sang ayah sangat menyeleksi siapa yang akan menjadi menantunya. Jangan sampai salah menikahkan, bisa-bisa mamutih mato melihat penderitaan sang putri nanti.

Farida tak bisa mencegah hatinya berdenyut nyeri melihat wajah Nusa yang berkabut. Meski lampu temaram, tetapi dia bisa melihat sorot kecewa di iris gelap milik si lelaki.

"Maafkanlah Ayah, Uda. Ayah hanya ingin memastikan kalau Uda benar-benar mencintai Farida, bukan harta keluarga."

"Tetap saja hatiku sakit mendengar hinaan Ayahmu. Mengatakan aku lelaki miskin yang ingin menumpang hidup pada keluargamu setelah kita menikah nanti." Kali ini suara Nusa menderum rendah.

Farida hanya mendesah pelan mendengar ungkapan kekecewaan sang kekasih. Dia tak bisa menyalahkan sikap ayahnya, semua dilakukan untuk menjaganya dari lelaki yang salah. Akan tetapi, Nusa juga tak keliru. Mereka saling mencintai. Cinta tak butuh alasan, tak melihat status, dan kekayaan. Sayangnya, sang ayah tak mengerti itu.

"Bagaimana kalau kita kawin lari saja?"

Mata Farida membesar mendengar ide yang keluar dari bibir Nusa. Sekalut-kalutnya dia memikirkan hubungan keduanya, tak pernah terpikir oleh Farida untuk melarikan diri dengan Nusa. Sebagai seorang gadis, dia juga memiliki impian mengenakan baju anak daro, memakai sunting, memerahkan jemari tangan dengan inai, dan diarak keliling kampuang oleh para bako.

Namun, melihat reaksi sang ayah, harapan itu akan tertiup angin lalu saja bila dia masih keras hati bersama Nusa.

"Kenapa kau diam, Farida? Tak cintakah engkau pada Uda?" Suara Nusa menyadarkan si gadis yang memiliki dagu bak lebah bergantung.

Farida menggeleng lemah.

"Bukan seperti itu. Kawin lari sangat tidak elok untuk masa depan kita. Bagaimana nanti jika Uda tidak berbuat baik padaku? Sementara aku telah memutus tali darah dengan kedua orang tuaku. Sebaiknya dicoba lagi Uda. Siapa tahu Ayah berubah pikiran."

"Ah! Malas aku bicara lagi pada Ayahmu. Cukup sudah aku dihina, pantang bagiku maulang kaji. Hasilnya sama saja!" ujar Nusa ketus.

Kata-kata itu menorehkan ngilu dia dada Farida. Tak pernah ada yang berkata ketus pada dia sebelumnya, tetapi Nusa ....

"Kalau begitu biarkan aku berpikir Uda. Banyak yang harus kukorbankan bila kawin lari dengan Uda. Tak bisa kuputuskan malam ini."

Mendengar jawaban Farida, wajah Nusa seketika mengelam. Dia memukul bingkai jendela dengan tangannya, lalu pergi meninggalkan Farida yang menahan perih di dada.

*

Nusa baru memasukkan satu suapan nasi ke dalam mulut saat teleponnya berdering. Dia merogoh benda enam inci tersebut dari dalam saku celana. Nusa memasang suara notifikasi khusus untuk kontak Farida. Oleh karena itu dia rela menunda rasa lapar untuk membaca pesan apa gerangan yang dikirim gadis yang membuatnya tergila-gila.

Tangan Nusa lincah membuka aplikasi berlogo telepon. Mata lelaki itu membesar ketika membaca pesan yang dituliskan Farida. Gadis itu mengatakan akan menunggunya di satu-satunya terminal antar kota-antar provinsi di desa mereka. Entah apa yang merasuki pikiran gadis tersebut. Semalam dia menolak mentah-mentah, tetapi sekarang.

Nusa kembali membaca pesan baru yang masuk. Farida mengatakan telah menunggu di sana. Kontan saja si lelaki menyudahi makannya. Perutnya kenyang seketika membayangkan sang gadis pujaan menunggu di sana. Mencuci tangan di kobokan, lalu membayar makanan yang tak habis kepada kasir. Setelah pembayaran selesai, lelaki itu bergegas kembali ke rumah untuk mengemasi beberapa potong pakaiannya.

Sementara di terminal, Farida menunggu dengan mata sembab dan wajah kusut masai. Rambut panjang bak mayang terurai diikat asal dengan karet gelang. Tangan gadis itu menenteng satu tas kecil yang berisi tiga helai pakaian saja.

Benak gadis itu kembali memutarkan potongan-potongan pertengkaran dengan sang ayah. Lelaki itu mengatakan telah menjodohkan Farida dengan seorang putra toke beras yang berjualan di pasar Kota Padang. Jelas saja si gadis menolak. Dia mengatakan hanya akan menikah dengan Nusa, bila tak diijinkan dia akan melarikan diri dari rumah.

Seperti disiram bensin, amarah Datuak Sinai berkobar. Tak pernah dia mengajari putrinya membantah. Dia selalu menanamkan nasehat, 'Nagari bapaga undang. Kampuang bapaga buek, tiok lasung ba ayam, salah tampuah buliah diamuk.' Yang artinya, semua harus hidup dengan norma-norma baik yang tertanam di dalam masyarakat. Tahu di mana menempatkan diri. Pantang membantah orang tua. Namun, yang dilakukan Farida lebih dari itu. Putri delapan belas tahun yang lalu dia azankan, kini sudah berani menentang demi seorang lelaki yang tak jelas juntrungannya. Datuk Sinai pun memberi pilihan kepada putrinya, menikah dengan lelaki pilihannya atau pergi dari rumah.

Tak berpikir panjang dan dalam, dengan letupan emosi di dada, Farida mengemasi beberapa helai baju, mengabaikan nasehat bundanya. Cinta dan hasrat ingin bersama Nusa, menumpulkan hati si gadis. Dia mencampakkan kasih sayang orang tua demi lelaki yang baru beberapa bulan dia kenal. Cinta butanya mampu melindas pengorbanan kedua orang tuanya tanpa sisa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status