Farida tak bisa menahan buncahan rasa bahagia di dada. Perjalanan bersama Iman menuju kampung halamannya sangat menyenangkan. Lelaki itu tak berhenti membuat wajahnya bersemu merah. Bukan gombalan receh, tetapi tatapan si lelaki yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sorot dari mata setajam elang itu, sangat hangat. Padu dengan tutur kata lemah lembut. Belum lagi candaan-candaan ringan yang dilontarkan, rasa-rasanya bila keliling dunia menggunakan mobil, Farida tak berkeberatan."Hayoo, lagi ngelamunin apa?" Iman menggoda Farida yang dia perhatikan senyum-senyum sendiri sejak tadi.Farida tergagap, dia melirik Iman sekilas, lalu kemudian membuang pandangan ke jalanan melalui jendela mobil."Bukan melamun, Uda dokter. Tapi ...." Farida menggigit bibirnya. Salah satu kebiasaan si perempuan bila ragu pada sesuatu."Tapi ...?" Iman menunggu perkataan Farida yang menggantung."Sampai detik ini, aku tak percaya kalau kita bersama. Maksudku ... apa Uda tak akan menyesal nanti. Banyak gadi
"Uda, hari ini aku ikut ke Padang, ya?" Fatma menghampiri Datuk Sinai lalu duduk di sebelah lelaki itu setelah menghidangkan secangkir kopi hitam kesukaan sang suami."Tumben kamu mau ikut? Biasanya kuajak tak mau," balas Datuk Sinai, sembari mengamati laporan hasil panen sawahnya."Ingin saja, Uda. Sudah lama tak melihat Kota Padang. Macam manalah bentuknya sekarang.""Ah, ada-ada saja. Lalu Farida bagaimana?" Datuk Sinai melirik Fatma sekilas."Dia bukan anak kecil lagi. Lagipula kita balik hari, kan? Tak payah memikirkan Farida."Datuk Sinai bangkit, setelah mengemasi semua lembaran kwitansi ke dalam tas kecil. "Ya sudah, salinlah bajumu, aku tunggu di bawah."Fatma tersenyum lega. Entah angin apa yang membuat sang suami mengijinkan membawanya ikut serta. Biasanya, Datuk Sinai enggan membawanya berdagang. Mungkin ini nasib baik untuknya. Tak ingin si lelaki menunggu lama, Fatma bergegas ke kamar mengganti pakaian dengan yang lebih pantas. Tak lupa sebelum pergi, dia berpesan kepada
Fatma berjalan tak tentu arah. Dia hanya mengikuti ke mana kaki membawanya pergi. Pandangan perempuan itu kosong ke depan dengan mata sembab. Kata-kata yang diucapkan Buk Ratih seolah-olah mer0bek jantungnya tanpa ampun. Apalagi kedatangan Iman, membuat semua kacau-balau. Dia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan putrinya andai tabir masa lalu terbuka.Langkah Fatma berhenti di sebuah taman. Kakinya tak mampu lagi melangkah. Bukan bobot tubuh yang berat, tetapi pikiran kalut membuat semuanya menjadi tak berdaya. Di bangku besi di bawah naungan pohon lansano perempuan itu duduk termenung. Kenapa takdir begitu kejam pada putrinya? Apakah kesalahan yang dilakukan kedua orang tua harus anak yang menebusnya? Inikah hukum tabur-tuai yang dimuntahkan oleh Laila? Mau tidak mau kenangan silam menyapa benaknya.Laila ... wajah perempuan malang itu melintas di ruang mata Fatma. Dia ingat kedatangan si perempuan ke hotel tempatnya menginap saat menemani sang suami mencari dagangan di Kota Pada
Iman merasa dunia jatuh tepat di hadapan, saat mendengar sang nenek berkisah. Lelaki itu terpaku duduk di atas kursi dengan kedua tangan terkepal. Ada yang berderak patah di dadanya. Sakit, tetapi tak berdarah. Ada gemuruh yang menggulungnya dalam amarah. Namun, amarah itu surut berganti dengan denyut pilu saat wajah Farida melintas di ruang mata. Bagaimana bisa, perempuan yang bertahta di hati adalah adik tirinya sendiri?Detik itu juga Iman mengutuk rasa yang terpatri di relung paling palung. Semua impian yang dia bangun dengan segenap cinta runtuh seketika. Seperti tsunami yang meluluhlantakkan apa saja yang dihantamnya. "Mungkin mereka belum menceritakan hal ini pada Farida. Tentu saja, mana mungkin kedua orang itu membuka aib sendiri." Suara Buk Ratih memecah kebisuan yang membekukan suasana di sekitar cucu dan nenek itu.Iman tak merespon. Sebenarnya dia tak tahu harus bagaimana. Lelaki itu masih berharap semua mimpi. Namun, suara neneknya membuat Iman harus mengemasi sisa cint
Waktu seminggu terasa sangat lambat bagi Farida. Tak ada lagi tawa, canda menghiasi hari-harinya. Hubungan bak musim semi, tiba-tiba beku begitu saja, seperti musim salju yang datang sebelum waktunya. Semua pesan yang dia kirim hanya dijawab seperlunya oleh Iman, itu pun setelah berjam-jam. Bukan kebiasaan si lelaki membiarkan dia menunggu. Dulu, lebih sering lelaki tersebut mengabari.Berkali-kali Farida menilas, apa yang salah dalam hubungan mereka. Berkali-kali memikirkan, tak ada yang aneh. Bahkan, pertemuan Iman dengan keluarganya berakhir hangat. Lalu apa yang membuat lelaki itu beku dan membentangkan jarak darinya? Ingin rasanya dia ke Padang, mencari tahu langsung. Sesak rasanya hanya menunggu tanpa pernah diberi jawaban.Seperti hari ini, keinginan Farida menyusul Iman ke Padang menggebu-gebu. Setelah melihat postingan si lelaki yang berfoto dengan seorang perempuan yang akhir-akhir ini sering berbalas komentar dengannya. Mereka bahkan saling men-tag akun masing-masing. Dan y
Farida berjalan mondar-mandir di kamar. Larangan Fatma cukup menciutkan nyalinya. Namun, sisi hati yang lain terus menghasut agar si perempuan menemui Iman dan mempertanyakan kejelasan hubungan mereka. Tiga tahun bukan sebentar untuk menjalin sebuah kisah. Berawal dari keyakinan setipis kulit ari, perlahan menguat hingga nama si lelaki terhunjam dalam ke relung paling hati. Lalu bagaiman bisa dia menjadi sedingin kutub?Kalah oleh rasa penasaran, Farida meraih tas selempangnya. Dia tak peduli jika nanti mendapat amarah dari kedua orang tuanya, yang penting tanya mengusik hati mendapat jawaban. Perlahan dia membuka pintu kamar, melongok mencari keberadaan Fatma dan Datuk Sinai. Mendapati keadaan sepi, Farida berjalan mengendap-endap menuju pintu keluar. Sempat mendengar suara gaduh dari dalam kamar orang tuanya, tapi dia memilih untuk tetap melanjutkan rencana menemui Iman. Farida memilih jalan pintas melalui pematang sawah. Setelah menunggu beberapa menit, ojek yang menjadi alat trans
Fatma mera-ba dadanya yang berdetak sangat kencang. Dia gelisah melihat ke jalanan melalui kaca mobil. Cuaca yang awalnya sangat tenang, tiba-tiba berubah mendung. Perlahan gerimis mulai berjatuhan menimpa kaca bagian depan mobil. Semakin lama semakin menderas membuat Datuk Sinai harus menghidupkan 'wiper' mobil untuk membersihkan air yang menghalangi pandangan."Ya, Allah, Uda ... mengapa jantungku berdetak sangat kencang. Apa yang terjadi pada Farida?" lirih Fatma dengan raut cemas. Mata perempuan itu mulai berkabut, serupa dengan langit yang diselimuti awan kelabu. Matahari yang semula gagah bersinar, hanya bisa bersembunyi di balik punggung payoda yang semakin mengelam."Tidak akan terjadi apa-apa. Farida anak yang kuat." Datuk Sinai mencoba membesarkan hati sang istri, meski sebenarnya dia juga ketar-ketir. Mendengar keluhan Fatma mungkin saja itu firasat seorang ibu yang memiliki hubungan batin dengan anaknya."Tapi, Uda ... aku benar-benar cemas. Rasa-rasanya ingin menangis, te
"Aku minta maaf atas kejadian tadi." Iman tersenyum canggung kepada Elisa, si perempuan berambut panjang sebahu, sembari mengulas senyum canggung. "It's okay. Hanya saja aku tak mengira kamu sekasar itu sama perempuan. Apalagi dia pernah punya hubungan denganmu." Elisa menyatakan ketidaksukaannya terhadap sikap Iman kepada Farida. "Entah apa maksud Nenek berkata seperti itu, aku sungguh terkejut."Iman terpekur menatap lantai teras, kedua tangannya terbenam di dalam saku celana. Ada sesal bertandang ke dada saat wajah sedih Farida melintas di ruang mata. Dia sendiri tak mengerti mengapa bisa berkata sekasar itu. Tatapan intimidasi dari sang nenek dan kisah sedih berulang yang memantul-mantul di benak, menyulut emosinya seketika."Aku tak punya kapasitas untuk ikut campur, tapi apa pun masalah kalian, selesaikan dengan baik. Jangan sampai menyakiti hati, apalagi pernah punya hubungan baik. Kalau orang Minang bilang, 'datang tampak muko, pai tampak punggung'."Elisa tersenyum kecil mel
Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
"Aku ndak nyangka kamu serendah itu?"Sorot mata Elia terlihat marah saat mengatakan kalimat tersebut. Beberapa saat yang lalu, dia menghampiri Farida di kantin. Untung saja keadaan tempat tersebut tidak terlalu ramai."Maksud kamu apa?" tanya Farida dengan dahi berkerut. Teh es yang dia pesan tak jadi diminum karena Elia telanjur menyerangnya."Kamu itu munafik, Farida! Kamu cuek aja pas aku bilang soal Pak dokter. Kamu juga seolah-olah tak tertarik, ternyata kamu main belakang."Dahi Farida berkerut. Dia mencoba mencerna ucapan Elia. "Maksud kamu aku main belakang?"Elia melemparkan beberapa foto ke atas meja. Farida membeku melihat lembaran foto yang di dalamnya ada dia dan Iman. Sepertinya foto itu diambil dua hari yang lalu, saat mereka keluar dan mampir di lapak penjual jagung."Lihat! Betapa murahannya kamu. Meluk Pak dokter segala. Kamu tau aku suka sama dia, trus kamu pake cara licik untuk mendapatkan perhatiannya. Benarkan?"Farida menganjur napas perlahan. Suara Elia sangat
Farida berkali-kali mengintip dari balik jendela. Dia menyingkap gorden putih penutup jendela dan melihat Iman sedang berdiri tepat di seberang jalan. Perempuan itu mendesis. Dia membaca kembali pesan yang dikirim si lelaki satu jam yang lalu. Farida pikir Iman sudah gila. Bagaimana tidak, dia mengajak, lebih tepat memaksanya menemani dokter muda itu ke suatu tempat. Belum sempat Farida menolak, Iman terlebih dahulu mengirimkan pesan susulan yang bertuliskan, jika menolak, maka lelaki tersebut akan datang menjemput langsung ke kos-an."Tinggal sepuluh menit lagi. Kalau kamu ndak datang, aku jemput ke kos-an."Mata Farida melebar membaca pesan yang baru masuk dari Iman. Dia kembali mengintip dan melihat si lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Sepertinya sang dokter tahu sedang diintip."Mau ke mana? Kenapa harus ajak aku?"Farida mengirim pesan balasan kepada Iman."Nanti kamu bakal tahu. Ayo, di luar mulai dingin."Decak keras keluar dari bibir Farida. Dia berjalan menuju lemari, lal
Sepanjang perjalanan tak sepatah kata dua insan itu berbicara. Hanya suara merdu Ari Lasso membawakan tembang lawas dari grup band Dewa 19 yang berjudul 'Cinta'kan membawamu kembali' menemani keduanya membelah jalan raya di pagi hari. Iman sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang selalu tampak cantik di matanya. Lelaki itu terkadang menertawakan diri sendiri, mengapa bisa begitu bucin kepada Farida? Dia seperti menjelma menjadi sosok yang lain bila berhubungan dengan perempuan tersebut.Entah apa yang terjadi pada dirinya. Di otak Iman, hanya Farida dan Farida. Mungkin dia sudah terkena tulah dari ucapannya sendiri. Mengatakan perempuan itu tak pantas, tetapi justru sekarang dia yang mengejar-ngejar. Ingin memulai pembicaraan, tetapi lidahnya tak mampu bergerak, seolah-olah diimpit beban puluhan ton.Begitupun Farida. Sejak naik ke mobil Iman, dia menghindari bersitatap. Dia mencoba terlihat setenang mungkin, padahal jantungnya sudah seperti orang berparade di dalam sana. Dari
Hari demi hari dilalui Farida dengan belajar demi mengejar ketertinggalannya. Cuti selama satu semester membuatnya harus ekstra bekerja keras. Lagi pula hanya dengan cara itu dia bisa melupakan Iman. Lelaki itu masih terus menghantui ingatannya. Tak mudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka. Kisah bersama Iman telah meninggalkan lubang besar di dada, menyarangkan luka serta kerinduan yang kerap membuatnya menangis sendirian di tengah malam. Kadang, bila rindu itu tak terbendung, dia menatap foto-foto saat masih bersama yang tersimpan di galeri teleponnya. Lalu dia akan tertidur dalam keadaan telepon masih menyala.Pagi ini, Farida tak terganggu sama sekali dengan celotehan teman-temannya, yang mengabarkan ada dosen baru yang akan masuk ke kelas mereka. Dia lebih suka membenamkan diri ke dalam diktat setebal 457 halaman. Dia juga tak peduli saat semua teman sekelasnya grasak-grusuk duduk di kursi masing-masing. Keadaan yang tadi riuh, mendadak sepi. Farida mengangkat pandangan
"Saya sangat senang melihat perkembangan Farida. Semangatnya untuk bisa berjalan normal, luar biasa," puji dr. Wahyu yang selama ini menangani Farida. Matanya sesekali mengamati si perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu. Ruang kerjanya disekat kaca transparan, sehingga bisa melihat keadaan di sekitarnya.Pujian itu disambut Fatma dengan senyum lega. Memang, Farida selalu bersemangat setiap kali jadwal terapi. Dia berusaha mengerjakan instruksi yang disampaikan oleh dokter atau pun perawat. Meski awalnya terlihat sulit, seringpula melihat sang putri meneteskan air mata karena kepayahan dan sakit menerjang otot dan tulang kaki, tetapi Farida tak menyerah. Dia akan berhenti saat terapi tersebut selesai."Jadi putri saya bisa berjalan seperti biasa lagi, dok?" tanya Fatma bersemangat, karena selama ini Farida berjalan dengan menyeret kakinya."Kali ini saya berani menjamin. Dibutuhkan sekitar dua kali terapi lagi. Sekarang saja sudah terlihat perubahannya. Jadi, tak butuh waktu lama
Hari demi hari dijalani Farida dengan sabar. Datuk Sinai menyewakan sebuah rumah di Kota Padang, dekat dengan rumah sakit untuk mempermudah mobilisasi putrinya berobat. Jadwal fisioterapi Farida, sekali seminggu, tentu akan sangat merepotkan bila harus bolak-balik ke kota mereka. Tentu saja Fatma senang dengan keputusan sang suami. Selain bisa menemani sang putri, sudah lama dia ingin merasakan suasana tinggal di ibukota Provinsi Sumatera Barat tersebut.Kota Padang menyimpan banyak kenangan untuknya. Fatma menempuh pendidikan di kota tersebut. Di kota itu pula dia bertemu dengan sang suami. Banyak kisah yang terangkai dan tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Dia juga rindu teriakan pedagang keliling yang menjajakan barang dagangan mereka. Seperti pagi ini, Fatma menunggu tukang sayur langganannya di depan rumah.Mata Fatma menyipit melihat sepeda motor matic berhenti tepat di hadapan. Dia menganjur napas pelan ketika si pengendara membuka helmnya. Entah berapa kali lelaki tersebut
Farida hanya diam melihat sang bunda memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas. Satu bulan lebih berada di rumah sakit, dengan pengawasan dan perawatan intensif dari dokter serta perawat, membuat kesehatannya membaik. Meski untuk berjalan, Farida harus menggunakan tongkat, tak masalah dari pada duduk di kursi roda.Menurut dokter, kecelakaan yang terjadi membuat tulang belakang Farida retak. Bagi sebagian kasus, sang pasien akan sangat susah untuk bisa berjalan. Namun, Tuhan masih menyelamatkan perempuan itu dari kelumpuhan. Dia hanya perlu melakukan fisioterapi secara rutin untuk melatih anggota tubuh agar bisa kembali normal seperti sedia kala."Bun, setelah ini aku ingin kembali ke kampus," ucap Farida, membuat gerakan tangan Fatma terhenti. Perempuan paruh baya itu mengangkat pandangannya, seraya mengulas senyum."Iya, tapi nanti setelah kondisimu jauh lebih baik. Ayah sudah mengajukan cuti perkuliahan ke kampusmu. Jadi, selama lima bulan ini kita akan fokus pada kesehatan agar kam
Cahaya mentari bersinar tak terlalu terik. Sisa hujan tadi pagi masih menyisakan mendung yang bergelayut di awan. Fatma menyibak kain penutup jendela kamar tempat Farida di rawat, melihat air menggantung di ujung daun-daun Bunga bugenvil yang tumbuh tepat di depan jendela. Dia menghela napas pelan, sekadar mengisi paru-parunya dengan oksigen setelah beberapa waktu yang lalu sesak oleh banyak kejadian. Sudah dua hari putrinya dipindahkan dari ruang steril. Keadaan Farida jauh lebih baik. Perempuan tersebut sudah siuman dan bisa berkomunikasi, meski bicara terbata-bata."Ayah mana, Bun?"Pertanyaan Farida membuat Fatma memalingkan wajah menatap putrinya. Dia mendekat, seraya mengulas senyum. "Ayah baru keluar, katanya ada yang harus diurus." Tangan Fatma membelai pucuk kepala Farida, "makan dulu, ya? Bunda siapin."Farida menggeleng lemah. Dia menatap Fatma sangat lama. Beberapa waktu yang lalu, dia ingin menanyakan sesuatu, tetapi keadaannya belum terlalu stabil. Pengaruh obat bius s