Farida berjalan mondar-mandir di kamar. Larangan Fatma cukup menciutkan nyalinya. Namun, sisi hati yang lain terus menghasut agar si perempuan menemui Iman dan mempertanyakan kejelasan hubungan mereka. Tiga tahun bukan sebentar untuk menjalin sebuah kisah. Berawal dari keyakinan setipis kulit ari, perlahan menguat hingga nama si lelaki terhunjam dalam ke relung paling hati. Lalu bagaiman bisa dia menjadi sedingin kutub?Kalah oleh rasa penasaran, Farida meraih tas selempangnya. Dia tak peduli jika nanti mendapat amarah dari kedua orang tuanya, yang penting tanya mengusik hati mendapat jawaban. Perlahan dia membuka pintu kamar, melongok mencari keberadaan Fatma dan Datuk Sinai. Mendapati keadaan sepi, Farida berjalan mengendap-endap menuju pintu keluar. Sempat mendengar suara gaduh dari dalam kamar orang tuanya, tapi dia memilih untuk tetap melanjutkan rencana menemui Iman. Farida memilih jalan pintas melalui pematang sawah. Setelah menunggu beberapa menit, ojek yang menjadi alat trans
Fatma mera-ba dadanya yang berdetak sangat kencang. Dia gelisah melihat ke jalanan melalui kaca mobil. Cuaca yang awalnya sangat tenang, tiba-tiba berubah mendung. Perlahan gerimis mulai berjatuhan menimpa kaca bagian depan mobil. Semakin lama semakin menderas membuat Datuk Sinai harus menghidupkan 'wiper' mobil untuk membersihkan air yang menghalangi pandangan."Ya, Allah, Uda ... mengapa jantungku berdetak sangat kencang. Apa yang terjadi pada Farida?" lirih Fatma dengan raut cemas. Mata perempuan itu mulai berkabut, serupa dengan langit yang diselimuti awan kelabu. Matahari yang semula gagah bersinar, hanya bisa bersembunyi di balik punggung payoda yang semakin mengelam."Tidak akan terjadi apa-apa. Farida anak yang kuat." Datuk Sinai mencoba membesarkan hati sang istri, meski sebenarnya dia juga ketar-ketir. Mendengar keluhan Fatma mungkin saja itu firasat seorang ibu yang memiliki hubungan batin dengan anaknya."Tapi, Uda ... aku benar-benar cemas. Rasa-rasanya ingin menangis, te
"Aku minta maaf atas kejadian tadi." Iman tersenyum canggung kepada Elisa, si perempuan berambut panjang sebahu, sembari mengulas senyum canggung. "It's okay. Hanya saja aku tak mengira kamu sekasar itu sama perempuan. Apalagi dia pernah punya hubungan denganmu." Elisa menyatakan ketidaksukaannya terhadap sikap Iman kepada Farida. "Entah apa maksud Nenek berkata seperti itu, aku sungguh terkejut."Iman terpekur menatap lantai teras, kedua tangannya terbenam di dalam saku celana. Ada sesal bertandang ke dada saat wajah sedih Farida melintas di ruang mata. Dia sendiri tak mengerti mengapa bisa berkata sekasar itu. Tatapan intimidasi dari sang nenek dan kisah sedih berulang yang memantul-mantul di benak, menyulut emosinya seketika."Aku tak punya kapasitas untuk ikut campur, tapi apa pun masalah kalian, selesaikan dengan baik. Jangan sampai menyakiti hati, apalagi pernah punya hubungan baik. Kalau orang Minang bilang, 'datang tampak muko, pai tampak punggung'."Elisa tersenyum kecil mel
"Bu ... sakit. Aku ndak kuat."Laila terus bergerak li4r di atas tempat tidvr. Dia menangis menahan gelombang sakit yang terus menghant4m tanpa jeda. Laila memekik kala kontraksi itu datang. Dia merem4s apa saja yang terjangkau tangan."Sabar, Nak. Istigfar, tahan." Buk Ratih menggosok punggung sang putri untuk memberikan rasa nyaman sehingga bisa meredam rasa sakit meski sedikit."Bu, operasi saja. Aku tak tahan sakitnya. Tolong ...." Laila terus meng3rang dengan suara lirih. Pandangan perempuan muda itu tak fokus lagi. Berkali-kali dia menendang-nendang hingga suster putus asa mengingatkan. Laila terus mengejan meski jalan lahir belum terbuka sempurna.Tak tahan melihat raut kesakitan sang putri, Buk Ratih memutuskan menemui dokter yang menangani Laila di ruangannya."Dokter, apa tak bisa operasi saja? Putri saya sudah sangat kesakitan." Buk Ratih terlihat sangat panik. Sejak dulu dia paling tak bisa melihat putri semata wayangnya kesakitan hingga apapun akan dilakukan untuk kesenan
Datuk Sinai menatap tubuh sang putri yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Hatinya bertambah remuk melihat wajah sang istri yang kusut masai. Mata perempuan berkerudung hitam itu bengkak menangisi keadaan putri mereka. Dua minggu berlalu, tetapi keadaan Farida tak juga membaik. Hanya mesin pendeteksi jantung yang berbunyi lemah, penanda Farida masih bernyawa.Beban yang kini menindih dadanya, membuat Datuk Sinai terlihat semakin tua. Penyesalan berhamburan menyerang tempurung kepalanya tanpa jeda. Kata-kata pengandaian selalu saja digumamkan dalam hati. Namun, apalah daya, penyesalan kerap datang belakangan. Nasi telah menjadi bubur, tak mungkin bisa diubah lagi."Uda ...," lirih suara Fatma memanggil Datuk Sinai. Tangan perempuan tersebut menggenggam tangan Farida erat-erat. "Bagaimana ini? Aku tak mau terjadi apa-apa pada Farida," imbuhnya dengan suara bergetar menahan tangis. Datuk Sinai mengembuskan napas berat, dia melangkah pelan mendekati sang istri."Sabar, Farida
Langkah Datuk Sinai menghentak lantai. Wajahnya tampak amat gusar menahan amarah. Dia yakin kecelakaan yang menimpa Farida ada hubungan dengan Iman. Terlihat jelas dari raut penyesalan di wajah si lelaki. Andai Datuk Sinai tak mengingat dia anak almarhumah Laila, mungkin sudah dihadiahi bogem mentah. Bukannya dia tak yakin Iman adalah putra kandungnya, hanya saja tanda-tanda genetik di diri si lelaki sangat jauh berbeda. Saat kelahiran Iman, dia mencoba menerima anak tersebut, meski lahir tanpa cinta. Dia berusaha bertanggung jawab kepada keluarga kecilnya dan berharap sifat posesif Laila berkurang. Namun, pernikahan yang sejak awal tiada cinta, amat payah untuk berbunga. Semakin lama kejenuhan itu bertandang semakin sering, hingga Datuk Sinai mulai jarang pulang ke rumah.Langkah Datuk Sinai mati ketika melihat Buk Ratih berdiri di depan ruang ICU. Penampilan mantan mertuanya itu masih elegan seperti dulu. Baju kurung malaysia berwarna limau manis, dipermanis bordiran bunga mawar, se
Seperti malam-malam yang lalu, Fatma tak pernah lupa memunajatkan doa kepada Yang Mahakuasa. Berharap sedikit rahmat diberikan Tuhan untuk kesembuhan putrinya. Selalu berada di sisi sang putri, membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, dia yakin kalimat suci Allah tersebut memiliki kekuatan penyembuh yang luar biasa.Dengan mata sembab Fatma mengawasi Farida yang masih terbaring lemah tak berdaya. Menurut dokter yang menangani sang putri, kemungkinan Farida untuk sembuh hanya lima puluh persen. Sebuah diagnosa yang cukup melegakan Fatma dan Datuk Sinai. Setidaknya mereka punya harapan meski hanya setengah saja. Hampir setiap malam dia terbangun, berharap rahmat itu datang di sepertiga malam. Seperti malam ini. Sehabis salat tahajud, Fatma tertidur di atas sajadah. Sayup-sayup dia mendengar suara mesin pendeteksi jantung berbunyi nyaring. Sontak perempuan tersebut bangun dan menghampiri putrinya. Dia menutup mulut dengan mata berkaca-kaca. Kelopak mata Farida perlahan-lahan terbuka. Gegas F
"Tolong katakan sekali lagi? Katakan bahwa yang barusan aku dengar tidak benar," pinta Fatma dengan suara lirih. Sorot mata perempuan tersebut menyiratkan keraguan."Itu benar, Buk. Saya bukan darah daging almarhum Ibu Laila. Bayi beliau meninggal dunia saat baru dilahirkan. Untuk menyenangkan hati Ibu, Nenek Ratih memungutku dari klinik yang sama."Iman menjelaskan dengan suara tegas, tetapi bernada lemah. Sorot mata lelaki tersebut seakan turut meyakinkan Fatma kalau cerita itu benar."Tidak ...." Fatma menggeleng pelan, "bagaimana hal sebesar itu disembunyikan oleh Buk Ratih. Apa almarhum Laila tahu hal ini?"Iman mengeleng lemah, membuat Fatma menganjur napas panjang dalam. "Aku tidak tahu harus bagaimana menerima kenyataan ini. Pergilah, aku tetap tak mau melihatmu berada di dekat putriku meski kalian tak sedarah.""Tapi aku mencintai Farida. Aku ingin minta maaf atas apa yang telah kulakukan padanya.""Apa yang kamu lakukan pada putriku?" Kali ini sorot mata Fatma berubah, membu
Fatma tak bisa membendung air mata saat nama Farida bergaung di dalam auditorium sebagai salah satu mahasiswi yang diwisuda. Bukan hanya selesai tepat waktu, tetapi putrinya juga tercatat sebagai salah satu peraih nilai terbaik di angkatannya. Semua doa yang dilangitkan di setiap sujud, dibayar lunas oleh Allah dengan keberhasilan putrinya itu.Terbayang semua jerih payah Farida untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Bukan hanya masalah akademik, tetapi badai kehidupan yang tak jemu menghantam. Namun, semua mampu dilewati oleh putrinya itu dengan kesabaran. Fatma sangat salut dengan ketabahan Farida. Benar adanya, ujian demi ujian yang diberikan Tuhan bukan untuk melemahkan, tetapi menempa pribadi menjadi lebih baik agar mampu memikul tanggung jawab yang lebih besar."Bunda ...." Suara Farida mengembalikan kesadaran Fatma yang melanglang buana ke masa lalu. Dia menoleh dan matanya menangkap sosok Farida telah berdiri di hadapan dengan memakai Toga. Senyum juga terulas di bibir sang
"Aku ndak nyangka kamu serendah itu?"Sorot mata Elia terlihat marah saat mengatakan kalimat tersebut. Beberapa saat yang lalu, dia menghampiri Farida di kantin. Untung saja keadaan tempat tersebut tidak terlalu ramai."Maksud kamu apa?" tanya Farida dengan dahi berkerut. Teh es yang dia pesan tak jadi diminum karena Elia telanjur menyerangnya."Kamu itu munafik, Farida! Kamu cuek aja pas aku bilang soal Pak dokter. Kamu juga seolah-olah tak tertarik, ternyata kamu main belakang."Dahi Farida berkerut. Dia mencoba mencerna ucapan Elia. "Maksud kamu aku main belakang?"Elia melemparkan beberapa foto ke atas meja. Farida membeku melihat lembaran foto yang di dalamnya ada dia dan Iman. Sepertinya foto itu diambil dua hari yang lalu, saat mereka keluar dan mampir di lapak penjual jagung."Lihat! Betapa murahannya kamu. Meluk Pak dokter segala. Kamu tau aku suka sama dia, trus kamu pake cara licik untuk mendapatkan perhatiannya. Benarkan?"Farida menganjur napas perlahan. Suara Elia sangat
Farida berkali-kali mengintip dari balik jendela. Dia menyingkap gorden putih penutup jendela dan melihat Iman sedang berdiri tepat di seberang jalan. Perempuan itu mendesis. Dia membaca kembali pesan yang dikirim si lelaki satu jam yang lalu. Farida pikir Iman sudah gila. Bagaimana tidak, dia mengajak, lebih tepat memaksanya menemani dokter muda itu ke suatu tempat. Belum sempat Farida menolak, Iman terlebih dahulu mengirimkan pesan susulan yang bertuliskan, jika menolak, maka lelaki tersebut akan datang menjemput langsung ke kos-an."Tinggal sepuluh menit lagi. Kalau kamu ndak datang, aku jemput ke kos-an."Mata Farida melebar membaca pesan yang baru masuk dari Iman. Dia kembali mengintip dan melihat si lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Sepertinya sang dokter tahu sedang diintip."Mau ke mana? Kenapa harus ajak aku?"Farida mengirim pesan balasan kepada Iman."Nanti kamu bakal tahu. Ayo, di luar mulai dingin."Decak keras keluar dari bibir Farida. Dia berjalan menuju lemari, lal
Sepanjang perjalanan tak sepatah kata dua insan itu berbicara. Hanya suara merdu Ari Lasso membawakan tembang lawas dari grup band Dewa 19 yang berjudul 'Cinta'kan membawamu kembali' menemani keduanya membelah jalan raya di pagi hari. Iman sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang selalu tampak cantik di matanya. Lelaki itu terkadang menertawakan diri sendiri, mengapa bisa begitu bucin kepada Farida? Dia seperti menjelma menjadi sosok yang lain bila berhubungan dengan perempuan tersebut.Entah apa yang terjadi pada dirinya. Di otak Iman, hanya Farida dan Farida. Mungkin dia sudah terkena tulah dari ucapannya sendiri. Mengatakan perempuan itu tak pantas, tetapi justru sekarang dia yang mengejar-ngejar. Ingin memulai pembicaraan, tetapi lidahnya tak mampu bergerak, seolah-olah diimpit beban puluhan ton.Begitupun Farida. Sejak naik ke mobil Iman, dia menghindari bersitatap. Dia mencoba terlihat setenang mungkin, padahal jantungnya sudah seperti orang berparade di dalam sana. Dari
Hari demi hari dilalui Farida dengan belajar demi mengejar ketertinggalannya. Cuti selama satu semester membuatnya harus ekstra bekerja keras. Lagi pula hanya dengan cara itu dia bisa melupakan Iman. Lelaki itu masih terus menghantui ingatannya. Tak mudah melupakan apa yang terjadi di antara mereka. Kisah bersama Iman telah meninggalkan lubang besar di dada, menyarangkan luka serta kerinduan yang kerap membuatnya menangis sendirian di tengah malam. Kadang, bila rindu itu tak terbendung, dia menatap foto-foto saat masih bersama yang tersimpan di galeri teleponnya. Lalu dia akan tertidur dalam keadaan telepon masih menyala.Pagi ini, Farida tak terganggu sama sekali dengan celotehan teman-temannya, yang mengabarkan ada dosen baru yang akan masuk ke kelas mereka. Dia lebih suka membenamkan diri ke dalam diktat setebal 457 halaman. Dia juga tak peduli saat semua teman sekelasnya grasak-grusuk duduk di kursi masing-masing. Keadaan yang tadi riuh, mendadak sepi. Farida mengangkat pandangan
"Saya sangat senang melihat perkembangan Farida. Semangatnya untuk bisa berjalan normal, luar biasa," puji dr. Wahyu yang selama ini menangani Farida. Matanya sesekali mengamati si perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu. Ruang kerjanya disekat kaca transparan, sehingga bisa melihat keadaan di sekitarnya.Pujian itu disambut Fatma dengan senyum lega. Memang, Farida selalu bersemangat setiap kali jadwal terapi. Dia berusaha mengerjakan instruksi yang disampaikan oleh dokter atau pun perawat. Meski awalnya terlihat sulit, seringpula melihat sang putri meneteskan air mata karena kepayahan dan sakit menerjang otot dan tulang kaki, tetapi Farida tak menyerah. Dia akan berhenti saat terapi tersebut selesai."Jadi putri saya bisa berjalan seperti biasa lagi, dok?" tanya Fatma bersemangat, karena selama ini Farida berjalan dengan menyeret kakinya."Kali ini saya berani menjamin. Dibutuhkan sekitar dua kali terapi lagi. Sekarang saja sudah terlihat perubahannya. Jadi, tak butuh waktu lama
Hari demi hari dijalani Farida dengan sabar. Datuk Sinai menyewakan sebuah rumah di Kota Padang, dekat dengan rumah sakit untuk mempermudah mobilisasi putrinya berobat. Jadwal fisioterapi Farida, sekali seminggu, tentu akan sangat merepotkan bila harus bolak-balik ke kota mereka. Tentu saja Fatma senang dengan keputusan sang suami. Selain bisa menemani sang putri, sudah lama dia ingin merasakan suasana tinggal di ibukota Provinsi Sumatera Barat tersebut.Kota Padang menyimpan banyak kenangan untuknya. Fatma menempuh pendidikan di kota tersebut. Di kota itu pula dia bertemu dengan sang suami. Banyak kisah yang terangkai dan tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Dia juga rindu teriakan pedagang keliling yang menjajakan barang dagangan mereka. Seperti pagi ini, Fatma menunggu tukang sayur langganannya di depan rumah.Mata Fatma menyipit melihat sepeda motor matic berhenti tepat di hadapan. Dia menganjur napas pelan ketika si pengendara membuka helmnya. Entah berapa kali lelaki tersebut
Farida hanya diam melihat sang bunda memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas. Satu bulan lebih berada di rumah sakit, dengan pengawasan dan perawatan intensif dari dokter serta perawat, membuat kesehatannya membaik. Meski untuk berjalan, Farida harus menggunakan tongkat, tak masalah dari pada duduk di kursi roda.Menurut dokter, kecelakaan yang terjadi membuat tulang belakang Farida retak. Bagi sebagian kasus, sang pasien akan sangat susah untuk bisa berjalan. Namun, Tuhan masih menyelamatkan perempuan itu dari kelumpuhan. Dia hanya perlu melakukan fisioterapi secara rutin untuk melatih anggota tubuh agar bisa kembali normal seperti sedia kala."Bun, setelah ini aku ingin kembali ke kampus," ucap Farida, membuat gerakan tangan Fatma terhenti. Perempuan paruh baya itu mengangkat pandangannya, seraya mengulas senyum."Iya, tapi nanti setelah kondisimu jauh lebih baik. Ayah sudah mengajukan cuti perkuliahan ke kampusmu. Jadi, selama lima bulan ini kita akan fokus pada kesehatan agar kam
Cahaya mentari bersinar tak terlalu terik. Sisa hujan tadi pagi masih menyisakan mendung yang bergelayut di awan. Fatma menyibak kain penutup jendela kamar tempat Farida di rawat, melihat air menggantung di ujung daun-daun Bunga bugenvil yang tumbuh tepat di depan jendela. Dia menghela napas pelan, sekadar mengisi paru-parunya dengan oksigen setelah beberapa waktu yang lalu sesak oleh banyak kejadian. Sudah dua hari putrinya dipindahkan dari ruang steril. Keadaan Farida jauh lebih baik. Perempuan tersebut sudah siuman dan bisa berkomunikasi, meski bicara terbata-bata."Ayah mana, Bun?"Pertanyaan Farida membuat Fatma memalingkan wajah menatap putrinya. Dia mendekat, seraya mengulas senyum. "Ayah baru keluar, katanya ada yang harus diurus." Tangan Fatma membelai pucuk kepala Farida, "makan dulu, ya? Bunda siapin."Farida menggeleng lemah. Dia menatap Fatma sangat lama. Beberapa waktu yang lalu, dia ingin menanyakan sesuatu, tetapi keadaannya belum terlalu stabil. Pengaruh obat bius s