Datuk Sinai menatap tubuh sang putri yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Hatinya bertambah remuk melihat wajah sang istri yang kusut masai. Mata perempuan berkerudung hitam itu bengkak menangisi keadaan putri mereka. Dua minggu berlalu, tetapi keadaan Farida tak juga membaik. Hanya mesin pendeteksi jantung yang berbunyi lemah, penanda Farida masih bernyawa.Beban yang kini menindih dadanya, membuat Datuk Sinai terlihat semakin tua. Penyesalan berhamburan menyerang tempurung kepalanya tanpa jeda. Kata-kata pengandaian selalu saja digumamkan dalam hati. Namun, apalah daya, penyesalan kerap datang belakangan. Nasi telah menjadi bubur, tak mungkin bisa diubah lagi."Uda ...," lirih suara Fatma memanggil Datuk Sinai. Tangan perempuan tersebut menggenggam tangan Farida erat-erat. "Bagaimana ini? Aku tak mau terjadi apa-apa pada Farida," imbuhnya dengan suara bergetar menahan tangis. Datuk Sinai mengembuskan napas berat, dia melangkah pelan mendekati sang istri."Sabar, Farida
Langkah Datuk Sinai menghentak lantai. Wajahnya tampak amat gusar menahan amarah. Dia yakin kecelakaan yang menimpa Farida ada hubungan dengan Iman. Terlihat jelas dari raut penyesalan di wajah si lelaki. Andai Datuk Sinai tak mengingat dia anak almarhumah Laila, mungkin sudah dihadiahi bogem mentah. Bukannya dia tak yakin Iman adalah putra kandungnya, hanya saja tanda-tanda genetik di diri si lelaki sangat jauh berbeda. Saat kelahiran Iman, dia mencoba menerima anak tersebut, meski lahir tanpa cinta. Dia berusaha bertanggung jawab kepada keluarga kecilnya dan berharap sifat posesif Laila berkurang. Namun, pernikahan yang sejak awal tiada cinta, amat payah untuk berbunga. Semakin lama kejenuhan itu bertandang semakin sering, hingga Datuk Sinai mulai jarang pulang ke rumah.Langkah Datuk Sinai mati ketika melihat Buk Ratih berdiri di depan ruang ICU. Penampilan mantan mertuanya itu masih elegan seperti dulu. Baju kurung malaysia berwarna limau manis, dipermanis bordiran bunga mawar, se
Seperti malam-malam yang lalu, Fatma tak pernah lupa memunajatkan doa kepada Yang Mahakuasa. Berharap sedikit rahmat diberikan Tuhan untuk kesembuhan putrinya. Selalu berada di sisi sang putri, membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, dia yakin kalimat suci Allah tersebut memiliki kekuatan penyembuh yang luar biasa.Dengan mata sembab Fatma mengawasi Farida yang masih terbaring lemah tak berdaya. Menurut dokter yang menangani sang putri, kemungkinan Farida untuk sembuh hanya lima puluh persen. Sebuah diagnosa yang cukup melegakan Fatma dan Datuk Sinai. Setidaknya mereka punya harapan meski hanya setengah saja. Hampir setiap malam dia terbangun, berharap rahmat itu datang di sepertiga malam. Seperti malam ini. Sehabis salat tahajud, Fatma tertidur di atas sajadah. Sayup-sayup dia mendengar suara mesin pendeteksi jantung berbunyi nyaring. Sontak perempuan tersebut bangun dan menghampiri putrinya. Dia menutup mulut dengan mata berkaca-kaca. Kelopak mata Farida perlahan-lahan terbuka. Gegas F
"Tolong katakan sekali lagi? Katakan bahwa yang barusan aku dengar tidak benar," pinta Fatma dengan suara lirih. Sorot mata perempuan tersebut menyiratkan keraguan."Itu benar, Buk. Saya bukan darah daging almarhum Ibu Laila. Bayi beliau meninggal dunia saat baru dilahirkan. Untuk menyenangkan hati Ibu, Nenek Ratih memungutku dari klinik yang sama."Iman menjelaskan dengan suara tegas, tetapi bernada lemah. Sorot mata lelaki tersebut seakan turut meyakinkan Fatma kalau cerita itu benar."Tidak ...." Fatma menggeleng pelan, "bagaimana hal sebesar itu disembunyikan oleh Buk Ratih. Apa almarhum Laila tahu hal ini?"Iman mengeleng lemah, membuat Fatma menganjur napas panjang dalam. "Aku tidak tahu harus bagaimana menerima kenyataan ini. Pergilah, aku tetap tak mau melihatmu berada di dekat putriku meski kalian tak sedarah.""Tapi aku mencintai Farida. Aku ingin minta maaf atas apa yang telah kulakukan padanya.""Apa yang kamu lakukan pada putriku?" Kali ini sorot mata Fatma berubah, membu
Cahaya mentari bersinar tak terlalu terik. Sisa hujan tadi pagi masih menyisakan mendung yang bergelayut di awan. Fatma menyibak kain penutup jendela kamar tempat Farida di rawat, melihat air menggantung di ujung daun-daun Bunga bugenvil yang tumbuh tepat di depan jendela. Dia menghela napas pelan, sekadar mengisi paru-parunya dengan oksigen setelah beberapa waktu yang lalu sesak oleh banyak kejadian. Sudah dua hari putrinya dipindahkan dari ruang steril. Keadaan Farida jauh lebih baik. Perempuan tersebut sudah siuman dan bisa berkomunikasi, meski bicara terbata-bata."Ayah mana, Bun?"Pertanyaan Farida membuat Fatma memalingkan wajah menatap putrinya. Dia mendekat, seraya mengulas senyum. "Ayah baru keluar, katanya ada yang harus diurus." Tangan Fatma membelai pucuk kepala Farida, "makan dulu, ya? Bunda siapin."Farida menggeleng lemah. Dia menatap Fatma sangat lama. Beberapa waktu yang lalu, dia ingin menanyakan sesuatu, tetapi keadaannya belum terlalu stabil. Pengaruh obat bius s
Farida hanya diam melihat sang bunda memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas. Satu bulan lebih berada di rumah sakit, dengan pengawasan dan perawatan intensif dari dokter serta perawat, membuat kesehatannya membaik. Meski untuk berjalan, Farida harus menggunakan tongkat, tak masalah dari pada duduk di kursi roda.Menurut dokter, kecelakaan yang terjadi membuat tulang belakang Farida retak. Bagi sebagian kasus, sang pasien akan sangat susah untuk bisa berjalan. Namun, Tuhan masih menyelamatkan perempuan itu dari kelumpuhan. Dia hanya perlu melakukan fisioterapi secara rutin untuk melatih anggota tubuh agar bisa kembali normal seperti sedia kala."Bun, setelah ini aku ingin kembali ke kampus," ucap Farida, membuat gerakan tangan Fatma terhenti. Perempuan paruh baya itu mengangkat pandangannya, seraya mengulas senyum."Iya, tapi nanti setelah kondisimu jauh lebih baik. Ayah sudah mengajukan cuti perkuliahan ke kampusmu. Jadi, selama lima bulan ini kita akan fokus pada kesehatan agar kam
Hari demi hari dijalani Farida dengan sabar. Datuk Sinai menyewakan sebuah rumah di Kota Padang, dekat dengan rumah sakit untuk mempermudah mobilisasi putrinya berobat. Jadwal fisioterapi Farida, sekali seminggu, tentu akan sangat merepotkan bila harus bolak-balik ke kota mereka. Tentu saja Fatma senang dengan keputusan sang suami. Selain bisa menemani sang putri, sudah lama dia ingin merasakan suasana tinggal di ibukota Provinsi Sumatera Barat tersebut.Kota Padang menyimpan banyak kenangan untuknya. Fatma menempuh pendidikan di kota tersebut. Di kota itu pula dia bertemu dengan sang suami. Banyak kisah yang terangkai dan tak mungkin bisa dilupakan begitu saja. Dia juga rindu teriakan pedagang keliling yang menjajakan barang dagangan mereka. Seperti pagi ini, Fatma menunggu tukang sayur langganannya di depan rumah.Mata Fatma menyipit melihat sepeda motor matic berhenti tepat di hadapan. Dia menganjur napas pelan ketika si pengendara membuka helmnya. Entah berapa kali lelaki tersebut
"Saya sangat senang melihat perkembangan Farida. Semangatnya untuk bisa berjalan normal, luar biasa," puji dr. Wahyu yang selama ini menangani Farida. Matanya sesekali mengamati si perempuan yang sedang duduk di ruang tunggu. Ruang kerjanya disekat kaca transparan, sehingga bisa melihat keadaan di sekitarnya.Pujian itu disambut Fatma dengan senyum lega. Memang, Farida selalu bersemangat setiap kali jadwal terapi. Dia berusaha mengerjakan instruksi yang disampaikan oleh dokter atau pun perawat. Meski awalnya terlihat sulit, seringpula melihat sang putri meneteskan air mata karena kepayahan dan sakit menerjang otot dan tulang kaki, tetapi Farida tak menyerah. Dia akan berhenti saat terapi tersebut selesai."Jadi putri saya bisa berjalan seperti biasa lagi, dok?" tanya Fatma bersemangat, karena selama ini Farida berjalan dengan menyeret kakinya."Kali ini saya berani menjamin. Dibutuhkan sekitar dua kali terapi lagi. Sekarang saja sudah terlihat perubahannya. Jadi, tak butuh waktu lama