"Maukah kau menjadi tunanganku?" Erickson berujar setelah memberikan kertas-kertas berisikan sebuah kontrak. Ia menatap iris lawan bicaranya yang kini membulatkan matanya sempurna dengan mantap. Kekagetan yang terlihat jelas dari raut wajah itu dirasa Erickson memang wajar. Namun bagaimana pun ia memikirkan, hanya gadis itu pilihannya.
Kertas-kertas yang berada di tangan si gadis berhamburan akibat terlepasnya pegangan tangannya. Gadis itu bernama Alice. Kini Alice terpegun begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak pernah ia sangka keluar dari mulut Erickson.Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dan lagi ada angin apa tiba-tiba ia dilamar atasannya sendiri di siang bolong begini?Semua dimulai dari dirinya yang mendapatkan kepercayaan dari Erickson untuk sebuah proyek di perusahaan mereka dan membuat intensitas pertemuan mereka berdua menjadi lebih sering dari biasanya. Namun Alice tak pernah berpikir semua itu berubah menjadi sebuah ajakan pertunangan begini, apalagi mengingat ia yang baru saja dikhianati kekasihnya. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pria ini sehingga melakukan ini? Bukankah dia dikelilingi begitu banyak wanita cantik yang datang hampir setiap hari? Kenapa malah melamar dirinya?***Erickson melangkah melewati khalayak yang tengah mengobrol di meja sebuah lounge elit yang masih ramai meski waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tak menyadari para wanita di sana yang melirik ke arahnya dengan tatapan kagum dan tersipu sejak ia menampakkan dirinya. Bagaimana tidak, ia bak seorang model yang tengah berjalan di atas panggung runway. Tubuh yang tinggi, pupil yang berwarna biru membuat orang yang menatap seakan tengah melihat langit indah di hari yang cerah, pahatan hidung yang terbentuk sempurna serta kulitnya yang putih memberikan impresi yang elegan pada dirinya. Dengan setelan jas pas badan berwarna hitam yang terpasang rapi di tubuhnya menambah kesan mencolok diantara banyaknya manusia yang berada di sana.Tak butuh waktu lama untuknya sampai di ruang VIP yang menjadi tujuannya sejak awal. Ia segera dihadapkan dengan dua pria yang tengah bergurau di sana. Bersama dengan dua botol wine tergeletak di meja yang isinya telah habis tak bersisa entah sejak kapan.Mereka serempak menoleh saat Erickson membuka pintu. Salah satu pria bernama Rino berdiri menghampiri Erickson lalu merangkulnya dengan ramah. Bau wine dalam sekejap memenuhi indera penciuman Erickson. Padahal janji temu mereka benar jam sembilan, namun menengok dua botol wine yang telah punah isinya, sepertinya mereka berdua sudah di sini lama sebelum dirinya."Bukankah kita harus membahas pekerjaan? Tapi kalian malah mabuk?" Erickson menyingkirkan tangan Rino dan memandangnya malas."Ayolah, kami tidak mabuk. Kami hanya bersantai sambil menunggumu datang." Pria satunya menyangkal.Rino menyeka sisa wine yang berada di sudut bibirnya. "Arza, kau panggil mereka." Ia kemudian menarik Erickson untuk duduk di sebelahnya.Arza memanggil beberapa wanita untuk masuk ke dalam ruangan mereka. Erickson menghela napas —tak suka dengan keadaan ini—. Banyak hal yang lebih penting baginya saat ini, namun kedua pria di depannya yang merupakan anak dari teman bisnis ayahnya itu juga merupakan investornya. Tak mungkin ia menunda event perusahaannya hanya karena kelakuan kedua pria itu. Meski mereka tampak seperti anak manja yang nakal tapi mereka juga punya andil dalam pekerjaannya.Satu per satu wanita masuk ke ruangan. Alis Erickson bertaut. Muak melihat para wanita di depannya yang berpakaian minim itu memiliki sikap yang sama, mencoba sebaik mungkin terlihat menggairahkan. Pemandangan itu sudah menjadi tontonannya hampir setiap hari.Ia terganggu dengan bermacam-macam parfum yang bercampur jadi satu di ruangan itu. Sejak awal tahu betul Rino dan Arza akan mengundang beberapa wanita pilihan mereka untuk menemani pertemuannya. Erickson berdecak. Ia bodoh mengiyakan ajakan kedua pemabuk itu. Jelas memang mereka berdua menjadikan pekerjaan sebagai salah satu alasan untuk mengajaknya bermain. Itu sudah terjadi berkali-kali."Aku mengiyakan karena memang masih banyak yang belum kita bicarakan, sedangkan meeting-nya datang dalam dua hari." Erickson menatap kesal Rino."Aku tahu. Kita bicarakan setelah ini."Dua wanita mengapit kedua sisinya dengan manisnya. Erickson mengacuhkan keduanya dan hanya fokus pada berkas yang sejak tadi sudah dibukanya. Ia sungguh tidak tertarik pada wanita jika sedang berurusan dengan pekerjaan. Setidaknya berkas itu dirasanya lebih baik daripada mengamati dua pria menyedihkan di depannya yang hanya tahu mabuk saja.Beberapa kali para wanita itu juga mengajaknya berbicara. Sayangnya tak ada yang menarik perhatiannya. Akan lebih baik jika mereka langsung membicarakan pekerjaan. Diliriknya jam tangannya. Ia mendengus. Malam ini ia harus ekstra sabar.***Dua jam berlalu begitu pula dengan semua urusan Erickson bersama kedua pria itu pun mencapai akhir. Tanpa membuang lebih banyak waktu di sana, Erickson beranjak pergi tanpa keraguan meski Rino dan Arza yang meracau memanggilnya asal. Erickson menggelengkan kepala, betapa tidak awasnya mereka berdua hingga mabuk melebihi batas. Padahal itu bisa menjadi hal berbahaya karena mereka bisa dengan mudah dijebak jika seseorang memiliki niat. Bahkan jika salah satu wanita di sana membeberkan bahwa ia telah dilecehkan pun tak ada yang tahu apakah itu kebenaran atau bukan.Erickson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia memencet tombol B1 yang mengantarnya menuju tempat mobilnya terparkir dengan seseorang yang telah menunggunya selama dua jam lebih.Pria yang merupakan sekretarisnya itu sepertinya juga tengah melakukan pekerjaan, ia fokus pada laptop di depannya tak sadar sang atasan sudah berada di hadapannya."Apa kau belum selesai?" Erickson segera membuka pintu mobil belakang dan duduk di sana. Pria berkacamata yang diajak bicara pun kini menghentikan ketukan jarinya pada keyboard dan menoleh.Erickson bersandar karena merasa lelah. Entah mengapa indera penciumannya seperti terganggu akibat parfum yang digunakan para wanita di dalam ruangan tadi. Bau itu masih menempel lekat di hidungnya meski ia sudah beranjak dari sana. Dilihatnya sekretarisnya yang menatapnya tanpa berucap sepatah katapun."Seperti yang kau duga, mereka lagi-lagi membawa banyak wanita." Erickson menjawab keingintahuan pria itu yang tertulis jelas di wajahnya."Jadi apa anda mabuk?" Pria itu menyelidik. Ingin tahu dengan semua detil yang ada."Arthur, kau tahu kan aku tidak suka minum saat bekerja." Erickson berdecak pelan, malas menjawab lebih.Arthur menggeleng pelan. Pasti di dalam sana sangat kacau menilik dari wajah Erickson yang biasanya datar kini terlihat mengernyit kesal. Bahkan saat Erickson masuk ke dalam mobil, aroma parfum wanita yang tercium memenuhi Indra penciumannya bahkan membuatnya tak mengenal lagi aroma apa saja yang bercampur di sana yang begitu menyengat, itu saja sudah menjadi bukti seperti apa keadaan di dalam sana. Ia memuji Erickson yang menahan itu selama lebih dari dua jam mengingat dirinya sangat tak menyukai parfum yang menyengat. Itu juga menjadi alasan atasannya itu hampir selalu memakai masker meskipun di dalam ruangan kecuali ruang kantornya sendiri. Hidungnya amat sensitif akan wewangian yang kadang membuatnya merasa pusing bahkan mual jika mencium parfum yang terlalu kuat.Melihat raut wajah Erickson yang sudah sangat lelah, tanpa berbicara lagi Arthur segera menjalankan mobilnya menuju apartemen milik sang atasan. Meski awalnya masih ada yang ingin dia diskusikan, tapi diurungkan karena dia tahu betul jika mood Erickson pasti tidak bagus malam itu.Erickson mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Pria itu kini telah melewati dua jembatan yang menandakan dirinya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak ada kemacetan yang mengganggunya sepanjang jalan, mungkin karena jam yang masih menunjukkan pukul empat dini hari. Untung saja ia tak ikut minum semalam, jika tidak ia tak akan mengemudi seperti ini dan terpaksa memanggil Arthur. Telepon yang datang padanya tiga puluh menit yang lalu lah yang menjadi sebab ia menyusuri jalanan yang masih cukup sepi. Wanita dalam telepon itu berbicara dengan nada yang lemah lembut, berlawanan dengan alasan dia menelepon pagi-pagi buta. Ayahnya Erickson terlibat kecelakaan saat saat mengemudi bersama ibu tirinya —yang tadi meneleponnya—. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sedang berada di UGD. Meski sang ibu telah mengatakan bahwa itu bukanlah kecelakaan yang parah, tapi ia minta Erickson untuk datang karena ayahnya tidak sadarkan diri. Ia menghentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah saki
Usai memeriksa beberapa laporan, selang belasan menit kemudian, Erickson kini berpindah ke meja kerjanya, ada banyak laporan menumpuk yang belum sempat disentuhnya akibat meeting bersama Rino dan Vio kemarin. Diraihnya kopi buatan Arthur yang baru ditaruh. Asap mengepul setelah ia tiupkan sedikit udara dan kemudian menyeruput kopi hitam pekat itu sembari matanya tak lepas dari layar komputer di depannya. "Katakan pada Alice untuk masuk dan bawa proposalnya jika sudah selesai." Alice merupakan salah satu pekerjanya yang cukup kompeten meski kepribadiannya terkadang membuat Erickson mengernyitkan dahi. Mungkin sifatnya pemalu karena Alice tak pernah mau menatap matanya, atau bisa jadi takut padanya. Diliriknya luar ruangan dimana bisa ia lihat dengan cukup jelas Alice yang tengah membalik lembar-lembar kertas yang ada di mejanya berulang kali sambil sesekali memainkan pulpen di tangannya setelah Arthur beranjak dari sisinya. Sudah lama sejak Alice bekerja dengan Erickson. Ia pun suda
Alice merasakan perang batin, haruskah ia kembali saja atau membangunkan pria itu. Ia melirik keluar ruangan, hari sudah mulai gelap. Akhirnya Alice memutuskan untuk mendekat menuju sofa itu dan menunduk, ia mendekatkan kepalanya ke wajah pria itu dan mengamati dari dekat wajah tampannya. Erickson selalu memasang wajah dingin dan kaku saat sadar, namun saat sedang tidur wajahnya lebih tenang dan polos, seperti anak kecil. Alice terbayang bagaimana jika ekspresi wajah polos yang dilihatnya saat ini adalah ekspresi yang dipasang oleh pria itu setiap hari di kantor, pasti semakin banyak yang tergila-gila padanya. Sejujurnya ia cukup beruntung bisa berada dengan jarak yang dekat dengan bosnya seperti saat ini. Ekspresi wajah Alice seketika berubah saat ingatannya tiba-tiba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat seorang wanita datang ke kantor dan menemui Erickson. Usut punya usut, wanita itu adalah wanita kesekian yang dibawa oleh ayahnya untuk menjadi teman kencan Erickson, nam
"Maaf? Kalau rumah saya… tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit dari sini." Sebenarnya Alice tidak tahu alasan Erickson menanyakan itu. Ia menatap lekat gadis di depannya itu, membaca tiap ekspresi yang ditunjukkannya. Terlihat hanya ada kebingungan di sana. Ia mengurungkan kalimat yang awalnya akan ia katakan dan menggantinya dengan kalimat lain. "Tidak ada, pulanglah." Erickson berbalik dan kemudian melanjutkan kembali memilah dokumen di mejanya. "Baik. Selamat malam, Presdir." Alice yang masih kebingungan tak terlalu memusingkan dan segera melangkah keluar dari ruang Erickson. Belum juga dirinya menarik gagang pintu, sosok Arthur sudah berada di depannya. Arthur tersenyum ramah padanya lalu mempersilakan dirinya untuk keluar. Alice pun membalas dengan sedikit anggukan dan tersenyum pada Arthur. Sambil berjalan, Alice melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya gembira. Sepertinya pekerjaannya hari ini selesai lebih awal dari dugaan Alice. Ia berpikir
Vio beberapa kali membuka mulutnya dengan ragu, lama ia menatap wanita yang tak diketahui namanya itu lalu ia memegang bahunya dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. "Bukan… bukan begitu. Tunggu, biarkan aku bicara dengannya dulu." Vio berbisik di telinga wanita itu dan menatapnya dengan gelagapan.Alice tercengang di tempatnya melihat kelakuan Vio yang terlihat jelas saat itu bahwa dia lebih memihak siapa. Alice seketika langsung mengetahui bahwa prioritas pria itu bukanlah dirinya, yang dikhawatirkan akan salah paham bukan dia melainkan wanita asing itu.Alice begitu murka, ingin rasanya ia meluapkannya disana saat itu juga namun sisi dirinya yang masih sadar tahu bahwa itu hanya akan membuat dirinya terlihat menyedihkan dan ia tak mau begitu. Dengan amarah yang berada di puncak, Alice hanya bergeming di sana, tatapannya membidik tajam pada Vio."Jelaskan padaku apa yang kau lakukan di sini bersama wanita ini? Kau… apa kau sudah gila? Kau… bagaimana bisa kau…." Suara Alice terdeng
"Aku bersyukur mengetahui dirimu yang asli lebih cepat. Aku sempat berpikir untuk menyerahkan hidupku hanya untukmu dan menjadikanmu kekasih terakhirku di dunia ini. Namun, ternyata Tuhan menilai aku terlalu berharga untuk disandingkan denganmu. Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku harap hubungan kalian abadi. Meski au tidak yakin dia adalah satu-satunya bagimu." Berbanding terbalik dengan keadaan hatinya, ucapan Alice benar-benar menunjukkan bahwa ia tak tenggelam dalam alasan murahan Vio. Alice pun langsung memutar badannya dengan cepat, tak ingin memberikan Vio sedetikpun waktu untuk membalas ucapannya.Vio terpaku merasa marah harga dirinya yang tadi sudah ia tinggikan kini diinjak-injak oleh Alice. Inginnya berlari menarik kedua tangan yang jelas-jelas masih gemetar itu dan membungkam mulutnya yang berucap kasar padanya hingga meneteskan air mata namun hal itu dicegah oleh pemilik cafe yang ternyata sejak tadi sudah memerhatikan keduanya dari jauh.Alice melangkah dengan tergesa
Ucapan Arthur seolah meyakinkan ingatan Erickson bahwa ia memang familiar dengan wanita itu dan secara tak langsung mengukuhkan dugaannya.Di sana, Alice tengah berdiri membelakangi Arthur dan Erickson. Dihadapannya dua orang yang tak dikenal sedang menatap Alice. Insting dalam diri Erickson berkata bahwa ada yang salah dengan tatapan kedua orang itu, terutama sesosok wanita yang bersembunyi dibalik tubuh pria itu menunjukkan ekspresi yang seakan menertawakan Alice. Sedangkan pria di sampingnya terlihat marah dan kesal.Tak butuh waktu lama bagi Erickson mengerti apa yang tengah terjadi di sana. Suasana yang tampak canggung dan tegang, dua orang tak dikenal yang keduanya menatap Alice, hingga tatapan Erickson yang tadi tak sengaja turun ke lengan Alice dan mendapati wanita itu mengepalkan tangannya dengan begitu erat sampai tangan itu nampak gemetar hingga ke seluruh tubuhnya menampakkan bahwa Alice tengah menahan emosinya.Arthur yang masih belum mengerti apapun hendak mengajak Ericks
"Terima kasih, Presdir." Alice membungkukkan sedikit kepalanya lalu bersegera keluar dari mobil sang atasan segera setelah dirinya melihat apartemennya kini sudah berada di depan matanya. Tak lupa ia ikut memberi salam pada Arthur dengan sedikit anggukan kepala.Diambilnya langkah dengan tergesa-gesa dan berjalan memunggungi mobil tersebut. Tak berani dirinya membalikkan badannya hingga terdengar di telinganya gesekan ban dan mesin mobil yang sudah melaju. Barulah di sana ia menghembuskan napasnya yang tanpa sadar ia tahan beberapa saat karena saat itu Alice merasakan perasaan malu yang beberapa saat sudah membuatnya lupa akan luka hatinya saat itu, ya hanya beberapa saat. Karena segera setelahnya, Alice kembali teringat akan patah hatinya yang dahsyat.Lantas ia bergegas menaiki elevator yang kini telah berada tepat di depan matanya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Di sana, ia merasa tubuhnya sedikit lemas. Ia menyandarkan tubuhnya sedikit ke dinding elevator yang dingin hingga