Share

1. Rutinitas

Author: Juya Luc
last update Last Updated: 2022-03-22 20:39:30

"Maukah kau menjadi tunanganku?" Erickson berujar setelah memberikan kertas-kertas berisikan sebuah kontrak. Ia menatap iris lawan bicaranya yang kini membulatkan matanya sempurna dengan mantap. Kekagetan yang terlihat jelas dari raut wajah itu dirasa Erickson memang wajar. Namun bagaimana pun ia memikirkan, hanya gadis itu pilihannya.

Kertas-kertas yang berada di tangan si gadis berhamburan akibat terlepasnya pegangan tangannya. Gadis itu bernama Alice. Kini Alice terpegun begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak pernah ia sangka keluar dari mulut Erickson.

Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dan lagi ada angin apa tiba-tiba ia dilamar atasannya sendiri di siang bolong begini?

Semua dimulai dari dirinya yang mendapatkan kepercayaan dari Erickson untuk sebuah proyek di perusahaan mereka dan membuat intensitas pertemuan mereka berdua menjadi lebih sering dari biasanya. Namun Alice tak pernah berpikir semua itu berubah menjadi sebuah ajakan pertunangan begini, apalagi mengingat ia yang baru saja dikhianati kekasihnya. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pria ini sehingga melakukan ini? Bukankah dia dikelilingi begitu banyak wanita cantik yang datang hampir setiap hari? Kenapa malah melamar dirinya?

***

Erickson melangkah melewati khalayak yang tengah mengobrol di meja sebuah lounge elit yang masih ramai meski waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tak menyadari para wanita di sana yang melirik ke arahnya dengan tatapan kagum dan tersipu sejak ia menampakkan dirinya. Bagaimana tidak, ia bak seorang model yang tengah berjalan di atas panggung runway. Tubuh yang tinggi, pupil yang berwarna biru membuat orang yang menatap seakan tengah melihat langit indah di hari yang cerah, pahatan hidung yang terbentuk sempurna serta kulitnya yang putih memberikan impresi yang elegan pada dirinya. Dengan setelan jas pas badan berwarna hitam yang terpasang rapi di tubuhnya menambah kesan mencolok diantara banyaknya manusia yang berada di sana.

Tak butuh waktu lama untuknya sampai di ruang VIP yang menjadi tujuannya sejak awal. Ia segera dihadapkan dengan dua pria yang tengah bergurau di sana. Bersama dengan dua botol wine tergeletak di meja yang isinya telah habis tak bersisa entah sejak kapan.

Mereka serempak menoleh saat Erickson membuka pintu. Salah satu pria bernama Rino berdiri menghampiri Erickson lalu merangkulnya dengan ramah. Bau wine dalam sekejap memenuhi indera penciuman Erickson. Padahal janji temu mereka benar jam sembilan, namun menengok dua botol wine yang telah punah isinya, sepertinya mereka berdua sudah di sini lama sebelum dirinya.

"Bukankah kita harus membahas pekerjaan? Tapi kalian malah mabuk?" Erickson menyingkirkan tangan Rino dan memandangnya malas.

"Ayolah, kami tidak mabuk. Kami hanya bersantai sambil menunggumu datang." Pria satunya menyangkal.

Rino menyeka sisa wine yang berada di sudut bibirnya. "Arza, kau panggil mereka." Ia kemudian menarik Erickson untuk duduk di sebelahnya.

Arza memanggil beberapa wanita untuk masuk ke dalam ruangan mereka. Erickson menghela napas —tak suka dengan keadaan ini—. Banyak hal yang lebih penting baginya saat ini, namun kedua pria di depannya yang merupakan anak dari teman bisnis ayahnya itu juga merupakan investornya. Tak mungkin ia menunda event perusahaannya hanya karena kelakuan kedua pria itu. Meski mereka tampak seperti anak manja yang nakal tapi mereka juga punya andil dalam pekerjaannya.

Satu per satu wanita masuk ke ruangan. Alis Erickson bertaut. Muak melihat para wanita di depannya yang berpakaian minim itu memiliki sikap yang sama, mencoba sebaik mungkin terlihat menggairahkan. Pemandangan itu sudah menjadi tontonannya hampir setiap hari.

Ia terganggu dengan bermacam-macam parfum yang bercampur jadi satu di ruangan itu. Sejak awal tahu betul Rino dan Arza akan mengundang beberapa wanita pilihan mereka untuk menemani pertemuannya. Erickson berdecak. Ia bodoh mengiyakan ajakan kedua pemabuk itu. Jelas memang mereka berdua menjadikan pekerjaan sebagai salah satu alasan untuk mengajaknya bermain. Itu sudah terjadi berkali-kali.

"Aku mengiyakan karena memang masih banyak yang belum kita bicarakan, sedangkan meeting-nya datang dalam dua hari." Erickson menatap kesal Rino.

"Aku tahu. Kita bicarakan setelah ini."

Dua wanita mengapit kedua sisinya dengan manisnya. Erickson mengacuhkan keduanya dan hanya fokus pada berkas yang sejak tadi sudah dibukanya. Ia sungguh tidak tertarik pada wanita jika sedang berurusan dengan pekerjaan. Setidaknya berkas itu dirasanya lebih baik daripada mengamati dua pria menyedihkan di depannya yang hanya tahu mabuk saja.

Beberapa kali para wanita itu juga mengajaknya berbicara. Sayangnya tak ada yang menarik perhatiannya. Akan lebih baik jika mereka langsung membicarakan pekerjaan. Diliriknya jam tangannya. Ia mendengus. Malam ini ia harus ekstra sabar.

***

Dua jam berlalu begitu pula dengan semua urusan Erickson bersama kedua pria itu pun mencapai akhir. Tanpa membuang lebih banyak waktu di sana, Erickson beranjak pergi tanpa keraguan meski Rino dan Arza yang meracau memanggilnya asal. Erickson menggelengkan kepala, betapa tidak awasnya mereka berdua hingga mabuk melebihi batas. Padahal itu bisa menjadi hal berbahaya karena mereka bisa dengan mudah dijebak jika seseorang memiliki niat. Bahkan jika salah satu wanita di sana membeberkan bahwa ia telah dilecehkan pun tak ada yang tahu apakah itu kebenaran atau bukan.

Erickson memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia memencet tombol B1 yang mengantarnya menuju tempat mobilnya terparkir dengan seseorang yang telah menunggunya selama dua jam lebih.

Pria yang merupakan sekretarisnya itu sepertinya juga tengah melakukan pekerjaan, ia fokus pada laptop di depannya tak sadar sang atasan sudah berada di hadapannya.

"Apa kau belum selesai?" Erickson segera membuka pintu mobil belakang dan duduk di sana. Pria berkacamata yang diajak bicara pun kini menghentikan ketukan jarinya pada keyboard dan menoleh.

Erickson bersandar karena merasa lelah. Entah mengapa indera penciumannya seperti terganggu akibat parfum yang digunakan para wanita di dalam ruangan tadi. Bau itu masih menempel lekat di hidungnya meski ia sudah beranjak dari sana. Dilihatnya sekretarisnya yang menatapnya tanpa berucap sepatah katapun.

"Seperti yang kau duga, mereka lagi-lagi membawa banyak wanita." Erickson menjawab keingintahuan pria itu yang tertulis jelas di wajahnya.

"Jadi apa anda mabuk?" Pria itu menyelidik. Ingin tahu dengan semua detil yang ada.

"Arthur, kau tahu kan aku tidak suka minum saat bekerja." Erickson berdecak pelan, malas menjawab lebih.

Arthur menggeleng pelan. Pasti di dalam sana sangat kacau menilik dari wajah Erickson yang biasanya datar kini terlihat mengernyit kesal. Bahkan saat Erickson masuk ke dalam mobil, aroma parfum wanita yang tercium memenuhi Indra penciumannya bahkan membuatnya tak mengenal lagi aroma apa saja yang bercampur di sana yang begitu menyengat, itu saja sudah menjadi bukti seperti apa keadaan di dalam sana. Ia memuji Erickson yang menahan itu selama lebih dari dua jam mengingat dirinya sangat tak menyukai parfum yang menyengat. Itu juga menjadi alasan atasannya itu hampir selalu memakai masker meskipun di dalam ruangan kecuali ruang kantornya sendiri. Hidungnya amat sensitif akan wewangian yang kadang membuatnya merasa pusing bahkan mual jika mencium parfum yang terlalu kuat.

Melihat raut wajah Erickson yang sudah sangat lelah, tanpa berbicara lagi Arthur segera menjalankan mobilnya menuju apartemen milik sang atasan. Meski awalnya masih ada yang ingin dia diskusikan, tapi diurungkan karena dia tahu betul jika mood Erickson pasti tidak bagus malam itu.

Related chapters

  • Love is Dangerous   2. Telepon

    Erickson mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Pria itu kini telah melewati dua jembatan yang menandakan dirinya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak ada kemacetan yang mengganggunya sepanjang jalan, mungkin karena jam yang masih menunjukkan pukul empat dini hari. Untung saja ia tak ikut minum semalam, jika tidak ia tak akan mengemudi seperti ini dan terpaksa memanggil Arthur. Telepon yang datang padanya tiga puluh menit yang lalu lah yang menjadi sebab ia menyusuri jalanan yang masih cukup sepi. Wanita dalam telepon itu berbicara dengan nada yang lemah lembut, berlawanan dengan alasan dia menelepon pagi-pagi buta. Ayahnya Erickson terlibat kecelakaan saat saat mengemudi bersama ibu tirinya —yang tadi meneleponnya—. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sedang berada di UGD. Meski sang ibu telah mengatakan bahwa itu bukanlah kecelakaan yang parah, tapi ia minta Erickson untuk datang karena ayahnya tidak sadarkan diri. Ia menghentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah saki

    Last Updated : 2022-03-22
  • Love is Dangerous   3. Tidur

    Usai memeriksa beberapa laporan, selang belasan menit kemudian, Erickson kini berpindah ke meja kerjanya, ada banyak laporan menumpuk yang belum sempat disentuhnya akibat meeting bersama Rino dan Vio kemarin. Diraihnya kopi buatan Arthur yang baru ditaruh. Asap mengepul setelah ia tiupkan sedikit udara dan kemudian menyeruput kopi hitam pekat itu sembari matanya tak lepas dari layar komputer di depannya. "Katakan pada Alice untuk masuk dan bawa proposalnya jika sudah selesai." Alice merupakan salah satu pekerjanya yang cukup kompeten meski kepribadiannya terkadang membuat Erickson mengernyitkan dahi. Mungkin sifatnya pemalu karena Alice tak pernah mau menatap matanya, atau bisa jadi takut padanya. Diliriknya luar ruangan dimana bisa ia lihat dengan cukup jelas Alice yang tengah membalik lembar-lembar kertas yang ada di mejanya berulang kali sambil sesekali memainkan pulpen di tangannya setelah Arthur beranjak dari sisinya. Sudah lama sejak Alice bekerja dengan Erickson. Ia pun suda

    Last Updated : 2022-03-22
  • Love is Dangerous   4. Gugup

    Alice merasakan perang batin, haruskah ia kembali saja atau membangunkan pria itu. Ia melirik keluar ruangan, hari sudah mulai gelap. Akhirnya Alice memutuskan untuk mendekat menuju sofa itu dan menunduk, ia mendekatkan kepalanya ke wajah pria itu dan mengamati dari dekat wajah tampannya. Erickson selalu memasang wajah dingin dan kaku saat sadar, namun saat sedang tidur wajahnya lebih tenang dan polos, seperti anak kecil. Alice terbayang bagaimana jika ekspresi wajah polos yang dilihatnya saat ini adalah ekspresi yang dipasang oleh pria itu setiap hari di kantor, pasti semakin banyak yang tergila-gila padanya. Sejujurnya ia cukup beruntung bisa berada dengan jarak yang dekat dengan bosnya seperti saat ini. Ekspresi wajah Alice seketika berubah saat ingatannya tiba-tiba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat seorang wanita datang ke kantor dan menemui Erickson. Usut punya usut, wanita itu adalah wanita kesekian yang dibawa oleh ayahnya untuk menjadi teman kencan Erickson, nam

    Last Updated : 2022-03-22
  • Love is Dangerous   5. Terkhianati

    "Maaf? Kalau rumah saya… tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit dari sini." Sebenarnya Alice tidak tahu alasan Erickson menanyakan itu. Ia menatap lekat gadis di depannya itu, membaca tiap ekspresi yang ditunjukkannya. Terlihat hanya ada kebingungan di sana. Ia mengurungkan kalimat yang awalnya akan ia katakan dan menggantinya dengan kalimat lain. "Tidak ada, pulanglah." Erickson berbalik dan kemudian melanjutkan kembali memilah dokumen di mejanya. "Baik. Selamat malam, Presdir." Alice yang masih kebingungan tak terlalu memusingkan dan segera melangkah keluar dari ruang Erickson. Belum juga dirinya menarik gagang pintu, sosok Arthur sudah berada di depannya. Arthur tersenyum ramah padanya lalu mempersilakan dirinya untuk keluar. Alice pun membalas dengan sedikit anggukan dan tersenyum pada Arthur. Sambil berjalan, Alice melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya gembira. Sepertinya pekerjaannya hari ini selesai lebih awal dari dugaan Alice. Ia berpikir

    Last Updated : 2022-03-22
  • Love is Dangerous   6. Murka

    Vio beberapa kali membuka mulutnya dengan ragu, lama ia menatap wanita yang tak diketahui namanya itu lalu ia memegang bahunya dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. "Bukan… bukan begitu. Tunggu, biarkan aku bicara dengannya dulu." Vio berbisik di telinga wanita itu dan menatapnya dengan gelagapan.Alice tercengang di tempatnya melihat kelakuan Vio yang terlihat jelas saat itu bahwa dia lebih memihak siapa. Alice seketika langsung mengetahui bahwa prioritas pria itu bukanlah dirinya, yang dikhawatirkan akan salah paham bukan dia melainkan wanita asing itu.Alice begitu murka, ingin rasanya ia meluapkannya disana saat itu juga namun sisi dirinya yang masih sadar tahu bahwa itu hanya akan membuat dirinya terlihat menyedihkan dan ia tak mau begitu. Dengan amarah yang berada di puncak, Alice hanya bergeming di sana, tatapannya membidik tajam pada Vio."Jelaskan padaku apa yang kau lakukan di sini bersama wanita ini? Kau… apa kau sudah gila? Kau… bagaimana bisa kau…." Suara Alice terdeng

    Last Updated : 2022-04-06
  • Love is Dangerous   7. Berpisah

    "Aku bersyukur mengetahui dirimu yang asli lebih cepat. Aku sempat berpikir untuk menyerahkan hidupku hanya untukmu dan menjadikanmu kekasih terakhirku di dunia ini. Namun, ternyata Tuhan menilai aku terlalu berharga untuk disandingkan denganmu. Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku harap hubungan kalian abadi. Meski au tidak yakin dia adalah satu-satunya bagimu." Berbanding terbalik dengan keadaan hatinya, ucapan Alice benar-benar menunjukkan bahwa ia tak tenggelam dalam alasan murahan Vio. Alice pun langsung memutar badannya dengan cepat, tak ingin memberikan Vio sedetikpun waktu untuk membalas ucapannya.Vio terpaku merasa marah harga dirinya yang tadi sudah ia tinggikan kini diinjak-injak oleh Alice. Inginnya berlari menarik kedua tangan yang jelas-jelas masih gemetar itu dan membungkam mulutnya yang berucap kasar padanya hingga meneteskan air mata namun hal itu dicegah oleh pemilik cafe yang ternyata sejak tadi sudah memerhatikan keduanya dari jauh.Alice melangkah dengan tergesa

    Last Updated : 2022-04-06
  • Love is Dangerous   8. Pulang

    Ucapan Arthur seolah meyakinkan ingatan Erickson bahwa ia memang familiar dengan wanita itu dan secara tak langsung mengukuhkan dugaannya.Di sana, Alice tengah berdiri membelakangi Arthur dan Erickson. Dihadapannya dua orang yang tak dikenal sedang menatap Alice. Insting dalam diri Erickson berkata bahwa ada yang salah dengan tatapan kedua orang itu, terutama sesosok wanita yang bersembunyi dibalik tubuh pria itu menunjukkan ekspresi yang seakan menertawakan Alice. Sedangkan pria di sampingnya terlihat marah dan kesal.Tak butuh waktu lama bagi Erickson mengerti apa yang tengah terjadi di sana. Suasana yang tampak canggung dan tegang, dua orang tak dikenal yang keduanya menatap Alice, hingga tatapan Erickson yang tadi tak sengaja turun ke lengan Alice dan mendapati wanita itu mengepalkan tangannya dengan begitu erat sampai tangan itu nampak gemetar hingga ke seluruh tubuhnya menampakkan bahwa Alice tengah menahan emosinya.Arthur yang masih belum mengerti apapun hendak mengajak Ericks

    Last Updated : 2022-05-28
  • Love is Dangerous   9. Berterima Kasih

    "Terima kasih, Presdir." Alice membungkukkan sedikit kepalanya lalu bersegera keluar dari mobil sang atasan segera setelah dirinya melihat apartemennya kini sudah berada di depan matanya. Tak lupa ia ikut memberi salam pada Arthur dengan sedikit anggukan kepala.Diambilnya langkah dengan tergesa-gesa dan berjalan memunggungi mobil tersebut. Tak berani dirinya membalikkan badannya hingga terdengar di telinganya gesekan ban dan mesin mobil yang sudah melaju. Barulah di sana ia menghembuskan napasnya yang tanpa sadar ia tahan beberapa saat karena saat itu Alice merasakan perasaan malu yang beberapa saat sudah membuatnya lupa akan luka hatinya saat itu, ya hanya beberapa saat. Karena segera setelahnya, Alice kembali teringat akan patah hatinya yang dahsyat.Lantas ia bergegas menaiki elevator yang kini telah berada tepat di depan matanya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Di sana, ia merasa tubuhnya sedikit lemas. Ia menyandarkan tubuhnya sedikit ke dinding elevator yang dingin hingga

    Last Updated : 2022-10-25

Latest chapter

  • Love is Dangerous   25. Apa itu kencan?

    Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot

  • Love is Dangerous   24. Candaan Erickson

    "Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel

  • Love is Dangerous   23. Amarah Erickson

    Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar

  • Love is Dangerous   22. Makan siang bersama

    Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k

  • Love is Dangerous   21. Waktu untuk berpikir

    Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa

  • Love is Dangerous   20. Syarat

    Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b

  • Love is Dangerous   19. Maukah kau menjadi tunanganku?

    Jam makan siang telah tiba dan Arthur sudah keluar lebih dulu, hanya menyisakan Erickson yang masih berada di kursi besarnya. Sebelum keluar, Arthur berkali-kali mendiktenya agar berbicara dengan sungguh-sungguh tanpa mengintimidasi. Apa-apaan maksudnya? Memangnya dia hendak memangsa si gadis? Kening Erickson berkerut. Ia merasa Arthur semakin tak sopan beberapa waktu belakangan ini."Apa dia pikir aku ini anak kecil?" Erickson berdecak kesal. Mengintimidasi? Mengapa kata itu sering kali terdengar di telinganya? Ia merasa tak pernah mencoba mengintimidasi lawan bicaranya. Ia hanya berbicara normal. Memangnya berbicara normal itu mengintimidasi? Ia menghela napas dengan kasar. Disandarkan punggung ke kursinya. Ia mengetukkan telunjuknya ke meja kerjanya, menimbang-nimbang hal yang harus dilakukannya.Tak lama kemudian, ia membenarkan posisi duduknya menjadi sedikit tegap ke depan. Lalu ia menatap ke luar ruangannya beberapa saat sebelum akhirnya meraih ponselnya yang hanya berjarak sat

  • Love is Dangerous   18. Pesan

    “Jadi, bagaimana semalam?”Alice menoleh lalu mengernyit kaget melihat Siska yang sudah berada di sampingnya. Semalam dia memang sempat bercerita pada Siska sebentar dalam teleponnya sebelum dirinya terlelap.“Apanya?” Alice berpura-pura tak tahu. Mereka berada di dalam elevator dengan beberapa orang lain yang tak dikenali. Bagaimana bisa mereka bercerita tentang hal-hal pribadi di tempat umum? Alice hanya mengacuhkan Siska yang masih saja bersemangat meminta penjelasan darinya.“Tidak ada yang terjadi. Kebetulan aku dan dia sama-sama keberatan dengan kencan buta. Jadi kami mengobrol sebentar lalu pulang." Jawaban Alice baru keluar dari mulutnya setelah mereka sampai di dalam kantor. Alice mendudukkan dirinya di kursi kerjanya begitu pula dengan Siska yang mengekorinya dan duduk di kursi sebelah yang pemiliknya belum terlihat batang hidungnya sama sekali meskipun suasana pagi itu sudah cukup ramai.Alice melirik ruang kerja Erickson yang masih kosong, tampaknya pria itu belum datang. H

  • Love is Dangerous   17. Kebersamaan yang hanya sebentar.

    "Saya hanya berpikir mengapa Presdir mengajak saya ke sini… apa… apa ada yang bermasalah dengan pekerjaan saya?"Alice berbohong untuk menutupi kegugupannya. Jika Erickson bisa membaca pikirannya saat ini pasti dia sudah habis ditertawakan. Image-nya di mata Erickson juga pasti akan hancur. Beruntung Erickson tak memiliki ilmu membaca pikiran seperti yang ada di film-film fantasi.“Mengapa kau berpikir ini soal pekerjaan?" Erickson menaikkan sudut bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya. Ia diam dan mengamati wajah Alice, menunggu gadis itu menjawabnya. Entah mengapa dirinya merasa tertarik melihat kebingungan gadis itu.Alice menggigit bibirnya, ia bingung harus menjawab apa. Jika bukan masalah pekerjaan, lantas mengapa mereka datang ke sana di larut malam, protesnya dalam hati. Hingga tatapannya tertuju pada pakaian Erickson dan memberikannya sebuah ide.Wajah Alice sedikit lega. "Karena Presdir masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat berada di kantor hari ini," jawab Alice

DMCA.com Protection Status