"Maaf? Kalau rumah saya… tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit dari sini." Sebenarnya Alice tidak tahu alasan Erickson menanyakan itu. Ia menatap lekat gadis di depannya itu, membaca tiap ekspresi yang ditunjukkannya. Terlihat hanya ada kebingungan di sana. Ia mengurungkan kalimat yang awalnya akan ia katakan dan menggantinya dengan kalimat lain. "Tidak ada, pulanglah." Erickson berbalik dan kemudian melanjutkan kembali memilah dokumen di mejanya. "Baik. Selamat malam, Presdir." Alice yang masih kebingungan tak terlalu memusingkan dan segera melangkah keluar dari ruang Erickson. Belum juga dirinya menarik gagang pintu, sosok Arthur sudah berada di depannya. Arthur tersenyum ramah padanya lalu mempersilakan dirinya untuk keluar. Alice pun membalas dengan sedikit anggukan dan tersenyum pada Arthur. Sambil berjalan, Alice melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya gembira. Sepertinya pekerjaannya hari ini selesai lebih awal dari dugaan Alice. Ia berpikir
Vio beberapa kali membuka mulutnya dengan ragu, lama ia menatap wanita yang tak diketahui namanya itu lalu ia memegang bahunya dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. "Bukan… bukan begitu. Tunggu, biarkan aku bicara dengannya dulu." Vio berbisik di telinga wanita itu dan menatapnya dengan gelagapan.Alice tercengang di tempatnya melihat kelakuan Vio yang terlihat jelas saat itu bahwa dia lebih memihak siapa. Alice seketika langsung mengetahui bahwa prioritas pria itu bukanlah dirinya, yang dikhawatirkan akan salah paham bukan dia melainkan wanita asing itu.Alice begitu murka, ingin rasanya ia meluapkannya disana saat itu juga namun sisi dirinya yang masih sadar tahu bahwa itu hanya akan membuat dirinya terlihat menyedihkan dan ia tak mau begitu. Dengan amarah yang berada di puncak, Alice hanya bergeming di sana, tatapannya membidik tajam pada Vio."Jelaskan padaku apa yang kau lakukan di sini bersama wanita ini? Kau… apa kau sudah gila? Kau… bagaimana bisa kau…." Suara Alice terdeng
"Aku bersyukur mengetahui dirimu yang asli lebih cepat. Aku sempat berpikir untuk menyerahkan hidupku hanya untukmu dan menjadikanmu kekasih terakhirku di dunia ini. Namun, ternyata Tuhan menilai aku terlalu berharga untuk disandingkan denganmu. Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku harap hubungan kalian abadi. Meski au tidak yakin dia adalah satu-satunya bagimu." Berbanding terbalik dengan keadaan hatinya, ucapan Alice benar-benar menunjukkan bahwa ia tak tenggelam dalam alasan murahan Vio. Alice pun langsung memutar badannya dengan cepat, tak ingin memberikan Vio sedetikpun waktu untuk membalas ucapannya.Vio terpaku merasa marah harga dirinya yang tadi sudah ia tinggikan kini diinjak-injak oleh Alice. Inginnya berlari menarik kedua tangan yang jelas-jelas masih gemetar itu dan membungkam mulutnya yang berucap kasar padanya hingga meneteskan air mata namun hal itu dicegah oleh pemilik cafe yang ternyata sejak tadi sudah memerhatikan keduanya dari jauh.Alice melangkah dengan tergesa
Ucapan Arthur seolah meyakinkan ingatan Erickson bahwa ia memang familiar dengan wanita itu dan secara tak langsung mengukuhkan dugaannya.Di sana, Alice tengah berdiri membelakangi Arthur dan Erickson. Dihadapannya dua orang yang tak dikenal sedang menatap Alice. Insting dalam diri Erickson berkata bahwa ada yang salah dengan tatapan kedua orang itu, terutama sesosok wanita yang bersembunyi dibalik tubuh pria itu menunjukkan ekspresi yang seakan menertawakan Alice. Sedangkan pria di sampingnya terlihat marah dan kesal.Tak butuh waktu lama bagi Erickson mengerti apa yang tengah terjadi di sana. Suasana yang tampak canggung dan tegang, dua orang tak dikenal yang keduanya menatap Alice, hingga tatapan Erickson yang tadi tak sengaja turun ke lengan Alice dan mendapati wanita itu mengepalkan tangannya dengan begitu erat sampai tangan itu nampak gemetar hingga ke seluruh tubuhnya menampakkan bahwa Alice tengah menahan emosinya.Arthur yang masih belum mengerti apapun hendak mengajak Ericks
"Terima kasih, Presdir." Alice membungkukkan sedikit kepalanya lalu bersegera keluar dari mobil sang atasan segera setelah dirinya melihat apartemennya kini sudah berada di depan matanya. Tak lupa ia ikut memberi salam pada Arthur dengan sedikit anggukan kepala.Diambilnya langkah dengan tergesa-gesa dan berjalan memunggungi mobil tersebut. Tak berani dirinya membalikkan badannya hingga terdengar di telinganya gesekan ban dan mesin mobil yang sudah melaju. Barulah di sana ia menghembuskan napasnya yang tanpa sadar ia tahan beberapa saat karena saat itu Alice merasakan perasaan malu yang beberapa saat sudah membuatnya lupa akan luka hatinya saat itu, ya hanya beberapa saat. Karena segera setelahnya, Alice kembali teringat akan patah hatinya yang dahsyat.Lantas ia bergegas menaiki elevator yang kini telah berada tepat di depan matanya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Di sana, ia merasa tubuhnya sedikit lemas. Ia menyandarkan tubuhnya sedikit ke dinding elevator yang dingin hingga
Alice menatap Erickson dari sudut matanya berkali-kali. Kejujuran Arthur bukannya melegakan dirinya, namun ia malah merasa tak enak hati pada Erickson. Sudah cukup ia merepotkan atasannya itu hingga harus mengantar dirinya yang menangis sesenggukan pulang ke apartemennya, pria itu malah mengizinkan dirinya untuk mengambil rehat dari pekerjaannya. Alice merasa ia tidak dalam keadaan yang baik, ia merasa kacau. Ia berpikir Vio bahkan menahan pekerjaannya. Bahkan sekarang, ia masih kesulitan untuk fokus.Sejak pagi tadi hingga sudah pukul empat sore ini pekerjaannya bahkan belum juga selesai. Ia yang biasanya bahkan bisa dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, bahkan ia bisa menyelesaikan deadline dengan sigap kini menghela napas berat. Tangannya beberapa kali mengusap tengkuknya yang entah itu disebabkan oleh keadaan emosionalnya yang sedang turun atau ia memang kehabisan tenaga, namun Alice merasa tubuhnya amat berat.“Kau bisa selesaikan besok jika kau lelah. Wajahmu terlihat pucat,
Melihat ayahnya yang tak juga mengalah dan terus saja memaksanya, Erickson pun menyanggupi ucapan ayahnya tersebut. “Saya tak semudah itu membawanya ke sini. Saya tak ingin membahayakan dirinya dengan membawanya ke rumah ini,” tegasnya dengan penuh tekanan pada kalimat terakhirnya seakan itu penuh makna. “Saya tak mungkin mengulangi kesalahan yang sama.”Ayahnya terdiam sesaat. Ia menatap Erickson dengan kaku sebelum kemudian berkata, “Bawa dia secepat yang kau bisa. Kau harus memperkenalkannya padaku sebelum terlambat.”Erickson berdecak kesal mendengar ucapan ayahnya. Itu bukan jawaban yang dia inginkan namun ia mungkin bisa mengulur waktu untuk beberapa saat dan beristirahat dari hari-hari yang dipenuhi oleh para wanita yang dikirim ayahnya.Setelah merasa bahwa percakapan itu sudah selesai, Erickson dengan cepat beranjak. Dihiraukannya suara ayahnya dari belakang yang memintanya untuk makan malam bersama. Yang ada di pikirannya hanyalah ia ingin segera keluar dari rumah itu. Sayan
Alice mengangkat sebelah alisnya dan bertanya-tanya mengapa pria itu berhenti di sebuah hotel. Apakah maksudnya urusan itu adalah sebuah meeting dengan seorang client? Atau malah sebuah hal yang bertolak belakang dengan dugaannya itu? Merasa tak kana mendapat jawaban hanya dengan menduga-duga, akhirnya ia menyuruh sang supir taksi untuk berhenti tak jauh dari mobil Erickson guna melihat situasi saat itu.Tak butuh waktu lama, Erickson terlihat keluar dari mobilnya, ia menghampiri seorang wanita yang berdiri di depan hotel. Wanita itu berpakaian seksi, sangat seksi dengan mini dress yang begitu pendek. Mata Alice terbelalak menyaksikan pemandangan di depannya itu. Wanita itu tampak seperti para gadis yang biasanya datang ke kantor Erickson. Bedanya, biasanya kebanyakan dari wanita yang datang akan ditolak dan diusir olehnya, tapi wanita ini sepertinya tidak begitu. Karena setelahnya, Erickson menyuruh wanita itu masuk ke mobilnya, meski terlihat agak terburu-buru. Anehnya wanita itu te