"Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel
Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot
Lelaki tinggi berparas tampan itu berjalan memasuki sebuah bar dengan wajah tanpa ekspresi bersama sekretarisnya yang berada tepat di sampingnya. Sesaat setelah ia mendekat ke arah kerumunan yang tengah bergurau dan berbincang-bincang, mereka bersorak seolah menyambutnya dengan gembira.Malam ini tepat pukul sembilan malam, Erickson bersama beberapa rekan kerjanya yang ikut berpartisipasi telah memutuskan untuk sedikit berpesta setelah menyelesaikan event pertama mereka yang sukses.Erickson duduk di tengah tepat di kursi yang sudah disisakan oleh mereka, sebenarnya masih banyak kursi kosong lainnya, namun semua terus mendesak Erickson untuk duduk tepat di sana. Hanya ada mereka yang berada di bar itu karena Erickson sendiri lah yang menyewa bar untuk malam ini agar tidak ada keramaian yang mengganggu acara mereka, ditambah ia dekat dengan pemiliknya yang kini terlihat sedang menyusun beberapa gelas cantik yang belum terpajang di tempatnya, sehingga menyewa ba
"Maukah kau menjadi tunanganku?" Erickson berujar setelah memberikan kertas-kertas berisikan sebuah kontrak. Ia menatap iris lawan bicaranya yang kini membulatkan matanya sempurna dengan mantap. Kekagetan yang terlihat jelas dari raut wajah itu dirasa Erickson memang wajar. Namun bagaimana pun ia memikirkan, hanya gadis itu pilihannya.Kertas-kertas yang berada di tangan si gadis berhamburan akibat terlepasnya pegangan tangannya. Gadis itu bernama Alice. Kini Alice terpegun begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak pernah ia sangka keluar dari mulut Erickson.Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dan lagi ada angin apa tiba-tiba ia dilamar atasannya sendiri di siang bolong begini?Semua dimulai dari dirinya yang mendapatkan kepercayaan dari Erickson untuk sebuah proyek di perusahaan mereka dan membuat intensitas pertemuan mereka berdua menjadi lebih sering dari biasanya. Namun Alice tak pernah berpikir semua itu berubah menjadi sebuah ajakan pertunangan begini, apalagi mengingat ia
Erickson mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Pria itu kini telah melewati dua jembatan yang menandakan dirinya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak ada kemacetan yang mengganggunya sepanjang jalan, mungkin karena jam yang masih menunjukkan pukul empat dini hari. Untung saja ia tak ikut minum semalam, jika tidak ia tak akan mengemudi seperti ini dan terpaksa memanggil Arthur. Telepon yang datang padanya tiga puluh menit yang lalu lah yang menjadi sebab ia menyusuri jalanan yang masih cukup sepi. Wanita dalam telepon itu berbicara dengan nada yang lemah lembut, berlawanan dengan alasan dia menelepon pagi-pagi buta. Ayahnya Erickson terlibat kecelakaan saat saat mengemudi bersama ibu tirinya —yang tadi meneleponnya—. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sedang berada di UGD. Meski sang ibu telah mengatakan bahwa itu bukanlah kecelakaan yang parah, tapi ia minta Erickson untuk datang karena ayahnya tidak sadarkan diri. Ia menghentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah saki
Usai memeriksa beberapa laporan, selang belasan menit kemudian, Erickson kini berpindah ke meja kerjanya, ada banyak laporan menumpuk yang belum sempat disentuhnya akibat meeting bersama Rino dan Vio kemarin. Diraihnya kopi buatan Arthur yang baru ditaruh. Asap mengepul setelah ia tiupkan sedikit udara dan kemudian menyeruput kopi hitam pekat itu sembari matanya tak lepas dari layar komputer di depannya. "Katakan pada Alice untuk masuk dan bawa proposalnya jika sudah selesai." Alice merupakan salah satu pekerjanya yang cukup kompeten meski kepribadiannya terkadang membuat Erickson mengernyitkan dahi. Mungkin sifatnya pemalu karena Alice tak pernah mau menatap matanya, atau bisa jadi takut padanya. Diliriknya luar ruangan dimana bisa ia lihat dengan cukup jelas Alice yang tengah membalik lembar-lembar kertas yang ada di mejanya berulang kali sambil sesekali memainkan pulpen di tangannya setelah Arthur beranjak dari sisinya. Sudah lama sejak Alice bekerja dengan Erickson. Ia pun suda
Alice merasakan perang batin, haruskah ia kembali saja atau membangunkan pria itu. Ia melirik keluar ruangan, hari sudah mulai gelap. Akhirnya Alice memutuskan untuk mendekat menuju sofa itu dan menunduk, ia mendekatkan kepalanya ke wajah pria itu dan mengamati dari dekat wajah tampannya. Erickson selalu memasang wajah dingin dan kaku saat sadar, namun saat sedang tidur wajahnya lebih tenang dan polos, seperti anak kecil. Alice terbayang bagaimana jika ekspresi wajah polos yang dilihatnya saat ini adalah ekspresi yang dipasang oleh pria itu setiap hari di kantor, pasti semakin banyak yang tergila-gila padanya. Sejujurnya ia cukup beruntung bisa berada dengan jarak yang dekat dengan bosnya seperti saat ini. Ekspresi wajah Alice seketika berubah saat ingatannya tiba-tiba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu saat seorang wanita datang ke kantor dan menemui Erickson. Usut punya usut, wanita itu adalah wanita kesekian yang dibawa oleh ayahnya untuk menjadi teman kencan Erickson, nam
"Maaf? Kalau rumah saya… tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit dari sini." Sebenarnya Alice tidak tahu alasan Erickson menanyakan itu. Ia menatap lekat gadis di depannya itu, membaca tiap ekspresi yang ditunjukkannya. Terlihat hanya ada kebingungan di sana. Ia mengurungkan kalimat yang awalnya akan ia katakan dan menggantinya dengan kalimat lain. "Tidak ada, pulanglah." Erickson berbalik dan kemudian melanjutkan kembali memilah dokumen di mejanya. "Baik. Selamat malam, Presdir." Alice yang masih kebingungan tak terlalu memusingkan dan segera melangkah keluar dari ruang Erickson. Belum juga dirinya menarik gagang pintu, sosok Arthur sudah berada di depannya. Arthur tersenyum ramah padanya lalu mempersilakan dirinya untuk keluar. Alice pun membalas dengan sedikit anggukan dan tersenyum pada Arthur. Sambil berjalan, Alice melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Hatinya gembira. Sepertinya pekerjaannya hari ini selesai lebih awal dari dugaan Alice. Ia berpikir