Vio beberapa kali membuka mulutnya dengan ragu, lama ia menatap wanita yang tak diketahui namanya itu lalu ia memegang bahunya dan mendekatkan wajahnya pada wanita itu. "Bukan… bukan begitu. Tunggu, biarkan aku bicara dengannya dulu." Vio berbisik di telinga wanita itu dan menatapnya dengan gelagapan.Alice tercengang di tempatnya melihat kelakuan Vio yang terlihat jelas saat itu bahwa dia lebih memihak siapa. Alice seketika langsung mengetahui bahwa prioritas pria itu bukanlah dirinya, yang dikhawatirkan akan salah paham bukan dia melainkan wanita asing itu.Alice begitu murka, ingin rasanya ia meluapkannya disana saat itu juga namun sisi dirinya yang masih sadar tahu bahwa itu hanya akan membuat dirinya terlihat menyedihkan dan ia tak mau begitu. Dengan amarah yang berada di puncak, Alice hanya bergeming di sana, tatapannya membidik tajam pada Vio."Jelaskan padaku apa yang kau lakukan di sini bersama wanita ini? Kau… apa kau sudah gila? Kau… bagaimana bisa kau…." Suara Alice terdeng
"Aku bersyukur mengetahui dirimu yang asli lebih cepat. Aku sempat berpikir untuk menyerahkan hidupku hanya untukmu dan menjadikanmu kekasih terakhirku di dunia ini. Namun, ternyata Tuhan menilai aku terlalu berharga untuk disandingkan denganmu. Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku harap hubungan kalian abadi. Meski au tidak yakin dia adalah satu-satunya bagimu." Berbanding terbalik dengan keadaan hatinya, ucapan Alice benar-benar menunjukkan bahwa ia tak tenggelam dalam alasan murahan Vio. Alice pun langsung memutar badannya dengan cepat, tak ingin memberikan Vio sedetikpun waktu untuk membalas ucapannya.Vio terpaku merasa marah harga dirinya yang tadi sudah ia tinggikan kini diinjak-injak oleh Alice. Inginnya berlari menarik kedua tangan yang jelas-jelas masih gemetar itu dan membungkam mulutnya yang berucap kasar padanya hingga meneteskan air mata namun hal itu dicegah oleh pemilik cafe yang ternyata sejak tadi sudah memerhatikan keduanya dari jauh.Alice melangkah dengan tergesa
Ucapan Arthur seolah meyakinkan ingatan Erickson bahwa ia memang familiar dengan wanita itu dan secara tak langsung mengukuhkan dugaannya.Di sana, Alice tengah berdiri membelakangi Arthur dan Erickson. Dihadapannya dua orang yang tak dikenal sedang menatap Alice. Insting dalam diri Erickson berkata bahwa ada yang salah dengan tatapan kedua orang itu, terutama sesosok wanita yang bersembunyi dibalik tubuh pria itu menunjukkan ekspresi yang seakan menertawakan Alice. Sedangkan pria di sampingnya terlihat marah dan kesal.Tak butuh waktu lama bagi Erickson mengerti apa yang tengah terjadi di sana. Suasana yang tampak canggung dan tegang, dua orang tak dikenal yang keduanya menatap Alice, hingga tatapan Erickson yang tadi tak sengaja turun ke lengan Alice dan mendapati wanita itu mengepalkan tangannya dengan begitu erat sampai tangan itu nampak gemetar hingga ke seluruh tubuhnya menampakkan bahwa Alice tengah menahan emosinya.Arthur yang masih belum mengerti apapun hendak mengajak Ericks
"Terima kasih, Presdir." Alice membungkukkan sedikit kepalanya lalu bersegera keluar dari mobil sang atasan segera setelah dirinya melihat apartemennya kini sudah berada di depan matanya. Tak lupa ia ikut memberi salam pada Arthur dengan sedikit anggukan kepala.Diambilnya langkah dengan tergesa-gesa dan berjalan memunggungi mobil tersebut. Tak berani dirinya membalikkan badannya hingga terdengar di telinganya gesekan ban dan mesin mobil yang sudah melaju. Barulah di sana ia menghembuskan napasnya yang tanpa sadar ia tahan beberapa saat karena saat itu Alice merasakan perasaan malu yang beberapa saat sudah membuatnya lupa akan luka hatinya saat itu, ya hanya beberapa saat. Karena segera setelahnya, Alice kembali teringat akan patah hatinya yang dahsyat.Lantas ia bergegas menaiki elevator yang kini telah berada tepat di depan matanya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi. Di sana, ia merasa tubuhnya sedikit lemas. Ia menyandarkan tubuhnya sedikit ke dinding elevator yang dingin hingga
Alice menatap Erickson dari sudut matanya berkali-kali. Kejujuran Arthur bukannya melegakan dirinya, namun ia malah merasa tak enak hati pada Erickson. Sudah cukup ia merepotkan atasannya itu hingga harus mengantar dirinya yang menangis sesenggukan pulang ke apartemennya, pria itu malah mengizinkan dirinya untuk mengambil rehat dari pekerjaannya. Alice merasa ia tidak dalam keadaan yang baik, ia merasa kacau. Ia berpikir Vio bahkan menahan pekerjaannya. Bahkan sekarang, ia masih kesulitan untuk fokus.Sejak pagi tadi hingga sudah pukul empat sore ini pekerjaannya bahkan belum juga selesai. Ia yang biasanya bahkan bisa dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, bahkan ia bisa menyelesaikan deadline dengan sigap kini menghela napas berat. Tangannya beberapa kali mengusap tengkuknya yang entah itu disebabkan oleh keadaan emosionalnya yang sedang turun atau ia memang kehabisan tenaga, namun Alice merasa tubuhnya amat berat.“Kau bisa selesaikan besok jika kau lelah. Wajahmu terlihat pucat,
Melihat ayahnya yang tak juga mengalah dan terus saja memaksanya, Erickson pun menyanggupi ucapan ayahnya tersebut. “Saya tak semudah itu membawanya ke sini. Saya tak ingin membahayakan dirinya dengan membawanya ke rumah ini,” tegasnya dengan penuh tekanan pada kalimat terakhirnya seakan itu penuh makna. “Saya tak mungkin mengulangi kesalahan yang sama.”Ayahnya terdiam sesaat. Ia menatap Erickson dengan kaku sebelum kemudian berkata, “Bawa dia secepat yang kau bisa. Kau harus memperkenalkannya padaku sebelum terlambat.”Erickson berdecak kesal mendengar ucapan ayahnya. Itu bukan jawaban yang dia inginkan namun ia mungkin bisa mengulur waktu untuk beberapa saat dan beristirahat dari hari-hari yang dipenuhi oleh para wanita yang dikirim ayahnya.Setelah merasa bahwa percakapan itu sudah selesai, Erickson dengan cepat beranjak. Dihiraukannya suara ayahnya dari belakang yang memintanya untuk makan malam bersama. Yang ada di pikirannya hanyalah ia ingin segera keluar dari rumah itu. Sayan
Alice mengangkat sebelah alisnya dan bertanya-tanya mengapa pria itu berhenti di sebuah hotel. Apakah maksudnya urusan itu adalah sebuah meeting dengan seorang client? Atau malah sebuah hal yang bertolak belakang dengan dugaannya itu? Merasa tak kana mendapat jawaban hanya dengan menduga-duga, akhirnya ia menyuruh sang supir taksi untuk berhenti tak jauh dari mobil Erickson guna melihat situasi saat itu.Tak butuh waktu lama, Erickson terlihat keluar dari mobilnya, ia menghampiri seorang wanita yang berdiri di depan hotel. Wanita itu berpakaian seksi, sangat seksi dengan mini dress yang begitu pendek. Mata Alice terbelalak menyaksikan pemandangan di depannya itu. Wanita itu tampak seperti para gadis yang biasanya datang ke kantor Erickson. Bedanya, biasanya kebanyakan dari wanita yang datang akan ditolak dan diusir olehnya, tapi wanita ini sepertinya tidak begitu. Karena setelahnya, Erickson menyuruh wanita itu masuk ke mobilnya, meski terlihat agak terburu-buru. Anehnya wanita itu te
Dirinya yang awalnya berniat mengabaikan pesan itu dan kembali mengikuti Erickson kini hanya mendengus pelan. Pasalnya, pada pesan yang baru saja dibukanya itu tertulis pertanyaan yang ternyata dikirim oleh sang ibu yang menanyakan keberadaan Alice. Alice lupa bahwa malam itu ia ada janji kencan buta yang diatur oleh ibunya. Sedangkan ia sedang berada di depan sebuah klub malam karena membuntuti bosnya yang pergi bersama seorang wanita.Setelah orang tuanya mengetahui perpisahan dirinya dan Vio, mereka terlihat khawatir pada Alice yang terus saja murung selama beberapa waktu. Akhirnya ibunya mengusulkan beberapa kencan buta yang mungkin diharapkannya menjadi pengobat hati Alice. Meski sang ibu tidak memaksa, namun Alice tak ingin menyia-nyiakan usaha ibunya sehingga biasanya ia akan pergi, namun malam ini rasanya Alice ingin menolak pertemuan itu.Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu menghela napas panjang. Padahal sudah sedikit lagi ia bisa sukses menguntai Erickson. Meskipun ia
Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot
"Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel
Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar
Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k
Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa
Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b
Jam makan siang telah tiba dan Arthur sudah keluar lebih dulu, hanya menyisakan Erickson yang masih berada di kursi besarnya. Sebelum keluar, Arthur berkali-kali mendiktenya agar berbicara dengan sungguh-sungguh tanpa mengintimidasi. Apa-apaan maksudnya? Memangnya dia hendak memangsa si gadis? Kening Erickson berkerut. Ia merasa Arthur semakin tak sopan beberapa waktu belakangan ini."Apa dia pikir aku ini anak kecil?" Erickson berdecak kesal. Mengintimidasi? Mengapa kata itu sering kali terdengar di telinganya? Ia merasa tak pernah mencoba mengintimidasi lawan bicaranya. Ia hanya berbicara normal. Memangnya berbicara normal itu mengintimidasi? Ia menghela napas dengan kasar. Disandarkan punggung ke kursinya. Ia mengetukkan telunjuknya ke meja kerjanya, menimbang-nimbang hal yang harus dilakukannya.Tak lama kemudian, ia membenarkan posisi duduknya menjadi sedikit tegap ke depan. Lalu ia menatap ke luar ruangannya beberapa saat sebelum akhirnya meraih ponselnya yang hanya berjarak sat
“Jadi, bagaimana semalam?”Alice menoleh lalu mengernyit kaget melihat Siska yang sudah berada di sampingnya. Semalam dia memang sempat bercerita pada Siska sebentar dalam teleponnya sebelum dirinya terlelap.“Apanya?” Alice berpura-pura tak tahu. Mereka berada di dalam elevator dengan beberapa orang lain yang tak dikenali. Bagaimana bisa mereka bercerita tentang hal-hal pribadi di tempat umum? Alice hanya mengacuhkan Siska yang masih saja bersemangat meminta penjelasan darinya.“Tidak ada yang terjadi. Kebetulan aku dan dia sama-sama keberatan dengan kencan buta. Jadi kami mengobrol sebentar lalu pulang." Jawaban Alice baru keluar dari mulutnya setelah mereka sampai di dalam kantor. Alice mendudukkan dirinya di kursi kerjanya begitu pula dengan Siska yang mengekorinya dan duduk di kursi sebelah yang pemiliknya belum terlihat batang hidungnya sama sekali meskipun suasana pagi itu sudah cukup ramai.Alice melirik ruang kerja Erickson yang masih kosong, tampaknya pria itu belum datang. H
"Saya hanya berpikir mengapa Presdir mengajak saya ke sini… apa… apa ada yang bermasalah dengan pekerjaan saya?"Alice berbohong untuk menutupi kegugupannya. Jika Erickson bisa membaca pikirannya saat ini pasti dia sudah habis ditertawakan. Image-nya di mata Erickson juga pasti akan hancur. Beruntung Erickson tak memiliki ilmu membaca pikiran seperti yang ada di film-film fantasi.“Mengapa kau berpikir ini soal pekerjaan?" Erickson menaikkan sudut bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya. Ia diam dan mengamati wajah Alice, menunggu gadis itu menjawabnya. Entah mengapa dirinya merasa tertarik melihat kebingungan gadis itu.Alice menggigit bibirnya, ia bingung harus menjawab apa. Jika bukan masalah pekerjaan, lantas mengapa mereka datang ke sana di larut malam, protesnya dalam hati. Hingga tatapannya tertuju pada pakaian Erickson dan memberikannya sebuah ide.Wajah Alice sedikit lega. "Karena Presdir masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat berada di kantor hari ini," jawab Alice