Alice menatap Erickson dari sudut matanya berkali-kali. Kejujuran Arthur bukannya melegakan dirinya, namun ia malah merasa tak enak hati pada Erickson. Sudah cukup ia merepotkan atasannya itu hingga harus mengantar dirinya yang menangis sesenggukan pulang ke apartemennya, pria itu malah mengizinkan dirinya untuk mengambil rehat dari pekerjaannya. Alice merasa ia tidak dalam keadaan yang baik, ia merasa kacau. Ia berpikir Vio bahkan menahan pekerjaannya. Bahkan sekarang, ia masih kesulitan untuk fokus.Sejak pagi tadi hingga sudah pukul empat sore ini pekerjaannya bahkan belum juga selesai. Ia yang biasanya bahkan bisa dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, bahkan ia bisa menyelesaikan deadline dengan sigap kini menghela napas berat. Tangannya beberapa kali mengusap tengkuknya yang entah itu disebabkan oleh keadaan emosionalnya yang sedang turun atau ia memang kehabisan tenaga, namun Alice merasa tubuhnya amat berat.“Kau bisa selesaikan besok jika kau lelah. Wajahmu terlihat pucat,
Melihat ayahnya yang tak juga mengalah dan terus saja memaksanya, Erickson pun menyanggupi ucapan ayahnya tersebut. “Saya tak semudah itu membawanya ke sini. Saya tak ingin membahayakan dirinya dengan membawanya ke rumah ini,” tegasnya dengan penuh tekanan pada kalimat terakhirnya seakan itu penuh makna. “Saya tak mungkin mengulangi kesalahan yang sama.”Ayahnya terdiam sesaat. Ia menatap Erickson dengan kaku sebelum kemudian berkata, “Bawa dia secepat yang kau bisa. Kau harus memperkenalkannya padaku sebelum terlambat.”Erickson berdecak kesal mendengar ucapan ayahnya. Itu bukan jawaban yang dia inginkan namun ia mungkin bisa mengulur waktu untuk beberapa saat dan beristirahat dari hari-hari yang dipenuhi oleh para wanita yang dikirim ayahnya.Setelah merasa bahwa percakapan itu sudah selesai, Erickson dengan cepat beranjak. Dihiraukannya suara ayahnya dari belakang yang memintanya untuk makan malam bersama. Yang ada di pikirannya hanyalah ia ingin segera keluar dari rumah itu. Sayan
Alice mengangkat sebelah alisnya dan bertanya-tanya mengapa pria itu berhenti di sebuah hotel. Apakah maksudnya urusan itu adalah sebuah meeting dengan seorang client? Atau malah sebuah hal yang bertolak belakang dengan dugaannya itu? Merasa tak kana mendapat jawaban hanya dengan menduga-duga, akhirnya ia menyuruh sang supir taksi untuk berhenti tak jauh dari mobil Erickson guna melihat situasi saat itu.Tak butuh waktu lama, Erickson terlihat keluar dari mobilnya, ia menghampiri seorang wanita yang berdiri di depan hotel. Wanita itu berpakaian seksi, sangat seksi dengan mini dress yang begitu pendek. Mata Alice terbelalak menyaksikan pemandangan di depannya itu. Wanita itu tampak seperti para gadis yang biasanya datang ke kantor Erickson. Bedanya, biasanya kebanyakan dari wanita yang datang akan ditolak dan diusir olehnya, tapi wanita ini sepertinya tidak begitu. Karena setelahnya, Erickson menyuruh wanita itu masuk ke mobilnya, meski terlihat agak terburu-buru. Anehnya wanita itu te
Dirinya yang awalnya berniat mengabaikan pesan itu dan kembali mengikuti Erickson kini hanya mendengus pelan. Pasalnya, pada pesan yang baru saja dibukanya itu tertulis pertanyaan yang ternyata dikirim oleh sang ibu yang menanyakan keberadaan Alice. Alice lupa bahwa malam itu ia ada janji kencan buta yang diatur oleh ibunya. Sedangkan ia sedang berada di depan sebuah klub malam karena membuntuti bosnya yang pergi bersama seorang wanita.Setelah orang tuanya mengetahui perpisahan dirinya dan Vio, mereka terlihat khawatir pada Alice yang terus saja murung selama beberapa waktu. Akhirnya ibunya mengusulkan beberapa kencan buta yang mungkin diharapkannya menjadi pengobat hati Alice. Meski sang ibu tidak memaksa, namun Alice tak ingin menyia-nyiakan usaha ibunya sehingga biasanya ia akan pergi, namun malam ini rasanya Alice ingin menolak pertemuan itu.Setelah berpikir beberapa saat, gadis itu menghela napas panjang. Padahal sudah sedikit lagi ia bisa sukses menguntai Erickson. Meskipun ia
"Bu, aku akan langsung ke kamar, hari ini aku akan menginap di sini. Aku terlalu lelah untuk pulang ke apartemenku." Alice berjalan lesu menuju kamar lamanya begitu saja setelah ia sampai. Bahkan ibunya tak sempat bertanya perihal kencan butanya hari itu. Mungkin karena sang bunda melihat wajah lelah anaknya membuatnya mengurungkan niatnya itu.Hari ini cukup melelahkan bagi Alice. Ia yang awalnya berniat untuk pulang ke apartemennya, terhenti karena desakan keinginan untuk mengekor Erickson yang pergi bersama seorang wanita lalu sekarang ia berada di rumah orang tuanya karena apartemennya berada lebih jauh dari tempat ia berkencan hari ini.Alice menghempaskan tubuhnya di kasur. Matanya menatap langit-langit kamar tidurnya. Pikirannya mulai memudar dan hanya menyisakan sedikit ingatan samar tentang ia yang begitu konyol telah menguntit Erickson. Dipejamkannya matanya perlahan untuk menenangkan tubuh dan pikirannya yang tak berlangsung lama sebab kesunyian itu terpecah setelah gawai m
"A-apa?" Alice tergagap, tak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Belum lagi itu merupakan sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Bagaimana Erickson tahu dirinya tadi berkencan? Meskipun bagi Alice itu sama sekali bukan kencan melainkan sebuah paksaan dari ibunya.Tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya, Erickson sudah berbalik dan berlalu seakan tak peduli, atau lebih tepatnya sedari awal ia mungkin tak berharap mendapat jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan itu.Alice yang menyadari pergerakan Erickson pun dengan tergesa segera berlari kecil menyusul bosnya itu dari belakang. Ia gelisah, belum sempat menjawab pertanyaan Erickson. Bagaimana jika Erickson salah sangka? Bagaimana jika Erickson mengira dirinya sehabis pulang dari kencan seperti yang ia ucapkan tadi?Alice mempercepat langkahnya dan berjalan mendahului Erickson. Dengan mantap ia berhenti di depan Erickson dan berbalik. Ia merentangkan kedua tangannya mencoba menghentikan Erickson.Mau tidak mau pria itu m
"Cepat," titah Erickson sekali lagi. Ia tak menoleh saat melontarkan kalimat itu dan dengan santainya masuk ke dalam bar diikuti oleh Alice yang mengekor di belakangnya dengan langkah kecil yang cepat.Aroma alkohol yang mendominasi dengan beberapa aroma campuran lainnya yang sangat tidak familiar bagi Alice, menyeruak indera penciumannya sesaat setelah dirinya memasuki bar itu. Ia melihat sekeliling dari sejak pertama kakinya melangkah ke dalam tempat yang baru baginya itu. Ada begitu banyak pasangan di sini yang duduk bersama berkumpul sambil berbincang-bincang.Namun satu hal yang disadarinya, kebanyakan dari orang-orang ini memandang ke arahnya sejak ia pertama menginjakkan kakinya di tempat ini. Apa ada yang salah pada dirinya? Apa ia terlihat aneh? Alice memandangi pakaiannya, sepertinya bukan itu alasannya. "Kau kenapa?" Erickson sedikit mengerutkan dahinya keheranan. Pertanyaan singkat itu mewakili kebingungannya akan apa yang sedang dilakukan Alice saat ini. Di sana, tak jau
"Saya hanya berpikir mengapa Presdir mengajak saya ke sini… apa… apa ada yang bermasalah dengan pekerjaan saya?"Alice berbohong untuk menutupi kegugupannya. Jika Erickson bisa membaca pikirannya saat ini pasti dia sudah habis ditertawakan. Image-nya di mata Erickson juga pasti akan hancur. Beruntung Erickson tak memiliki ilmu membaca pikiran seperti yang ada di film-film fantasi.“Mengapa kau berpikir ini soal pekerjaan?" Erickson menaikkan sudut bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya. Ia diam dan mengamati wajah Alice, menunggu gadis itu menjawabnya. Entah mengapa dirinya merasa tertarik melihat kebingungan gadis itu.Alice menggigit bibirnya, ia bingung harus menjawab apa. Jika bukan masalah pekerjaan, lantas mengapa mereka datang ke sana di larut malam, protesnya dalam hati. Hingga tatapannya tertuju pada pakaian Erickson dan memberikannya sebuah ide.Wajah Alice sedikit lega. "Karena Presdir masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat berada di kantor hari ini," jawab Alice