"A-apa?" Alice tergagap, tak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Belum lagi itu merupakan sebuah kebenaran yang tak terbantahkan. Bagaimana Erickson tahu dirinya tadi berkencan? Meskipun bagi Alice itu sama sekali bukan kencan melainkan sebuah paksaan dari ibunya.Tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya, Erickson sudah berbalik dan berlalu seakan tak peduli, atau lebih tepatnya sedari awal ia mungkin tak berharap mendapat jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan itu.Alice yang menyadari pergerakan Erickson pun dengan tergesa segera berlari kecil menyusul bosnya itu dari belakang. Ia gelisah, belum sempat menjawab pertanyaan Erickson. Bagaimana jika Erickson salah sangka? Bagaimana jika Erickson mengira dirinya sehabis pulang dari kencan seperti yang ia ucapkan tadi?Alice mempercepat langkahnya dan berjalan mendahului Erickson. Dengan mantap ia berhenti di depan Erickson dan berbalik. Ia merentangkan kedua tangannya mencoba menghentikan Erickson.Mau tidak mau pria itu m
"Cepat," titah Erickson sekali lagi. Ia tak menoleh saat melontarkan kalimat itu dan dengan santainya masuk ke dalam bar diikuti oleh Alice yang mengekor di belakangnya dengan langkah kecil yang cepat.Aroma alkohol yang mendominasi dengan beberapa aroma campuran lainnya yang sangat tidak familiar bagi Alice, menyeruak indera penciumannya sesaat setelah dirinya memasuki bar itu. Ia melihat sekeliling dari sejak pertama kakinya melangkah ke dalam tempat yang baru baginya itu. Ada begitu banyak pasangan di sini yang duduk bersama berkumpul sambil berbincang-bincang.Namun satu hal yang disadarinya, kebanyakan dari orang-orang ini memandang ke arahnya sejak ia pertama menginjakkan kakinya di tempat ini. Apa ada yang salah pada dirinya? Apa ia terlihat aneh? Alice memandangi pakaiannya, sepertinya bukan itu alasannya. "Kau kenapa?" Erickson sedikit mengerutkan dahinya keheranan. Pertanyaan singkat itu mewakili kebingungannya akan apa yang sedang dilakukan Alice saat ini. Di sana, tak jau
"Saya hanya berpikir mengapa Presdir mengajak saya ke sini… apa… apa ada yang bermasalah dengan pekerjaan saya?"Alice berbohong untuk menutupi kegugupannya. Jika Erickson bisa membaca pikirannya saat ini pasti dia sudah habis ditertawakan. Image-nya di mata Erickson juga pasti akan hancur. Beruntung Erickson tak memiliki ilmu membaca pikiran seperti yang ada di film-film fantasi.“Mengapa kau berpikir ini soal pekerjaan?" Erickson menaikkan sudut bibirnya dan sedikit memiringkan kepalanya. Ia diam dan mengamati wajah Alice, menunggu gadis itu menjawabnya. Entah mengapa dirinya merasa tertarik melihat kebingungan gadis itu.Alice menggigit bibirnya, ia bingung harus menjawab apa. Jika bukan masalah pekerjaan, lantas mengapa mereka datang ke sana di larut malam, protesnya dalam hati. Hingga tatapannya tertuju pada pakaian Erickson dan memberikannya sebuah ide.Wajah Alice sedikit lega. "Karena Presdir masih menggunakan pakaian yang dikenakan saat berada di kantor hari ini," jawab Alice
“Jadi, bagaimana semalam?”Alice menoleh lalu mengernyit kaget melihat Siska yang sudah berada di sampingnya. Semalam dia memang sempat bercerita pada Siska sebentar dalam teleponnya sebelum dirinya terlelap.“Apanya?” Alice berpura-pura tak tahu. Mereka berada di dalam elevator dengan beberapa orang lain yang tak dikenali. Bagaimana bisa mereka bercerita tentang hal-hal pribadi di tempat umum? Alice hanya mengacuhkan Siska yang masih saja bersemangat meminta penjelasan darinya.“Tidak ada yang terjadi. Kebetulan aku dan dia sama-sama keberatan dengan kencan buta. Jadi kami mengobrol sebentar lalu pulang." Jawaban Alice baru keluar dari mulutnya setelah mereka sampai di dalam kantor. Alice mendudukkan dirinya di kursi kerjanya begitu pula dengan Siska yang mengekorinya dan duduk di kursi sebelah yang pemiliknya belum terlihat batang hidungnya sama sekali meskipun suasana pagi itu sudah cukup ramai.Alice melirik ruang kerja Erickson yang masih kosong, tampaknya pria itu belum datang. H
Jam makan siang telah tiba dan Arthur sudah keluar lebih dulu, hanya menyisakan Erickson yang masih berada di kursi besarnya. Sebelum keluar, Arthur berkali-kali mendiktenya agar berbicara dengan sungguh-sungguh tanpa mengintimidasi. Apa-apaan maksudnya? Memangnya dia hendak memangsa si gadis? Kening Erickson berkerut. Ia merasa Arthur semakin tak sopan beberapa waktu belakangan ini."Apa dia pikir aku ini anak kecil?" Erickson berdecak kesal. Mengintimidasi? Mengapa kata itu sering kali terdengar di telinganya? Ia merasa tak pernah mencoba mengintimidasi lawan bicaranya. Ia hanya berbicara normal. Memangnya berbicara normal itu mengintimidasi? Ia menghela napas dengan kasar. Disandarkan punggung ke kursinya. Ia mengetukkan telunjuknya ke meja kerjanya, menimbang-nimbang hal yang harus dilakukannya.Tak lama kemudian, ia membenarkan posisi duduknya menjadi sedikit tegap ke depan. Lalu ia menatap ke luar ruangannya beberapa saat sebelum akhirnya meraih ponselnya yang hanya berjarak sat
Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b
Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa
Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k