Keheningan menyelimuti. Alice masih cukup linglung untuk bertanya pada Erickson yang saat ini masih mengawasinya dalam diam.Tidak pernah terpikirkan olehnya hal seperti itu akan datang kepadanya. Terlebih lagi dari orang yang dia hormati itu. Ini terlihat tidak nyata. Apa ini mimpi?"Anda bercanda, kan?" ucapan yang hanya ia katakan dalam hatinya ternyata lolos dari mulutnya. Ia sangat ingin memastikan. Dengan sedikit perasaan segan yang menyelimuti, Alice perlahan menatap manik Erickson yang ekspresinya masih sama; datar. Namun, Alice tahu bahwa tidak ada candaan dalam mimik muka itu. "Meskipun aku memberimu kontrak seperti ini, tapi tenanglah, ini bukan kontrak yang mengekang atau memiliki batas waktu," Erickson akhirnya mengeluarkan suaranya setelah memilih bungkam dan sejak tadi setia mengawasi Alice yang kebingungan. Ia lalu menyuruh Alice membaca isi dari kontrak itu dengan gestur tangannya. Jika gadis itu terus saja terperanjat, maka pembicaraan mereka ini tidak akan selesai b
Erickson sungguh tak menyangka bahwa ucapan Arthur malah benar adanya. Wanita di depannya ini tidak semudah itu untuk menyetujui. Lantas Erickson menyeringai tipis, ia memejamkan matanya seolah merasa puas.Berbeda dengan Alice yang kini malah bergidik ngeri melihat Erickson menampakkan senyum yang menurutnya menyeramkan. Bagaimana tidak, sebelumnya pria itu terlihat mengernyit tak senang, namun sedetik kemudian dia malah tersenyum menyeringai.Tanpa memedulikan ekspresi Alice yang terlihat jelas di matanya, Erickson dengan santainya berujar, "Mengapa kau ragu-ragu? Bukankah ini cukup menguntungkan bagimu?""Meskipun tidak banyak yang mengetahui tentang kandasnya hubungan saya, tapi tetap saja, hal ini terlalu tiba-tiba. Orang-orang pasti akan sama terkejutnya seperti saya saat ini."Erickson sedikit memicingkan matanya. Lalu ia tertawa kecil. "Jadi apa kau ingin menolak?" ujarnya memancing. Diperhatikannya dengan seksama wajah Alice yang sedang kebingungan.Alice menelan ludahnya saa
Ah, tidak. Saat ini yang terpenting adalah membuat mereka tidak makan di sana. Alice memutar otaknya. "Bagaimana kalau makan di luar saja? Saya rasa akan sedikit ramai di sana karena sepertinya kita orang terakhir yang datang." Alice berpura-pura melirik jam di tangannya untuk memperkuat alasannya. Padahal ia sama sekali tidak memerhatikan arah jarum jam tangannya itu menunjuk ke mana.Namun, ternyata hal itu cukup berhasil. Erickson melirik jam di tangannya dan beberapa saat kemudian ia berkata, "Benar. Kalau begitu, kita makan di tempat lain saja." Erickson membalikkan badannya dan membuat Alice merasakan kelegaan setelah beberapa saat merasakan kepanikan."Bagaimana dengan restoran di belakang?" Alice dengan sedikit bersemangat menyarankan. Itu adalah restoran yang berada di belakang gedung perkantoran mereka, yang berjarak hanya dengan sebuah jalan kecil namun panjang yang berujung ke sebuah jalan besar. Restoran itu biasanya didatangi oleh banyak dari rekan kerjanya saat pulang k
Lengan kekar Erickson masih setia menempel di pundak Alice. Telapak tangannya yang dingin terasa menusuk ke dalam kulit bagian lengan atas Alice yang terekspos akibat gaun yang ia pakai hari ini menampilkan pundaknya dengan sempurna. Kini wajah Alice dan Erickson hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Dirinya kini bahkan bisa mendengar deru napas pria itu berpacu dengan degupan jantung miliknya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya.Mengapa Erickson berada di sampingnya? Memang tempat ini tak jauh dari kantor mereka, tetapi tetap saja itu tidak menjawab rasa penasaran Alice. Tidak jauh berbeda dengan dirinya, pria yang duduk di depannya pun memiliki keterkejutan yang sama. Dia terlihat membeku di tempat dengan mulut terbuka. Sepertinya dia tahu siapa yang tengah memeluk Alice saat ini."Erickson… Stewart…," ujarnya tak percaya menyebut nama Erickson. Wajahnya memucat. Sosok yang sebelumnya dia cibir dengan mulut yang sama, kini ia sebut namanya dengan ketakutan yang terpancar
"Apa anda baru pulang?" Alice membuka mulutnya, mencoba mengganti topik pembicaraan mereka setelah dirinya menyadari sepertinya lawan bicaranya itu tak berniat sedikit pun untuk menjawab pertanyaannya tadi.Atmosfer yang masih terasa canggung. Disekeliling ada banyak orang memenuhi meja-meja di sana, sayangnya tak membuat Alice merasa lebih nyaman. "Yah, tapi untunglah. Kalau tidak, aku tidak akan tahu bahwa tunanganku sedang bersama pria lain." Erickson menggelengkan kepalanya dan berdecak menyayangkan.Itu terlihat palsu.Alice memejamkan mata, mengembuskan napas pelan. "Kenapa anda terus mengatakan tunangan?" Ia kesal. Padahal dirinya sudah berusaha mengganti topik mereka setelah Erickson tadi tidak mau menjawab pertanyaannya. Sekarang malah kembali menyinggung kata 'tunangan'. Alice merasa kata itu terlalu sering ia dengar beberapa hari belakangan."Karena kau tunanganku.""Masih belum. Bukankah masih ada waktu sampai sebelum jam 12 malam besok?""Berarti segera, bukan?""Itu bel
Mobil Erickson sudah berhenti di depan apartemen Alice. Alice sudah hendak turun namun sebenarnya masih dilanda keingintahuan. Karena Erickson tidak memberitahunya alasan mengapa pria itu menanyakan kesibukannya malam besok."Sampai jumpa besok."Hanya kalimat itu yang ia dengar dari Erickson setelah dirinya turun dari mobil. Alice pun menelan rasa penasarannya. Ia mengangguk dan tak lupa berterima kasih.Mobil Erickson melaju tanpa ragu meninggalkan Alice yang masih berdiri menatap mobil hitam itu menghilang ditelan malam.***Erickson tengah duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Ia menatap sebuah kertas yang tergeletak diatas kotak besar di dalam ruangan tersebut. Sejak ia pulang dari mengantar Alice, ia sama sekali tak pergi kemana pun dan segera kembali ke apartemen. Saat ia kembali pun tak ada siapapun yang berada di apartemennya. Namun kini sebuah surat tergeletak dengan jelas di sudut meja yang bisa segera langsung tertangkap indera penglihatan Erickson. Terlebih lagi kot
Lelaki tinggi berparas tampan itu berjalan memasuki sebuah bar dengan wajah tanpa ekspresi bersama sekretarisnya yang berada tepat di sampingnya. Sesaat setelah ia mendekat ke arah kerumunan yang tengah bergurau dan berbincang-bincang, mereka bersorak seolah menyambutnya dengan gembira.Malam ini tepat pukul sembilan malam, Erickson bersama beberapa rekan kerjanya yang ikut berpartisipasi telah memutuskan untuk sedikit berpesta setelah menyelesaikan event pertama mereka yang sukses.Erickson duduk di tengah tepat di kursi yang sudah disisakan oleh mereka, sebenarnya masih banyak kursi kosong lainnya, namun semua terus mendesak Erickson untuk duduk tepat di sana. Hanya ada mereka yang berada di bar itu karena Erickson sendiri lah yang menyewa bar untuk malam ini agar tidak ada keramaian yang mengganggu acara mereka, ditambah ia dekat dengan pemiliknya yang kini terlihat sedang menyusun beberapa gelas cantik yang belum terpajang di tempatnya, sehingga menyewa ba
"Maukah kau menjadi tunanganku?" Erickson berujar setelah memberikan kertas-kertas berisikan sebuah kontrak. Ia menatap iris lawan bicaranya yang kini membulatkan matanya sempurna dengan mantap. Kekagetan yang terlihat jelas dari raut wajah itu dirasa Erickson memang wajar. Namun bagaimana pun ia memikirkan, hanya gadis itu pilihannya.Kertas-kertas yang berada di tangan si gadis berhamburan akibat terlepasnya pegangan tangannya. Gadis itu bernama Alice. Kini Alice terpegun begitu saja setelah mendengar kalimat yang tidak pernah ia sangka keluar dari mulut Erickson.Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dan lagi ada angin apa tiba-tiba ia dilamar atasannya sendiri di siang bolong begini?Semua dimulai dari dirinya yang mendapatkan kepercayaan dari Erickson untuk sebuah proyek di perusahaan mereka dan membuat intensitas pertemuan mereka berdua menjadi lebih sering dari biasanya. Namun Alice tak pernah berpikir semua itu berubah menjadi sebuah ajakan pertunangan begini, apalagi mengingat ia