90Pertunjukan malam ini cukup sukses, walaupun aku hanya dua kali tampil membawakan dua belas lagu berirama lambat dan sedang. Hal itu sesuai arahan rekan-rekan yang tidak mengizinkanku menari, hingga terpaksa hanya menggerak-gerakkan tangan dan kaki sekali-sekali.Tepat pukul 23.00 aku pulang bersama Papa dan Mama yang sengaja datang menjemput. Aleea telah pulang terlebih dahulu jam sembilan tadi diantar Ijan. Aku berpamitan pada rekan-rekan band dan berjanji akan datang Rabu nanti untuk latihan sekaligus tampil di awal pertunjukan. Pada awalnya Mas Fa bersikeras bila aku hanya boleh tampil hari Sabtu. Namun, aku beralasan hendak latihan untuk menstabilkan suara sekaligus tarian Rabu nanti. Sebab tidak mungkin aku latihan di kelabnya Mas Benigno ataupun kelab N. Lebih nyaman latihan di kafe. Setelah Aleea turut merayu akhirnya Mas Fa mengizinkanku tampil Rabu mendatang. Walaupun hanya satu jam, tetapi itu sudah cukup bagiku untuk mempersiapkan diri menghadapi hari-hari panjang saa
91Jumat sore, aku dan Ijan diantar Willy dengan menggunakan mobil milik Papa menuju kelab milik Mas Benigno. Seperti halnya di kafe pekan lalu, rekan-rekan band menyambutku dengan pelukan, termasuk Mbak Gita. Mas Jay hanya cengengesan saat melihat istrinya menangis di pundakku, mungkin karena terlalu rindu. Mas David langsung mengajakku dan teman-teman ke ruangan khususnya yang berada di dekat dapur. Kemudian pria klimis itu memberikan beberapa lembar kertas yang ternyata berisi jadwal promosi yang akan efektif dua bulan lagi. "Senin sampai Kamis, full dari jam tiga sore sampai jam sepuluh malam. Jumat, Sabtu dan Minggu, kalau kamu mau, bisa kita tambahkan jadwalnya. Tapi kalau mau istirahat, boleh. Walaupun sebenarnya justru di penghujung minggu itu banyak event yang bisa jadi ajang promosi," tutur Mas David. "Aku udah ngobrolin itu sama Papa dan Mas Fa. Rencananya pas libur sebulanan itu, habis salat Jumat aku mau ambil jadwal promosi sampai waktunya tampil di sini," ungkapku. "
92"Padahal sabet aja, Ken," seloroh Sandy, sesaat setelah aku menceritakan tentang sosok Tante pemilik salon yang ternyata sering menanyakanku pada pegawai kelab. "Sabet pala lu!" sungutku. "Ngeri tau, dipandangin kayak harimau tengah mengincar mangsa," terangku."Cantik nggak sih?" sela Panji. "Cantiklah. Pemilik salon gitu, loh!" seru Ijan. "Kupikir masih awal tiga puluhan, taunya udah hampir empat puluh," sahut Willy. "Tapi bodynya oke dan aku yakin kulitnya pasti mulus," sambungnya seraya tersenyum. "Kamu aja yang nyamber sana! Aku masih waras," ungkapku. "Dikata aku kurang setengah ons?" Willy mencebik. "Kalau dihitung-hitung kita ini udah pantes jadi anaknya," imbuhku. "Emang umurnya berapa?" cetus Brenda."Tiga puluh delapan, kata Mas David yang pernah ngobrol sama dia," paparku. "Cuma beda beberapa tahun dari ibuku," celetuk Humaira. "Makanya itu aku ngeri. Bisa-bisa keperjakaanku hilang." Aku cepat-cepat menutup mulut karena keceplosan bicara. Sementara yang lainnya
93Waktu terus berjalan. Aku benar-benar dijaga ketat oleh manajer dan tim pendukung. Bahkan Humaira juga ikut-ikutan mengaturku dengan memberi jadwal agar aku bisa menyelesaikan tugas kuliah tepat waktu. Dia akan mengecek hasil kerjaku dan tidak segan-segan mengomeli bila jawaban kurang sesuai. Seperti hasil kesepakatan antara aku, Papa dan Om Yoga, Mang Idim akan menjemputku setiap pagi dan mengantarkan ke kampus. Siang harinya dia akan menjemput dan mengantarkanku ke tempat tujuan lain sesuai jadwal yang dibuat Mas Fa dan Mas David. Aku juga menjaga pola makan dan berolahraga ringan bila ada waktu luang. Selain itu, bila tidak sedang pentas, maka aku akan tidur awal. Benar-benar mengistirahatkan badan karena tidak mau kembali diopname. Tepat di hari terakhir ujian, sorenya aku berkunjung ke rumah Aleea dan menunggu Om Yoga pulang. Saat beliau tiba, aku menyampaikan keinginan untuk berbincang serius setelah beliau beristirahat. Seusai salat Magrib, Om Yoga memanggilku menuju ruan
94Suara motor terdengar nyaring dari depan rumah. Aku beranjak keluar dan melambaikan tangan memanggil Kak Ghifar. Kemudian memintanya memarkirkan motor di dekat teras agar aman dari tangan-tangan jahil. Meskipun orang-orang di rumah selalu ada, tetapi aku tidak bisa meminta mereka untuk menjaga motor karena semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. "Udah sarapan, Kak?" tanyaku saat pria berparas tampan itu duduk di sofa ruang tamu. "Belum. Tapi barusan aku beli roti," jawabnya sambil menunjuk ke ransel hijaunya yang diletakkan di samping kiri. "Itu buat bekal aja. Aku ambilin mi goreng. Mau minum apa? Biar sekalian dibuatin Mbak." "Ehm, teh aja. Tapi jangan terlalu manis." Aku berdiri dan jalan menuju dapur. Meminta Mbak Parmi untuk membuatkan minuman buat tamu, kemudian aku mengambil piring dan menuangkan mi dari wajan. Tak lupa menambahkan telur mata sapi dan taburan bawang goreng di atasnya, bergaya bak koki terkenal yang membuat ketiga asisten Mama terkekeh. Kala aku tib
95"Oh, sahabat Mas Benigno," ucapku. "Kirain istrinya," sambungku yang membuat Mas David tersenyum lebar. "Kamu orang ke-sekian yang ngira kayak gitu," sahut pria bermata sipit yang selalu terlihat tampan di setiap kesempatan."Habisnya di foto kayak mesra gitu. Manalah aku tau kalau pengantin prianya justru yang motretin," sela Ijan. "Aku juga mikirnya mereka pasangan suami istri. Ternyata bukan," cetus Willy. "Tapi lihat mereka ngobrol dekat gitu aku bisa nangkap kalau mereka saling sayang. Bukan cinta, ya, tapi sayang yang kentara banget. Sulit diungkapkan dengan kata-kata," imbuh Kak Ghifar. "Itu karena mereka lahir hanya beda hari. Rumah orang tuanya dulu sebelahan. Ke mana-mana selalu berdua. Baru misah saat kuliah, Mbak Tantri ke Amerika, Mas Ben ke Australia. Bahkan, suaminya Mbak Tantri itu sobatnya Mas Ben kuliah. Istilahnya, Mas Ben comblang mereka," jelas Mas David. "Senangnya kalau punya sahabat sedekat itu dan nggak bikin pasangan cemburu," tukasku. "Betul. Aku se
96Suasana kafe pagi ini sangat sepi saat aku dan tim tiba. Tiga orang bagian dokumentasi bekerja cepat memasang alat-alat di sekitar tangga dan bagian meja-meja. Mas Fa, Sandy dan Kak Ghifar membantu merapikan bagian dekat panggung. Sementara Kak Carol mendandaniku di dekat meja kasir. Aleea dan Nin muncul dari belakang kafe. Aku menatap gadis pujaan hati dengan penuh cinta. Nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan bergaun biru muda sepanjang betis nan memesona. Rambut panjangnya diikat bentuk ekor kuda dan dihiasi pita sewarna gaun. Sepatu putih dan baguette bag putih tulang menyempurnakan penampilannya yang memukau. "Jangan ngeces, Ken," seloroh Kak Carol. "Ehh, nggak," kilahku sambil tersenyum. "Kamu kalau udah lihat Aleea, yang lainnya tertutupi." "Tau aja." "Kelihatan banget klepek-klepeknya kamu. Aleea juga sama." "Doain jodoh, Kak." "Aamiin. Apalagi perjuangan kalian luar biasa banget. Salut aku." "Iya, aku aja takjub. Akhirnya restu pun turun. Hatiku le
97Jumat pagi ini aku dan tim sudah berada di sebuah studio. Mas Benigno yang mendapatkan ide dari Mbak Tantri memintaku mengubah irama lagu-lagu dengan lebih cepat untuk versi lain khusus bahan promosi. Hal itu dikarenakan Mbak Tantri baru menyaksikan video tarianku yang dikirimkan Mas Benigno. Pak Daud dan Mas Fa, serta Sandy dan Aleea yang mendampingiku, sama-sama mengarahkan pandangan serius padaku yang tengah bersiap-siap melakukan rekaman. Lagu pertama kulantunkan dengan serius hingga usai dan langsung dilanjutkan dengan lagu kedua yang aslinya memang berirama cepat. Kala Sandy dan Aleea tersenyum lebar dari balik kaca, aku baru menyadari bila sejak tadi tangan dan kaki bergerak-gerak. Spontan aku menghentikan gerakan seraya mengulum senyum. "Beneran kudu diikat," keluh Mas Fa, sesaat setelah aku keluar ruang rekaman dan bergabung dengan mereka. "Refleks, Mas," sanggahku."Pasrah aja entar di panggung dia bakal lincah," timpal Sandy. "Aku justru penasaran sama koregrafinya,