94Suara motor terdengar nyaring dari depan rumah. Aku beranjak keluar dan melambaikan tangan memanggil Kak Ghifar. Kemudian memintanya memarkirkan motor di dekat teras agar aman dari tangan-tangan jahil. Meskipun orang-orang di rumah selalu ada, tetapi aku tidak bisa meminta mereka untuk menjaga motor karena semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. "Udah sarapan, Kak?" tanyaku saat pria berparas tampan itu duduk di sofa ruang tamu. "Belum. Tapi barusan aku beli roti," jawabnya sambil menunjuk ke ransel hijaunya yang diletakkan di samping kiri. "Itu buat bekal aja. Aku ambilin mi goreng. Mau minum apa? Biar sekalian dibuatin Mbak." "Ehm, teh aja. Tapi jangan terlalu manis." Aku berdiri dan jalan menuju dapur. Meminta Mbak Parmi untuk membuatkan minuman buat tamu, kemudian aku mengambil piring dan menuangkan mi dari wajan. Tak lupa menambahkan telur mata sapi dan taburan bawang goreng di atasnya, bergaya bak koki terkenal yang membuat ketiga asisten Mama terkekeh. Kala aku tib
95"Oh, sahabat Mas Benigno," ucapku. "Kirain istrinya," sambungku yang membuat Mas David tersenyum lebar. "Kamu orang ke-sekian yang ngira kayak gitu," sahut pria bermata sipit yang selalu terlihat tampan di setiap kesempatan."Habisnya di foto kayak mesra gitu. Manalah aku tau kalau pengantin prianya justru yang motretin," sela Ijan. "Aku juga mikirnya mereka pasangan suami istri. Ternyata bukan," cetus Willy. "Tapi lihat mereka ngobrol dekat gitu aku bisa nangkap kalau mereka saling sayang. Bukan cinta, ya, tapi sayang yang kentara banget. Sulit diungkapkan dengan kata-kata," imbuh Kak Ghifar. "Itu karena mereka lahir hanya beda hari. Rumah orang tuanya dulu sebelahan. Ke mana-mana selalu berdua. Baru misah saat kuliah, Mbak Tantri ke Amerika, Mas Ben ke Australia. Bahkan, suaminya Mbak Tantri itu sobatnya Mas Ben kuliah. Istilahnya, Mas Ben comblang mereka," jelas Mas David. "Senangnya kalau punya sahabat sedekat itu dan nggak bikin pasangan cemburu," tukasku. "Betul. Aku se
96Suasana kafe pagi ini sangat sepi saat aku dan tim tiba. Tiga orang bagian dokumentasi bekerja cepat memasang alat-alat di sekitar tangga dan bagian meja-meja. Mas Fa, Sandy dan Kak Ghifar membantu merapikan bagian dekat panggung. Sementara Kak Carol mendandaniku di dekat meja kasir. Aleea dan Nin muncul dari belakang kafe. Aku menatap gadis pujaan hati dengan penuh cinta. Nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan bergaun biru muda sepanjang betis nan memesona. Rambut panjangnya diikat bentuk ekor kuda dan dihiasi pita sewarna gaun. Sepatu putih dan baguette bag putih tulang menyempurnakan penampilannya yang memukau. "Jangan ngeces, Ken," seloroh Kak Carol. "Ehh, nggak," kilahku sambil tersenyum. "Kamu kalau udah lihat Aleea, yang lainnya tertutupi." "Tau aja." "Kelihatan banget klepek-klepeknya kamu. Aleea juga sama." "Doain jodoh, Kak." "Aamiin. Apalagi perjuangan kalian luar biasa banget. Salut aku." "Iya, aku aja takjub. Akhirnya restu pun turun. Hatiku le
97Jumat pagi ini aku dan tim sudah berada di sebuah studio. Mas Benigno yang mendapatkan ide dari Mbak Tantri memintaku mengubah irama lagu-lagu dengan lebih cepat untuk versi lain khusus bahan promosi. Hal itu dikarenakan Mbak Tantri baru menyaksikan video tarianku yang dikirimkan Mas Benigno. Pak Daud dan Mas Fa, serta Sandy dan Aleea yang mendampingiku, sama-sama mengarahkan pandangan serius padaku yang tengah bersiap-siap melakukan rekaman. Lagu pertama kulantunkan dengan serius hingga usai dan langsung dilanjutkan dengan lagu kedua yang aslinya memang berirama cepat. Kala Sandy dan Aleea tersenyum lebar dari balik kaca, aku baru menyadari bila sejak tadi tangan dan kaki bergerak-gerak. Spontan aku menghentikan gerakan seraya mengulum senyum. "Beneran kudu diikat," keluh Mas Fa, sesaat setelah aku keluar ruang rekaman dan bergabung dengan mereka. "Refleks, Mas," sanggahku."Pasrah aja entar di panggung dia bakal lincah," timpal Sandy. "Aku justru penasaran sama koregrafinya,
98Aleea terkekeh sambil menutup mulut. Aku turut tersenyum sebelum mendekat dan mencium dahinya. Kala aku memundurkan badan, Aleea justru mendekat sambil melingkarkan tangan di pinggang. Aku balas mendekap dan mengecup puncak kepalanya. Kemudian menempelkan dagu sambil memejamkan mata. Merasa sangat senang memiliki kekasih sebaik Aleea yang mencurahkan segenap rasa sayang untuk membantuku. Kala Aleea mengurai pelukan, kami kembali saling menatap. Entah siapa yang memulai, bibir pun bertemu dan saling mengisap. Aku merapatkan badan sembari menahan tangan agar tidak bergerilya. Namun, sentuhan tangan Alea di rambut dan belakang leher membuatku kesulitan menahan hasrat serta menurunkan kecupan ke area lain. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berpagutan. Napas yang memburu serta detak jantung yang menggila membuatku kian susah menghentikan aktivitas. Bunyi pagar rumah menjadikanku tersadar dan memutuskan keintiman serta menjauhkan diri. Aku menyatukan dahi kami sambil mengatur nap
99Pertunjukan malam minggu ini terasa berbeda. Semua anggota band tidak terlalu ceria dan lebih banyak diam. Terutama Mas Fa, pria klimis tersebut nyaris tidak berbincang dengan kami. Dia baru akan bicara saat ditanya istrinya, setelah itu Mas Fa akan kembali melamun. Seusai pertunjukan kami dikumpulkan Kang Ryan yang memberi wejangan agar semuanya tetap tenang dan melakukan pekerjaan seperti biasa. Kang Ryan juga meminta kami untuk berdoa agar Linda bisa lekas pulih dan kembali bekerja bersama kami. Aku dan rekan-rekan yang telah berjanji akan menginap di rumahnya Mas Steven, berangkat dengan menumpang pada mobil CRV putih yang tadi diantarkan Mang Idim ke kafe, setelah itu beliau pulang ke rumahnya dan akan menjemputku esok hari. Mas Steven yang menjadi sopir tampak serius memandangi jalan. Mas Fa yang duduk di sebelahnya terlihat fokus menatap layar ponsel. Aku dan Mbak Yeni serta Kak Carol berbincang sekali-sekali, selebihnya kami kembali diam. Bang Ali dan Mas Mono membuntuti
100Senin pagi Mang Idim sudah menjemputku. Pria berkulit kecokelatan tersebut menolak diajak sarapan, tetapi ketika diberikan dua kotak kue senyumannya langsung mengembang. Setelah berpamitan pada kedua orang tua, aku dan Mang Idim jalan bersisian menuju mobil. Tak berselang lama mobil CRV putih milik Kak Devan yang kusewa meluncur di jalan utama kompleks. Mang Idim membelokkan mobil ke kiri setibanya di jalan raya. Beberapa ratus meter berikutnya mobil memasuki gerbang kompleks yang tipe rumahnya lebih kecil dibandingkan kompleks yang kutempati. Dari kejauhan tampak seorang pria berdiri di depan gerbang depan blok yang letaknya agak di belakang kompleks. Ijan yang kali ini mengenakan kemeja hijau daun kangkung, langsung memasuki kursi bagian tengah sesaat setelah Mang Idim berhenti. "Tumben kamu udah mejeng di depan, Jan," tuturku sembari membalikkan badan dan mengulurkan wadah makanan berisi jajanan tradisional yang langsung disambut Ijan dengan semangat. "Di dalam blok banyak
101Waktu sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB saat kami keluar dari gedung kantor. Mas David kembali memperingatkan agar aku tiba tepat waktu di tempat pertemuan kedua yang akan diadakan jam empat sore. Kami memasuki mobil berbeda dan Mas David membunyikan klakson sebelum kendaraannya melaju keluar dari area parkir. "Kita ke mal dulu, Mang," ujarku sembari membuka jas dan memberikannya pada Ijan yang segera menggantungnya di belakang. "Mal mana nih?" tanya Mang Idim sambil menyalakan mesin. "Ehm, yang terdekat, mal apa?""Kelapa Gading. Atau mau ke Artha juga bisa. Sekalian lewat." "Kelapa Gading aja. Sekalian kita makan, baru anterin aku ke rumahnya Lea. Numpang salat dan istirahat bentar." "Aku mau numpang tidur di tempat Aleea," timpal Ijan dari kursi tengah. "Tidur bisa di mobil," sahutku. "Terus aku ngapain? Jadi lalat pas kalian kencan?""Nonton, main games. Atau kalau nggak, kamu belajar nyetir." "Pake mobil ini?" "Ehm, pinjam mobil Lea aja." "Oke, deh." Ijan tiba-tiba