97Jumat pagi ini aku dan tim sudah berada di sebuah studio. Mas Benigno yang mendapatkan ide dari Mbak Tantri memintaku mengubah irama lagu-lagu dengan lebih cepat untuk versi lain khusus bahan promosi. Hal itu dikarenakan Mbak Tantri baru menyaksikan video tarianku yang dikirimkan Mas Benigno. Pak Daud dan Mas Fa, serta Sandy dan Aleea yang mendampingiku, sama-sama mengarahkan pandangan serius padaku yang tengah bersiap-siap melakukan rekaman. Lagu pertama kulantunkan dengan serius hingga usai dan langsung dilanjutkan dengan lagu kedua yang aslinya memang berirama cepat. Kala Sandy dan Aleea tersenyum lebar dari balik kaca, aku baru menyadari bila sejak tadi tangan dan kaki bergerak-gerak. Spontan aku menghentikan gerakan seraya mengulum senyum. "Beneran kudu diikat," keluh Mas Fa, sesaat setelah aku keluar ruang rekaman dan bergabung dengan mereka. "Refleks, Mas," sanggahku."Pasrah aja entar di panggung dia bakal lincah," timpal Sandy. "Aku justru penasaran sama koregrafinya,
98Aleea terkekeh sambil menutup mulut. Aku turut tersenyum sebelum mendekat dan mencium dahinya. Kala aku memundurkan badan, Aleea justru mendekat sambil melingkarkan tangan di pinggang. Aku balas mendekap dan mengecup puncak kepalanya. Kemudian menempelkan dagu sambil memejamkan mata. Merasa sangat senang memiliki kekasih sebaik Aleea yang mencurahkan segenap rasa sayang untuk membantuku. Kala Aleea mengurai pelukan, kami kembali saling menatap. Entah siapa yang memulai, bibir pun bertemu dan saling mengisap. Aku merapatkan badan sembari menahan tangan agar tidak bergerilya. Namun, sentuhan tangan Alea di rambut dan belakang leher membuatku kesulitan menahan hasrat serta menurunkan kecupan ke area lain. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berpagutan. Napas yang memburu serta detak jantung yang menggila membuatku kian susah menghentikan aktivitas. Bunyi pagar rumah menjadikanku tersadar dan memutuskan keintiman serta menjauhkan diri. Aku menyatukan dahi kami sambil mengatur nap
99Pertunjukan malam minggu ini terasa berbeda. Semua anggota band tidak terlalu ceria dan lebih banyak diam. Terutama Mas Fa, pria klimis tersebut nyaris tidak berbincang dengan kami. Dia baru akan bicara saat ditanya istrinya, setelah itu Mas Fa akan kembali melamun. Seusai pertunjukan kami dikumpulkan Kang Ryan yang memberi wejangan agar semuanya tetap tenang dan melakukan pekerjaan seperti biasa. Kang Ryan juga meminta kami untuk berdoa agar Linda bisa lekas pulih dan kembali bekerja bersama kami. Aku dan rekan-rekan yang telah berjanji akan menginap di rumahnya Mas Steven, berangkat dengan menumpang pada mobil CRV putih yang tadi diantarkan Mang Idim ke kafe, setelah itu beliau pulang ke rumahnya dan akan menjemputku esok hari. Mas Steven yang menjadi sopir tampak serius memandangi jalan. Mas Fa yang duduk di sebelahnya terlihat fokus menatap layar ponsel. Aku dan Mbak Yeni serta Kak Carol berbincang sekali-sekali, selebihnya kami kembali diam. Bang Ali dan Mas Mono membuntuti
100Senin pagi Mang Idim sudah menjemputku. Pria berkulit kecokelatan tersebut menolak diajak sarapan, tetapi ketika diberikan dua kotak kue senyumannya langsung mengembang. Setelah berpamitan pada kedua orang tua, aku dan Mang Idim jalan bersisian menuju mobil. Tak berselang lama mobil CRV putih milik Kak Devan yang kusewa meluncur di jalan utama kompleks. Mang Idim membelokkan mobil ke kiri setibanya di jalan raya. Beberapa ratus meter berikutnya mobil memasuki gerbang kompleks yang tipe rumahnya lebih kecil dibandingkan kompleks yang kutempati. Dari kejauhan tampak seorang pria berdiri di depan gerbang depan blok yang letaknya agak di belakang kompleks. Ijan yang kali ini mengenakan kemeja hijau daun kangkung, langsung memasuki kursi bagian tengah sesaat setelah Mang Idim berhenti. "Tumben kamu udah mejeng di depan, Jan," tuturku sembari membalikkan badan dan mengulurkan wadah makanan berisi jajanan tradisional yang langsung disambut Ijan dengan semangat. "Di dalam blok banyak
101Waktu sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB saat kami keluar dari gedung kantor. Mas David kembali memperingatkan agar aku tiba tepat waktu di tempat pertemuan kedua yang akan diadakan jam empat sore. Kami memasuki mobil berbeda dan Mas David membunyikan klakson sebelum kendaraannya melaju keluar dari area parkir. "Kita ke mal dulu, Mang," ujarku sembari membuka jas dan memberikannya pada Ijan yang segera menggantungnya di belakang. "Mal mana nih?" tanya Mang Idim sambil menyalakan mesin. "Ehm, yang terdekat, mal apa?""Kelapa Gading. Atau mau ke Artha juga bisa. Sekalian lewat." "Kelapa Gading aja. Sekalian kita makan, baru anterin aku ke rumahnya Lea. Numpang salat dan istirahat bentar." "Aku mau numpang tidur di tempat Aleea," timpal Ijan dari kursi tengah. "Tidur bisa di mobil," sahutku. "Terus aku ngapain? Jadi lalat pas kalian kencan?""Nonton, main games. Atau kalau nggak, kamu belajar nyetir." "Pake mobil ini?" "Ehm, pinjam mobil Lea aja." "Oke, deh." Ijan tiba-tiba
102Aku enggak bisa tidur karena masih terngiang-ngiang ucapan Om Yoga tadi siang. Aku belum mau membicarakan hal ini pada orang tua karena mereka pasti akan terkejut. Aku sendiri masih tidak menyangka akan diminta melakukan hal itu dalam waktu dekat.Merasa lelah mencoba tidur akhirnya aku menggapai ponsel yang tengah diisi daya, kemudian mencabut kabelnya sebelum memangku benda itu di atas perut. Aku memutuskan menonton film dari negeri gajah putih yang pernah direkomendasikan Aleea tempo hari. Berbeda dengan kebanyakan gadis muda lainnya yang mengidolakan artis dari negeri ginseng ataupun Hollywood, kekasihku nan jelita itu justru menyukai artis-artis dari negara penghasil drama terbanyak ketiga setelah Korea Selatan dan Cina. Bukan tanpa sebab Aleea melakukan hal itu, karena menurutnya drama-drama Thailand lebih membumi alias tidak terlalu halusinasi, masih sebanding dengan realita kehidupan. Selain itu, paras para artis yang merupakan perpaduan antara Cina dan Asia Tenggara me
103Pertunjukan malam minggu ini sangat sukses. Meskipun vokalis hanya tiga orang, tetapi semua pemain musik hadir dan bersemangat menyajikan penampilan terbaik. Seperti biasanya, aku tampil empat kali dengan dua puluh judul lagu. Empat judulnya diambil dari albumku sendiri alias promosi terselubung. Seusai pertunjukan, kami diajak Kang Ryan mengobrol sebentar di ruang kerjanya. Selain kami, Kak Hasna juga turut serta dalam rapat mendadak itu. Kami duduk berdampingan di dua sofa panjang yang tersedia. Sementara Kang Ryan menarik singgasananya hingga mendekati kami. "Dua minggu lagi aku bakal berangkat ke Singapura. Senin nanti, manajer baru akan datang untuk membantu Hasna," ujar Kang Ryan memulai percakapan. "Aku harap kalian bisa membantunya bekerja sama. Karena jujur aja, sangat sulit mencari orang yang kompeten saat ini," sambungnya. "Siap, Ryan," jawab Mas Fa mewakili kami. "Apakah kami kenal orang ini sebelumnya?" tanyanya sembari memajukan badan. "Sepertinya kenal. Karena d
104Kelompok ibu-ibu dan remaja putri berkaus merah muda membuatku mati kutu. Bertambah gugup saat para perempuan muda tersenyum-senyum ke arahku sebelum menghampiri dan mengajak berkenalan sambil bersalaman. Satu per satu mereka menyebutkan nama yang kubalas dengan hal serupa. Setelahnya giliran para Ibu yang mengerubungi tanpa bisa dicegah lagi. "Ternyata ini yang namanya, Kenzo," ucap seorang perempuan berjilbab putih yang bertubuh montok khas ibu-ibu. "Perkenalkan, saya, Lastri, mamanya Ryan," sambungnya yang membuatku akhirnya paham bagaimana Kang Ryan bisa mengetahui acara jalan-jalan ini. "Salam kenal, Tante," balasku sembari merunduk dan mencium tangannya dengan takzim. Saat aku menegakkan badan, Tante Lastri menatapku saksama seraya mengulaskan senyuman. Kemudian dia mengalihkan pandangan pada Aleea yang tengah berbincang dengan para gadis, lalu memandangiku kembali. "Wajahmu dan Aleea ada kemiripan. Biasanya jodoh kalau mirip gitu," tutur Tante Lastri yang membuatku semp
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per