105Perjalanan selama dua jam lima belas menit akhirnya usai. Kami tiba di Bandara Sepinggan, Balikpapan dan bergegas turun untuk mengambil bagasi. Kami berpindah ke pesawat yang akan menuju Berau. Aku menarik koper hitam milik Mama Anita di tangan kanan dan tas biru tuaku di tangan kiri. Aleea dan teman-temannya telah terlebih dahulu jalan bersama ibu-ibu sambil menyeret koper masing-masing. Sengaja para Bapak membiarkan ibu-ibu jalan di depan karena mereka langkahnya tidak selebar kami. Setibanya di ruang tunggu, Aleea melambaikan tangan. Aku menghampirinya dan terkesiap ketika dia mengusap wajahku dengan tisu, kemudian memintaku duduk bersebelahan dengannya. "Di pesawat nanti kita duduk berderet," tukas Aleea. "Oh, nggak dipisah cowok cewek kayak tadi?" tanyaku. "Enggak. Sekarang kursinya per keluarga. Kita bertiga sama Mama." "Kangen, ya, sama aku?" Aleea melirik, kemudian melengos. Aku tersenyum lebar, sangat menyukai sikapnya yang seperti itu. Menggemaskan dan rasanya ing
106Aku duduk bersebelahan dengan Kak Dzaki. Sementara Aleea dan mamanya duduk di kursi belakang kami. Aku dan Kak Dzaki berbincang santai mengenai perkuliahan. Kami sama-sama fakultas komunikasi, tetapi dia memilih jurusan hubungan internasional. Perjalanan menuju penginapan ditempuh selama tiga puluh menit. Saat menjejakkan kaki di ujung dermaga, aku memasangkan tongkat khusus yang disambungkan ke ponsel. Kemudian bergaya bak selebgam dengan latar belakang orang-orang yang tengah turun dari perahu. "Gaya beneran kayak presenter, Ken. Bisa?" tanya Kak Dzaki. "Bisa, dong," sahutku. "Tunggu." Pria berkumis tipis melepaskan tas ransel hitamnya dan membuka ritsleting benda itu untuk mengeluarkan kamera beresolusi tinggi, yang pernah dilihat dipakai Mas Benigno saat mengambil video ketika aku tengah rekaman. Ketika Kak Dzaki mempersiapkan kamera, Aleea merapikan rambut dan mengusap wajahku dengan tisu tanpa diminta. Kemudian dia berpindah ke depan bersama para gadis, sedangkan ibu-i
107"Senyum-senyum mulu. Mikir apaan?" tanya Kak Dzaki yang duduk di samping kiriku. "Ehm, pengen jalan-jalan ke luar negeri," terangku. "Aleea bukannya nanti akan lanjut kuliah di London?" "Rencanya gitu. Aku ikut ngantar ke sana. Nanti pulangnya bareng Mama dan papanya." "Kenapa kamu nggak ikut kuliah di sana juga?""Aku terikat kontrak rekaman, Kak. Nggak bisa kuliah pascasarjana jauh-jauh. Kuliah di sini aja. Maksudku di Jakarta." Aku terdiam sejenak, kemudian bertutur, "Papanya Aleea juga memintaku belajar bisnis. Kata beliau, jaga-jaga karirku mandek, aku bisa banting setir jadi pengusaha. Beliau ada rencana mau buat resort, aku bakal bantu bagian marketing dan public speaking, keahlianku di sana." "Bagus itu. Jadi pas Aleea pulang, bisnis tinggal dilanjutkan setelah kalian nikah." Aku spontan cengengesan. "Masih jauh, Kak," imbuhku. "Kata Mama dan para manajer, aku harus siap mental kalau mau nikah. Apalagi usia kami cuma beda bulan alias dunianya sama. Harus benar-benar
108Sesuai dugaan, perjalanan pulang menuju Jakarta ditempuh lebih lama daripada saat perginya. Hal ini disebabkan karena keterlambatan pesawat dari Bandara Sepinggan menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Jika seperti jadwal, kami sudah tiba jam tiga sore, tetapi kenyataannya terlewat satu jam lebih. Om Yoga menjemput kami bersama Pak Nanang, sopir kantor. Mereka mengantarkanku terlebih dahulu ke rumah yang disambut kedua orang tuaku dengan hangat. Bahkan, Om Yoga dan keluarga yang tadinya ingin langsung pulang akhirnya mengubah waktu dan ikut salat Magrib di rumah. Selanjutnya kami menikmati hidangan makan malam sambil mengobrol santai. Setelahnya mereka berpamitan. "Seru nggak, Bang, di sana?" tanya Kai, sesaat setelah aku duduk di sofa ruang tengah. "Seru. Walaupun terburu-buru jadinya nggak semua tempat wisata didatangi. Tapi Abang nggak kapok buat ke sana. Kapan-kapan kita sekeluarga berlibur dan nginap tiga hari. Biar semua tempat dikunjungi," jawabku. "Kata Teh Anita
109Hari berganti hari. Sore ini aku tiba di kelab dengan tubuh yang sudah lebih segar. Mama mewajibkanku mengonsumsi vitamin agar tidak jatuh sakit. Selain itu, tadi pagi aku menyempatkan diri lari pagi hingga tiba di kompleksnya Ijan. Namun, pulang dari sana, aku menumpang ojek demi kesehatan betis. Aleea dan Sandy yang menemaniku sejak pagi hari, ikut sibuk merapikan penampilanku seusai menunaikan salat Magrib. Kemudian kami jalan berdampingan menuju belakang panggung, tempat di mana Mas David, Mas Fa dan Linda telah menunggu. Kondisi Linda sudah jauh lebih baik daripada beberapa minggu lalu. Dia juga tidak pernah sendirian lagi bila harus bekerja. Biasanya Mas Steven yang akan mengantar jemput Linda bila harus tampil di kafe. Namun, hari ini dia datang bersama Mas Fa. Aku tidak terlalu paham dengan proses kasusnya melawan Angga yang masih belum maju ke persidangan. Menurut Om Yoga, prosesnya bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sebab itulah Mas Benigno menyarankan Linda
110Minggu pagi yang cerah. Aku menyempatkan joging bersama keluarga. Seusai memutari kompleks, kami berhenti di deretan ruko depan dan memilih tempat untuk menikmati sarapan. Khanza meminta bubur ayam dan kami berempat mengikuti tuan putri yang beberapa minggu lagi akan berusia tujuh tahun. "Abang ke tempat promosi nanti sama siapa?" tanya Papa, sesaat setelah kami duduk di bangku plastik biru di lapak pedagang. "Aleea. Beres acara resepsi saudaranya nanti kamu ke kantor radio," jawabku, sengaja tidak mengungkapkan acara kencan singkat dengan Aleea. "Pulang dari kelab, Papa jemput. Lea biar pulang duluan jam delapan. Jangan terlalu malam dia pulangnya, ngeri." "Iya, Pa. Rencananya sebelum kami ke kelab, mau jemput Nin dulu biar Lea nggak sendirian pulangnya." "Ehm, Bang, ulang tahun Khanza, Lea mau bantu dandanin Mama nggak?" tanya Mama yang duduk berdampingan dengan Papa di seberang meja. "Nanti kutanyain. Acara Khanza mau dirayain?" Aku balas bertanya. "Mama sekalian selamat
111"Kita berangkat sekarang?" tanyaku sembari mengurai pelukan. "Iya," lirih Aleea. "Bentar, aku touch up lagi," ungkapnya. Aku mengulaskan senyuman saat Aleea menatapku sekilas, sebelum dia berdiri dan jalan keluar. Aku mendengkus pelan sembari menyugar rambut. Setelahnya aku berdiri dan menghampiri meja rias untuk merapikan diri. Beberapa belas menit berikutnya kami sudah berada di mobil CRV putih. Pada awalnya Aleea hendak menggunakan mobil sedan merahnya, tetapi Mama Anita menelepon dan meminta dibawakan beberapa barang yang ternyata tidak muat di mobilnya. Untunglah kemarin mobil CRV memang tidak digunakan mengantar jemputku. Sesuai permintaanku bila mobil akan disimpan di rumah Om Yoga bila tidak digunakan. Karena halaman rumah orang tuaku hanya cukup dipakai parkir satu mobil. Bila ada mobil CRV, biasanya diparkirkan di depan pagar dan Papa akan memberikan tambahan upah buat penjaga keamanan, agar mereka mau membantu mengamankan mobil dan lingkungan sekitar. Sepanjang per
Minggu terakhir libur diisi dengan jadwal promosi yang sangat padat. Setiap hari aku turun dari rumah jam delapan pagi dan baru sampai lagi jam sembilan malam. Khusus penghujung minggu aku akan pulang lewat dari jam sebelas. Bahkan terkadang baru bisa tidur mendekati jam dua belas malam. Aku harus mengakui cara kerja tim yang sangat luar biasa dalam mendukung langkahku meniti karir. Meskipun sama-sama lelah, tetapi mereka tetap bersemangat sekaligus menyemangatiku bila tengah kelelahan. Seperti malam ini, aku tampil di kelab N dengan ditemani Mas Fa, Sandy dan Willy. Wajah mereka sudah kuyu, tetapi tetap menampilkan senyuman untuk menyemangatiku. Tepat pukul 23.00 WIB pertunjukan usai. Aku berpamitan pada rekan-rekan band yang digawangi Mas Rendra, seorang pemain drum andal yang selalu membuatku terpukau bila dia tengah bermain solo. "Ken, bulan depan aku nikah. Bisa ngisi nyanyi nggak?" tanya Mas Rendra saat aku bersalaman dengannya. "Bentar, Mas." Aku memanggil Ijan, kemudi