102Aku enggak bisa tidur karena masih terngiang-ngiang ucapan Om Yoga tadi siang. Aku belum mau membicarakan hal ini pada orang tua karena mereka pasti akan terkejut. Aku sendiri masih tidak menyangka akan diminta melakukan hal itu dalam waktu dekat.Merasa lelah mencoba tidur akhirnya aku menggapai ponsel yang tengah diisi daya, kemudian mencabut kabelnya sebelum memangku benda itu di atas perut. Aku memutuskan menonton film dari negeri gajah putih yang pernah direkomendasikan Aleea tempo hari. Berbeda dengan kebanyakan gadis muda lainnya yang mengidolakan artis dari negeri ginseng ataupun Hollywood, kekasihku nan jelita itu justru menyukai artis-artis dari negara penghasil drama terbanyak ketiga setelah Korea Selatan dan Cina. Bukan tanpa sebab Aleea melakukan hal itu, karena menurutnya drama-drama Thailand lebih membumi alias tidak terlalu halusinasi, masih sebanding dengan realita kehidupan. Selain itu, paras para artis yang merupakan perpaduan antara Cina dan Asia Tenggara me
103Pertunjukan malam minggu ini sangat sukses. Meskipun vokalis hanya tiga orang, tetapi semua pemain musik hadir dan bersemangat menyajikan penampilan terbaik. Seperti biasanya, aku tampil empat kali dengan dua puluh judul lagu. Empat judulnya diambil dari albumku sendiri alias promosi terselubung. Seusai pertunjukan, kami diajak Kang Ryan mengobrol sebentar di ruang kerjanya. Selain kami, Kak Hasna juga turut serta dalam rapat mendadak itu. Kami duduk berdampingan di dua sofa panjang yang tersedia. Sementara Kang Ryan menarik singgasananya hingga mendekati kami. "Dua minggu lagi aku bakal berangkat ke Singapura. Senin nanti, manajer baru akan datang untuk membantu Hasna," ujar Kang Ryan memulai percakapan. "Aku harap kalian bisa membantunya bekerja sama. Karena jujur aja, sangat sulit mencari orang yang kompeten saat ini," sambungnya. "Siap, Ryan," jawab Mas Fa mewakili kami. "Apakah kami kenal orang ini sebelumnya?" tanyanya sembari memajukan badan. "Sepertinya kenal. Karena d
104Kelompok ibu-ibu dan remaja putri berkaus merah muda membuatku mati kutu. Bertambah gugup saat para perempuan muda tersenyum-senyum ke arahku sebelum menghampiri dan mengajak berkenalan sambil bersalaman. Satu per satu mereka menyebutkan nama yang kubalas dengan hal serupa. Setelahnya giliran para Ibu yang mengerubungi tanpa bisa dicegah lagi. "Ternyata ini yang namanya, Kenzo," ucap seorang perempuan berjilbab putih yang bertubuh montok khas ibu-ibu. "Perkenalkan, saya, Lastri, mamanya Ryan," sambungnya yang membuatku akhirnya paham bagaimana Kang Ryan bisa mengetahui acara jalan-jalan ini. "Salam kenal, Tante," balasku sembari merunduk dan mencium tangannya dengan takzim. Saat aku menegakkan badan, Tante Lastri menatapku saksama seraya mengulaskan senyuman. Kemudian dia mengalihkan pandangan pada Aleea yang tengah berbincang dengan para gadis, lalu memandangiku kembali. "Wajahmu dan Aleea ada kemiripan. Biasanya jodoh kalau mirip gitu," tutur Tante Lastri yang membuatku semp
105Perjalanan selama dua jam lima belas menit akhirnya usai. Kami tiba di Bandara Sepinggan, Balikpapan dan bergegas turun untuk mengambil bagasi. Kami berpindah ke pesawat yang akan menuju Berau. Aku menarik koper hitam milik Mama Anita di tangan kanan dan tas biru tuaku di tangan kiri. Aleea dan teman-temannya telah terlebih dahulu jalan bersama ibu-ibu sambil menyeret koper masing-masing. Sengaja para Bapak membiarkan ibu-ibu jalan di depan karena mereka langkahnya tidak selebar kami. Setibanya di ruang tunggu, Aleea melambaikan tangan. Aku menghampirinya dan terkesiap ketika dia mengusap wajahku dengan tisu, kemudian memintaku duduk bersebelahan dengannya. "Di pesawat nanti kita duduk berderet," tukas Aleea. "Oh, nggak dipisah cowok cewek kayak tadi?" tanyaku. "Enggak. Sekarang kursinya per keluarga. Kita bertiga sama Mama." "Kangen, ya, sama aku?" Aleea melirik, kemudian melengos. Aku tersenyum lebar, sangat menyukai sikapnya yang seperti itu. Menggemaskan dan rasanya ing
106Aku duduk bersebelahan dengan Kak Dzaki. Sementara Aleea dan mamanya duduk di kursi belakang kami. Aku dan Kak Dzaki berbincang santai mengenai perkuliahan. Kami sama-sama fakultas komunikasi, tetapi dia memilih jurusan hubungan internasional. Perjalanan menuju penginapan ditempuh selama tiga puluh menit. Saat menjejakkan kaki di ujung dermaga, aku memasangkan tongkat khusus yang disambungkan ke ponsel. Kemudian bergaya bak selebgam dengan latar belakang orang-orang yang tengah turun dari perahu. "Gaya beneran kayak presenter, Ken. Bisa?" tanya Kak Dzaki. "Bisa, dong," sahutku. "Tunggu." Pria berkumis tipis melepaskan tas ransel hitamnya dan membuka ritsleting benda itu untuk mengeluarkan kamera beresolusi tinggi, yang pernah dilihat dipakai Mas Benigno saat mengambil video ketika aku tengah rekaman. Ketika Kak Dzaki mempersiapkan kamera, Aleea merapikan rambut dan mengusap wajahku dengan tisu tanpa diminta. Kemudian dia berpindah ke depan bersama para gadis, sedangkan ibu-i
107"Senyum-senyum mulu. Mikir apaan?" tanya Kak Dzaki yang duduk di samping kiriku. "Ehm, pengen jalan-jalan ke luar negeri," terangku. "Aleea bukannya nanti akan lanjut kuliah di London?" "Rencanya gitu. Aku ikut ngantar ke sana. Nanti pulangnya bareng Mama dan papanya." "Kenapa kamu nggak ikut kuliah di sana juga?""Aku terikat kontrak rekaman, Kak. Nggak bisa kuliah pascasarjana jauh-jauh. Kuliah di sini aja. Maksudku di Jakarta." Aku terdiam sejenak, kemudian bertutur, "Papanya Aleea juga memintaku belajar bisnis. Kata beliau, jaga-jaga karirku mandek, aku bisa banting setir jadi pengusaha. Beliau ada rencana mau buat resort, aku bakal bantu bagian marketing dan public speaking, keahlianku di sana." "Bagus itu. Jadi pas Aleea pulang, bisnis tinggal dilanjutkan setelah kalian nikah." Aku spontan cengengesan. "Masih jauh, Kak," imbuhku. "Kata Mama dan para manajer, aku harus siap mental kalau mau nikah. Apalagi usia kami cuma beda bulan alias dunianya sama. Harus benar-benar
108Sesuai dugaan, perjalanan pulang menuju Jakarta ditempuh lebih lama daripada saat perginya. Hal ini disebabkan karena keterlambatan pesawat dari Bandara Sepinggan menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Jika seperti jadwal, kami sudah tiba jam tiga sore, tetapi kenyataannya terlewat satu jam lebih. Om Yoga menjemput kami bersama Pak Nanang, sopir kantor. Mereka mengantarkanku terlebih dahulu ke rumah yang disambut kedua orang tuaku dengan hangat. Bahkan, Om Yoga dan keluarga yang tadinya ingin langsung pulang akhirnya mengubah waktu dan ikut salat Magrib di rumah. Selanjutnya kami menikmati hidangan makan malam sambil mengobrol santai. Setelahnya mereka berpamitan. "Seru nggak, Bang, di sana?" tanya Kai, sesaat setelah aku duduk di sofa ruang tengah. "Seru. Walaupun terburu-buru jadinya nggak semua tempat wisata didatangi. Tapi Abang nggak kapok buat ke sana. Kapan-kapan kita sekeluarga berlibur dan nginap tiga hari. Biar semua tempat dikunjungi," jawabku. "Kata Teh Anita
109Hari berganti hari. Sore ini aku tiba di kelab dengan tubuh yang sudah lebih segar. Mama mewajibkanku mengonsumsi vitamin agar tidak jatuh sakit. Selain itu, tadi pagi aku menyempatkan diri lari pagi hingga tiba di kompleksnya Ijan. Namun, pulang dari sana, aku menumpang ojek demi kesehatan betis. Aleea dan Sandy yang menemaniku sejak pagi hari, ikut sibuk merapikan penampilanku seusai menunaikan salat Magrib. Kemudian kami jalan berdampingan menuju belakang panggung, tempat di mana Mas David, Mas Fa dan Linda telah menunggu. Kondisi Linda sudah jauh lebih baik daripada beberapa minggu lalu. Dia juga tidak pernah sendirian lagi bila harus bekerja. Biasanya Mas Steven yang akan mengantar jemput Linda bila harus tampil di kafe. Namun, hari ini dia datang bersama Mas Fa. Aku tidak terlalu paham dengan proses kasusnya melawan Angga yang masih belum maju ke persidangan. Menurut Om Yoga, prosesnya bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sebab itulah Mas Benigno menyarankan Linda
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per