91Jumat sore, aku dan Ijan diantar Willy dengan menggunakan mobil milik Papa menuju kelab milik Mas Benigno. Seperti halnya di kafe pekan lalu, rekan-rekan band menyambutku dengan pelukan, termasuk Mbak Gita. Mas Jay hanya cengengesan saat melihat istrinya menangis di pundakku, mungkin karena terlalu rindu. Mas David langsung mengajakku dan teman-teman ke ruangan khususnya yang berada di dekat dapur. Kemudian pria klimis itu memberikan beberapa lembar kertas yang ternyata berisi jadwal promosi yang akan efektif dua bulan lagi. "Senin sampai Kamis, full dari jam tiga sore sampai jam sepuluh malam. Jumat, Sabtu dan Minggu, kalau kamu mau, bisa kita tambahkan jadwalnya. Tapi kalau mau istirahat, boleh. Walaupun sebenarnya justru di penghujung minggu itu banyak event yang bisa jadi ajang promosi," tutur Mas David. "Aku udah ngobrolin itu sama Papa dan Mas Fa. Rencananya pas libur sebulanan itu, habis salat Jumat aku mau ambil jadwal promosi sampai waktunya tampil di sini," ungkapku. "
92"Padahal sabet aja, Ken," seloroh Sandy, sesaat setelah aku menceritakan tentang sosok Tante pemilik salon yang ternyata sering menanyakanku pada pegawai kelab. "Sabet pala lu!" sungutku. "Ngeri tau, dipandangin kayak harimau tengah mengincar mangsa," terangku."Cantik nggak sih?" sela Panji. "Cantiklah. Pemilik salon gitu, loh!" seru Ijan. "Kupikir masih awal tiga puluhan, taunya udah hampir empat puluh," sahut Willy. "Tapi bodynya oke dan aku yakin kulitnya pasti mulus," sambungnya seraya tersenyum. "Kamu aja yang nyamber sana! Aku masih waras," ungkapku. "Dikata aku kurang setengah ons?" Willy mencebik. "Kalau dihitung-hitung kita ini udah pantes jadi anaknya," imbuhku. "Emang umurnya berapa?" cetus Brenda."Tiga puluh delapan, kata Mas David yang pernah ngobrol sama dia," paparku. "Cuma beda beberapa tahun dari ibuku," celetuk Humaira. "Makanya itu aku ngeri. Bisa-bisa keperjakaanku hilang." Aku cepat-cepat menutup mulut karena keceplosan bicara. Sementara yang lainnya
93Waktu terus berjalan. Aku benar-benar dijaga ketat oleh manajer dan tim pendukung. Bahkan Humaira juga ikut-ikutan mengaturku dengan memberi jadwal agar aku bisa menyelesaikan tugas kuliah tepat waktu. Dia akan mengecek hasil kerjaku dan tidak segan-segan mengomeli bila jawaban kurang sesuai. Seperti hasil kesepakatan antara aku, Papa dan Om Yoga, Mang Idim akan menjemputku setiap pagi dan mengantarkan ke kampus. Siang harinya dia akan menjemput dan mengantarkanku ke tempat tujuan lain sesuai jadwal yang dibuat Mas Fa dan Mas David. Aku juga menjaga pola makan dan berolahraga ringan bila ada waktu luang. Selain itu, bila tidak sedang pentas, maka aku akan tidur awal. Benar-benar mengistirahatkan badan karena tidak mau kembali diopname. Tepat di hari terakhir ujian, sorenya aku berkunjung ke rumah Aleea dan menunggu Om Yoga pulang. Saat beliau tiba, aku menyampaikan keinginan untuk berbincang serius setelah beliau beristirahat. Seusai salat Magrib, Om Yoga memanggilku menuju ruan
94Suara motor terdengar nyaring dari depan rumah. Aku beranjak keluar dan melambaikan tangan memanggil Kak Ghifar. Kemudian memintanya memarkirkan motor di dekat teras agar aman dari tangan-tangan jahil. Meskipun orang-orang di rumah selalu ada, tetapi aku tidak bisa meminta mereka untuk menjaga motor karena semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. "Udah sarapan, Kak?" tanyaku saat pria berparas tampan itu duduk di sofa ruang tamu. "Belum. Tapi barusan aku beli roti," jawabnya sambil menunjuk ke ransel hijaunya yang diletakkan di samping kiri. "Itu buat bekal aja. Aku ambilin mi goreng. Mau minum apa? Biar sekalian dibuatin Mbak." "Ehm, teh aja. Tapi jangan terlalu manis." Aku berdiri dan jalan menuju dapur. Meminta Mbak Parmi untuk membuatkan minuman buat tamu, kemudian aku mengambil piring dan menuangkan mi dari wajan. Tak lupa menambahkan telur mata sapi dan taburan bawang goreng di atasnya, bergaya bak koki terkenal yang membuat ketiga asisten Mama terkekeh. Kala aku tib
95"Oh, sahabat Mas Benigno," ucapku. "Kirain istrinya," sambungku yang membuat Mas David tersenyum lebar. "Kamu orang ke-sekian yang ngira kayak gitu," sahut pria bermata sipit yang selalu terlihat tampan di setiap kesempatan."Habisnya di foto kayak mesra gitu. Manalah aku tau kalau pengantin prianya justru yang motretin," sela Ijan. "Aku juga mikirnya mereka pasangan suami istri. Ternyata bukan," cetus Willy. "Tapi lihat mereka ngobrol dekat gitu aku bisa nangkap kalau mereka saling sayang. Bukan cinta, ya, tapi sayang yang kentara banget. Sulit diungkapkan dengan kata-kata," imbuh Kak Ghifar. "Itu karena mereka lahir hanya beda hari. Rumah orang tuanya dulu sebelahan. Ke mana-mana selalu berdua. Baru misah saat kuliah, Mbak Tantri ke Amerika, Mas Ben ke Australia. Bahkan, suaminya Mbak Tantri itu sobatnya Mas Ben kuliah. Istilahnya, Mas Ben comblang mereka," jelas Mas David. "Senangnya kalau punya sahabat sedekat itu dan nggak bikin pasangan cemburu," tukasku. "Betul. Aku se
96Suasana kafe pagi ini sangat sepi saat aku dan tim tiba. Tiga orang bagian dokumentasi bekerja cepat memasang alat-alat di sekitar tangga dan bagian meja-meja. Mas Fa, Sandy dan Kak Ghifar membantu merapikan bagian dekat panggung. Sementara Kak Carol mendandaniku di dekat meja kasir. Aleea dan Nin muncul dari belakang kafe. Aku menatap gadis pujaan hati dengan penuh cinta. Nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan bergaun biru muda sepanjang betis nan memesona. Rambut panjangnya diikat bentuk ekor kuda dan dihiasi pita sewarna gaun. Sepatu putih dan baguette bag putih tulang menyempurnakan penampilannya yang memukau. "Jangan ngeces, Ken," seloroh Kak Carol. "Ehh, nggak," kilahku sambil tersenyum. "Kamu kalau udah lihat Aleea, yang lainnya tertutupi." "Tau aja." "Kelihatan banget klepek-klepeknya kamu. Aleea juga sama." "Doain jodoh, Kak." "Aamiin. Apalagi perjuangan kalian luar biasa banget. Salut aku." "Iya, aku aja takjub. Akhirnya restu pun turun. Hatiku le
97Jumat pagi ini aku dan tim sudah berada di sebuah studio. Mas Benigno yang mendapatkan ide dari Mbak Tantri memintaku mengubah irama lagu-lagu dengan lebih cepat untuk versi lain khusus bahan promosi. Hal itu dikarenakan Mbak Tantri baru menyaksikan video tarianku yang dikirimkan Mas Benigno. Pak Daud dan Mas Fa, serta Sandy dan Aleea yang mendampingiku, sama-sama mengarahkan pandangan serius padaku yang tengah bersiap-siap melakukan rekaman. Lagu pertama kulantunkan dengan serius hingga usai dan langsung dilanjutkan dengan lagu kedua yang aslinya memang berirama cepat. Kala Sandy dan Aleea tersenyum lebar dari balik kaca, aku baru menyadari bila sejak tadi tangan dan kaki bergerak-gerak. Spontan aku menghentikan gerakan seraya mengulum senyum. "Beneran kudu diikat," keluh Mas Fa, sesaat setelah aku keluar ruang rekaman dan bergabung dengan mereka. "Refleks, Mas," sanggahku."Pasrah aja entar di panggung dia bakal lincah," timpal Sandy. "Aku justru penasaran sama koregrafinya,
98Aleea terkekeh sambil menutup mulut. Aku turut tersenyum sebelum mendekat dan mencium dahinya. Kala aku memundurkan badan, Aleea justru mendekat sambil melingkarkan tangan di pinggang. Aku balas mendekap dan mengecup puncak kepalanya. Kemudian menempelkan dagu sambil memejamkan mata. Merasa sangat senang memiliki kekasih sebaik Aleea yang mencurahkan segenap rasa sayang untuk membantuku. Kala Aleea mengurai pelukan, kami kembali saling menatap. Entah siapa yang memulai, bibir pun bertemu dan saling mengisap. Aku merapatkan badan sembari menahan tangan agar tidak bergerilya. Namun, sentuhan tangan Alea di rambut dan belakang leher membuatku kesulitan menahan hasrat serta menurunkan kecupan ke area lain. Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berpagutan. Napas yang memburu serta detak jantung yang menggila membuatku kian susah menghentikan aktivitas. Bunyi pagar rumah menjadikanku tersadar dan memutuskan keintiman serta menjauhkan diri. Aku menyatukan dahi kami sambil mengatur nap
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per