New York City 11.30 AMAiko memperhatikan seorang pria yang sedang berbincang bincang dengan beberapa temannya. Mata Aiko tidak sedikitpun bergeser dari pria tersebut. Pria dengan sejuta pesona, namun mampu mematahkan hati wanita sebanyak yang dia mau.Cleosa Nicolas Ivander, pria dengan perawakan tinggi, tegap, gagah dan segala macam kesempurnaan ada padanya. Cukup banyak wanita yang rela bertekuk lutut demi mendapatkan perhatiannya. Namun Aiko cukup tahu diri siapa dirinya, perbedaan Aiko dengan Ivander bagaikan bumi dan langit, bagaikan hitam dan putih. Terlalu banyak hal yang membuat Aiko berkecil hati untuk bisa dekat dengan pria tersebut. Berbagai macam cara Aiko lakukan untuk menarik perhatian Ivander, namun semua hasilnya nihil. Aiko sudah memasuki tahun ketiga bekerja di perusahaan fashion milik keluarga Ivander, COO di perusahaan tersebut. Namun selama itu pula Aiko bagaikan butiran debu di mata Ivander, tidak dianggap. "YA! Berhenti menatapnya seperti itu! Kau seperti aka
Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan. "Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap. "Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan. "Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya. "Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras. Bagi Aiko kehadiran Mic sudah le
Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut."Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya.***"Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor.Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri.Karena malam sudah larut, Aiko memutus
"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
Aiko dan Ivander telah tiba di mansion hampir jam 2 pagi. Rita dan beberapa pelayan rumah dengan antusias menyambut kedatangan tuan rumahnya. Ivander menggandeng tangan Aiko berjalan menuju kamar tidur. Rasanya kembali bisa bernafas lega saat kamar ini sudah tidak diisi oleh Aiko sendiri, namun ada Ivander yang bisa kembali berbaring bersamanya di tempat tidur. Aiko membantu Ivander melepaskan kemeja dan celananya. Ivander tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dan mengikuti setiap gerak gerak Aiko. Sakit seperti ini menyenangkan juga, batinnya. "Aku tahu milikku besar, bahkan sebelum kondisi 'on'. Tapi saat ini aku sedang sakit dan tidak bisa mendengar suara desahanmu yang begitu memabukkan." Semburat merah menghiasi pipi Aiko, Ivander dengan bibir nakalnya selalu saja berhasil membuat Aiko mati kutu dan sangat malu bahkan untuk menatap sang suami. "Kau selalu menyimpulkan semuanya sendiri. Aku padahal hanya melepaskan pakaianmu. Ayo!" Aiko berdiri dan meraih tangan Ivander, me
Aiko tidak bisa menyembunyikan rasa cemas dan takutnya. Ivander sama sekali tidak bisa dihubungi. Aiko, Mic dan Max dalam perjalanan menuju kantor polisi. Entah bagaimana kabar ini juga sudah sampai ke telinga kedua orang tua Ivander. Mic berusaha menghibur Aiko, walaupun itu tidak bisa mengurangi rasa khawatirnya sedikitpun. "Mic, bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ivander? Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika hal hal buruk terjadi padanya." Isak tangis Aiko sungguh membuat orang yang melihatnya merasa iba. Bagaimana bisa sepasang suami istri yang saling mencintai sudah diuji dengan berbagai macam cobaan bahkan belum genap sebulan umur pernikahan mereka. Aiko menyesal telah mengiyakan keinginan Ivander untuk mencari dalang dibalik pemasangan penyadap dan cctv di ruangan kantornya. Jika saja Aiko mencegah Ivander untuk mengusutnya, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Aiko sibuk dengan pikirannya sendiri, dan tidak menyadari jika dirinya dan Mic telah sampai di ka
Ivander mencegah Aiko untuk tidak ke kantor dalam beberapa hari kedepan, karena akan dilakukan pemeriksaan mendalam terkait alat penyadap atau semacamnya yang bisa saja masih tersembunyi di ruangan dan meja Aiko. Ivander meminta Aiko untuk bekerja dari rumah saja dan agar Aiko bisa lebih fokus untuk menyiapkan resepsi pernikahan mereka yang akan diadakan 2 pekan lagi. Sedangkan Ivander kembali menemui Rolando untuk mencari tahu siapa orang suruhan dari Grace. Aiko sejak awal sudah meminta ijin pada Ivander untuk melihat kemajuan gaun pernikahan yang akan dikenakannya saat resepsi nanti. Namun, Ivander belum memberi ijin dan berjanji akan pulang lebih awal agar bisa menemani sang istri. Aiko menyibukkan dirinya dengan membalas email, melakukan meeting online, sesekali membuat sketch untuk menghilangkan rasa bosannya. Ketukan di pintu kamarnya membuat Aiko melepaskan pensil dan buku sketch dari tangannya. Bergegas berjalan menuju pintu dan mengintip melalui door viewer. Aiko lekas me
"Sayang?" Aiko berusaha melepaskan pelukan Ivander untuk mengubah posisinya, namun Ivander semakin mengeratkan pelukannya. "Biarkan seperti ini sebentar sayang," Ivander menyesap semakin dalam aroma tubuh Aiko. Entah bagaimana, aroma tubuh Aiko memberinya ketenangan, rasa lelahnya seharian ini sirna begitu saja ketika memeluk wanita yang benar benar telah menjadi istrinya. Ivander merasa 'on' karena tergoda dengan aroma dan pakaian tidur yang dikenakan oleh Aiko. "Apa semuanya baik baik saja? Aku menunggu pesan darimu sampai akhirnya ketiduran." Aiko mengusap lembut tangan Ivander yang melingkar di pinggangnya. Merasakan panas tubuh Ivander seperti menyengatnya. Gaun tidur tipis yang dikenakan Aiko bisa merasakan sesuatu yang keras dari belakangnya. "Maafkan aku, aku tidak menyadari handphoneku ternyata mati. Aku bergegas pulang saat semuanya sudah selesai. Rolando yang akan menyerahkan berkas berkas pendukung tersebut pada pihak kepolisian. Untuk sekarang, jangan terlalu kh
Aiko meminta Max untuk mengecek CCTV, siapa saja yang beberapa waktu belakangan naik ke lantai 27 selama dirinya dan Ivander tidak masuk. Ruangan Ivander tidak bisa diakses sembarang orang, pasti ada seseorang yang menjadi mata mata dan saat ini berkeliaran di sekitar mereka. Aiko mencoba menenangkan Ivander yang masih belum berbicara sepatah katapun. Hatinya sakit melihat keterdiaman Ivander. "Ai, aku harap apapun yang akan terjadi kedepannya, jangan memercayai hal hal yang orang lain katakan. Aku tahu masa laluku kelam dan menjijikkan, tapi aku berjanji akan menyelesaikan semuanya sampai di sini. Aku pikir dengan memasukannya ke penjara akan membuatnya jera, namun justru bisa membuatnya menggerakkan orang lain untuk menghancurkan pernikahan kita. Maafkan aku karena semua ini membuatmu kesulitan." Ivander tak berani menatap wajah Aiko yang masih setia duduk di sampingnya dan mengkhawatirkannya. Aiko beranjak dari sofa, lalu naik ke pengakuan Ivander. Ivander yang awalnya menundu
Aiko merasa gugup akan kembali bekerja setelah istirahat hampir satu pekan setelah kejadian penculikan beberapa waktu lalu. Ivander mencoba meyakinkan Aiko bahwa semua akan baik baik saja. Waktu menunjukkan pukul 8.15 dan sudah ada Peter yang menunggu untuk mengantar Ivander dan Aiko menuju kantor. Karena jarak mansion dan kantor memakan waktu kurang lebih setengah jam, sehingga Aiko dan Ivander harus bersiap lebih awal. Sepanjang perjalanan menuju kantor, Aiko dan Ivander banyak membahas tentang pesta pernikahan mereka yang akan digelar tanggal 25 Januari mendatang. Sedikit lagi desain gaun pengantin yang dibuatnya akan rampung dan akan memasuki tahap pembuatan, membayangkannya saja membuat dirinya sumringah. Ivander akan mengundang beberapa keluarga dan teman, karena dirinya berjanji pada Aiko untuk tidak membuat acara pesta yang begitu besar, mengingat Aiko bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang lain. "Kau bisa mengundang siapapun yang kau inginkan," Ivander meraih tan
Ivander sadar bahwa gerakannya terlalu kasar, dan memastikan bahwa kondisi Aiko tidak terluka karenanya. Ivander melenguhkan nama Aiko di setiap erangannya, membuat Aiko dipenuhi rasa bahagia. Tangan Ivander benar benar tidak membuat kedua payudara Aiko menganggur begitu saja. Antara bibir dan tangannya berkerja dengan sangat baik, sesekali meremasnya, dan sesekali mencium lalu mengisapnya. Tanda kemerahan hampir memenuhi area leher dan dada Aiko, namun Ivander belum puas dengan itu. Gerakannya semakin dalam dan kuat, Aiko merasakan bahwa kejantanan Ivander semakin membesar dan memenuhinya. "Ai! Aku akan keluar aahh~!" kata kata Ivander diikuti dengan gerakannya yang mendorong lebih dalam kejantanannya. "Aahh~!" lenguhan Ivander disambut bersamaan dengan pencapaian yang didapatkan oleh Aiko, rasanya panas, dan ada sesuatu yang berkedut di dalamnya. Peluh yang menetes, nafas yang memburu, rasa panas yang menjalar dari kulit menyentuh kulit membuat Ivander dan Aiko dipenuhi deng
Aiko mengenakan lingerie transparan berwarna merah maroon, lengkap pakaian dalam dengan warna senada. Aiko gugup setengah mati dan masih saja mematut dirinya di depan cermin. Setelah cukup lama meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik baik saja, Aiko mengambil bathrobe dan mengenakannya, rambutnya dibungkus dengan handuk. Lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Terlihat Ivander yang bersandar pada headboard kasur, sambil memainkan handphonenya. Baju tidur berbahan satin yang dikenakan Ivander terlihat sangat menggairahkan, otot otot tubuhnya tercetak jelas. "Kenapa lama sekali? Apa kau tidak apa apa?" Ivander turun dari tempat tidur dan berjalan mendekati Aiko yang hampir tidak tahu harus melakukan apa apa karena Ivander sangat dekat berada di depannya. "Tidak apa apa sayang, aku hanya menikmati waktuku berendam di bathup tadi. Tenang saja, aku tidak akan mengulangi hal yang sama dan mambuatmu khawatir." Aiko menatap dalam Ivander yang masih terlihat khawatir padanya. Iva
Saat sampai di kamar Ivander, Aiko takjub melihat pemandangan yang menghadap ke taman belakang rumah keluarga Xavier. Berbagai jenis bunga dan tanaman tumbuh dengan indahnya. Ada gazebo yang melengkapi taman tersebut sehingga terlihat lebih menawan. Aiko lalu beralih melihat foto foto Ivander di meja kerjanya. Aiko mengambil 1 foto yang memperlihatkan Ivander kecil sedang tersenyum manis. "Kau memang sudah terlihat tampan sejak kecil," Aiko menggandeng tangan Ivander yang masih setia mengekorinya kemanapun kakinya melangkah. Ivander membawa Aiko ke kamar kecil di belakang kasurnya. Ada sofa, kulkas mini, komputer game, dan ada rak buku yang tersusun rapi berbagai macam jenis bacaan. "Dulu, saat aku merasa lelah ataupun stress. Aku pasti akan menghabiskan hariku di sini. Aku bisa melakukan apapun yang ku inginkan tanpa harus memikirkan apa yang dikatakan orang lain. Aku tidak mengubah kamar ini, dan ibu rutin meminta orang untuk membersihkannya." Ivander menyentuh perlahan rak buku