Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut.
"Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya. *** "Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor. Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri. Karena malam sudah larut, Aiko memutuskan membawa sisa pekerjaannya ke rumah, setidaknya Aiko tidak kesepian karena ada Mic yang menemaninya. Aiko keluar dari ruangan dengan membawa beberapa sketch yang belum selesai. Rasanya cukup ngeri menuju lantai bawah dengan suasana yang sepi seperti ini. Aiko seperti merasa ada yang mengawasinya. Namun tak ada seorangpun di sana. Aiko mengabaikan rasa cemasnya, namun ketika sampai di lantai dasar menuju pintu keluar, Aiko berpapasan dengan Ivander. Aiko memilih untuk tidak memedulikan sekitarnya, Aiko berjalan menuju taksi yang sedang terparkir di dekat kantor. "Apa kau sudah menyelesaikan semua tugas yang Steve berikan?" Ivander berjalan mendekati Aiko. Aiko berusaha tidak terlihat panik, takut atau apapun itu. Aiko mungkin tidak pandai berbohong, tapi Aiko tidak ingin pria ini kembali berlaku tidak baik padanya. Aiko mendengus kasar, kemudian menoleh melihat pria tersebut. "Aku akan melanjutkannya di rumah, masih sisa beberapa sketch saja. Besok pagi akan kuserahkan langsung di meja Pak Steve," Aiko kembali berjalan tanpa menunggu balasan dari Ivander. Ivander mengeram, beberapa kata kata kasar kembali keluar dari mulutnya, dan Aiko berhasil membuatnya terlihat seperti pecundang.***
Jam sudah menunjukkan pukul 08.15 AM dan Aiko sudah berada di kantor. Penampilan Aiko pagi ini cukup berantakan, karena Aiko baru menyelesaikan sisa sketch dari Steve pukul 4 pagi tadi. Jadi Aiko hanya tidur 4 jam saja.
Beberapa kali rekan kerja yang lain memerhatikan Aiko yang terus menguap. "Apa kau tidak cukup tidur, Ai?" Ara asisten manager yang ramah tsb menghampiri Aiko. Aiko buru buru berdiri dan berusaha sekuat mungkin untuk melebarkan matanya yang sebentar lagi akan terpejam. "Ah tidak bu! Aku hanya sedikit lelah. Setelah meminum kopi aku pasti akan merasa segar kembali," Ara tersenyum mengangguk dan berjalan meninggalkan Aiko. Bunyi dering telepon meja kembali menyadarkan Aiko sebelum benar benar memejamkan matanya. "Aiko, tolong ke ruanganku sebentar yah," Aiko tidak sadar telah menekan tombol pengeras suara dan melihat ke ruangan Steve sebelum mematikan sambungan dua arah tsb. Aiko berjalan bergegas dan tidak memperhatikan jika sejak tadi seseorang telah mengamatinya. Tok tok tok "Masuk!" terdengar suara dari dalam yang mempersihlakan Aiko masuk. "Jam berapa kau menyelesaikan semua ini?? Apakah kau yakin kau cukup tidur??" Steve melihat Aiko dengan tatapan prihatin. "Aku tetap harus menyelesaikannya walaupun kekurangan tidur Sir, bukankah akan terjadi masalah jika perintah dari Mr. Sempurna tidak sesuai keinginannya?" Aiko berusaha tersenyum walaupun sebenarnya Aiko justru sangat ingin tidur saat ini juga. "Kau memang bisa diandalkan Ai. Terima kasih atas bantuanmu, kau pulanglah. Aku akan memberimu ijin sehari," raut wajah bahagia Aiko tak dapat disembunyikan. "Anda sedang tidak bercanda kan? Aku benar benar bisa pulang dan beristirahat?" Aiko masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Steve. "Tidak! Aku tidak memberinya ijin, dia digaji untuk bekerja, bukan untuk bersantai," pintu ruangan Steve terbuka dan Ivander muncul di sana dengan tatapan tajamnya pada Aiko. Aiko dan Ivander bagaikan tikus dan kucing, selalu saja ada hal yang membuat mereka berargumen, bertengkar. Aiko mencelos, angan angan Aiko untuk tidur nyenyak jadi sirna. Steve dengan pandangan tidak biasa melihat ke arah COO sekaligus teman seangkatannya itu. "Dia bisa sakit jika tidak istirahat. Apa kau akan bertanggung jawab jika Aiko sakit? Kau harus menghargai kerja kerasnya, pekerjaan untuk tiga orang kau berikan pada Aiko dan dia bisa mengerjakannya dalam waktu satu hari," Steve membuka lembaran demi lembaran sketch yang Aiko kerjakan, mencoba memperlihatkannya pada Ivander. Ivander mendelik tidak suka pada perkataan Steve, kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Aiko. Aiko seketika menunduk, dan merutuki dirinya sendiri, kemana rasa percaya dirimu semalam Ai? "Terserah kau saja, aku malas berdebat denganmu. Pastikan semua sketchnya tidak ada kekurangan!" Ivander berjalan keluar dari ruangan Steve tanpa menunggu jawaban temannya tersebut. Setelah Ivander keluar dari ruangan Steve, Aiko juga segera pamit dan kembali ke tempatnya. *** Aiko bisa pulang lebih cepat dan beristirahat karena kemuran hati Steve, Akko tidak bisa membayangkan bagaimana kondisinya di kantor tadi jika Aiko tetap melanjutkan pekerjaan sementara mata dan tubuhnya meminta untuk diistirahatkan. Aiko menghabiskan waktu istirahatnya dengan, menonton serial terbaru di N*****x, dan membaca pesan yang dikirimkan puluhan nomor yang tidak Aiko kenali. Ddrrtt..ddrrtt..ddrrtt Getaran handphone mengehentikan sejenak kegiatan Aiko. Tertera nama Mic di sana. "Ai, aku butuh bantuanmu di kantor sekarang. Bisakah kau ke sini sebentar? Aku berjanji akan mentraktrimu makan malam mewah," Aiko melirik jam dinding di kamarnya. Masih jam tujuh malam dan Aiko rasa istirahat kali ini sudah lebih dari cukup. "Baiklah, aku akan ke sana dalam sepuluh menit," Aiko bergegas merapikan rambut dan pakaiannya lalu bergegas turun dari apartment. Setibanya di kantor, Aiko segera ke ruangan Mic yang tidak begitu jauh dari ruangannya. Aiko melewati ruangan ruangan yang sudah gelap dan kosong. Aiko mendengar suara suara aneh dari ruangan model di dekatnya, ruangan yang selalu Aiko lewati untuk menuju kantor Mic. Awalnya Aiko ingin mengabaikan suara suara itu, tapi erangan pria dan wanita yang terdengar tak biasa membuatnya mendekati ruangan tersebut. Aiko sontak menutup mulutnha saat melihat pemandangan tidak senonoh di depannya. "Astaga, aku tahu dia brengsek dan kejam tapi kenapa aku harus melihatnya sekarang?!" Aiko membatin. Aiko berlari menuju tempat Mic dan bersembunyi. Mic heran karena melihat Aiko menangis dan kacau. "Hei, apa yang terjadi?" Aiko menarik tangan Mic menuju toilet di ujung ruangannya, Aiko harus menjauh dari lokasi yang bisa membuat Ivander menemukan Aiko. Walau itu tidak akan pernah terjadi. Aiko berusaha menahan tangisanya dan mengolah nafas agar bisa menceritakan kejadian tadi pada Mic. "Aku melihatnya bersama seorang wanita di ruangan model, mereka 'make out' setengah telanjang dan aku tidak bisa Mic, aku masih belum bisa menghapusnya dari sini," Aiko menunjuk dadanya, hatinya sakit. Mic segera memeluk dan menenangkan Aiko. "Maaf Ai, aku tidak tahu kalau masih ada orang di kantor. Aku membutuhkan bantuanmu untuk melihat beberapa bahan yang akan digunakan untuk kebutuhan pameran musim dingin," Mic masih menenangkan Aiko, tapi Aiko masih belum bisa menghapus ingatan tentang Ivander dan entah siapa wanita itu."Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi.Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah."Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya menanggung lemah, dia sangat penurut.Ttok ttok ttokSuara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang."Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyuruh saya
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
New York City 11.30 AMAiko memperhatikan seorang pria yang sedang berbincang bincang dengan beberapa temannya. Mata Aiko tidak sedikitpun bergeser dari pria tersebut. Pria dengan sejuta pesona, namun mampu mematahkan hati wanita sebanyak yang dia mau.Cleosa Nicolas Ivander, pria dengan perawakan tinggi, tegap, gagah dan segala macam kesempurnaan ada padanya. Cukup banyak wanita yang rela bertekuk lutut demi mendapatkan perhatiannya. Namun Aiko cukup tahu diri siapa dirinya, perbedaan Aiko dengan Ivander bagaikan bumi dan langit, bagaikan hitam dan putih. Terlalu banyak hal yang membuat Aiko berkecil hati untuk bisa dekat dengan pria tersebut. Berbagai macam cara Aiko lakukan untuk menarik perhatian Ivander, namun semua hasilnya nihil. Aiko sudah memasuki tahun ketiga bekerja di perusahaan fashion milik keluarga Ivander, COO di perusahaan tersebut. Namun selama itu pula Aiko bagaikan butiran debu di mata Ivander, tidak dianggap. "YA! Berhenti menatapnya seperti itu! Kau seperti aka
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi.Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah."Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya menanggung lemah, dia sangat penurut.Ttok ttok ttokSuara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang."Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyuruh saya
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut."Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya.***"Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor.Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri.Karena malam sudah larut, Aiko memutus
Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan."Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap."Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan."Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya."Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras.Bagi Aiko kehadiran Mic sudah lebih dari