Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut.
"Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya. *** "Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor. Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri. Karena malam sudah larut, Aiko memutuskan membawa sisa pekerjaannya ke rumah, setidaknya Aiko tidak kesepian karena ada Mic yang menemaninya. Aiko keluar dari ruangan dengan membawa beberapa sketch yang belum selesai. Rasanya cukup ngeri menuju lantai bawah dengan suasana yang sepi seperti ini. Aiko seperti merasa ada yang mengawasinya. Namun tak ada seorangpun di sana. Aiko mengabaikan rasa cemasnya, namun ketika sampai di lantai dasar menuju pintu keluar, Aiko berpapasan dengan Ivander. Aiko memilih untuk tidak memedulikan sekitarnya, Aiko berjalan menuju taksi yang sedang terparkir di dekat kantor. "Apa kau sudah menyelesaikan semua tugas yang Steve berikan?" Ivander berjalan mendekati Aiko. Aiko berusaha tidak terlihat panik, takut atau apapun itu. Aiko mungkin tidak pandai berbohong, tapi Aiko tidak ingin pria ini kembali berlaku tidak baik padanya. Aiko mendengus kasar, kemudian menoleh melihat pria tersebut. "Aku akan melanjutkannya di rumah, masih sisa beberapa sketch saja. Besok pagi akan kuserahkan langsung di meja Pak Steve," Aiko kembali berjalan tanpa menunggu balasan dari Ivander. Ivander mengeram, beberapa kata kata kasar kembali keluar dari mulutnya, dan Aiko berhasil membuatnya terlihat seperti pecundang.***
Jam sudah menunjukkan pukul 08.15 AM dan Aiko sudah berada di kantor. Penampilan Aiko pagi ini cukup berantakan, karena Aiko baru menyelesaikan sisa sketch dari Steve pukul 4 pagi tadi. Jadi Aiko hanya tidur 4 jam saja.
Beberapa kali rekan kerja yang lain memerhatikan Aiko yang terus menguap. "Apa kau tidak cukup tidur, Ai?" Ara asisten manager yang ramah tsb menghampiri Aiko. Aiko buru buru berdiri dan berusaha sekuat mungkin untuk melebarkan matanya yang sebentar lagi akan terpejam. "Ah tidak bu! Aku hanya sedikit lelah. Setelah meminum kopi aku pasti akan merasa segar kembali," Ara tersenyum mengangguk dan berjalan meninggalkan Aiko. Bunyi dering telepon meja kembali menyadarkan Aiko sebelum benar benar memejamkan matanya. "Aiko, tolong ke ruanganku sebentar yah," Aiko tidak sadar telah menekan tombol pengeras suara dan melihat ke ruangan Steve sebelum mematikan sambungan dua arah tsb. Aiko berjalan bergegas dan tidak memperhatikan jika sejak tadi seseorang telah mengamatinya. Tok tok tok "Masuk!" terdengar suara dari dalam yang mempersihlakan Aiko masuk. "Jam berapa kau menyelesaikan semua ini?? Apakah kau yakin kau cukup tidur??" Steve melihat Aiko dengan tatapan prihatin. "Aku tetap harus menyelesaikannya walaupun kekurangan tidur Sir, bukankah akan terjadi masalah jika perintah dari Mr. Sempurna tidak sesuai keinginannya?" Aiko berusaha tersenyum walaupun sebenarnya Aiko justru sangat ingin tidur saat ini juga. "Kau memang bisa diandalkan Ai. Terima kasih atas bantuanmu, kau pulanglah. Aku akan memberimu ijin sehari," raut wajah bahagia Aiko tak dapat disembunyikan. "Anda sedang tidak bercanda kan? Aku benar benar bisa pulang dan beristirahat?" Aiko masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Steve. "Tidak! Aku tidak memberinya ijin, dia digaji untuk bekerja, bukan untuk bersantai," pintu ruangan Steve terbuka dan Ivander muncul di sana dengan tatapan tajamnya pada Aiko. Aiko dan Ivander bagaikan tikus dan kucing, selalu saja ada hal yang membuat mereka berargumen, bertengkar. Aiko mencelos, angan angan Aiko untuk tidur nyenyak jadi sirna. Steve dengan pandangan tidak biasa melihat ke arah COO sekaligus teman seangkatannya itu. "Dia bisa sakit jika tidak istirahat. Apa kau akan bertanggung jawab jika Aiko sakit? Kau harus menghargai kerja kerasnya, pekerjaan untuk tiga orang kau berikan pada Aiko dan dia bisa mengerjakannya dalam waktu satu hari," Steve membuka lembaran demi lembaran sketch yang Aiko kerjakan, mencoba memperlihatkannya pada Ivander. Ivander mendelik tidak suka pada perkataan Steve, kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Aiko. Aiko seketika menunduk, dan merutuki dirinya sendiri, kemana rasa percaya dirimu semalam Ai? "Terserah kau saja, aku malas berdebat denganmu. Pastikan semua sketchnya tidak ada kekurangan!" Ivander berjalan keluar dari ruangan Steve tanpa menunggu jawaban temannya tersebut. Setelah Ivander keluar dari ruangan Steve, Aiko juga segera pamit dan kembali ke tempatnya. *** Aiko bisa pulang lebih cepat dan beristirahat karena kemuran hati Steve, Akko tidak bisa membayangkan bagaimana kondisinya di kantor tadi jika Aiko tetap melanjutkan pekerjaan sementara mata dan tubuhnya meminta untuk diistirahatkan. Aiko menghabiskan waktu istirahatnya dengan, menonton serial terbaru di N*****x, dan membaca pesan yang dikirimkan puluhan nomor yang tidak Aiko kenali. Ddrrtt..ddrrtt..ddrrtt Getaran handphone mengehentikan sejenak kegiatan Aiko. Tertera nama Mic di sana. "Ai, aku butuh bantuanmu di kantor sekarang. Bisakah kau ke sini sebentar? Aku berjanji akan mentraktrimu makan malam mewah," Aiko melirik jam dinding di kamarnya. Masih jam tujuh malam dan Aiko rasa istirahat kali ini sudah lebih dari cukup. "Baiklah, aku akan ke sana dalam sepuluh menit," Aiko bergegas merapikan rambut dan pakaiannya lalu bergegas turun dari apartment. Setibanya di kantor, Aiko segera ke ruangan Mic yang tidak begitu jauh dari ruangannya. Aiko melewati ruangan ruangan yang sudah gelap dan kosong. Aiko mendengar suara suara aneh dari ruangan model di dekatnya, ruangan yang selalu Aiko lewati untuk menuju kantor Mic. Awalnya Aiko ingin mengabaikan suara suara itu, tapi erangan pria dan wanita yang terdengar tak biasa membuatnya mendekati ruangan tersebut. Aiko sontak menutup mulutnha saat melihat pemandangan tidak senonoh di depannya. "Astaga, aku tahu dia brengsek dan kejam tapi kenapa aku harus melihatnya sekarang?!" Aiko membatin. Aiko berlari menuju tempat Mic dan bersembunyi. Mic heran karena melihat Aiko menangis dan kacau. "Hei, apa yang terjadi?" Aiko menarik tangan Mic menuju toilet di ujung ruangannya, Aiko harus menjauh dari lokasi yang bisa membuat Ivander menemukan Aiko. Walau itu tidak akan pernah terjadi. Aiko berusaha menahan tangisanya dan mengolah nafas agar bisa menceritakan kejadian tadi pada Mic. "Aku melihatnya bersama seorang wanita di ruangan model, mereka 'make out' setengah telanjang dan aku tidak bisa Mic, aku masih belum bisa menghapusnya dari sini," Aiko menunjuk dadanya, hatinya sakit. Mic segera memeluk dan menenangkan Aiko. "Maaf Ai, aku tidak tahu kalau masih ada orang di kantor. Aku membutuhkan bantuanmu untuk melihat beberapa bahan yang akan digunakan untuk kebutuhan pameran musim dingin," Mic masih menenangkan Aiko, tapi Aiko masih belum bisa menghapus ingatan tentang Ivander dan entah siapa wanita itu."Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi. Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah. "Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya mengangguk lemah, dia sangat penurut. Ttok ttok ttok Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang. "Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyu
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
Pagi ini Aiko bangun lebih cepat untuk membuat bekal makan siangnya. Karena Aiko merasa sulit untuknya menyesuaikan waktu di hari pertamanya, jadi untuk berjaga jaga dirinya lebih baik membuat bekal. "Apa yang kau buat? Bekal untuk Ivander?" Mic mengintip bekal yang dibuat oleh Aiko, jarang jarang sahabatnya tersebut membuat bekal. Aiko mendelik tajam pada Mic, tentu saja itu hanya godaan Mic untuknya. "Jangan menggodaku, tentu saja itu hanya akan terjadi dalam mimpimu. Kotak ini untukmu. Aku harus berangkat lebih cepat, karena hari ini Sam akan datang sedikit terlambat karena harus kontrol ke rumah sakit." Aiko membereskan sisa perlengkapan memasaknya dan pamit pada Mic yang masih sibuk memakai riasannya. Aiko mengenakan coat yang cukup tebal namun dinginnya masih begitu terasa. Ini bahkan belum memasuki musim dingin. Aiko memberhentikan taksi di depannya dan segera masuk setidaknya untuk menghindari suhu yang menurutnya cukup membuat hidungnya merah karena kedinginan. S
"Grace. Dia adalah Grace, mantan kekasihku selama 1 tahun. Kami menjalin hubungan yang tidak sehat. Dan aku menyadari setiap ingin mengkakhiri hubungan dengannya, Grace akan mencoba segala cara agar aku bisa kembali padanya, salah satunya adalah dengan mencelakakan dirinya sendiri. Grace akan membuatku hidup dengan rasa bersalah karena meninggalkannya. Puncaknya saat aku memutus semua kontak dan akses dengannya." Ivander mencoba mengatur nafasnya saat semua hal yang menurutnya kelam harus dibuka kembali. "Dalam beberapa kesempatan saat kami berhubungan, Grace diam diam merekamnya dan mengirimkannya padaku. Awalnya aku tidak merasa itu hal yang aneh, namun lama kelamaan Grace terang terangan merekam aktivitas kami. Aku mulai menjaga jarak darinya, sambil menyiapkan mental dan melaporkan hal ini pada pihak kepolisian bahwa aku merasa terancam dan tertekan. Aku berusaha terlihat normal saat semua kejadian tersebut terjadi padaku. Maafkan aku karena tidak jujur mengenai hal ini Ai. Aku
Lokasi acara amal sudah dipenuhi oleh rekan rekan dari perusahaan lain yang berkolaborasi untuk keberhasilan acara amal ini. Aiko bertugas membagikan selimut dan jaket hangat bagi para tunawisma. Ivander dan beberapa petinggi perusahaan lain duduk di kursi khusus tamu dan mendengarkan beberapa sambutan dan mengikuti acara pelelangan barang barang berharga. Ada beberapa booth yang disediakan khusus untuk makanan hangat yang bisa diambil oleh siapa saja. Melalui acara ini, Aiko banyak berkenalan dengan rekan rekan dari perusahaan lain, saling bertukar nomor handphone. Sesekali Ivander akan melirik Aiko yang masih sibuk dengan kegiatannya, namun cukup membuatnya kepikiran juga karena seorang pria terus terusan mencoba menarik perhatian Aiko. Aiko yang cukup terganggu dengan sikap pria tersebut mencoba untuk bersikap tenang dengan memanggil pihak keamanan yang berdiri tidak jauh darinya. Ivander hampir saja berjalan menghampiri Aiko jika saja pria tersebut masih mencoba mengganggunya.
Aiko merasa makan malam ini tidak seburuk yang dibayangkannya, karena sebelumnya Ivander sudah mengatakan bahwa sang ayah adalah seorang yang cukup menakutkan. Aiko bahkan sudah gugup duluan membayangkan sosok Braxton Xavier. "Ayah akhirnya bisa melihatmu membawa wanita pilihanmu sendiri. Hampir saja ayah terus melakukan perjodohan yang tidak membuahkan hasil itu. Aiko, aku hanya ingin kau tahu, bahwa Ivander beberapa kali melakukan perjodohan, namun tak ada yang berhasil, karena anak ini selalu saja menentang wanita pilihanku untuknya," Ivander menatap tajam ayahnya. "Ayah berhenti! Toh aku sudah memiliki calonku sendiri sekarang. Ayah hanya cukup merestuiku dengan Aiko. Jika ayah masih mau berbasa basi tidak jelas pada Aiko, kami akan pulang," Aiko menoleh menatap Ivander, makan malam masih berlangsung dan hidangan penutup baru saja dihidangkan. "Pulanglah, dan biarkan Aiko berada di sini, karena rasanya ayah seperti memiliki anak perempuan yang sangat manis," Hannah tersenyum me
Aiko dan Ivander tiba di kantor, tanpa memedulikan beberapa karyawan yang melihatnya turun bersama dari mobil. Tak sedikit karyawan yang berbisik bisik melihat kedekatan antara mereka berdua. Dan tentu saja fakta bahwa Aiko dan Ivander sudah bertunangan membuat para karyawan semakin heboh. Atasan yang biasanya hanya terlihat bermain main dengan banyak wanita ternyata bisa mengambil langkah besar dalam hidupnya. Cincin yang tersemat di jari manis Aiko membuat para karyawan yang melihatnya semakin tak terkendali, ternyata pemenang hati dari sang COO adalah asisten pribadinya. Ivander meminta Aiko untuk tidak ambil pusing dengan kata kata para karyawan yang telah sampai ke telinganya. Tak berapa lama kemudian Aiko dan Ivander telah sampai di lantai 27, Aiko singgah di mejanya dan Ivander masuk ke dalam ruangannya. Aiko mulai membuka ipad-nya, ada 43 email yang belum dibuka. Aiko memilih folder 'unread' dan membalasnya satu per satu. Di dalam ruangannya Ivander meminta pada orang keperca
Ivander meninggalkan ibunya dan Aiko. Seberdirinya Ivander, lampu di sekitar mereka mati dan hanya beberapa lampu yang menyala. Ivander berjalan menuju piano dengan gagahnya. Pandangan mata Aiko tidak lepas darinya dan disambut candaan dari ibu Ivander di sampingnya. "Kau bisa mengulitinya jika tidak berhenti menatapnya," Aiko menunduk malu, ketahuan. Ibu Ivander menanggapinya dengan tertawa ringan. Ivander duduk tepat di depan piano, mengatur letak mic yang berada di atas piano. "Hari ini merupakan hari yang spesial bagiku, karena aku bisa makan malam bersama dengan 2 wanita yang berarti dalam hidupku. Aku ingin mempersembahkan lagu ini untuk Aiko, wanita yang membuatku yakin bahwa aku bisa menjadi pria yang lebih baik." Ivander menatap Aiko dalam, dan mulai memainkan pianonya. Aiko menyaksikan bagaimana Ivander memainkan piano dengan sangat lihai. "Ivander pandai bermain piano karena kakeknya yang mengajarinya. Namun setelah beliau meninggal, Ivander sudah tidak pernah memainka
Aiko tidak menemukan Ivander di kantor, dan tujuan terakhirnya adalah apartnya di Manhattan. Aiko kembali diantar oleh driver yang sebelumnya sudah menunggunya. Aiko merasa sangat khawatir saat ini, karena sama sekali belum ada respon dari Ivander. Tak sampai setengah jam Aiko telah sampai di apart Ivander, Aiko awalnya menekan bell berharap ada seseorang yang menyambutnya. Namun karena tidak ada tanggapan, Aiko akhirnya menekan kode pintu yang sebelumnya sudah diinformasikan oleh Ivander pada Aiko. Gelap, kesan pertama saat Aiko masuk ke dalam apart Ivander. Tanpa berpikir panjang, Aiko berjalan menuju kamar Ivander, sama gelapnya, bahkan hanya sedikit cahaya lampu yang masuk ke dalam kamar tersebut. Aiko menyalakan senter dari handphonenya, dan melihat Ivander yang terbaring dengan kondisi yang bisa dibilang cukup menyedihkan. Kamar yang berantakan, berbeda dengan terakhir Aiko datang beberapa jam yang lalu. Aiko naik ke kasur dan menepuk pelan pipi Ivander, tak ada respon, terci
Aiko keluar dari kamar setelah memastikan dirinya terlihat menarik walaupun hanya mengenakan baju kaos oblong kebesaran milik Ivander. Aiko bisa melihat Ivander menata meja makan, dan segelas susu hangat sudah tersaji di meja. "Minumlah dulu susunya, mumpung masih hangat. Aku khawatir kau kedinginan," Ivander menarik kursi yang akan ditempati untuk Aiko dan mempersilahkannya duduk. "Maafkan aku. Aku hanya berendam sambil melamun, jadi tidak menyangka bahwa aku sudah selama itu di kamar mandi," Aiko mengelus lembut punggung tangan Ivander, merasa bersalah. Ivander menanggapinya dengan anggukan kepala diikuti senyuman manisnya. Aiko dan Ivander kembali mengobrol mengenai beberapa hal tentang pekerjaan dan charity event yang akan berlangsung dua pekan lagi, sambil menikmati makan malam yang sudah dipesan oleh Ivander. "Apa pria tadi mantan kekasihmu?" Aiko melihat Ivander yang dipenuhi dengan rasa penasaran. Aiko kaget karena Ivander tiba tiba membahasnya. "Hm, sebenarnya J
"Cleosa Nicolas Ivander." Aiko meraih tangan Ivander dan menggenggamnya dengan erat. Aiko menatap Ivander dalam, Aiko tidak pernah menyangka bahwa Ivander benar benar menjadi kekasihnya saat ini. "Jika sekali lagi aku mendengarmu memanggilku dengan sebutan Anda, maka aku akan menghukummu," Ivander mengubah posisinya menghadap kemudi lalu menstater mobilnya. Aiko menahan tangan Ivander, membuatnya menoleh pada Aiko. Dengan gerakan cepat Aiko mengecup ringan bibir Ivander dan tersenyum kecil. "Ivander, aku mencintaimu," entah bagaimana Ivander menenangkan detak jantungnya yang dibuat berdebar kencang oleh Aiko dengan kata kata dan ekpresinya yang menggemaskan. Ivander selalu berusaha membuat Aiko merasa sangat dicintai. Aiko sadar bahwa rasa percaya dirinya yang rendah selama menjalin hubungan dengan Ivander bukan hal yang bisa menjadi penghalang bagi dirinya untuk memperlakukan Ivander layaknya Ivander memperlakukan dirinya. Setelah mengatakan kata kata tadi, Ivander tidak berhe
Ivander menemani Aiko kembali ke apartmentnya, dan siap menerima berbagai macam pertanyaan yang tentu saja sudah disiapkan oleh Mic. Aiko bisa merasakan bahwa Ivander sedikit gugup, Aiko tahu bahwa Mic adalah orang yang tegas dan berani. Tapi Mic tidak mungkin tidak setuju dengan hubungan Aiko dan Ivander saat ini - begitulah pikiran Aiko. Saat pintu lift terbuka, Aiko mengeratkan genggaman tangannya pada Ivander dan tersenyum tipis. Rasanya seperti Aiko dan Ivander melakukan kesalahan dan tertangkap basah oleh Mic. Saat sampai di depan kamar apartnya, Aiko menekan kode angka dan pintu pun terbuka. Aiko dan Ivander melangkah masuk bersama. Aroma makanan yang nenggiurkan membuat Aiko dan Ivander saling bertatapan. "Mic?" Aiko menghampiri Mic yang masih serius di dapur dan tak menyadari kedatangan dirinya. Mic menoleh pada sumber suara dan berhambur memeluk Aiko. "Aku merindukanmu Ai," Mic dengan erat memeluk Aiko dan melirik Ivander sekilas. "Aku memasak beberapa makanan. Aku