Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.
Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.
Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.
Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.
Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu terlihat konyol sih? Aiko tidak berhenti merutuki dirinya sendiri.
Ivander membayarkan beberapa roti dan minuman yang Aiko ambil, Aiko sengaja bergerak lambat untuk membiarkan Ivander membayar sendiri bill-nya, tapi sepertinya cara Aiko sudah terbaca olehnya.
"Kau tidur seperti beruang kutub. Aku bahkan sudah membangunkanmu sebelumnya, tapi karena mengantuk akhirnya aku juga tertidur," Ivander membuka beberapa camilan dan menikmatinya.
Aiko hanya meminta maaf atas sikapnya yang membuat Ivander kerepotan. Seharusnya Aiko tidak ikut perjalanan dinas ini, Aiko tidak tahan dengan kekonyolan apa lagi yang akan dirinya buat nanti.
"Ambilkan minuman di plastik belanja tadi. Dan bukakan untukku," Ivander mulai menstater mobilnya dengan eclair masih ada di tangan kanannya.
Aiko mengambilkan minuman yang dimaksud dan membukakan untuknya. Ivander menegak minuman tersebut dengan tatapannya yang masih fokus menyetir.
"Padahal Anda bisa menikmati makanan Anda sebelum kembali menjalankan mobil, ini terlalu beresiko karena Anda makan sambil menyetir," Aiko tidak menyangka bisa melontarkan kata kata seperti itu pada Ivander.
Tidak ada respon, dan Aiko kembali melihat ke luar jendela, pemandangan luar yang tidak begitu menarik. Namun mampu untuk meredam sedikit rasa gugup Aiko.
Sesekali Aiko merespon pesan yang dikirimkan Mic padanya.Tak terasa empat jam lebih perjalanan Aiko dan Ivander tempuh, Aiko merasa lega karen mereka bisa tiba dengan selamat.
Aiko dan Ivander telah sampai di hotel mewah yang dipilihkan oleh Steve. Dan sampai saat ini tak ada kabar apapun dari Steve, Aiko harap semuanya baik baik saja, Aiko masih bisa mengkhawatirkan orang lain, sementara dirinya sendiri, entahlah.
***
Entah kemalangan apalagi yang terjadi, Steve salah memesan kamar, dan hanya tersisa kamar ini saja. Yah walaupun tipenya adalah connecting room, masih lebih baik daripada Aiko dan Ivandrr harus bersama di satu kamar. Ivander menyuruh Aiko menempati kamar yang kendali aksesnya ada di kamarnya, dan senang hati Aiko menerimanya.
Aiko segera menghubungi Mic sesaat tiba di kamar, Aiko tidak ingin membuat Mic khawatir karena menunggu kabar darinya. Aiko menunggu Mic mengangkat teleponnya sambil menyusun beberapa barang.
Ttok..ttok..ttok
Suara ketukan pintu dari kamar sebelah membuat Aiko menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian membuka pintu tersebut.
Ivander sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih santai, dan tentu saja terlihat sangat menawan. Aiko menarik kembali akal sehatnya untuk berpikir jernih."Makanan akan datang sepuluh menit lagi, kemarilah jika sudah selesai," tidak menunggu balasan dari Aiko, Ivander segera berjalan meninggalkannya. Apakah Aiko memang tidak semenarik itu hingga membuat Ivander tak ingin berlama lama melihatnya? Kenyataan itu menamparnya. Aiko memilih menyelesaikan menyusun barangnya, mencuci muka berganti baju dan menuju kamar Ivander untuk makan malam. Bisa dibilang ini adalah makan malam yang sangat terlambat.
Makanan sudah tertata rapi dan pelayan room service sudah meninggalkan kamar ini. Aiko berjalan mendekati meja makan, dan melihat Ivander duduk di sofa masih berkutat dengan ipad-nya.
"Anda tidak makan?" Aiko berbasa basi karena tidak tahu harus mengatakan apa. Ivander tidak mengalihkan tatapannya dari benda kotak sedang di depannya dan mengatakan "Makanlah duluan, aku harus mengirim pesan sebentar," Aiko mengangguk dan mulai makan dengan perlahan.
Hanya suara piring dan alat makannya saja yang sesekali terdengar memecah keheningan di ruangan ini.Tak lama kemudian, Ivander datang bergabung bersama Aiko di meja makan. Menikmati makanannya tanpa sepatah katapun. Membuat Aiko semakin kikuk.
Selesai makan, Aiko dan Ivander membahas beberapa hal yang kira kira akan dipertanyakan oleh tim klien. Aiko dengan seksama mendengarkan Ivander menjelaskan, dan tetap saja Aiko tidak bisa fokus melihat Ivander dengan jarak sedekat ini, dengan wangi tubuh yang memabukkan. Aiko menggeleng kuat untuk menghilangkan Ivander dari pikirannya.
"Apa ada yang tidak sesuai? Kau menggeleng sambil menutup matamu membuatku berpikir apakah ada yang salah dari apa yang aku bahas?"
"Maaf, aku hanya tidak sadar dengan apa yang barusan aku lakukan,"Aiko merasakan wajahnya memanas karena malu.
"Baiklah, karena ini juga sudah larut. Kita lanjutkan besok saja. Kau harus selesai bersiap jam sepuluh," Ivander berdiri dan meninggalkan ipad-nya di sofa. Aiko juga keluar dari kamarnya sebelum pikiran pikiran aneh kembali membuatnya terlihat konyol di mata Ivander.
***
Pagi ini Aiko merasa tubuhnya sedikit pegal, mungkin karena perjalanan kemarin malam yang cukup menyita waktu. Tapi Aiko harus terlihat bugar untuk memberikan kesan baik pada klien.
Aiko sudah selesai bersiap dan tidak lupa membawa lembaran lembaran referensi, dan notes dari Ara kemarin. Masih ada empat puluh menit sebelum Aiko dan Ivander berangkat.
Bunyi pesan di meja mengalihkan perhatian Aiko.
"Sarapan," begitulah tulisan pada pesan yang baru saja masuk. Aiko segera bangkit dari duduknya, mengetuk pelan pintunya dan masuk."Aku pikir kau masih memakai kacamata burung hantumu seperti semalam," Aiko tahu itu hanya candaan yang sedikit menyakitkan.
Aiko hanya menanggapinya dengan tersenyum kecut. Atau harusnya Aiko tidak perlu merespon apa apa. Aikoduduk, mengambil roti gandum dan menuang susu ke gelas yang ada di depannya. Memakannya dalam diam. Namun Aiko merasa diperhatikan, dan benar saja. Ivander menatapnya sambil menopang dagunya pada tangan kanannya.
"Anda harusnya makan, bukan menatapku. Anda sendiri yang bilang kalau aku bukan tipe Anda. Dan aku harus mengingat itu," Aiko melanjutkan makannya tanpa sedikitpun menatap Ivander. Degup jantung Aiko seperti akan terdengar olehnya, terlalu berisik.
Ivander berdiri dari duduknya dan tertawa kecil menanggapi perkataan Aiko. Seorang pria arogan dan bermulut kasar itu tertawa pada Aiko?? Aiko merasa seperti ada yang aneh dari diri Ivander. Sejak malam Ivander menawari Aiko pulang dengannya.
Setelah makan Aiko kembali ke kamarnya, mengambil beberapa barang, lalu kembali ke kamar Ivander dan mereka bersama sama menuju mobil.
Saat sampai di lokasi, Aiko seperti anak ayam menngikuti induknya. Aiko tidak percaya diri berdiri di samping seorang Cleosa Nicolas Ivander. Kenyataan itu kembali menyentaknya pada kenyataan. Ivander disambut dengan sangat hangat oleh tim klien, dan memperkenalkan Aiko sebagai asistennya. Tentu saja itu hanya bualan, bagaimana seorang fashion designer menjadi asistennya?
Beberapa tim klien yang melihat Ivander berbisik bisik tentangnya. Ada yang menyebutnya tampan dan jantan, ada yang menyebutnya keras dan menawan. Aku hanya tersenyum mendengar pujian wanita wanita tersebut pada Ivander. Mereka tidak tahu bahwa Ivander adalah pria arogan dengan mulut yang kejam.
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi.Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah."Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya menanggung lemah, dia sangat penurut.Ttok ttok ttokSuara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang."Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyuruh saya
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
New York City 11.30 AMAiko memperhatikan seorang pria yang sedang berbincang bincang dengan beberapa temannya. Mata Aiko tidak sedikitpun bergeser dari pria tersebut. Pria dengan sejuta pesona, namun mampu mematahkan hati wanita sebanyak yang dia mau.Cleosa Nicolas Ivander, pria dengan perawakan tinggi, tegap, gagah dan segala macam kesempurnaan ada padanya. Cukup banyak wanita yang rela bertekuk lutut demi mendapatkan perhatiannya. Namun Aiko cukup tahu diri siapa dirinya, perbedaan Aiko dengan Ivander bagaikan bumi dan langit, bagaikan hitam dan putih. Terlalu banyak hal yang membuat Aiko berkecil hati untuk bisa dekat dengan pria tersebut. Berbagai macam cara Aiko lakukan untuk menarik perhatian Ivander, namun semua hasilnya nihil. Aiko sudah memasuki tahun ketiga bekerja di perusahaan fashion milik keluarga Ivander, COO di perusahaan tersebut. Namun selama itu pula Aiko bagaikan butiran debu di mata Ivander, tidak dianggap. "YA! Berhenti menatapnya seperti itu! Kau seperti aka
Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan."Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap."Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan."Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya."Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras.Bagi Aiko kehadiran Mic sudah lebih dari
Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut."Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya.***"Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor.Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri.Karena malam sudah larut, Aiko memutus
"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi.Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah."Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya menanggung lemah, dia sangat penurut.Ttok ttok ttokSuara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang."Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyuruh saya
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut."Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya.***"Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor.Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri.Karena malam sudah larut, Aiko memutus
Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan."Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap."Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan."Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya."Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras.Bagi Aiko kehadiran Mic sudah lebih dari