Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.
Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut.
"Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab.
"Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara.
"Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.
Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik. Aiko berusaha mengabaikan dan berusaha fokus pada pekerjaan di depannya.
"Saat ini bukan waktunya bersantai, apakah pekerjaanmu kurang?" Aiko berdiri dari tempat duduknya tanpa rasa ragu. Seperti biasa, Ivander sudah memasang wajah arogan dan meremehkan. Berbeda dengan kelakuannya semalam saat menjagak Aiko pulang bersamanya.
"Selamat siang Mr. Ivander, maaf sebelumnya. Aku hanya mengangkat telepon yang bahkan tidak sampai tiga puluh detik. Jika itu dianggap bersantai, aku mohon maaf sekali lagi," Aiko menatap wajah Ivander tersebut tanpa rasa takut. Ivander ingin mengintimidasi Aiko dengan posisinya saat ini. Ditengah banyaknya orang yang memerhatikan mereka.
Beberapa orang mendatangi Aiko dan bertanya terkait sikap Ivander yang dinilai cukup berlebihan dan ini baru pertama kali terjadi.
"Apa kau melakukan kesalahan padanya? Ini hal yang tidak biasa, dia selalu menghindari kontak langsung dengan karyawannya. Tapi kali ini dia hanya datang untuk menegurmu, padahal itu hal yang sama sekali tidak perlu," Rene berjalan ke mejaku sambil mengamati punggung Ivander yang berjalan cepat meninggalkan ruangan tersebut.
Aiko hanya mengedikkan bahu, dan kembali duduk untuk memfokuskan pikirannya.
***
Dua pekan lagi akan ada acara kantor yang rutin diadakan oleh Lemme Fashion jika mendekati bulan lahir perusahaan ini. Acaranya menyenangkan, karena akan ada musisi ternama yang diundang, beberapa model terkenal yang bekerja sama dengan Lemme Fashion, terlebih beberapa petinggi tentu saja akan hadir.
Para wanita siap menampilkan pertunjukan antar divisi, sedangkan para pria siap dengan persaingan beberapa cabang olahraga yang tentu saja akan membuat para wanita berteriak histeris.Aiko bisa kembali menikmati ritme kerjanya seperti biasa, seperti sebelum Aiko bertemu secara 'kebetulan' dengan Ivander. Dan semenjak kejadian teguran Ivander pada Aiko beberapa waktu lalu, Aiko tidak pernah bertemu lagi dengannya.
Sebentar lagi jam istirahat siang dan pekerjaan Aiko sis sedikit lagi. Tapi lagi lagi panggilan telepon dari Steve membuat Aiko was was. Hal yang sama tidak akan terjadi lagi kan?
Aiko mengangkat panggilannya, suaranya cukup santai untuk sebuah hal yang besar, Aiko bergegas ke ruangannya.
Aiko cukup terkejut ketika masuk dan sudah ada Ivander di sana. Ini lebih mengerikan dari apa yang Aiko bayangkan sebelumnya.
"Selamat siang, ada yang bisa aku bantu?," Aiko berdiri di dekat pintu masuk, rasanya tatapan tajam mata Ivander membuat langkah kaki Aiko menjadi kaku.
"Maaf karena menghubungimu tiba tiba. Aku ingin minta tolong sesuatu Ai. Akan ada pertemuan dengan beberapa brand yang memercayakan design musim dinginnya pada kita. Apakah kau bisa ikut? Aku, kau dan Ivander akan pergi bersama," Aiko masih dengan seksama mencerna kata kata Steve barusan. Kenapa harus Aiko? Kan ada Ara sebagai asisten managernya.
"Maaf kalau aku lancang. Tapi bukankah ini menjadi tanggung jawab Bu Ara? Aku tidak bisa pergi, jika aku harus mengambil alih pekerjaan orang lain," Aiko menolaknya dengan takut takut, astaga harusnya dia tidak perlu ada di ruangan ini.
"Ara sudah memegang project lain, lagipula yang merekomendasikanmu adalah Ara, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Ivander berdiri dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju meja Steve dan mengambil beberapa lembar sketch di sana.
Aiko mengangguk patuh mendengar kata kata Ivander, bagaimana Aiko bisa melupakan pria ini jika intensitas pertemuan kami justru meningkat??
"Kita akan pergi dalam dua hari satu malam, aku sudah melakukan reservasi tempat. Jadi sekarang kau pulanglah dan berkemas, bawa beberapa informasi tentang brand ini, aku akan menjemputmu pukul lima sore nanti," Steve memberikan tumpukan lembaran pada Aiko sebagai referensi.
Aiko berjalan keluar meninggalkan ruangan Steve dengan pundak lemas dan tidak bergairah.
Bagaimana semua hal ini terjadi secara beruntutan?Aiko masih duduk di tempatnya lima belas menit sejak kembali dari ruangan Steve, tapi tak ada satupun yang bisa Aiko lakukan selain mencerna apa yang akan terjadi berikutnya.
Kesadaran Aiko kembali saat Ara menepuk pelan pundaknya.
"Aku pikir kau akan pulang untuk berkemas Ai? Steve baru saja menginfokan bahwa kalian akan berangkat sore nanti. Aku pikir kalian akan berangkat besok pagi, mengingat jaraknya yang lumayan jauh. Apa kau tidak apa apa?" Ara menarik kursi di samping Aiko dan duduk menghadapnya."Hm, aku baik baik saja. Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku. Apakah Anda memiliki masukan atau saran untuk brand brand yang akan bekerjasama dengan kita nanti?" Aiko mengesampingkan rasa cemasnya untuk hal hal yang akan terjadi nanti. Aiko mengambil notes di lacinya dan mencatat beberapa informasi dari Ara.
***
Aiko sudah menghubungi Mic bahwa dirinya akan ke luar kota bersama Steve dan juga Ivander. Seperti biasa, Mic dengan heboh dan histeris menanggapi telpon dari Aiko.
Aiko sudah selesai mengemasi barangnya dan menunggu Steve untuk menjemputnya, masih ada dua puluh menit menunggu sambil membaca beberapa referensi tentang brand brand yang akan bekerja sama dengan perusahaan mereka.
Handphone Aiko berdering dan nomor baru tertera di sana, awalnya Aiko ragu untuk mengangkatnya. Aiko membiarkan sambungan tersebut dimatikan sepihak. Tidak lama nomor yang sama kembali menghubunginya. Akhirnya dengan ragu Aiko mengangkatnya.
"Aku ada di bawah, cepatlah turun," aku tidak perlu bertanya siapa pemilik suara itu.
Aiko segera mengambil komper dan tas kecilnya. Kenapa bisa Ivander yang menjemputny? Steve juga tidak bilang apa apa padanya. Bagaimana Aiko menikmati perjalanan nanti jika Aiko harus pergi dengan Ivander? Beberapa pertanyaan memenuhi kepalanya. Dicerna bagaimanapun, ini tidak masuk akal.
Saat tiba di basement apartment, Aiko bisa melihat Ivander sedang memainkan tablet di tangannya, terlihat serius.
Aiko memasukkan kopernya ke bagasi mobil Ivander, kemudian duduk di sampingnya.
"Maaf jika membuat Anda menunggu, bukannya yang akan menjemputku adalah Steve? Apa sesuatu yang buruk terjadi padanya dan tidak bisa menjemputku?" Ivander mendelik tidak suka dengan berbagai rentetan pertanyaan yang Aiko ajukan.
"Dia terlambat, tunangannya masuk rumah sakit, bisa jadi bahkan dia tidak akan ikut jika kondisi tunangannya tidak memungkinkan," Aiko menciut di kursinya. Ini akan menjadi bumerang untuknya, bagaimana bisa Aiko dan Ivander hanya pergi berdua saja?
"Semoga Steve bisa menyusul," ucap Aiko lirih, Aiko tidak berharap Ivander bisa mendengar suaranya, karena saat ini Aiko harus berpikir bagaimana dirinya harus bersikap kedepannya.
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi. Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah. "Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya mengangguk lemah, dia sangat penurut. Ttok ttok ttok Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang. "Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyu
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
Pagi ini Aiko bangun lebih cepat untuk membuat bekal makan siangnya. Karena Aiko merasa sulit untuknya menyesuaikan waktu di hari pertamanya, jadi untuk berjaga jaga dirinya lebih baik membuat bekal. "Apa yang kau buat? Bekal untuk Ivander?" Mic mengintip bekal yang dibuat oleh Aiko, jarang jarang sahabatnya tersebut membuat bekal. Aiko mendelik tajam pada Mic, tentu saja itu hanya godaan Mic untuknya. "Jangan menggodaku, tentu saja itu hanya akan terjadi dalam mimpimu. Kotak ini untukmu. Aku harus berangkat lebih cepat, karena hari ini Sam akan datang sedikit terlambat karena harus kontrol ke rumah sakit." Aiko membereskan sisa perlengkapan memasaknya dan pamit pada Mic yang masih sibuk memakai riasannya. Aiko mengenakan coat yang cukup tebal namun dinginnya masih begitu terasa. Ini bahkan belum memasuki musim dingin. Aiko memberhentikan taksi di depannya dan segera masuk setidaknya untuk menghindari suhu yang menurutnya cukup membuat hidungnya merah karena kedinginan. S
Selama beberapa waktu Aiko dibuat tidak fokus oleh informasi yang diberikan oleh Sam sebelumnya. Aiko merasa Sam terlalu banyak memberikan informasi pribadi tentang Ivander padanya. Aiko jadi memikirkan bagaimana dirinya harus bersikap pada Ivander setelah mengetahui kebenaran di balik sikap kasarnya. "Aiko, kau tidak pulang? Mulai besok, aku hanya akan menambahkan jika ada hal yang kurang. Selebihnya kau yang akan menginformasikannya langsung pada Mr. Ivander." Sam mulai merapikan barang barangnya dan berjalan meninggalkan Aiko menuju lift. Aiko mengiyakan kata kata Sam dan mulai membenahi meja kerjanya. Aiko meninggalkan mejanya dan berjalan menuju lift, saat pintu lift akan tertutup, sebuah sepatu menahannya, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan sosok Ivander di sana. Tentu saja itu bukan hal yang mengejutkan. Karena saat ini sudah jam pulang, dan di lantai 27 ini hanya ada mereka berdua. Ivander masuk ke dalam lift, Aiko mundur perlahan ke sisi sudut lift. Ivander hanya mel
Tidak ada yang banyak berubah sejak pernyataan cinta Ivander dan Aiko beberapa hari lalu. Aiko berusaha bekerja dengan tekun dan tetap memerhatikan kedekatan pribadinya dengan Ivander. Sebisa mungkin Aiko menghindari ajakan pribadi Ivander saat jam kerja. Dan Ivander tidak pernah memaksa Aiko untuk menerima ajakannya. Aiko turun ke lantai 1 untuk membeli 2 cup kopi dan beberapa camilan untuk dirinya, Sam dan Ivander. Beberapa wanita terlihat mengantre di depannya. "Apa kau dan teammu sudah menyiapkan penampilan untuk acara lusa nanti?" Seorang wanita dengan rambut ikal dan tubuh semampai menanyakan hal tersebut kepada teman di sampingnya. Aiko sebenarnya tidak berniat mencuri dengar, hanya saja suara wanita tersebut cukup keras sehingga bisa terdengar oleh orang lain. "Tentu saja! Kami akan menampilkan spesial stage yang memukau. Aku juga tidak sabar melihat para pria pria menampilkan otot otot mereka hari Sabtu nanti," wanita di sebelahnya membalas dengan antusias. Aiko bar
Aiko dan Ivander tiba di kantor, tanpa memedulikan beberapa karyawan yang melihatnya turun bersama dari mobil. Tak sedikit karyawan yang berbisik bisik melihat kedekatan antara mereka berdua. Dan tentu saja fakta bahwa Aiko dan Ivander sudah bertunangan membuat para karyawan semakin heboh. Atasan yang biasanya hanya terlihat bermain main dengan banyak wanita ternyata bisa mengambil langkah besar dalam hidupnya. Cincin yang tersemat di jari manis Aiko membuat para karyawan yang melihatnya semakin tak terkendali, ternyata pemenang hati dari sang COO adalah asisten pribadinya. Ivander meminta Aiko untuk tidak ambil pusing dengan kata kata para karyawan yang telah sampai ke telinganya. Tak berapa lama kemudian Aiko dan Ivander telah sampai di lantai 27, Aiko singgah di mejanya dan Ivander masuk ke dalam ruangannya. Aiko mulai membuka ipad-nya, ada 43 email yang belum dibuka. Aiko memilih folder 'unread' dan membalasnya satu per satu. Di dalam ruangannya Ivander meminta pada orang kepe
Ivander meninggalkan ibunya dan Aiko. Seberdirinya Ivander, lampu di sekitar mereka mati dan hanya beberapa lampu yang menyala. Ivander berjalan menuju piano dengan gagahnya. Pandangan mata Aiko tidak lepas darinya dan disambut candaan dari ibu Ivander di sampingnya. "Kau bisa mengulitinya jika tidak berhenti menatapnya," Aiko menunduk malu, ketahuan. Ibu Ivander menanggapinya dengan tertawa ringan. Ivander duduk tepat di depan piano, mengatur letak mic yang berada di atas piano. "Hari ini merupakan hari yang spesial bagiku, karena aku bisa makan malam bersama dengan 2 wanita yang berarti dalam hidupku. Aku ingin mempersembahkan lagu ini untuk Aiko, wanita yang membuatku yakin bahwa aku bisa menjadi pria yang lebih baik." Ivander menatap Aiko dalam, dan mulai memainkan pianonya. Aiko menyaksikan bagaimana Ivander memainkan piano dengan sangat lihai. "Ivander pandai bermain piano karena kakeknya yang mengajarinya. Namun setelah beliau meninggal, Ivander sudah tidak pernah memaink
Aiko tidak menemukan Ivander di kantor, dan tujuan terakhirnya adalah apartnya di Manhattan. Aiko kembali diantar oleh driver yang sebelumnya sudah menunggunya. Aiko merasa sangat khawatir saat ini, karena sama sekali belum ada respon dari Ivander. Tak sampai setengah jam Aiko telah sampai di apart Ivander, Aiko awalnya menekan bell berharap ada seseorang yang menyambutnya. Namun karena tidak ada tanggapan, Aiko akhirnya menekan kode pintu yang sebelumnya sudah diinformasikan oleh Ivander pada Aiko. Gelap, kesan pertama saat Aiko masuk ke dalam apart Ivander. Tanpa berpikir panjang, Aiko berjalan menuju kamar Ivander, sama gelapnya, bahkan hanya sedikit cahaya lampu yang masuk ke dalam kamar tersebut. Aiko menyalakan senter dari handphonenya, dan melihat Ivander yang terbaring dengan kondisi yang bisa dibilang cukup menyedihkan. Kamar yang berantakan, berbeda dengan terakhir Aiko datang beberapa jam yang lalu. Aiko naik ke kasur dan menepuk pelan pipi Ivander, tak ada respon, t
Aiko keluar dari kamar setelah memastikan dirinya terlihat menarik walaupun hanya mengenakan baju kaos oblong kebesaran milik Ivander. Aiko bisa melihat Ivander menata meja makan, dan segelas susu hangat sudah tersaji di meja. "Minumlah dulu susunya, mumpung masih hangat. Aku khawatir kau kedinginan," Ivander menarik kursi yang akan ditempati untuk Aiko dan mempersilahkannya duduk. "Maafkan aku. Aku hanya berendam sambil melamun, jadi tidak menyangka bahwa aku sudah selama itu di kamar mandi," Aiko mengelus lembut punggung tangan Ivander, merasa bersalah. Ivander menanggapinya dengan anggukan kepala diikuti senyuman manisnya. Aiko dan Ivander kembali mengobrol mengenai beberapa hal tentang pekerjaan dan charity event yang akan berlangsung dua pekan lagi, sambil menikmati makan malam yang sudah dipesan oleh Ivander. "Apa pria tadi mantan kekasihmu?" Aiko melihat Ivander yang dipenuhi dengan rasa penasaran. Aiko kaget karena Ivander tiba tiba membahasnya. "Hm, sebenarnya J
"Cleosa Nicolas Ivander." Aiko meraih tangan Ivander dan menggenggamnya dengan erat. Aiko menatap Ivander dalam, Aiko tidak pernah menyangka bahwa Ivander benar benar menjadi kekasihnya saat ini. "Jika sekali lagi aku mendengarmu memanggilku dengan sebutan Anda, maka aku akan menghukummu," Ivander mengubah posisinya menghadap kemudi lalu menstater mobilnya. Aiko menahan tangan Ivander, membuatnya menoleh pada Aiko. Dengan gerakan cepat Aiko mengecup ringan bibir Ivander dan tersenyum kecil. "Ivander, aku mencintaimu," entah bagaimana Ivander menenangkan detak jantungnya yang dibuat berdebar kencang oleh Aiko dengan kata kata dan ekpresinya yang menggemaskan. Ivander selalu berusaha membuat Aiko merasa sangat dicintai. Aiko sadar bahwa rasa percaya dirinya yang rendah selama menjalin hubungan dengan Ivander bukan hal yang bisa menjadi penghalang bagi dirinya untuk memperlakukan Ivander layaknya Ivander memperlakukan dirinya. Setelah mengatakan kata kata tadi, Ivander tidak berhe
Ivander menemani Aiko kembali ke apartmentnya, dan siap menerima berbagai macam pertanyaan yang tentu saja sudah disiapkan oleh Mic. Aiko bisa merasakan bahwa Ivander sedikit gugup, Aiko tahu bahwa Mic adalah orang yang tegas dan berani. Tapi Mic tidak mungkin tidak setuju dengan hubungan Aiko dan Ivander saat ini - begitulah pikiran Aiko. Saat pintu lift terbuka, Aiko mengeratkan genggaman tangannya pada Ivander dan tersenyum tipis. Rasanya seperti Aiko dan Ivander melakukan kesalahan dan tertangkap basah oleh Mic. Saat sampai di depan kamar apartnya, Aiko menekan kode angka dan pintu pun terbuka. Aiko dan Ivander melangkah masuk bersama. Aroma makanan yang nenggiurkan membuat Aiko dan Ivander saling bertatapan. "Mic?" Aiko menghampiri Mic yang masih serius di dapur dan tak menyadari kedatangan dirinya. Mic menoleh pada sumber suara dan berhambur memeluk Aiko. "Aku merindukanmu Ai," Mic dengan erat memeluk Aiko dan melirik Ivander sekilas. "Aku memasak beberapa makanan. Aku
Matahari sudah benar benar tenggelam, namun Aiko dan Ivander masih menikmati waktu mereka bersama. Bagaimana Ivander mendengarkan cerita tentang waktu yang dilalui Aiko bersama Mic. Hingga akhirnya bisa bekerja di Lemme Fashion. "Apa kau tidak lapar?" Ivander melirik jam tangannya, sudah jam tujuh malam. Tangan Ivander begitu nyaman mengelus tangan Aiko yang begitu kecil di dalam genggamannya. Ini bukan kali pertama Ivander menggengam tangan Aiko, namun baru kali ini Ivander sadar bahwa Aiko begitu rapuh. "Hm, aku sedikit lapar. Bagaimana kalau beli makanan cepat saji?" Aiko balas menatap Ivander yang fokus melihat genggaman tangan mereka. "Tanganmu kecil sekali. Kau harus banyak makan." Ivander menarik Aiko dari duduknya, lalu kembali bergandengan tangan menuju parkiran mobil. Aiko merasa berterima kasih pada Ivander karena sudah mewujudkan keinginannya untuk berjalan jalan di pantai. "Mulai sekarang, apapun yang kau inginkan, kau harus memberitahukannya padaku. Aku bisa mewuju
Aiko berusaha mengabaikan setiap perkataan orang orang yang membicarakannya. Toh, Aiko tidak berhak menahan orang lain untuk berasumsi apapun tentang dirinya. Aiko kembali fokus melihat Ivander yang ternyata memilih olahraga basket bersama tim divisi keamanan. Sorak sorai para penonton yang didominasi kaum hawa membuat suasana hall semakin meriah. Para penonton dari kursi belakang maju ke kursi depan untuk memastikan bisa melihat Ivander yang sebentar lagi akan bermain. Aiko yang pada dasarnya tidak begitu suka keramaian merasa tertekan. Namun Aiko tidak mungkin meninggalkan tempat ini dan membuat Ivander kepikiran, lalu menghentikan permainan dan membuat dirinya dalam masalah. Membayangkan bagaimana wanita wanita itu akan marah dan melemparkan tatapan tidak suka padanya membuat bulu kuduk Aiko berdiri. Tak berapa lama kemudian, pertandingan pun dimulai. Tim yang solid membuat tim Ivander unggul beberapa poin dari tim marketing. Aiko sesekali mengkespresikan kegembiraannya saat Iva
Aiko menyetel penghangat ruangan, melepaskan kaos kaki dan jam tangan Ivander. Aiko berpikir untuk mengganti kemeja Ivander, namun Aiko mengurungkan niatnya. Aiko akhirnya membersihkan wajah dan tangan Ivander dengan air hangat menggunakan handuk kecil. Setelah memastikan kondisi Ivander nyaman, Aiko mengambil pakaian gantinya, dan berjalan menuju kamar Mic. Saat berbaring di kamar Mic, Aiko merasa sudah sangat lelah, tidak perlu waktu lama untuk membuat dirinya terlelap. *** Bak ada alarm otomatis, Aiko terbangun karena mengingat ada Ivander di kamarnya. Weekend seperti ini sebenarnya sangat nyaman untuk bermalas malasan. Tapi sekarang, saat ini Ivander sedang ada di kamarnya, Aiko tidak mungkin tidak membuat sarapan untuk mereka berdua. Jam sembilan nanti akan ada jadwal untuk kompetisi beberapa cabang olahraga untuk para karyawan pria. Aiko sudah siap di dapur dengan berbagai bahan bahan sederhananya. Aiko hanya berencana membuat telur orak arik, roti panggang dan salad s