"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit.
"Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko melihat beberapa maneqin di ruangan tersebut dengan berbagai macam kain yang disampirkan. "Apa kau mau kita memesan makan malam di sini saja?" Aiko mengangguk menanggapi ucapan Mic, tidak buruk rasanya makan sambil bekerja seperti ini. Tak berapa lama makanan Aiko dan Mic datang, dan sedikit lagi pekerjaan Mic selesai. Aiko melirik handphonenya dan waktu sudah menunjukkan tengah malam. Dan Aiko tersadar bahwa tak ada ID Card yang menyatu dengan gantungan handphonenya. Aiko meringis membayangkan hal yang tidak tidak, bagaimana jika gantungan itu jatuh di dekat lorong tempatnyaberlari tadi? Tamatlah riwayatmu, Aiko. Mic merasakan keresahan Aiko, Aiko tidak bisa diam. "Kenapa kau seperti cacing kepanasan begitu?" "Aku telah menjerumuskan diriku sendiri ke dalam lahar yang panas Mic, ID Cardku jatuh ketika aku berlari tadi. Bagaimana jika Ivander menemukannya? Aku bahkan tidak sanggup membayangkannya," Aiko meremas tangannya panik, bayangan Ivander dengan tatapan tajam dan penuh amarah membuat Aiko bergidik ngeri. "Ayo kita selesaikan ini dan mencarinya, setidaknya kita berusaha sebelum bos sialan itu menemukannya," Aiko bergegas membantu Mic merapikan sisa bahan yang sudah tidak digunakan. Aiko dan Mic mengelilingi area kantor tersebut, masuk ke daam toilet, kemudian keluar kembali. Lalu berjalan menyusuri lorong tempat Aiko berlari, berjalan ke depan ruangan model, dan nihil tak ada apapun di sana. Mic mencoba mencarinya di jalan masuk, sedangkan Aiko kembali ke tempat di mana ruangan model sudah kosong. Aiko mungkin sudah gila karena masuk ke dalam ruangan di mana pria yang menyita perhatiannya selama tiga tahun make out di sana. "Apa kau mencari ini?" Aiko bergidik, bulu kuduknya meremang, Aiko tidak menyangka akan ada hal seperti ini dalam hidupnya. Aiko berusaha menormalkan raut wajahnya dan berbalik melihat sumber suara. "Terima kasih karena telah mengamankannya Mr. Ivander. Karena sudah larut malam, aku harus kembali," Aiko berusaha meraih ID Card tersebbut dari tangan Ivander, namun tangannya lebih cepat menghindar dan sebelah tangannya menarik tangan Aiko untuk mendekat padanya. Aroma parfumnya membuat Aiko limbung, Aiko harusnya mendorong Ivander menjauh dari tubuhnya. Bukan menikmati aroma memabukkan pria itu. "Kita selalu terlibat dengan hal hal seperti ini, Aiko?", mata Ivander menatap mata Aiko dalam, dalam temaram cahaya yang samar, Aiko bisa melihat dengan jelas tatapan Ivander padanya, merasakan deru nafas Ivander menerpa wajahnya. "Aiko?? Aiko kau di mana?" Aiko bisa dengan jelas mendengar Mic memanggil namanya. Namun Ivander justru meletakkan jari telunjuknya di bibir Aiko kemudian membisikkan "Hubungi temanmu, katakan padanya bahwa kau akan pulang terlambat karena ada hal penting yang perlu kau urus," Aiko terpaku sejenak mendengarkan perintah Ivander padanya. Aiko lalu merogoh saku jaket yang dikenakannya, kemudian menghubungi Mic yang masih mencarinya di luar sana. "Mic, pulanglah duluan, aku ada urusan mendadak. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Hati hati di jalan," Aiko mematikan sambungannya dengan Mic, dan mendengar langkahn Mic berjalan menjauhinya. "Aku seharusnya bisa pergi bersama temanku, tapi apa tujuan Anda menahanku di sini?" Aiko berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Ivander, dan dengan santai dia melepaskannya. "Kau selalu mengganggu pikiranku, maksudku kau tidak sepenting itu untuk bisa mengusikku. Apa kau mengikutiku? Atau kau punya mata mata untuk mengawasiku?" Aiko terhenyak mendengar kata kata Ivander, mengikuti? Mengawasi? Seorang Aiko? Aku?Aiko tersenyum tipis menanggapi kata kata Ivander, bukannya takut.
"Tuan Ivander Yang Terhormat, Anda mungkin bisa berlaku apa saja sesuka Anda, tapi tidak denganku. Walaupun aku sesuka itu pada Anda, tapi aku tidak berhak melakukan hal itu. Semua yang terjadi antara kita hanya kebetulan," Aiko berusaha dengan sangat tenang mengatakannya. Aiko mengatakannya dengan tidak melepaskan pandangannya dari Ivander. Pun hal yang sama dilakukan oleh Ivander. "Jadi kau menyukaiku nona Aiko? Terima kasih atas pernyataanmu, tapi kau bukan tipeku," mendengarnya mengatakan langsung hal tersebut tidak membuat Aiko begitu kaget. "Terima kasih. Dan karena aku sudah selesai. Aku permisi duluan," Aiko baru akan berbalik meninggalkan Ivander, namun tangannya menahan Aiko. "Kau yakin bisa pulang sendiri? Ini sudah larut malam dan kau tahu banyak pria mabuk di luar sana," Aiko melirik handphonenya, sekarang sudah jam satu malam. Jujur, Aiko takut. Tapi Aiko tidak mungkin mengatakannya. "Terima kasih karena sudah peduli pada karyawan Anda, tapi aku bisa pulang sendiri," Aiko benar benar berjalan meninggalkan Ivander. Dan Ivander dengan santai berjalan mengikuti Aiko dari belakang. Saat sampai di lantai dasar, tak ada satupun taksi. Jam operasional bus juga sudah berakhir sejak jam dua belas tadi. Ivander dengan santai bersandar pada pintu mobilnya, Aiko sesekali melirik Ivander yang masih betah mengawasinya dari belakang. "Aku hanya akan menawarimu sekali lagi, jika kau bersedia, kita bisa pulang bersama," Ivander sudah bersiap masuk ke mobilnya dan Aiko dengan cepat berjalan menujunya. "Aku ikut," Aiko lalu naik ke mobil menyusul Ivander. "Tambahkan alamatmu," Aiko segera mengetik alamatnya pada layar kecil di depannya. Situasi ini benar benar di luar nalar, Aiko benar benar tidak habis pikir bisa satu mobil seperti ini dengan Ivander. Aiko keringat dingin, Aiko bukannya takut, lebih tepatnya tegang, Aiko tidak terbiasa dengan situasi seperti ini. "Apa kau kedinginan? Kau gemetar," Ivander melirik sekilas melihat Aiko. "Ah tidak, aku tidak apa-apa." Kurang lebih dua puluh menit perjalanan, akhirnya Aiko dan Ivander telah sampai di depan apartment Aiko. "Terima kasih karena kebaikan Anda, saya harap Anda tiba di rumah dengan selamat. Hati hati di jalan," Ivander hanya membalas Aiko dengan deheman. Kemudian menjalankan mobilnya meninggalkannya. Saat sampai di apart, Mic tidak berhenti mencecari Aiko dengan berbagai macam pertanyaan. Karena tidak bisa berbohong, akhirnya Aiko menceritakan semuanya pada Mic. "Luar biasa Ai, aku bahkan mengira dia akan membawamu ke rumahnya," Mic terkekeh membayangkan hal itu. Aiko hanya menanggapinya dengan memukul pelan lengan Mic. Membuat Mic berpura pura meringis kesakitan. "Tapi dia cukup baik karena mau mengantarmu pulang, aku rasa dia tidak seburuk itu Ai. Yah, walaupun selama ini kata katanya tidak pernah dibenarkan karena terlalu kasar," Aiko hanya terdiam menanggapi kata kata Mic.Aiko benar benar harus menata kembali hatinya untuk tidak bisa menghadapi situasi apapun kedepannya.
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi. Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah. "Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya mengangguk lemah, dia sangat penurut. Ttok ttok ttok Suara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang. "Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyu
Aiko bisa memulihkan keadaannya dengan sangat baik, karena ada Mic dan tentu saja Ivander yang tidak berhenti mengirimkan berbagai jenis makanan yang bisa membantu menunjang kesehatan Aiko. Mic sampai tidak habis pikir dengan perubahan sikap Ivander semenjak kembali dari dinas luar kota bersama Aiko. "Katakan padaku dengan jujur, pasti ada sesuatu yang terjadi antara kau dan dia? Bagaimana bisa manusia arogan, kejam dan jahat seperti itu berubah sangat perhatian padamu?" Mic mencurigai sesuatu antara Aiko dan Ivander. Aiko menghembuskan nafas pelan, Mic benar benar akan mencecarnya jika dirinya tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya. "Mic, tidak ada hal yang kau harapkan, yang terjadi antara aku dan dia. Ivander hanya menolongku karena merasa bertanggung jawab, karena aku adalah karyawannya. Titik!" Aiko berusaha menyudahi pembahasan antara dirinya dan Ivander. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi. Dan karena sekarang sudah jam delapan lebih, ada baiknya kau minum obatmu
Pagi ini Aiko bangun lebih cepat untuk membuat bekal makan siangnya. Karena Aiko merasa sulit untuknya menyesuaikan waktu di hari pertamanya, jadi untuk berjaga jaga dirinya lebih baik membuat bekal. "Apa yang kau buat? Bekal untuk Ivander?" Mic mengintip bekal yang dibuat oleh Aiko, jarang jarang sahabatnya tersebut membuat bekal. Aiko mendelik tajam pada Mic, tentu saja itu hanya godaan Mic untuknya. "Jangan menggodaku, tentu saja itu hanya akan terjadi dalam mimpimu. Kotak ini untukmu. Aku harus berangkat lebih cepat, karena hari ini Sam akan datang sedikit terlambat karena harus kontrol ke rumah sakit." Aiko membereskan sisa perlengkapan memasaknya dan pamit pada Mic yang masih sibuk memakai riasannya. Aiko mengenakan coat yang cukup tebal namun dinginnya masih begitu terasa. Ini bahkan belum memasuki musim dingin. Aiko memberhentikan taksi di depannya dan segera masuk setidaknya untuk menghindari suhu yang menurutnya cukup membuat hidungnya merah karena kedinginan. S
Selama beberapa waktu Aiko dibuat tidak fokus oleh informasi yang diberikan oleh Sam sebelumnya. Aiko merasa Sam terlalu banyak memberikan informasi pribadi tentang Ivander padanya. Aiko jadi memikirkan bagaimana dirinya harus bersikap pada Ivander setelah mengetahui kebenaran di balik sikap kasarnya. "Aiko, kau tidak pulang? Mulai besok, aku hanya akan menambahkan jika ada hal yang kurang. Selebihnya kau yang akan menginformasikannya langsung pada Mr. Ivander." Sam mulai merapikan barang barangnya dan berjalan meninggalkan Aiko menuju lift. Aiko mengiyakan kata kata Sam dan mulai membenahi meja kerjanya. Aiko meninggalkan mejanya dan berjalan menuju lift, saat pintu lift akan tertutup, sebuah sepatu menahannya, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan sosok Ivander di sana. Tentu saja itu bukan hal yang mengejutkan. Karena saat ini sudah jam pulang, dan di lantai 27 ini hanya ada mereka berdua. Ivander masuk ke dalam lift, Aiko mundur perlahan ke sisi sudut lift. Ivander hanya mel
Aiko dan Ivander telah tiba di mansion hampir jam 2 pagi. Rita dan beberapa pelayan rumah dengan antusias menyambut kedatangan tuan rumahnya. Ivander menggandeng tangan Aiko berjalan menuju kamar tidur. Rasanya kembali bisa bernafas lega saat kamar ini sudah tidak diisi oleh Aiko sendiri, namun ada Ivander yang bisa kembali berbaring bersamanya di tempat tidur. Aiko membantu Ivander melepaskan kemeja dan celananya. Ivander tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dan mengikuti setiap gerak gerak Aiko. Sakit seperti ini menyenangkan juga, batinnya. "Aku tahu milikku besar, bahkan sebelum kondisi 'on'. Tapi saat ini aku sedang sakit dan tidak bisa mendengar suara desahanmu yang begitu memabukkan." Semburat merah menghiasi pipi Aiko, Ivander dengan bibir nakalnya selalu saja berhasil membuat Aiko mati kutu dan sangat malu bahkan untuk menatap sang suami. "Kau selalu menyimpulkan semuanya sendiri. Aku padahal hanya melepaskan pakaianmu. Ayo!" Aiko berdiri dan meraih tangan Ivander, me
Aiko tidak bisa menyembunyikan rasa cemas dan takutnya. Ivander sama sekali tidak bisa dihubungi. Aiko, Mic dan Max dalam perjalanan menuju kantor polisi. Entah bagaimana kabar ini juga sudah sampai ke telinga kedua orang tua Ivander. Mic berusaha menghibur Aiko, walaupun itu tidak bisa mengurangi rasa khawatirnya sedikitpun. "Mic, bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Ivander? Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika hal hal buruk terjadi padanya." Isak tangis Aiko sungguh membuat orang yang melihatnya merasa iba. Bagaimana bisa sepasang suami istri yang saling mencintai sudah diuji dengan berbagai macam cobaan bahkan belum genap sebulan umur pernikahan mereka. Aiko menyesal telah mengiyakan keinginan Ivander untuk mencari dalang dibalik pemasangan penyadap dan cctv di ruangan kantornya. Jika saja Aiko mencegah Ivander untuk mengusutnya, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Aiko sibuk dengan pikirannya sendiri, dan tidak menyadari jika dirinya dan Mic telah sampai di ka
Ivander mencegah Aiko untuk tidak ke kantor dalam beberapa hari kedepan, karena akan dilakukan pemeriksaan mendalam terkait alat penyadap atau semacamnya yang bisa saja masih tersembunyi di ruangan dan meja Aiko. Ivander meminta Aiko untuk bekerja dari rumah saja dan agar Aiko bisa lebih fokus untuk menyiapkan resepsi pernikahan mereka yang akan diadakan 2 pekan lagi. Sedangkan Ivander kembali menemui Rolando untuk mencari tahu siapa orang suruhan dari Grace. Aiko sejak awal sudah meminta ijin pada Ivander untuk melihat kemajuan gaun pernikahan yang akan dikenakannya saat resepsi nanti. Namun, Ivander belum memberi ijin dan berjanji akan pulang lebih awal agar bisa menemani sang istri. Aiko menyibukkan dirinya dengan membalas email, melakukan meeting online, sesekali membuat sketch untuk menghilangkan rasa bosannya. Ketukan di pintu kamarnya membuat Aiko melepaskan pensil dan buku sketch dari tangannya. Bergegas berjalan menuju pintu dan mengintip melalui door viewer. Aiko lekas me
"Sayang?" Aiko berusaha melepaskan pelukan Ivander untuk mengubah posisinya, namun Ivander semakin mengeratkan pelukannya. "Biarkan seperti ini sebentar sayang," Ivander menyesap semakin dalam aroma tubuh Aiko. Entah bagaimana, aroma tubuh Aiko memberinya ketenangan, rasa lelahnya seharian ini sirna begitu saja ketika memeluk wanita yang benar benar telah menjadi istrinya. Ivander merasa 'on' karena tergoda dengan aroma dan pakaian tidur yang dikenakan oleh Aiko. "Apa semuanya baik baik saja? Aku menunggu pesan darimu sampai akhirnya ketiduran." Aiko mengusap lembut tangan Ivander yang melingkar di pinggangnya. Merasakan panas tubuh Ivander seperti menyengatnya. Gaun tidur tipis yang dikenakan Aiko bisa merasakan sesuatu yang keras dari belakangnya. "Maafkan aku, aku tidak menyadari handphoneku ternyata mati. Aku bergegas pulang saat semuanya sudah selesai. Rolando yang akan menyerahkan berkas berkas pendukung tersebut pada pihak kepolisian. Untuk sekarang, jangan terlalu kh
Aiko meminta Max untuk mengecek CCTV, siapa saja yang beberapa waktu belakangan naik ke lantai 27 selama dirinya dan Ivander tidak masuk. Ruangan Ivander tidak bisa diakses sembarang orang, pasti ada seseorang yang menjadi mata mata dan saat ini berkeliaran di sekitar mereka. Aiko mencoba menenangkan Ivander yang masih belum berbicara sepatah katapun. Hatinya sakit melihat keterdiaman Ivander. "Ai, aku harap apapun yang akan terjadi kedepannya, jangan memercayai hal hal yang orang lain katakan. Aku tahu masa laluku kelam dan menjijikkan, tapi aku berjanji akan menyelesaikan semuanya sampai di sini. Aku pikir dengan memasukannya ke penjara akan membuatnya jera, namun justru bisa membuatnya menggerakkan orang lain untuk menghancurkan pernikahan kita. Maafkan aku karena semua ini membuatmu kesulitan." Ivander tak berani menatap wajah Aiko yang masih setia duduk di sampingnya dan mengkhawatirkannya. Aiko beranjak dari sofa, lalu naik ke pengakuan Ivander. Ivander yang awalnya menundu
Aiko merasa gugup akan kembali bekerja setelah istirahat hampir satu pekan setelah kejadian penculikan beberapa waktu lalu. Ivander mencoba meyakinkan Aiko bahwa semua akan baik baik saja. Waktu menunjukkan pukul 8.15 dan sudah ada Peter yang menunggu untuk mengantar Ivander dan Aiko menuju kantor. Karena jarak mansion dan kantor memakan waktu kurang lebih setengah jam, sehingga Aiko dan Ivander harus bersiap lebih awal. Sepanjang perjalanan menuju kantor, Aiko dan Ivander banyak membahas tentang pesta pernikahan mereka yang akan digelar tanggal 25 Januari mendatang. Sedikit lagi desain gaun pengantin yang dibuatnya akan rampung dan akan memasuki tahap pembuatan, membayangkannya saja membuat dirinya sumringah. Ivander akan mengundang beberapa keluarga dan teman, karena dirinya berjanji pada Aiko untuk tidak membuat acara pesta yang begitu besar, mengingat Aiko bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang lain. "Kau bisa mengundang siapapun yang kau inginkan," Ivander meraih tan
Ivander sadar bahwa gerakannya terlalu kasar, dan memastikan bahwa kondisi Aiko tidak terluka karenanya. Ivander melenguhkan nama Aiko di setiap erangannya, membuat Aiko dipenuhi rasa bahagia. Tangan Ivander benar benar tidak membuat kedua payudara Aiko menganggur begitu saja. Antara bibir dan tangannya berkerja dengan sangat baik, sesekali meremasnya, dan sesekali mencium lalu mengisapnya. Tanda kemerahan hampir memenuhi area leher dan dada Aiko, namun Ivander belum puas dengan itu. Gerakannya semakin dalam dan kuat, Aiko merasakan bahwa kejantanan Ivander semakin membesar dan memenuhinya. "Ai! Aku akan keluar aahh~!" kata kata Ivander diikuti dengan gerakannya yang mendorong lebih dalam kejantanannya. "Aahh~!" lenguhan Ivander disambut bersamaan dengan pencapaian yang didapatkan oleh Aiko, rasanya panas, dan ada sesuatu yang berkedut di dalamnya. Peluh yang menetes, nafas yang memburu, rasa panas yang menjalar dari kulit menyentuh kulit membuat Ivander dan Aiko dipenuhi deng
Aiko mengenakan lingerie transparan berwarna merah maroon, lengkap pakaian dalam dengan warna senada. Aiko gugup setengah mati dan masih saja mematut dirinya di depan cermin. Setelah cukup lama meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik baik saja, Aiko mengambil bathrobe dan mengenakannya, rambutnya dibungkus dengan handuk. Lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Terlihat Ivander yang bersandar pada headboard kasur, sambil memainkan handphonenya. Baju tidur berbahan satin yang dikenakan Ivander terlihat sangat menggairahkan, otot otot tubuhnya tercetak jelas. "Kenapa lama sekali? Apa kau tidak apa apa?" Ivander turun dari tempat tidur dan berjalan mendekati Aiko yang hampir tidak tahu harus melakukan apa apa karena Ivander sangat dekat berada di depannya. "Tidak apa apa sayang, aku hanya menikmati waktuku berendam di bathup tadi. Tenang saja, aku tidak akan mengulangi hal yang sama dan mambuatmu khawatir." Aiko menatap dalam Ivander yang masih terlihat khawatir padanya. Iva
Saat sampai di kamar Ivander, Aiko takjub melihat pemandangan yang menghadap ke taman belakang rumah keluarga Xavier. Berbagai jenis bunga dan tanaman tumbuh dengan indahnya. Ada gazebo yang melengkapi taman tersebut sehingga terlihat lebih menawan. Aiko lalu beralih melihat foto foto Ivander di meja kerjanya. Aiko mengambil 1 foto yang memperlihatkan Ivander kecil sedang tersenyum manis. "Kau memang sudah terlihat tampan sejak kecil," Aiko menggandeng tangan Ivander yang masih setia mengekorinya kemanapun kakinya melangkah. Ivander membawa Aiko ke kamar kecil di belakang kasurnya. Ada sofa, kulkas mini, komputer game, dan ada rak buku yang tersusun rapi berbagai macam jenis bacaan. "Dulu, saat aku merasa lelah ataupun stress. Aku pasti akan menghabiskan hariku di sini. Aku bisa melakukan apapun yang ku inginkan tanpa harus memikirkan apa yang dikatakan orang lain. Aku tidak mengubah kamar ini, dan ibu rutin meminta orang untuk membersihkannya." Ivander menyentuh perlahan rak buku