New York City 11.30 AM
Aiko memperhatikan seorang pria yang sedang berbincang bincang dengan beberapa temannya. Mata Aiko tidak sedikitpun bergeser dari pria tersebut. Pria dengan sejuta pesona, namun mampu mematahkan hati wanita sebanyak yang dia mau. Cleosa Nicolas Ivander, pria dengan perawakan tinggi, tegap, gagah dan segala macam kesempurnaan ada padanya. Cukup banyak wanita yang rela bertekuk lutut demi mendapatkan perhatiannya. Namun Aiko cukup tahu diri siapa dirinya, perbedaan Aiko dengan Ivander bagaikan bumi dan langit, bagaikan hitam dan putih. Terlalu banyak hal yang membuat Aiko berkecil hati untuk bisa dekat dengan pria tersebut. Berbagai macam cara Aiko lakukan untuk menarik perhatian Ivander, namun semua hasilnya nihil. Aiko sudah memasuki tahun ketiga bekerja di perusahaan fashion milik keluarga Ivander, COO di perusahaan tersebut. Namun selama itu pula Aiko bagaikan butiran debu di mata Ivander, tidak dianggap. "YA! Berhenti menatapnya seperti itu! Kau seperti akan mengulitinya dengan tatapanmu!", Mic wanita dengan kulit putih cerah mendekati Aiko. Aiko hanya menanggapinya dengan mendengus, tidak berharap bertemu dengan Michelle saat ini. "Aku tidak menatapnya kalau kau tahu. Aku hanya sedang melamun,"Aiko mengalihkan tatapannya dari Ivander. Gadis dengan rambut hitam legam di samping Aiko mencebik. "Dimana mana, ekspresi orang melamun itu datar, sedangkan tatapanmu barusan seperti mengisyaratkan, 'Lihat aku! Lihat aku Cleosa Nicolas Ivander!'". "Aduuhh!!" Aiko memukul lengan Michelle cukup keras, ini benar benar di luar dugaan. "Bodoh! Pelankan suaramu! Kau lihat, kita menjadi pusat perhatian!" Aiko sedikit berbisik, mengabaikan rasa malu yang mulai membuat wajahnya panas. "Siapa suruh kau memukulku! Hei! Dia berjalan ke arah sini! Astaga! Apa yang akan kau lakukan?". Aiko mengangkat pandangannya dan melihat ke arah yang dimaksud Michelle. Pria dengan tinggi 190 sentimeter itu mendekati meja mereka. "Apa kalian baru saja menyebut namaku?" suara bariton sexy itu membuat bulu kuduk Aiko meremang. Astaga! Suaranya sexy sekali, batinnya. "Ah, tidak tidak! Mungkin Anda salah dengar Mr. Ivander. Kami baru saja berbincang tentang keponakanku yang memiliki peliharan bernama Cleopatra, ya benar Cleopatra. Nama kucing peliharaannya Cleopatra", Michelle berdiri sambil berusaha mengarang cerita mengenai kucing peliharaan atau apapun itu. Ivander menatap tidak percaya, tatapannya tidak lepas dari Aiko. "Apa kau karyawan di sini?", Ivander bertanya pada Aiko tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya. Aiko mengangguk, bibirnya terlalu kelu untuk bersuara, wajahnya panas, Aiko pasti sudah seperti kepiting rebus saat ini. "Aku baru melihatmu. Gayamu kurang menunjukkan bahwa kau bekerja di perusahaan fashion terbesar di NY." Ivander melihat Aiko dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan ekspresi alis terangkat sebelah. Terlihat sangat meremehkan orang lain. Setelah mengatakan hal itu Ivander pergi meninggalkan meja dengan Aiko yang masih berdiam di tempat tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan dari Ivander. "Jangan kau ambil hati. Kau tahu jika dia memang selalu kasar dalam berbicara. Em, maafkan aku Ai, aku tidak bermaksud mempermalukanmu" Michelle mengelus lembut pundak Aiko, Mic merasa bersalah. "Kesan pertama yang cukup buruk. Aku rasa, aku akan selalu mengingat kejadian ini. Ayo! Waktu istirahat sudah mau habis", Aiko berjalan meninggalkan Michelle dengan perasaan yang tak tergambar. Aiko butuh menyendiri. *** Waktu menunjukkan pukul 08.16 PM, dan seharusnya Aiko sudah pulang dari satu jam yang lalu, tapi atasan dari bagian sketsa meminta bantuan padanya untuk memperbaiki beberapa bagian yang akan diajukan sebagai rancangan musim dingin. Suasana kantor sudah cukup sepi, hanya beberapa karyawan saja yang masih dengan serius menekuni pekerjaannya. Aiko bertekad untuk tidak membawa pekerjaannya ke rumah. Aiko harus menyelesaikannya dan bisa beristirahat dengan tenang. Ddrrtt...ddrrtt...ddrrttt Aiko melirik handphone di sampingnya, tertera nama Michelle di sana. "Ada apa lagi?!" Aiko menjawab dengan sedikit ketus, membuat orang di seberang sana tertawa. "Jangan marah-marah nona burung hantu. Cepatlah pulang! Aku sudah memasakkan makanan kesukaanmu. Aku tahu kau belum makan. Aku tunggu di rumah. Aku sayang padamu", sebelum Aiko menjawabnya, sambungan tersebut sudah diputuskan, senyum di bibir tipisnya mengembang. Aiko kembali melirik jam tangan Casio di tangannya, sudah melebihi jam makan malam, batinnya. Dan pekerjaannya tinggal sedikit lagi. Setelah menghabiskan 2 cup kopi espresso, pekerjaan Aiko selesai, lalu bergegas membereskan lembaran lembaran yang berhamburan di meja dan menyimpannya di dalam laci kemudian menguncinya. "Sepertinya membeli sedikit cemilan bukan ide yang buruk", Aiko berjalan menuju pintu keluar ruangan. Namun pemandangan di depannya cukup membuat hatinya perih. Pria yang Aiko kagumi sedang bercumbu dengan seorang wanita berambut pirang dengan pakaian ekstra minim di sana sini. Aiko terpaku sesaat, tidak ada jalan keluar selain melewati ruangan tersebut, dan otomatis Aiko harus melewati manusia manusia itu. Aiko berjalan pelan sambil menundukkan pandangan. Aiko tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aiko bukan anak remaja yang malu melihat adegan dewasa di depannya, hanya saja ini kali pertama Aiko melihat pria yang selama tiga tahun ini menjadi idolanya bercumbu dengan sangat panas. "Apa dia salah satu karyawanmu? Dandanannya sangat jauh dari karyawan yang bekerja di perusahaan fashion. Kuno!", Aiko memutar bola matanya dengan jengah mendengar suara wanita berpakaian minim itu. "Beberapa waktu lalu ada team HR yang mengatakan bahwa ada beberapa karyawan yang masuk ke sini dengan cara yang tidak pantas. Kuharap dia bukan salah satu dari itu. " Ivander mengucapkan kata kata kasar tersebut tanpa filter, terlalu kejam. Aiko berhenti, menatap tajam dua manusia di depannya. "Aku bisa saja melakukannya! Tapi aku bukan tipe wanita seperti itu. Dan yang Anda katakan barusan, untuk wanita pirangmu yang kekurangan bahan itu yah? Menyedihkan! Kasian sekali tuan Alex, jika perusahaan yang beliau bangun, diteruskan oleh cucunya yang menerima karyawannya hanya dengan kedipan mata saja", Aiko tidak memperhatikan kemarahan yang siap meledak dari Ivander dan wanita berambut pirang dengan lipstik yang sudah berantakan. "Aku menyesal pernah menaruh hati pada pria seperti dia. Maniak! Kejam!", Aiko memberhentikan taksi tepat melintas di depannya, niat awalnya membeli beberapa cemilan musnah sudah. Sepanjang perjalanan Aiko sibuk dengan pikirannya sendiri, bahkan saat sampai di apartment-pun Mic menyadari sikap Aiko yang tidak banyak bicara, walaupun pada dasarnya Aiko adalah seorang introvert. "Apa terjadi sesuatu? Kau terlihat kurang sehat", Mic mencoba memegang dahi Aiko saat sudah duduk di sampingnya. Aiko menggeleng ringan, dan mengerutkan alisnya. "Apa kau masih memikirkan kejadian siang tadi?" Mic masih tidak berhenti menatap Aiko dengan wajah khawatir. Aiko menelungkupkan kepalanya di atas meja makan, kemudian berujar lirih "Aku melihatnya bercumbu dengan seorang wanita pirang kekurangan bahan. Dia juga mengatakan sesuatu yang sangat kejam", Aiko mengangkat kepala dan melihat Mic yang dengan setia mendengarkannya. Alis Aiko semakin berkerut ketika melihat ekspresi Mic yang biasa saja. "Apa kau sudah biasa melihatnya seperti itu?!", matanya membulat sempurna saat melihat anggukan kecil dari Mic. Hening... "Ini sudah tahun ketiga kau menyukainya. Kau lihat? Tidak ada tanda tanda dia akan membalas perasaanmu. Lihatlah dirimu Ai! Kau cantik, tubuhmu bagus, dan yang lebih utama, kau terlalu baik. Dia tidak pantas untukmu." Mic berharap kata-katanya bisa sedikit saja memberi kekuatan untuk Aiko yang merasa terpuruk.Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan."Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap."Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan."Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya."Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras.Bagi Aiko kehadiran Mic sudah lebih dari
Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut."Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya.***"Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor.Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri.Karena malam sudah larut, Aiko memutus
"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi.Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah."Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya menanggung lemah, dia sangat penurut.Ttok ttok ttokSuara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang."Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyuruh saya
"Aku minta maaf karena sudah merepotkan Anda, harusnya Anda bisa menikmati akhir pekan ini dengan beristirahat. Sekali lagi aku minta maaf. Semalam aku merasa sangat lelah dan ketiduran di bathup. Setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya," Ivander kaget, apa Aiko bilang? Tertidur di bathup? Ivander bukan pertama kali mendengarnya, tapi ternyata ini benar benar bisa terjadi.Ivander menahan tawanya agar tidak keluar dan akan membuat Aiko semakin merasa bersalah."Kau harus membalas kebaikanku suatu hari nanti. Aku akan menagihnya padamu, jadi jangan kabur dan mencoba melupakannya," Ivander tidak bisa berkata apa apa saat Aiko yang berada begitu dekat dengannya menanggung lemah, dia sangat penurut.Ttok ttok ttokSuara ketukan pintu berhasil mengalihkan pikiran Ivander dari Aiko. Perjalanan tiga hari bersamanya benar benar mengambil alih pikiran Ivander. Ivander berjalan menuju pintu untuk mengecek siapa yang datang."Selamat pagi tuan, dokter Carrine menyuruh saya
Tak ada suara, Aiko pasti sudah tidur. Ivander kembali ke kasur dan berusaha untuk tidur, tapi lagi lagi Ivander kembali duduk dan memikirkan bagaimana caranya Ivander tahu kalau Aiko sudah tidur atau belum? Ivander mencoba mengetuk pelan pintu penghubung tersebut, tak ada respon. Tapi Ivander tidak tenang, kemudian mengambil handphonenya dan mencoba mengubungi Aiko. Tidak aktif. Apakah Aiko benar benar tidur atau sesuatu yang buruk terjadi padanya? Segala pikiran negatif membuat Ivander berjalan menuju telepon meja dan segera menghubungi resepsionis. Ivander menjelaskan kondisi yang terjadi.Tangannya dingin, Ivander merasa sangat khawatir sekarang. Ivander menunggu pihak hotel datang membawakan kartu cadangan untuk membuka pintu kamar Aiko dari luar. Tak berapa lama seorang pegawai hotel membawakan kartu tersebut, Ivander segera menuju keluar dan menempelkan kartu tersebut pada gagang pintu.Pintu terbuka, Ivander berjalan pelan menuju kamar Aiko. Tak ada seorangpun di kasur, Ivande
Luar biasa! Meeting ini benar benar menguras energi. Meeting dimulai pukul sebelas dan baru selesai pukul enam sore. Yah tentu saja karena Aiko dan Ivander meeting dengan beberapa klien. Dan sejauh ini, para klien sangat puas dengan hasil kerja team mereka.Saat ini meeting telah selesai, tapi Ivander masih berbincang santai dengan beberapa kenalannya. Aiko mengecek handphonenya dan ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Mic."Kau sulit sekali dihubungi. Hubungi kembali jika sudah ada waktu luang yah," Aiko melirik sekilas Ivander yang masih asik berbincang, dan Aiko segera melakukan panggilan dengan Mic.Seperi biasa Mic selalu antusias jika menyangkut tentang Aiko dan Ivander. Pertanyaan yang dilontarkan Mic walaupun lewat telepon tidak ada habisnya. Aiko hanya tersenyum sesekali menanggapi kata katanya, walaupun Mic tidak bisa melihat ekspresinya."Kita akan makan malam sebelum ke hotel," Ivander jalan mendekati Aiko kemudian berdiri di belakangnya. Aiko mendongak mel
Perjalanan Aiko dan Ivander diliputi keheningan, hanya sesekali Ivander bersenandung kecil mengikuti lagu yang diputar di radio. Karena bingung harus bagaimana, Aiko hanya bisa pura pura tidur untuk menikmati suara Ivander. Suaranya terdengar merdu, astaga maksudnya, suaranya tidak jelek.Aiko merasa mobil berhenti dan Ivander di sampingnya juga tertidur - astaga niat Aiko hanya pura pura tertidur sambil menikmati suaranya, tapi Aiko justru benar benar tertidur. Aiko memerhatikan sekeliling dan saat ini mereka berada di depan sebuah patisserie yang cukup unik.Aiko mengubah posisinya dan melihat wajah lelap Ivander yang sangat teduh dan manis.Aiko merutuki dirinya sendiri karena masih selalu jatuh pada pesona pria arogan ini."Kau sudah selesai mengagumi wajahku? Jika sudah, ayo kita turun, aku ingin membeli beberapa camilan," wajah Aiko terasa memanas, dirinya malu setengah mati.Aiko ikut turun setelah Ivander, membiarkan Ivander berjalan jauh di depannya. Aiko, kenapa kau selalu
Dari sekian banyak SMS dan chat, Aiko tidak berniat membaca apalagi membalasnya. Aiko tidak jual mahal, Aiko hanya merasa ini adalah efek dari penampilan baruny. Mereka tidak benar benar serius pada Aiko. Aiko sudah menghapus 32 chat pagi ini, dan sepertinya hal ini akan menjadi rutinitas barunya setiap hari.Drrrtt drrrtt drrrtt.. Getaran handphone yang baru saja Aiko letakkan di meja membuatnya kaget, nama Mic muncul pada layar mini tersebut."Ai, apakah kau sibuk malam ini? Mau bergabung denganku ke klab bersama teman teman dari divisi pemasaran?" Aku mengerutkan keningku, jarang jarang Mic mengajakku ke klab."Tidak, aku mau di rumah saja. Jangan pulang terlalu larut Mic. Jangan terlalu banyak minum juga," Aiko bersiap menutup telepon sebelum Mic kembali bersuara."Baiklah, aku tidak akan pulang larut. Bye!" sambungan terputus dan Aiko kembali dibuat kaget ketika sepasang mata sinis menatapnya.Ivander berjalan mendekati Aiko dan membuat orang orang disekitar mereka berbisik bisik
"Sebenarnya aku tidak berhak marah atau apapun, itu sama sekali bukan hakku. Tapi rasa sukaku padanya tiga tahun ini tidak dapat kuhapus begitu saja. Andai saja menghapus perasaanku padanya semudah membalikkan telapak tangan," Aiko mendesah pelan, rasanya menghapus perasannya pada Ivander begitu sulit. "Mic, maafkan aku karena masih berlaku kekanakan. Harusnya aku tidak seperti ini." "Ai, waktu tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku mengerti itu, tapi aku berharap karena ini adalah kejadian kedua kau melihatnya bersama orang lain, aku ingin kau memutuskan langkahmu kedepannya. Semua keputusan itu ada padamu," Mic menatap Aiko dalam, astaga Aiko memang tidak bisa melepaskan teman sebaik Mic. Aiko mengangguk mendengarkan kata kata Mic, hatinya merasa lega karena Mic selalu ada untuknya. Akhirnya Aiko dan Mic keluar dari toilet dan kembali menuju mejanya. Berbagai bahan kain memenuhi ruangan tersebut. Aiko cukup takjub karena Mic sangat keren dalam melakukan pekerjaannya. Aiko
Lalu ingatan Aiko kembali pada kejadian dua hari yang lalu. Perasaannya jadi tidak enak, hal ini ada kaitannya dengan kejadian tersebut."Aku akan berusaha menyelesaikannya, semampuku. Permisi," Aiko mengumpulkan semua kertas yang ada di meja tersebut kemudian membawanya ke mejanya.***"Mic, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada beberapa sketch lagi yang harus aku selesaikan. Iya, aku akan menceritakannya nanti. Bye," sambungan telepon Aiko dengan Mic mati, Aiko berusaha tidak membuat Mic khawatir, apalagi membuat wanita itu kembali datang ke kantor.Aiko tetap berusaha menyelesaikan pekerjaan yang diminta oleh Steve. Mata Aiko sudah mulai lelah, Aiko juga sudah melewatkan jam makan malam. Pikiran Aiko berkecamuk, antara menyerah dan melanjutkannya. Tapi jika Aiko menyerah dan dipecat, pasti akan sulit mencari pekerjaan lagi. "Tidak! Aku harus semangat, sisa sedikit lagi. Semangat Ai! Kau pasti bisa," Aiko berusaha menyemangati dirinya sendiri.Karena malam sudah larut, Aiko memutus
Masih hening. Aiko merenungkan apa yang dikatakan Mic barusan."Kau juga masih muda, pasti banyak pria di luar sana yang akan tertarik padamu, jika kau sedikit saja mengubah penampilanmu. Aku pikir sudah seharusnya kau meninggalkan kacamata burung hantu itu. Bagaimana kalau kita sedikit berbelanja besok?", Mic menatap Aiko dengan tatapan penuh harap."Kau tahu jika minus-ku ini cukup mengganggu, aku tidak bisa meninggalkannya", Mic memutar bola matanya jengah mendengar kalimat yang Aiko ucapkan."Kau bisa menggantinya dengan model yang baru, atau kau bisa menggunakan kontak lens. Bagaimana kau tahu kau bisa jika tidak mencobanya? Itu adalah kebiasaan burukmu", Mic mulai menyendokkan makanan ke piring lalu memberikannya pada Aiko dan dibalas dengan senyuman padanya."Terima kasih Mic. Kau memang selalu yang paling mengerti. Aku mencintaimu", Aiko dengan gerakan tiba tiba mencium pipi Mic, membuatnya menghapus bekas ciuman tersebut dengan keras.Bagi Aiko kehadiran Mic sudah lebih dari
New York City 11.30 AMAiko memperhatikan seorang pria yang sedang berbincang bincang dengan beberapa temannya. Mata Aiko tidak sedikitpun bergeser dari pria tersebut. Pria dengan sejuta pesona, namun mampu mematahkan hati wanita sebanyak yang dia mau.Cleosa Nicolas Ivander, pria dengan perawakan tinggi, tegap, gagah dan segala macam kesempurnaan ada padanya. Cukup banyak wanita yang rela bertekuk lutut demi mendapatkan perhatiannya. Namun Aiko cukup tahu diri siapa dirinya, perbedaan Aiko dengan Ivander bagaikan bumi dan langit, bagaikan hitam dan putih. Terlalu banyak hal yang membuat Aiko berkecil hati untuk bisa dekat dengan pria tersebut. Berbagai macam cara Aiko lakukan untuk menarik perhatian Ivander, namun semua hasilnya nihil. Aiko sudah memasuki tahun ketiga bekerja di perusahaan fashion milik keluarga Ivander, COO di perusahaan tersebut. Namun selama itu pula Aiko bagaikan butiran debu di mata Ivander, tidak dianggap. "YA! Berhenti menatapnya seperti itu! Kau seperti aka