"Pak, Pak," panggil wanita tersebut setelah melirik sekeliling dan menemukan petugas stasiun.
Anak kecil tadi mendekat dan menarik gagang pintu, membuat Deryn sudah membantu membungkam mulutnya untuk tidak teriak jika ditemukan.
Remaja tadi memundurkan langkah dengan pelan, sedang ponsel sudah turun dari jendela.
"Pak," panggil wanita tadi yang penasaran dengan sikap lelaki selaku petugas itu.
"Boleh minggir sebentar?" tanya Deryn pada remaja yang merekam dengan ponsel.
Delia melotot saat suaminya mengikuti tingkah remaja tadi, meletakan ponsel dengan kamera menghadap belakang. Deryn tampak diam memperhatikan.
Petugas stasiun itu terlihat aneh. Tidak merespon seorang ibu yang makin mendekat karena rasa penasaran yang tinggi. Lelaki berseragam tersebut membentur-benturkan punggung di dinding, berpindah ke ujung kursi yang sedikit runcing. Tak lama disusul dengan garukan di tangan, laju garukannya makin buas saja.
"Pak, kalau gatal jangan digaruk seperti itu."
"Duh, nanti kalau berdarah bagaimana?"
"Ih, kayaknya tidak mandi-mandi, ya?" komen seorang wanita muda yang kebetulan melintas.
Deryn masih memperhatikan. Ia memutuskan untuk mendekat, dan bertemu mata dengan suaminya.
"Ada apa? Kenapa ibu itu melarang petugas menggaruk?" Delia ikut menonton ponsel Deryn yang merekam.
Beberapa penumpang pun bergerak, mendekat. Ikut menonton.
"Bu--"
Sebelum anak kecil yang sudah di depan mata mengadu, Delia meletakan telunjuk di bibirnya. Isyarat agar gadis mungil tersebut diam.
"Aduh, Pak. Ya gatal sih gatal, tapi tidak seperti ini juga," lagi seseorang yang melintas mengomentari.
"Ibu!"
Teriakan gadis mungil itu membuat Delia terkejut. Terlebih langkah yang berlari, sang ibu pun langsung menangkap anaknya. Menginjak lantai stasiun seperti orang kesetanan, bahkan beberapa kali meraih pintu kereta yang tertutup.
Beberapa teriakan juga lolos dari orang yang melintas, lagi, lari terbirit-birit. Mungkin ada yang merekam dan melakukan streaming, namun begitu sadar tubuh bagian belakang sudah penuh oleh serangga lapar yang melubangi tiap inchi kulit pun menjadi panik. Sampai membiarkan para mata menonton atap stasiun.
Ketika ada orang yang siap melempar nyawa pada serangga tersebut, maka mata pasti membaca tiap komentar di layar yang terdampar di dekat tubuh kereta.
"Itu kenapa?"
"Seriusan itu serangga yang lagi viral di internet!"
"Serangga aja viral, kamu kapan?"
Hingga serangga yang tak pernah kenyang itu merambat. Tepat di atas layar dan memberi jejak goresan tipis.
"Itu apa? Rambut ya?"
"Ka, kalau tidak niat live tidak usah live, itu layar hitam semua."
Ya, karena tubuh serangga tersebut sudah betah di atas kamera.
Deryn menelan ludah dengan susah payah. Lantas melirik ke belakang yang merasa penasaran. Deryn memutuskan untuk menyudahi aksi merekam, dan menariknya menjauhi pintu.
"Benarkah yang aku lihat?" gumam Delia.
Deryn meliriknya.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Nino.
Sia ingin mendekati jendela, namun Deryn langsung membentak.
"Jangan dekati jendela atau pintu, siapapun itu! Kalau tidak mereka akan menggedor."
Andin langsung mendekat. "Dari yang aku lihat di rekaman ponselmu. Mereka semua lari menghindari hewan kecil-kecil itu."
"Kau ingin menolong mereka?" tanya Deryn sarkas.
Andin hanya mengerjapkan mata, sedang mulut diam membisu.
Delia mencengkram tangan kanannya yang bergetar hebat. Matanya melotot, mengingat semua hal yang tidak seharusnya dilihat. Mengetahui sang istri menjadi tontonan dan ingin diintrogasi, Deryn langsung memeluknya.
Delia mendongkak. "Yang aku lihat bukan pemutaran film di layar lebar, kan?"
Deryn hanya tersenyum. "Anggap saja ini mimpi buruk. Kau tidak perlu mengingatnya."
"Tapi--"
Deryn membungkam mulutnya dengan telunjuk.
"Kau harus tenang, atau semua orang di sini menjadi panik."
Kenapa Delia terlihat begitu ketakukan? Ya, karena dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan petugas stasiun yang menggaruk tanpa henti, menemukan sesuatu yang menancap di atas kulit, lantas menariknya asal. Hingga mata melotot menyaksikan hal yang sama, beribu serangga mulai keluar dari lubang kecil itu. Bahkan semakin banyak yang mencoba keluar secara mandiri.
Delia masih ingat suara jeritan kesakitan yang keluar dari mulut petugas stasiun.
"Tiga, dua ...."
Matanya menatap Deryn yang sibuk menghitung.
"Satu," ucap Deryn terakhir kali dan memejamkan mata, cukup lama.
"Benar. Suara rayapannya makin banyak."
Deryn menatap penumpang di gerbong 4 yang sangat panik. Apalagi ketika remaja tadi memutar ulang video rekaman. Ketika serangga yang Deryn bicarakan merayap dari berbagai arah, bergelayut manja di papan pengumuman, ada juga yang sibuk menarik kaki karena tertancap di atap. Fitur zoom yang menarik, sekecil itu masih terlihat dan tidak buram sama sekali.
"Mereka berbulu."
"Seperti laba-laba."
"Kaki mereka lebih tajam dari jarum besi," sambung Nino.
Membuat beberapa orang penasaran dan melihat lagi rekaman tersebut. Ketika kaki berusaha menarik diri dari atap stasiun, barulah kumpulan melangkah mundur dengan terkejut.
"Atap saja bisa dilubangi, apalagi--"
Sia melirik sekitaran kereta dan ikut melotot.
Suasana kereta menjadi hening, karena tidak ada satupun suara yang disumbangkan. Kepanikan itulah yang menghuni pikiran mereka.
Beberapa waktu lalu masih terdengar jeritan kesakitan, hanya berselang tiga puluh menit saja stasiun sudah kosong. Hanya dihuni tulang belulang saja.
"Kereta ini tidak akan jalan lagi?" tanya seorang remaja dengan air mata sudah memenuhi pipi.
"Apakah masinis masih hidup?" tanya Sia membuat semua orang melirik.
"Jika kereta tidak jalan, maka kita akan terjebak di sini?"
"Apa kita akan mati di sini?"
"Kita pasti mati!"
Deryn melirik dengan mengejek.
Lagi suasana menjadi semakin tak terkendali. Nino menghampiri Deryn yang masih berada di sisinya. Ia menoleh dan membuat Deryn ikut melirik.
"Kenapa?"
"Apakah kita akan tetap di sini saja?"
Delia ikut menatap suaminya. "Benar kita akan di sini saja?"
"Mati," sambung Nino.
Deryn menghela napas. Tidak menjawab, justru bermain ponsel. Membuatnya memukuli suaminya dengan kesal.
"Kenapa sih masih sempat-sempatnya main ponsel!"
"Justru saat genting seperti ini aku harus main ponsel!" Deryn ikut membentak.
"Bapak ingin menghubungi petugas kereta?" tanya Nino melihat Deryn mengetik.
Deryn menjentikan jari. "Pintar."
Nino tersenyum dipuji seperti itu, padahal awalnya tidak suka dengan Deryn.
"Sepertinya orang bodoh tidak dibutuhkan di sini, ya?"
Deryn tampak kesal karena pesannya hanya ceklis satu dari tadi.
"Kenapa tidak diangkat?" keluh Deryn setelah telepon hanya memanggil saja.
Delia dan Nino akhirnya saling pandang dan bergumam, "sepertinya kita akan benar-benar mati."
"Ibu!"
Teriakan yang lolos dari seorang wanita tua di kursi pertama. Delia melirik dan ingin mendekat namun tangan Nino lebih dulu meraih, sedang suaminya hanya menangkap angin.
"Kenapa, Bu?"
"Tadi aku baru saja menerima panggilan dari ibuku, tapi dia mengeluh kulitnya gatal dan terus menggaruk lalu--"
Ibu tersebut sudah tidak kuat bicara lagi, bahkan jika tidak ada Sia pasti terjatuh menimpa lantai kereta.
"Anakku? Mereka pasti masih di perjalanan, aku harus segera memberi tahu mereka." Pria dengan stelan santai mulai mengetik sesutu di ponsel, lantas meletakan di samping telinga.
"Ayahmu, No!" teriak ibu Nino yang langsung siap meraih pintu, namun Sia yang dekat langsung mencegah, bahkan sudah memeluk dengan terpaksa.
"Kalau kau mau mati sendirian aku tidak masalah, tapi di sini banyak nyawa."
Perdebatan singkat pun terjadi. Sampai tidak memperhatikan seorang remaja yang tadi menangis membuka kunci dan semua orang langsung melirik.
"Jangan!"
"Kau mati mati!"
Semua orang sibuk berteriak melarang, sedang tidak ada yang berniat mencegah. Selain Deryn yang menarik remaja tersebut, Andin juga berlari menutup pintu.
"Ibuku!" teriak remaja tersebut.
"Langsung kunci lagi!" perintah Deryn.
Namun semua mata melotot bahkan beberapa orang sudah berteriak. Pasalnya tangan seseorang tampak masuk di sudut pintu, entah tubuh masih utuh atau sedang digerogoti serangga lapar.
"Tutup!" teriak Deryn.
"Itu tangan manusia kalau ditutup bisa-bisa kepotong!"
"Kalian mau mati?"
Andin dilema, antara menutup atau membiarkan serangga-serangga masuk. Bahkan sudah merayap mendekat dengan berbondong-bondong.
"Tutup!"
"Maaf," ucap Nino menendang tangan yang menyelampir, sepertinya sudah tidak bernyawa beberapa detik yang lalu.
Deryn dan yang lain melotot menemukan dua serangga yang keluar dari kulit tersebut, meski pintu sudah berhasil ditutup sempurna. Merayap dengan brutal, mencari daging yang tetap tidak membuat perut kenyang.
"Binatangnya!""Cepat bunuh binatang itu!""Bagaimana caranya?" teriak Andin yang masih berdiri di dekat pintu.Deryn berbisik, "jangan ada yang bergerak."Mereka menurut, menjadi patung untuk detik itu juga."Diam dan atur napas kalian."Mereka sebisa mungkin mengatur napas, dan berusaha untuk diam tanpa kata. Namun rasa panik yang singgah cukup sulit untuk mengontrol diri.Kaki Andin bergetar. Tak mampu menopang diri, sampai Sia dengan gerakan perlahan menggenggam kedua pundak yang dibalut dress merah tersebut. Di tengah situasi genting, masih sempatnya pria tua tersebut tersenyum, terlebih menatapi kecantikan yang melekat dalam diri Andin."Jangan menatapku begitu jika Anda masih ingin melihat dunia," ancam Andin berbisik, namun penuh tekanan."Kau harusnya berterima kasih padaku," balas Sia.Semua mata menatap suaminya, terlihat penuh harapan. Sedang Deryn hanya mengamati situasi, b
Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga.""Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut."Gelap,"
"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit."Ibu!" teriak salah satu dari mereka.Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kema
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak
"Apa yang harus dilakukan?" ulangnya, ikut bertanya.Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga."Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.“Ada yang tahu mesin kereta?”Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”Semua mata melirik, membuat Andin diam.“Kenapa?”“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.Deryn menggeleng.“Ya, mana aku tah
"Kau sungguh akan keluar?" tanya Delia dengan berat hati. Sekali pun ada banyak rasa tidak suka yang kadang mampir, tapi bagaimana pun Deryn adalah suaminya.Pria dingin yang langsung setuju saat orang tua menjodohkan mereka, dan Delia ingat betul kalimat yang selalu suaminya ucapkan,"Kita berdua menikah dengan cara yang benar, tiada kontrak antara kita, hanya tidak ada cinta saja. Tapi bukan berarti kita harus berpisah kamar, tidak melakukan hubungan suami-istri. Bukan orang tuaku, tapi aku yang menikahimu, jadi jangan anggap aku orang lain."Sampai saat ini Delia masih penasaran alasan Deryn menikahinya tanpa debat panjang lebar dengan orang tua, apakah karena memang sudah di usia matang namun tidak ada wanita yang mau? Atau ... karena cinta.Sepertinya itu tidak mungkin."Bisakah kita keluar dari kereta saja saat keadaan sudah aman?" tanya Delia lagi.Der
"Sayang, ayo cepat nanti keretanya berangkat."Mata hazel tersebut langsung melirik, lantas memukul pria berdada bidang yang menggoda setelah keluar dari kamar mandi. Bergandengan tangan menuju kereta, saling berbisik mesra ditemani gelak tawa. Melintas di depan Delia Nugraha. Perlahan mata merangkak, menemukan pria berkacamata hitam yang sibuk memainkan game di ponsel."Kapan aku punya suami romantis seperti itu," gumam Delia.Mendengar adanya gumaman di samping, lelaki yang Delia sebut suami melirik tipis. Membuatnya mendongkak."Apa? Kenapa memandangku?""Bisa tidak mulutmu digunakan untuk hal yang penting saja," omel suaminya, Deryn.Delia dan Deryn? Ya, lahir di hari dan jam yang sama, kelak berpasangan pasti terdengar unik. Membuat kedua orang tua pun menjodohkan, bahkan hari pernikahan saja tidak ada satu gigi yang keluar ketika berfoto.
"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi." "Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam. "Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba." "Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir. "Betul, Pak." "Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir. "Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan." "Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi." "Baik, Pak." Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya. "Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menaw