"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi."
"Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam.
"Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba."
"Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir.
"Betul, Pak."
"Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir.
"Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan."
"Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi."
"Baik, Pak."
Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya.
"Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menawarkan pisau, duduk tepat di kursi depan.
Delia terbangun dari tidurnya saat tidak mendapati siapa pun di sampingnya. Matanya berkeliling, bangkit dari duduk saat melihat Deryn membasahi koran dengan kertas. sempat ia lihat beberapa orang yang berkerumun di gerbong 3, melihat seorang pria yang sudah tergeletak penuh darah di lantai gerbong 2, itu pun saat pintu antar gerbong dibuka, mungkin penasaran.
Juga beberapa penumpang yang menggaruk-garuk kulit. Hingga koran sepenuhnya menutupi pintu kaca tersebut.
Delia menarik lengan suaminya. "Apa terjadi pembunuhan di sana?"
Deryn terkejut dan mengajaknya kembali duduk. "Kenapa kau bangun?"
"Aku dengar keributan, jadi terbangun. Ada pembunuh di kereta?"
Deryn berjongkok, memegang kedua bahunya. "Jangan bertanya dulu, aku juga masih memikirkannya. Aku pasti memberi tahumu nanti."
Delia melirik suaminya heran, lantas melepaskan genggaman. "Kau ini bicara apa, sih? Aku tanya yang terjadi di gerbong 2, kenapa kau seperti ini."
Deryn melirik sekitar lantas berbisik, "ingat mayat wanita yang sedang diperiksa oleh Rio?"
Delia mengangguk.
"Runtutan kejadiannya sama."
Terdengar teriakan cukup jauh, mungkin itu gerbong 2. Semua orang saling melirik. Delia penasaran ingin mendekat, tapi Deryn langsung menariknya lagi.
"Kenapa?"
"Kau mau ke mana?"
"Aku ingin lihat kenapa mereka berteriak." Delia ingin melepaskan diri, namun Deryn terlalu kuat dan menyudutkannya ke kursi.
"Kau ingin membuka pintu itu? Jangan gila."
"Aku hanya ingin membuka korannya saja, oke. Tidak membuka pintu."
Deryn tetap tak melepaskannya. Menjadi tontonan gratis para penumpang. Pria tua penjual pisau hendak membuka pintu, tapi dicegah oleh pria mengenakan stelan super hitam.
"Penasaran boleh, tapi kalau ingin membahayakan seluruh penumpang di gerbong 4, aku melarangmu, Pak."
"Apa sih? Anak muda zaman sekarang berlebihan dan tidak punya hati," omel pria tua tersebut, lantas melangkah mundur, kembali ke tempat duduk.
"Kenapa kau melarangnya?" tanya wanita muda memakai dress warna merah.
"Melihat mereka berdua, apa tidak cukup untuk menyimpulkan kalau di depan sana sedang terjadi sesuatu."
Delia langsung melirik suaminya. "Apa yang terjadi di sana?"
Deryn melepaskannya dan berdiri. "Pria yang terakhir masuk terlihat aneh, jadi aku memaksamu ke sini."
Pria dengan stelan hitam mendekat dan meraih kerah baju suaminya. "Kau tidak punya hati, Pak!"
Delia mencoba melepaskan genggaman penuh amarah tersebut. "Apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan!"
"Kau istrinya? Kalian pasangan yang cocok."
Delia melotot. "Kalau kau masih ingin punya anak, maka lepaskan suamiku."
"Nino sudah," bujuk wanita tua yang mendekat, sedikit meredahkan amarah lelaki tersebut. Delia langsung merapihkan kerah suaminya, namun meninju perut Deryn.
"Kau," gerutu Deryn tertahan.
"Kau masih manusia bukan?" bisiknya kesal.
"Bu, dia menyelamatkan dirinya sendiri, sedang banyak orang di gerbong 2 yang akan mendapat bahaya juga," ucap Nino menunjuk-nunjuk suaminya.
"Iya, kau harus tenang, sebentar lagi kau akan kuliah, jika lulus nanti jadilah anak yang berguna untuk bangsa," nasihat wanita tua tadi, membuat Deryn melotot.
Delia sudah mengepalkan tangannya lagi, membuat Deryn jinak. "Kalau kau berani bersikap egois seperti ini lagi, aku pastikan perutmu akan bengkak besok."
"Tapi, pintu di gerbong 3 juga terbuka."
Semua mata langsung melirik pria tua yang masih memegang pisau di tangan, Delia melirik kesal.
"Semua orang berusaha menenangkan agar tidak panik, pak tua ini malah menambah bensin di kobaran api."
"Benar, tadi aku lihat juga," ucap yang lain menyetujui pria tua tadi.
"Namaku Sia, tapi hidupku tidak sia-sia," ucap pria tua tersebut mengambil beberapa pisau dari tempat, lantas membagikannya pada semua orang.
"Terima kasih," ucap salah seorang penumpang membuat Sia melirik tajam.
"Aku menjual, harganya cuma dua puluh ribu."
"Tapi, aku hanya punya uang untuk mengontrak rumah, nanti kurang kalau beli sesuatu."
Sia langsung menarik pisau tersebut dengan kasar. "Tidak beli ya sudah."
Lantas melirik yang lain, terlihat tidak tertarik.
"Kau mau mati, hah? Ya sudah, mau mati pun aku tidak akan menjualnya."
Sia sudah duduk lagi, namun mulut manis itu bergumam, "bagaimana kalau yang di film itu kejadian di kereta ini."
Beberapa orang melirik, lantas mendekati Sia yang tersenyum, apalagi mereka menyodorkan uang.
"Ambil saja kembaliannya," ucap seorang penumpang memberi uang berwarna biru, wanita, terlihat sangat angkuh.
Deryn tersenyum miring. "Dia kira zombie sungguh ada, hanya orang bodoh yang percaya dan membeli pisau itu."
Namun Deryn terdiam saat melihat Delia tidak ada di kursi, berbalik dan menemukannya yang sudah menyerahkan pisau daging berwarna silver.
"Pakai ini saat manusia-manusia itu menerobos ke sini."
Deryn masih tidak menerima, membuatnya menggenggamkan pisau tersebut dengan memaksa.
"Aku pilihkan yang besar, supaya langsung terpotong."
Dan ekspresi wajah Deryn sangat datar, membuatnya menepuk pundak suaminya.
"Mulai sekarang jangan menyelamatkan diri sendiri saja."
"Aku menyelamatkanmu juga," ucap Deryn.
"Maksudku semua orang yang ada di sini," ralat Delia.
"Sejak kapan kau menjadi bodoh seperti ini?" tanya Deryn.
Delia mendongkak. "Sejak hari ini. Sekecil apapun petunjuk, kau harus mengingatnya."
Deryn lantas duduk dan berbisik, namun Nino masih tampak mengawasi.
"Petunjuk yang benar itu bukan yang dibicarakan pria tua itu, tapi yang kau lihat."
"Yang aku lihat?"
"Di video," ucap Deryn semakin memperjelas petunjuk.
Delia langsung mengangguk dan membantuk huruf o dengan mulutnya.
Deryn dan Delia terlihat lebih tenang, bahkan penumpang yang lain juga. Deryn melihat maps di ponsel. Masih ada waktu dua jam lagi sebelum berhenti di stasiun pertama, lantas melirik sekeliling, kemungkinan mereka akan turun.
"Kita akan turun di stasiun pertama," ucap Deryn membuatnya melirik.
"Kenapa? Kan kita turunnya di stasiun kedua."
"Aku tidak yakin bisa bertahan sebelum kita sampai di sana."
Mendengarnya Delia langsung menepuk kepala Deryn pelan. "Otakmu memang sangat berguna jika memecahkan masalah."
Deryn melihat maps lagi, sebentar lagi memasuki terowongan. Dan benar, seluruh ruangan kereta menjadi gelap. Suhu pun sedikit menghangat. Namun, Deryn melotot, ketika angin tidak begitu ikut campur, sesuatu bergerak di badan kereta, Delia melirik suaminya yang memejamkan mata sejenak, lantas meliriknya.
"Kau bisa jalan saat gelap, kan?"
Delia merengut. "Aku masih punya mata."
"Aku serius."
"Ya, tentu bisa."
"Ikut aku."
Deryn pun menarik tangannya, sudah di depan pintu toilet, namun ia terkejut saat Deryn ingin masuk bersama.
"Kau mau apa?"
"Ya ampun, anak zaman sekarang, tidak mengenal tempat," gumam Sia membuat beberapa orang berbisik dan tersenyum-senyum.
"Bantu aku menggulung lengan, aku mau cuci muka."
"Dasar," keluhnya, namun menurut.
Memasuki toilet bersama, bahkan pintu dikunci, membuat Delia sedikit melirik. Namun tidak merasa curgia. Digulungnya kedua baju di lengan suaminya, lantas membiarkan Deryn mencuci muka dan tangan. Seperti sengaja mengulur waktu.
"Aku tunggu di luar."
"Tidak. Aku tidak bisa melihat jika gelap," ucap Deryn membuatnya menghela napas.
Delia memutar bola mata, melirik Deryn yang menerima telepon, karena waktu semakin terbuang.
"Pak!"
Deryn menjauhkan ponsel dari telinga saat Rio memanggil.
"Itu mulut apa toa, sih?" keluhnya.
"Kenapa? Kau sepertinya sedang panik."
Napas Rio terdengar memburu. "Pak, kami baru meninggalkan mayat wanita itu selama dua puluh menit, tapi ...."
"Tapi apa?" tanya Deryn penasaran.
"Tubuhnya--"
Suara Rio tidak terdengar karena teriakan yang bersahutan, nampaknya dari gerbong 2 dan 3. Deryn saling pandang dengannya, terlebih mendengar Rio yang mengulang.
"Hanya tersisa tulang saja, Pak!" "Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan. "Tidak ada." Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok. "Apa yang kau lihat?" "Diam." "Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia. "Tidak, nanti kau terkejut." Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu. Banyak mata yang sedang menatap sinis. "Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya. Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah
Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya."Kau kenapa?""Tidak apa, tidurlah."Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,"Berapa menit lagi kita sampai?""Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan."Masih ada waktu.""Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega."Untuk berpikir."Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot
"Pak, Pak," panggil wanita tersebut setelah melirik sekeliling dan menemukan petugas stasiun.Anak kecil tadi mendekat dan menarik gagang pintu, membuat Deryn sudah membantu membungkam mulutnya untuk tidak teriak jika ditemukan.Remaja tadi memundurkan langkah dengan pelan, sedang ponsel sudah turun dari jendela."Pak," panggil wanita tadi yang penasaran dengan sikap lelaki selaku petugas itu."Boleh minggir sebentar?" tanya Deryn pada remaja yang merekam dengan ponsel.Delia melotot saat suaminya mengikuti tingkah remaja tadi, meletakan ponsel dengan kamera menghadap belakang. Deryn tampak diam memperhatikan.Petugas stasiun itu terlihat aneh. Tidak merespon seorang ibu yang makin mendekat karena rasa penasaran yang tinggi. Lelaki berseragam tersebut membentur-benturkan punggung di dinding, berpindah ke ujung kursi yang sedikit runcing. Tak lama disusul dengan garukan di tangan, laju garukannya makin buas saja."Pak, kalau gatal jang
"Binatangnya!""Cepat bunuh binatang itu!""Bagaimana caranya?" teriak Andin yang masih berdiri di dekat pintu.Deryn berbisik, "jangan ada yang bergerak."Mereka menurut, menjadi patung untuk detik itu juga."Diam dan atur napas kalian."Mereka sebisa mungkin mengatur napas, dan berusaha untuk diam tanpa kata. Namun rasa panik yang singgah cukup sulit untuk mengontrol diri.Kaki Andin bergetar. Tak mampu menopang diri, sampai Sia dengan gerakan perlahan menggenggam kedua pundak yang dibalut dress merah tersebut. Di tengah situasi genting, masih sempatnya pria tua tersebut tersenyum, terlebih menatapi kecantikan yang melekat dalam diri Andin."Jangan menatapku begitu jika Anda masih ingin melihat dunia," ancam Andin berbisik, namun penuh tekanan."Kau harusnya berterima kasih padaku," balas Sia.Semua mata menatap suaminya, terlihat penuh harapan. Sedang Deryn hanya mengamati situasi, b
Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga.""Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut."Gelap,"
"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit."Ibu!" teriak salah satu dari mereka.Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kema
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak
"Apa yang harus dilakukan?" ulangnya, ikut bertanya.Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga."Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.“Ada yang tahu mesin kereta?”Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”Semua mata melirik, membuat Andin diam.“Kenapa?”“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.Deryn menggeleng.“Ya, mana aku tah