"Hanya tersisa tulang saja, Pak!"
"Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan.
"Tidak ada."
Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok.
"Apa yang kau lihat?"
"Diam."
"Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia.
"Tidak, nanti kau terkejut."
Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu.
Banyak mata yang sedang menatap sinis.
"Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya.
Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah pernah menikah, tapi tidak berperilaku seperti kalian."
Deryn meliriknya yang mengedikan bahu, tidak tahu.
"Di sini ada anak kecil, remaja juga, tidak baik mencemari otak mereka."
Seketika Deryn tersenyum datar, sedang Delia melotot dan merampas ponsel suaminya.
"Kalian ini memikirkan apa sih? Aku ingin melihat--"
"Iya, iya, tidak perlu diperjelas," potong Sia membuatnya merengut.
Deryn mengambil alih, memperlihatkan foto yang Rio kirim. "Di sini foto tulang dari mayat yang baru meninggal."
"Dih, tidak ada kerjaan sama sekali, melihat tulang mayat," celoteh Sia.
Namun wajah Nino dan yang lain berubah.
"Kenapa mayat yang baru meninggal langsung jadi tulang?" tanya Nino.
"Pintar," puji wanita dengan dress merah.
Deryn melirik pintu gerbong. "Lihatlah video yang sedang trending di internet."
Sudah itu saja yang perlu suaminya sampaikan. Lantas menuntunnya untuk menduduki kursi lagi. Delia berbisik,
"Kenapa kau meminta mereka melihat video trending?"
"Wanita tanpa busana waktu itu."
Delia melotot mendengarnya dan memukuli Deryn. "Ya, kau mengajak mereka semua menonton tubuh seorang wanita?"
"Bukan itu intinya, Sayangku yang cantik. Tulang dan serangga berkaki tiga pasti sudah tersebar luas di internet."
Delia diam, dan mulai mengambil ponsel. Sejak tadi tidak berselancar di sana. Memang, kasus kematian yang aneh paling banyak dicari. Delia membacanya dengan meresapi.
Namun suasana makin kacau dengan adanya petunjuk dari Deryn. Membuatnya melirik.
"Sepertinya hipotesa yang kau lakukan membuat mereka cemas," bisiknya.
"Kau menyuruhku untuk menyelamatkan mereka juga, kan? Ya sudah, aku hanya memberi tahu apa yang mereka perlukan."
Delia kembali melotot, bahkan tiap katanya ia tekankan. "Tapi, tidak seperti ini juga."
Pintu gerbong diketuk beberapa kali, membuat yang semula saling bertukar kata takut, kini terdiam.
"Zombie?" tebak salah satu penumpang.
"Bukan," jawab Nino.
"Jangan ada yang bersuara," pinta Deryn.
"Aku dengar kalian meributkan sesuatu, terus kenapa pintu gerbongnya dikunci dan ditutupi koran?" seorang pria bertanya, sepertinya menyadari sesuatu.
Seseorang hendak menjawab, namun Deryn menangkat tangan. Tanda untuk diam. Lantas mendekati pintu.
"Di gerbong 2 ada yang meninggal, bukan?"
"Ya."
"Istriku tidak suka darah, ada yang sedang hamil, di sini ada anak-anak juga, mereka takut jadi terpaksa kami menutupnya dengan koran."
"Oh, begitu."
"Dia suamimu?" tanya wanita berdress merah.
Delia mengangguk.
"Dia sangat pintar."
Hanya bisa terkekeh. "Benar."
"Kalian menikah karena cinta?"
Delia menelisik. "Kenapa? Kau tertarik dengannya? Aku berikan, gratis."
Wanita tersebut tersenyum. "Tidak. Aku sudah bersuami, sepertinya memiliki suamimu di gerbong ini, adalah sebuah keberuntungan."
Delia terdiam. Biasanya di rumah Deryn adalah manusia tidak berguna. Orang tua suaminya sendiri pun berpikir begitu, karena ketika keluarga berkumpul untuk acara tertentu. Deryn tak pernah ada, bahkan ketika kakek yang merawat sejak kecil meninggal pun tidak bisa melihat.
"Pemikiran kami terhadapmu ternyata salah," batin Delia melirik suaminya yang sibuk menjelaskan tanpa membuat penghuni gerbong 3 menerbos masuk.
"Bagaimana mayat di gerbong 2? Apakah sudah diamankan?"
"Masih di gerbong 2, tapi sepertinya sudah diamankan."
"Sepertinya?" ulang Deryn.
"Iya, karena pintu gerbong 3 juga kami kunci, dan kami tutup dengan kain. Tidak ingin melihat hal yang mengerikan seperti itu."
Deryn melirik Nino yang sudah mendekat. Lantas menyerahkan video yang sedang melakukan siaran langsung.
"Kurangi volume suaranya," bisik Deryn, Nino menurut.
Di sana terlihat salah seorang penumpang gerbong 2, pemilik akunnya perempuan. Sepertinya sengaja merekam karena penasaran dengan sesuatu yang bergerak di dalam kain yang disleting oleh petugas kereta.
"Apa ini?" bisik Nino, "apakah orang itu masih hidup?"
Gerakan makin banyak, bahkan dari seluruh arah. Satu kaki berhasil menusuk dan berusaha melubangi kain tersebut, lantas berbondong-bondong keluar dari lubang tersebut. Sangat banyak. Nino saja hampir terjatuh ke belakang karena terkejut. Semua mata melirik asal suara teriakan yang menggema, dan itu gerbong 2.
"Aku rasa di gerbong 2 ada yang tidak beres," ucap pria di samping pintu gerbong 3.
Deryn meminta semuanya untuk tetap tenang dan diam.
"Kau masih di sana? Kau mendengarku?" Pria tersebut berharap ada sahutan.
"Ya, ada apa di gerbong 2?"
Terdengar helaan napas. "Aku tidak tahu, tapi semua orang di sini terlihat terkejut. Bahkan mereka mencoba mendobrag pintu gerbong 3."
Deryn lama terdiam, lantas bertanya. "Apakah Anda sejak tadi duduk di kursi?"
"Tidak, aku habis dari toilet, dan tidak sengaja mendengar keributan kalian, jadi ya mampir dulu."
"Apa Anda melihat di sekitar sedang menggaruk-garuk kulit."
Suasana hening. Mungkin pria tadi melihat keadaan sekitar. Namun Deryn langsung menintrupsi.
"Jangan terlalu dekat, cukup lihat dari jauh."
"Oh, ya. Beberapa dari mereka terlihat menggaruk."
Delia melirik semua orang yang terkejut dan berbisik-bisik.
"Kita dekat dengan mereka, bagaimana kalau terjadi sesuatu?"
"Kita serahkan pada suami wanita itu."
Delia ikut melirik beberapa penumpang yang menunjuknya. Mereka begitu percaya dengan suaminya.
"Apakah Anda merasa gatal juga?" tanya Nino membuat Deryn melotot kesal.
"Kami di sini juga gatal, sepertinya udara sekitar sini tidak sehat," ralat Deryn mendapat banyak bisikan lagi dari penumpang yang lain.
"Gatal? Sepertinya tidak."
"Bisakah Anda tetap menunggu di dalam toilet?"
"Kenapa?" bisik Nino.
"Kenapa suamimu ingin lelaki itu tinggal di toilet?" tanya penumpang lain, sementara Delia hanya menggeleng, tidak mengerti jalan pikiran suaminya.
"Kenapa?" tanya pria tersebut.
"Kau akan hidup jika mendengarkanku, di gerbong 3 dan 4 sepertinya ada beberapa orang yang gatal-gatal, itu adalah gejala awal sebelum kematian yang dialami pria tadi."
"Benarkah? Apa kau juga merasa gatal? Pria tersebut bertanya dengan hati-hati.
"Ya," jawab Deryn berbohong membuat yang lain melirik, "jika kau ingin hidup, aku sarankan bersembunyilah di toilet sampai kereta berhenti di stasiun pertama."
Dan sudah tidak terdengar suara lagi, kecuali kaki yang lari terburu. Delia menghampiri suaminya dan memukul lengan Deryn.
"Kenapa kau berbohong padanya?"
"Kita semua merasa gatal?"
Semuanya langsung mengangguk. Dengan santainya Deryn menggandengnya melewati semua kursi, lantas duduk di sana. Melupakan para mata yang haus akan jawaban.
"Kita tidak tahu dia benar-benar merasakan gejala gatal atau tidak, jika aku jawab di sini aman, menurutmu apa yang akan dia lakukan?"
"Dia akan memohon untuk masuk ke sini," tebak Sia langsung mendapat anggukan dari Deryn, yang lain ikut mengangguk mengerti.
"Jadi jika dia tidak ada gejala gatal, maka kau menyelamatkannya dengan terus bersembunyi di toilet, dan menyelamatkan kita semua yang ada di sini?" tanya wanita berdress merah.
Dan Deryn kembali mengangguk, mendapat tatapan takjub dari semua orang. Sedang Delia hanya tersenyum melihat suaminya yang sedang dipuja, namun tidak ada reaksi apa-apa selain menatapnya.
"Kau memang punya jiwa kepemimpinan," ucapnya, dan Deryn mengacak rambutnya, membuat beberapa penumpang yang awalnya berkerumun, justru kembali ke tempat masing-masing dengan mengeluh.
Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya."Kau kenapa?""Tidak apa, tidurlah."Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,"Berapa menit lagi kita sampai?""Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan."Masih ada waktu.""Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega."Untuk berpikir."Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot
"Pak, Pak," panggil wanita tersebut setelah melirik sekeliling dan menemukan petugas stasiun.Anak kecil tadi mendekat dan menarik gagang pintu, membuat Deryn sudah membantu membungkam mulutnya untuk tidak teriak jika ditemukan.Remaja tadi memundurkan langkah dengan pelan, sedang ponsel sudah turun dari jendela."Pak," panggil wanita tadi yang penasaran dengan sikap lelaki selaku petugas itu."Boleh minggir sebentar?" tanya Deryn pada remaja yang merekam dengan ponsel.Delia melotot saat suaminya mengikuti tingkah remaja tadi, meletakan ponsel dengan kamera menghadap belakang. Deryn tampak diam memperhatikan.Petugas stasiun itu terlihat aneh. Tidak merespon seorang ibu yang makin mendekat karena rasa penasaran yang tinggi. Lelaki berseragam tersebut membentur-benturkan punggung di dinding, berpindah ke ujung kursi yang sedikit runcing. Tak lama disusul dengan garukan di tangan, laju garukannya makin buas saja."Pak, kalau gatal jang
"Binatangnya!""Cepat bunuh binatang itu!""Bagaimana caranya?" teriak Andin yang masih berdiri di dekat pintu.Deryn berbisik, "jangan ada yang bergerak."Mereka menurut, menjadi patung untuk detik itu juga."Diam dan atur napas kalian."Mereka sebisa mungkin mengatur napas, dan berusaha untuk diam tanpa kata. Namun rasa panik yang singgah cukup sulit untuk mengontrol diri.Kaki Andin bergetar. Tak mampu menopang diri, sampai Sia dengan gerakan perlahan menggenggam kedua pundak yang dibalut dress merah tersebut. Di tengah situasi genting, masih sempatnya pria tua tersebut tersenyum, terlebih menatapi kecantikan yang melekat dalam diri Andin."Jangan menatapku begitu jika Anda masih ingin melihat dunia," ancam Andin berbisik, namun penuh tekanan."Kau harusnya berterima kasih padaku," balas Sia.Semua mata menatap suaminya, terlihat penuh harapan. Sedang Deryn hanya mengamati situasi, b
Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga.""Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut."Gelap,"
"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit."Ibu!" teriak salah satu dari mereka.Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kema
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak
"Apa yang harus dilakukan?" ulangnya, ikut bertanya.Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga."Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.“Ada yang tahu mesin kereta?”Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”Semua mata melirik, membuat Andin diam.“Kenapa?”“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.Deryn menggeleng.“Ya, mana aku tah
"Kau sungguh akan keluar?" tanya Delia dengan berat hati. Sekali pun ada banyak rasa tidak suka yang kadang mampir, tapi bagaimana pun Deryn adalah suaminya.Pria dingin yang langsung setuju saat orang tua menjodohkan mereka, dan Delia ingat betul kalimat yang selalu suaminya ucapkan,"Kita berdua menikah dengan cara yang benar, tiada kontrak antara kita, hanya tidak ada cinta saja. Tapi bukan berarti kita harus berpisah kamar, tidak melakukan hubungan suami-istri. Bukan orang tuaku, tapi aku yang menikahimu, jadi jangan anggap aku orang lain."Sampai saat ini Delia masih penasaran alasan Deryn menikahinya tanpa debat panjang lebar dengan orang tua, apakah karena memang sudah di usia matang namun tidak ada wanita yang mau? Atau ... karena cinta.Sepertinya itu tidak mungkin."Bisakah kita keluar dari kereta saja saat keadaan sudah aman?" tanya Delia lagi.Der