Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga.
"Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.
“Ada yang tahu mesin kereta?”
Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.
“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.
Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”
Semua mata melirik, membuat Andin diam.
“Kenapa?”
“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.
“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.
“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.
Deryn menggeleng.
“Ya, mana aku tah
"Kau sungguh akan keluar?" tanya Delia dengan berat hati. Sekali pun ada banyak rasa tidak suka yang kadang mampir, tapi bagaimana pun Deryn adalah suaminya.Pria dingin yang langsung setuju saat orang tua menjodohkan mereka, dan Delia ingat betul kalimat yang selalu suaminya ucapkan,"Kita berdua menikah dengan cara yang benar, tiada kontrak antara kita, hanya tidak ada cinta saja. Tapi bukan berarti kita harus berpisah kamar, tidak melakukan hubungan suami-istri. Bukan orang tuaku, tapi aku yang menikahimu, jadi jangan anggap aku orang lain."Sampai saat ini Delia masih penasaran alasan Deryn menikahinya tanpa debat panjang lebar dengan orang tua, apakah karena memang sudah di usia matang namun tidak ada wanita yang mau? Atau ... karena cinta.Sepertinya itu tidak mungkin."Bisakah kita keluar dari kereta saja saat keadaan sudah aman?" tanya Delia lagi.Der
"Sayang, ayo cepat nanti keretanya berangkat."Mata hazel tersebut langsung melirik, lantas memukul pria berdada bidang yang menggoda setelah keluar dari kamar mandi. Bergandengan tangan menuju kereta, saling berbisik mesra ditemani gelak tawa. Melintas di depan Delia Nugraha. Perlahan mata merangkak, menemukan pria berkacamata hitam yang sibuk memainkan game di ponsel."Kapan aku punya suami romantis seperti itu," gumam Delia.Mendengar adanya gumaman di samping, lelaki yang Delia sebut suami melirik tipis. Membuatnya mendongkak."Apa? Kenapa memandangku?""Bisa tidak mulutmu digunakan untuk hal yang penting saja," omel suaminya, Deryn.Delia dan Deryn? Ya, lahir di hari dan jam yang sama, kelak berpasangan pasti terdengar unik. Membuat kedua orang tua pun menjodohkan, bahkan hari pernikahan saja tidak ada satu gigi yang keluar ketika berfoto.
"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi." "Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam. "Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba." "Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir. "Betul, Pak." "Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir. "Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan." "Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi." "Baik, Pak." Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya. "Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menaw
"Hanya tersisa tulang saja, Pak!" "Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan. "Tidak ada." Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok. "Apa yang kau lihat?" "Diam." "Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia. "Tidak, nanti kau terkejut." Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu. Banyak mata yang sedang menatap sinis. "Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya. Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah
Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya."Kau kenapa?""Tidak apa, tidurlah."Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,"Berapa menit lagi kita sampai?""Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan."Masih ada waktu.""Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega."Untuk berpikir."Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot
"Pak, Pak," panggil wanita tersebut setelah melirik sekeliling dan menemukan petugas stasiun.Anak kecil tadi mendekat dan menarik gagang pintu, membuat Deryn sudah membantu membungkam mulutnya untuk tidak teriak jika ditemukan.Remaja tadi memundurkan langkah dengan pelan, sedang ponsel sudah turun dari jendela."Pak," panggil wanita tadi yang penasaran dengan sikap lelaki selaku petugas itu."Boleh minggir sebentar?" tanya Deryn pada remaja yang merekam dengan ponsel.Delia melotot saat suaminya mengikuti tingkah remaja tadi, meletakan ponsel dengan kamera menghadap belakang. Deryn tampak diam memperhatikan.Petugas stasiun itu terlihat aneh. Tidak merespon seorang ibu yang makin mendekat karena rasa penasaran yang tinggi. Lelaki berseragam tersebut membentur-benturkan punggung di dinding, berpindah ke ujung kursi yang sedikit runcing. Tak lama disusul dengan garukan di tangan, laju garukannya makin buas saja."Pak, kalau gatal jang
"Binatangnya!""Cepat bunuh binatang itu!""Bagaimana caranya?" teriak Andin yang masih berdiri di dekat pintu.Deryn berbisik, "jangan ada yang bergerak."Mereka menurut, menjadi patung untuk detik itu juga."Diam dan atur napas kalian."Mereka sebisa mungkin mengatur napas, dan berusaha untuk diam tanpa kata. Namun rasa panik yang singgah cukup sulit untuk mengontrol diri.Kaki Andin bergetar. Tak mampu menopang diri, sampai Sia dengan gerakan perlahan menggenggam kedua pundak yang dibalut dress merah tersebut. Di tengah situasi genting, masih sempatnya pria tua tersebut tersenyum, terlebih menatapi kecantikan yang melekat dalam diri Andin."Jangan menatapku begitu jika Anda masih ingin melihat dunia," ancam Andin berbisik, namun penuh tekanan."Kau harusnya berterima kasih padaku," balas Sia.Semua mata menatap suaminya, terlihat penuh harapan. Sedang Deryn hanya mengamati situasi, b
Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga.""Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut."Gelap,"