"Sayang, ayo cepat nanti keretanya berangkat."
Mata hazel tersebut langsung melirik, lantas memukul pria berdada bidang yang menggoda setelah keluar dari kamar mandi. Bergandengan tangan menuju kereta, saling berbisik mesra ditemani gelak tawa. Melintas di depan Delia Nugraha. Perlahan mata merangkak, menemukan pria berkacamata hitam yang sibuk memainkan game di ponsel.
"Kapan aku punya suami romantis seperti itu," gumam Delia.
Mendengar adanya gumaman di samping, lelaki yang Delia sebut suami melirik tipis. Membuatnya mendongkak.
"Apa? Kenapa memandangku?"
"Bisa tidak mulutmu digunakan untuk hal yang penting saja," omel suaminya, Deryn.
Delia dan Deryn? Ya, lahir di hari dan jam yang sama, kelak berpasangan pasti terdengar unik. Membuat kedua orang tua pun menjodohkan, bahkan hari pernikahan saja tidak ada satu gigi yang keluar ketika berfoto. Semua yang mendampingi melirik, dan foto pernikahannya pun terlihat unik.
"Cepat!"
Delia ngedumel tanpa suara di belakang Deryn, yang meninggalkannya dengan satu koper dan tas ransel.
"Dasar lebai, hanya pergi dua hari malah bawa baju satu lemari," bisiknya.
Ya, karena kalau keras-keras. Nanti diungkit lagi perdebatan tadi malam.
"Siapa yang bayar tiket keretanya?"
Delia menunjuk tubuh Deryn terpaksa.
"Yang sewa tempat di sana siapa?"
Menunjuk lagi, dengan muka yang sudah tertekuk sempurna.
"Yang--"
"Kau! Semuanya kau yang tanggung, puas?"
Delia duduk di samping Deryn yang mulai membuka kacamata hitam. Membuatnya berdecih, untung dilepas kalau tidak, bikin malu karena seperti tukang pijit.
"Berita terkini, warga yang mengumpulkan kayu bakar meninggal dengan mengenaskan, wajahnya tidak terindentifikasi."
Delia melirik televisi yang menanyangkan berita.
"Wanita tanpa busana--"
"Dih liatin yang kayak gituan," tegur Delia menekan tombol off pada ponsel suaminya.
Deryn melirik tak terima. "Kayak gituan apa, sih?"
"Itu, wanita tanpa busana," ulang Delia.
Deryn menghidupkan kembali ponsel, dan memutar video yang terpotong. "Nih lihat!"
"Wanita tanpa busana ditemukan tewas, kemungkinan korban pembegalan, namun ada yang ganjil, karena beberapa tubuhnya seperti tetusuk kecil-kecil."
Delia memekik dan menunjuk ponsel Deryn. "Lihat itu! Ada kaki yang mencoba keluar dari kulit."
Deryn melirik penumpang kereta yang sudah menatap penasaran. "Dia sedang melihat drama."
"Siapa yang lihat drama?" tanya Delia.
"Jangan berisik!"
"Tapi beneran, tadi aku lihat kaki-kaki merayap ingin keluar," ucap Delia berbisik.
Deryn memutar ulang video tersebut. Dan benar, kaki berwarna hitam menusuk-nusuk, mencari cela agar tubuh bisa keluar. Matanya saling tatap dengan sang suami.
"Kau harus segera memberi tahu Rio, agar ditindak lanjuti."
Deryn mengangguk, lantas menghubungi orang yang Delia maksud.
"Pak, maaf tapi bisakah telepon saat penting saja, di sini kami sedang--"
"Aku lihat berita, jadi aku ingin membahas tentang pekerjaan, bukan acara bulan madu."
Delia langsung melirik, ya benar. Menikah sudah beberapa bulan lalu, tapi baru memutuskan untuk berlibur. Karena memang Deryn bukan orang sembarangan, diperlukan tiap kali ada kasus kematian tak wajar. Seorang ketua di state forensik.
"Aku akan mengirimimu gambar."
Deryn menscreen video ketika sesuatu merangkak keluar dari tubuh wanita tanpa busana. Lantas mengirimkannya pada Rio, bawahan suaminya.
"Kau sudah lihat?"
"Iya, Pak. Tapi apa ada yang salah?"
"Menurutmu kenapa kulit wanita itu seperti ditusuk, dan itu cukup banyak?"
Diam sesaat. "Mungkin karena mencoba memberontak saat ehem begitu, jadi ditusuk-tusuk, bentuknya kecil seperti jarum."
Delia melirik suaminya yang senyum-senyum sendiri begitu mendengar ehem yang dimaksud Rio. Membuatnya merampas ponsel Deryn.
"Ya," keluh suaminya melirik ponsel yang sudah di telinganya.
"Bersihkan otakmu dan dengar. Perbesar gambar yang Deryn kirim, di sana bukan hanya bekas tusukan saja, tapi ada kaki berwarna hitam yang ingin keluar."
Dan tiada suara yang menyahuti, selain kaki menimpa lantai bergantian dengan terburu. Napas juga terdengar terengah.
"Ke mana mayat wanita yang baru datang tadi?" suara Rio tampak bertanya pada seseorang.
Deryn mengambil ponsel darinya. "Mayatnya sudah dibawa ke rumah sakit?"
"Iya, Pak."
Delia melirik suaminya.
"Lakukan otopsi, pastikan kalian tidak menyentuh langsung luka tusukan tersebut, gunakan pinset untuk membuka luka, jika ditemukan sesuatu yang aneh langsung laporkan pada laboratorium untuk memeriksanya."
Delia bertepuk tangan melihat suaminya yang begitu cepat dan tepat dalam memutuskan segala masalah.
"Kadang kala ibuku tidak salah memilihkanku suami."
Deryn melirik. "Tapi aku merasa ibuku salah pilih."
Delia sudah menarik napas dengan rakus. Membuat Deryn menunjuk-nunjuk.
"Ini nih yang membuatku merasa seperti itu."
"Terserah kau saja," ucap Delia pada akhirnya, tidak ingin berdebat.
Deryn melirik penumpang terakhir yang menutup pintu gerbong dengan terburu. Wajah saja nampak pucat pasi, tangan pun gemetar. Membuat Deryn tak mengalihkan pandangan meski sesekali menunduk.
"Aneh."
"Kau yang aneh," ejek Delia sudah berdiri.
"Mau ke mana?"
"Toilet."
Deryn melirik toilet yang kosong, lantas pria yang masuk terburu tadi. Kereta sudah mulai membelah jalanan sepi. Deryn menariknya menjauh, bahkan sudah membuka pintu dua gerbong di belakang. Beberapa orang melirik.
"Kita mau ke mana, sih?"
"Toilet."
Delia berhenti melangkah. "Kau sudah tidak waras, ya? Toilet di gerbong 2 kosong, kenapa jauh-jauh ke sini."
Deryn kembali mendorongnya. "Mungkin untuk sekarang kau mengomel padaku, nanti juga berterima kasih."
Delia terpaksa masuk ke toilet karena Deryn membuka dan memaksanya. Sebelum benar menutup Deryn berpesan,
"Nanti aku ke sini lagi, kau jangan ke mana-mana."
"Loh, kau mau meninggalkanku di gerbong 4?"
Dan pertanyaannya tidak dijawab, karena suaminya sudah pergi lagi.
"Dasar menyebalkan," keluhnya mulai menutup pintu.
Di gerbong 2, Deryn tampak berbicara dengan salah satu awak kereta. Berbisik-bisik tepatnya. Setelah selesai Deryn mengambil ransel milik Delia, juga membuka koper yang berada tak jauh dari kursi. Membongkar isi kotak beroda tersebut, lantas dimasukan ke dalam ransel yang sempit. Hanya beberapa kebutuhan mendesak.
Deryn melintasi pria yang mencurigakan tadi dengan tatapan mengintimidasi, sedang pria tersebut hanya menggaruk-garuk kulit leher.
"Kenapa lama sekali?" tanya Delia begitu melihat Deryn, hendak melangkah tapi suaminya melarang.
"Aku memesan kursi kosong di sana." Tunjuk Deryn.
"Paling ujung?" keluhnya.
Deryn mengangguk, namun sebelum itu tangan sempat melakukan sesuatu pada pintu gerbong 4. Delia merasa ada yang tidak beres, lantas melirik tangan suaminya.
"Kau hanya membawa ranselku saja?"
"Hem."
"Kenapa? Kau tidak butuh kopermu?"
"Aku butuh," balas Deryn membuka sedikit resleting, dan membuatnya melotot.
"Ya, kau ke manakan kosmetikku?" Delia sudah memukuli Deryn.
"Apa sih pentingnya kosmetik? Penting juga makanan dan baju." tanya Deryn melirik sekitar yang menjadi penonton.
Delia sudah melotot. "Menurutmu apa yang paling tidak diinginkan wanita?"
"Apa?"
"Suami yang tidak pengertian!"
Delia dan Deryn melirik terkejut, karena pisau yang terbungkus kardus berada tepat di depannya. Seolah menengahi pertengkaran. Deryn menurunkan tangan pria tua yang memikul lebih banyak pisau.
"Butuh pisau?"
"Untuk apa?" tanya Delia.
Pria tua tersebut meliriknya. "Sedang bertengkar, kan? Butuhlah satu atau dua pisau, harganya murah, sekali gores langsung berdarah."
Delia memutarkan bola matanya, lantas menduduki kursi paling pojok. "Mana ada pisau yang menggores tidak berdarah."
Pria tua tersebut tertawa. "Kakakmu pemarah rupanya."
Deryn meliriknya yang sudah cemberut. "Dia istriku, bukan kakakku."
"Oh, istri."
"Dan lagi, kami seumuran, lahir di jam yang sama," ucap Deryn mendekatinya.
Pria berkulit keriput tersebut menelan ludah saat bertemu mata dengannya.
Sedang Deryn melirik pintu gerbong, seolah bisa merewang kondisi di gerbong 2.
"Jika sesuai dugaanku, maka sebentar lagi akan mulai bereaksi," gumam Deryn membuatnya melirik.
"Dasar aneh."
"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi." "Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam. "Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba." "Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir. "Betul, Pak." "Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir. "Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan." "Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi." "Baik, Pak." Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya. "Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menaw
"Hanya tersisa tulang saja, Pak!" "Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan. "Tidak ada." Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok. "Apa yang kau lihat?" "Diam." "Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia. "Tidak, nanti kau terkejut." Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu. Banyak mata yang sedang menatap sinis. "Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya. Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah
Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya."Kau kenapa?""Tidak apa, tidurlah."Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,"Berapa menit lagi kita sampai?""Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan."Masih ada waktu.""Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega."Untuk berpikir."Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot
"Pak, Pak," panggil wanita tersebut setelah melirik sekeliling dan menemukan petugas stasiun.Anak kecil tadi mendekat dan menarik gagang pintu, membuat Deryn sudah membantu membungkam mulutnya untuk tidak teriak jika ditemukan.Remaja tadi memundurkan langkah dengan pelan, sedang ponsel sudah turun dari jendela."Pak," panggil wanita tadi yang penasaran dengan sikap lelaki selaku petugas itu."Boleh minggir sebentar?" tanya Deryn pada remaja yang merekam dengan ponsel.Delia melotot saat suaminya mengikuti tingkah remaja tadi, meletakan ponsel dengan kamera menghadap belakang. Deryn tampak diam memperhatikan.Petugas stasiun itu terlihat aneh. Tidak merespon seorang ibu yang makin mendekat karena rasa penasaran yang tinggi. Lelaki berseragam tersebut membentur-benturkan punggung di dinding, berpindah ke ujung kursi yang sedikit runcing. Tak lama disusul dengan garukan di tangan, laju garukannya makin buas saja."Pak, kalau gatal jang
"Binatangnya!""Cepat bunuh binatang itu!""Bagaimana caranya?" teriak Andin yang masih berdiri di dekat pintu.Deryn berbisik, "jangan ada yang bergerak."Mereka menurut, menjadi patung untuk detik itu juga."Diam dan atur napas kalian."Mereka sebisa mungkin mengatur napas, dan berusaha untuk diam tanpa kata. Namun rasa panik yang singgah cukup sulit untuk mengontrol diri.Kaki Andin bergetar. Tak mampu menopang diri, sampai Sia dengan gerakan perlahan menggenggam kedua pundak yang dibalut dress merah tersebut. Di tengah situasi genting, masih sempatnya pria tua tersebut tersenyum, terlebih menatapi kecantikan yang melekat dalam diri Andin."Jangan menatapku begitu jika Anda masih ingin melihat dunia," ancam Andin berbisik, namun penuh tekanan."Kau harusnya berterima kasih padaku," balas Sia.Semua mata menatap suaminya, terlihat penuh harapan. Sedang Deryn hanya mengamati situasi, b
Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga.""Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut."Gelap,"
"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit."Ibu!" teriak salah satu dari mereka.Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kema
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak