"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.
Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.
Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit.
"Ibu!" teriak salah satu dari mereka.
Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.
Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kemarin dipecahkan oleh Nino dan suaminya. Para jendela juga hanya dikotori saja, tidak ada lipstik yang dipakai untuk mengelabui mata sebagai darah yang muncrat dari tubuh manusia.
Deryn meliriknya yang hanya diam. "Kau lapar tidak?"
Bukannya menjawab, Delia justru menatap suaminya penuh selidik. "Apa yang sedang terjadi?"
"Di gerbong 3--"
"Ini bukan gerbong 4," potongnya.
Mendengar ucapannya yang lain mulai membisu. Bahkan Nino pun sama, mulai pandai memerankan peran penipu.
"Lampu itu," ucap Delia sambil menunjuk atap, "tidak rusak, padahal kau memecahkannya."
"Aku? Memecahkannya? Jangan bercanda, untuk apa aku melakukannya," jawab Deryn dengan tersenyum, begitu santai.
Bibirnya menyungging sinis. "Sungguh? Kau kira kemarin aku tidur, jadi aku bermimpi begitu?"
Deryn mengangguk dengan sangat yakin, membuatnya menarik napas dengan berat.
"Mana pisau yang aku beli? Kemarikan, aku mau lihat."
Dan deryn membisu. Pisau? Pastinya tertinggal di sana, untuk apa memikirkan benda silver nan tajam itu, lebih penting nyawa sang istri. Lantas Deryn melirik Sia.
"Aku tidak bawa," bisik lelaki tua tersebut.
"Mana?" tantang Delia.
Deryn menghela napas, menatapnya dengan ragu. Mungkin memang tidak seharusnya menyembunyikan segala sesuatu dari istri. Deryn pun memutuskan untuk duduk, dan bicara dengan nada berbisik. Ya, takut penghuni gerbong 4 datang.
"Benar. Ini bukan gerbong 4, tapi 5."
Dan dugaan Delia ternyata benar. "Kau membawaku sewaktu tidur dengan sengaja?"
Deryn mengangguk.
"Kenapa?"
"Karena jika matamu terbuka. Maka kau akan segera memberi tahu semua orang untuk pindah ke gerbong lain. Kau tidak berpikir dengan jernih."
Kali ini Delia mengangguk, padahal Deryn sudah takut perut menjadi sasarannya.
"Kau tidak marah? Sungguh?"
"Ya, untuk apa marah? Kau benar, jika kau memanggil semua orang, maka orang yang sudah dimasuki serangga juga pasti akan ikut pindah, karena tidak tahu siapa yang merasa gatal. Hanya kau saja yang tahu." Mendengar hal tersebut, Deryn langsung tersenyum lega.
Tio mendekat dan menunjuk diri. "Sebenarnya yang mengenali orang gatal itu adalah aku, bukan dia."
Delia melirik dengan antusias. "Sungguh? Berarti kau juga sama pintarnya dengan suamiku."
Wajah Deryn sudah tertekuk sempurna, tidak terima disamakan. Apalagi cara Tio tersenyum padanya, dan dengan polosnya Delia membalas. Membuka Deryn semakin terbakar.
Deryn langsung memutar kepalanya, membuat alisnya terangkat.
"Kenapa?"
"Kau punya tempat duduk kan? Sana duduk, Pak," ucap Deryn, gantian memanggil Pak, membuat Tio tersenyum tipis lantas menurut.
"Kau ini kenapa sih?"
"Aku tidak suka kau memandang pria lain, selain aku. Jangan tersenyum juga pada mereka."
Dan Delia tersenyum melihat suaminya yang ternyata cemburu. Namun berubah menjadi sendu. Kali pertama Deryn sepert ini, biasanya sangat cuek dan dingin. Di dalam kereta yang keadaannya sangat bahaya.
"Kau mengerti tidak?"
Delia mengangguk, karena hanya itu aja yang dibutuhkan.
"Aduh gatal!"
Semua mata langsung terarah pada mausia yang kini tidak membawa pisau. Membuat sang empu melirik perlahan dan menjauhkan tangan dari leher.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Sia.
Andin langsung menuding. "Kau sudah dimasuki serangga juga Pak."
"Ah!"
Teriakan pun terdengar. Deryn sendiri llaangssung menggandengnya berdiri, lantas melangkah mundur perlahan. Bahkn tangan Tio sudah berada di atas gagang pintu gerbong 6.
Sia mendekat dengan merentangkan tangan. "Kau jenius kan? Bisa melihat mana yang ditusuk serangga dan belum."
Pertanyaan itu mengarah pada suaminya. Yang justru bergeming, memasang wajah waspada.
"Keluarkan dia," hanya itu yang keluar dari mulut suaminya, setelaah lama terdiam.
Sia menatap Deryn dengan tidak percaya. "Aku sungguh tidak disentuh serangga itu."
Semua orang melangkah mundur lagi karena Sia semakin melangkah. Membuat pria tua tersebut tampak frustasi dan mengacak rambut.
"Apa kalian tidak lihat? Tidak ada satu tusukan pun di kulitku, baju dan celanaku pun tidak robek. Lihat!"
Melihat semua orang yang masih belum percaya, Membuat Sia hendak membuka baju.
"Kau mau apa, Pak?" tanya Nino dengan terkejut.
"Kalian baru akan percaya aku baik saja setelah kubuka baju kan?"
Deryn mendengkus, lantas menyembunyikannya di belakang tubuuh.
"Sekalian buka celana bisa?"
Semua orang melirik Deryn, lantas pada Sia, dan merasa ingin muntah. Sedang Sia melihat dengan tidak terima.
"Eh kalian para anak muda jangan salah, di dalamnya ada sesuatu yang berharga, membuat wanita jatuuh cinta."
Delia yang menggerti langsung terkekeh, membuat Deryn melirik dan berdehem.
"Aku sungguh tidak ada keluhan selain rasa gatal," kekeh Sia.
"Tuh kan, apalagi rasa gatal," tuding Andin.
Tio menatap Andin. "Kenapa kau berssikeras sekali kalau Bapak ini sudah dimasuki serangga?"
Andin sedikit gagap. "Y-ya karena memang dia merasa gatal."
"Merasa gatal atau kau berharap orang tua ini meninggal cepat?" tanya Deryn yang membuat Andnin membisu.
Sia sedikit tidak terima dipanggil orang tua messki kenyatannya memang seperti itu. Namun sedetik kemudian langsungmenatap Andin.
"Kau ingin aku meninggal, hah? Kau siapa? Anakku bukan? Aku tidak merasa merepotimu soal makanan dan hal lain. Kenapa kau ingin aku meninggal?" Sia tampak sangat emosi.
Deryn sendiri hanya diam, bahkan sudah duduk lagi. Membuatnya melirik heran.
"Tidak jadi pindah gerbong lagi?"
Deryn menggeleng. "Bapak itu baik saja."
"Lalu kenapa Bapak merasa gatal?" tanya Nino membuat Sia menggaruk tengkuk.
"Sebenarnya dari kemarin belum mandi."
Dan seketika mulut pun saling mencemooh. Sedang Sia hanya terkekeh.
Keributan yang singkat tersebt ternyata mengundang sesuatu. Ya, gagang pintu penghubung antar gerbong bergerak, seolah ingin masuk. Bahkan berusaha didobrag, meski kaca di sana tidak berpengaruh. Namun mampu membuaut semua penghuni di sekitar Delia ketakutan.
"Jangan ada yang bersuara," ucap Deryn, meski tahu itu sudah terlambat.
Ketukan terdenngar kasar.
"Kalian! Bearni meninggalkan kami di sini, padahal kami berpikir kalian suudah jadi tullang," ucap salah seorang penghuni gerbong 4, yang terdengar terisak penuh kecewa.
"Kalian akan mati setelah pintu ini aku buka! Kaca ini aku pecahkan!"
Teriakan yang brutal itu membuat bulu kuduk merinding. Apalagi ucapan seorang wanita di sana dibarengi dengan aksi, mendobrag dengan jarang, namun dikerahkan sepenuh tenaga.
"Kalian harus ikut mati!"
Delia kali ini merasa taktu, menarik lengan baju suaminya. Membuat Deryn memeluknya, tak bergerak sedikitpun dari tempat duduk.
"Kita hanya bisa berharap Tuhan melindungi kita."
"Kalian! Akan Mati hari ini!"
Suara itu kembali terdengar. Bahkan teriakan makin kuat, bukan memperingatkan penghuni gerbong 5. Tapi karena serangga yang berbondong-bondong menyerbu mangsa. Pintu semakin didobrag.
Akankah mereka semua selamat?
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak
"Apa yang harus dilakukan?" ulangnya, ikut bertanya.Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga."Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.“Ada yang tahu mesin kereta?”Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”Semua mata melirik, membuat Andin diam.“Kenapa?”“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.Deryn menggeleng.“Ya, mana aku tah
"Kau sungguh akan keluar?" tanya Delia dengan berat hati. Sekali pun ada banyak rasa tidak suka yang kadang mampir, tapi bagaimana pun Deryn adalah suaminya.Pria dingin yang langsung setuju saat orang tua menjodohkan mereka, dan Delia ingat betul kalimat yang selalu suaminya ucapkan,"Kita berdua menikah dengan cara yang benar, tiada kontrak antara kita, hanya tidak ada cinta saja. Tapi bukan berarti kita harus berpisah kamar, tidak melakukan hubungan suami-istri. Bukan orang tuaku, tapi aku yang menikahimu, jadi jangan anggap aku orang lain."Sampai saat ini Delia masih penasaran alasan Deryn menikahinya tanpa debat panjang lebar dengan orang tua, apakah karena memang sudah di usia matang namun tidak ada wanita yang mau? Atau ... karena cinta.Sepertinya itu tidak mungkin."Bisakah kita keluar dari kereta saja saat keadaan sudah aman?" tanya Delia lagi.Der
"Sayang, ayo cepat nanti keretanya berangkat."Mata hazel tersebut langsung melirik, lantas memukul pria berdada bidang yang menggoda setelah keluar dari kamar mandi. Bergandengan tangan menuju kereta, saling berbisik mesra ditemani gelak tawa. Melintas di depan Delia Nugraha. Perlahan mata merangkak, menemukan pria berkacamata hitam yang sibuk memainkan game di ponsel."Kapan aku punya suami romantis seperti itu," gumam Delia.Mendengar adanya gumaman di samping, lelaki yang Delia sebut suami melirik tipis. Membuatnya mendongkak."Apa? Kenapa memandangku?""Bisa tidak mulutmu digunakan untuk hal yang penting saja," omel suaminya, Deryn.Delia dan Deryn? Ya, lahir di hari dan jam yang sama, kelak berpasangan pasti terdengar unik. Membuat kedua orang tua pun menjodohkan, bahkan hari pernikahan saja tidak ada satu gigi yang keluar ketika berfoto.
"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi." "Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam. "Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba." "Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir. "Betul, Pak." "Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir. "Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan." "Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi." "Baik, Pak." Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya. "Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menaw
"Hanya tersisa tulang saja, Pak!" "Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan. "Tidak ada." Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok. "Apa yang kau lihat?" "Diam." "Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia. "Tidak, nanti kau terkejut." Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu. Banyak mata yang sedang menatap sinis. "Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya. Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah
Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya."Kau kenapa?""Tidak apa, tidurlah."Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,"Berapa menit lagi kita sampai?""Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan."Masih ada waktu.""Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega."Untuk berpikir."Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot
"Pak, Pak," panggil wanita tersebut setelah melirik sekeliling dan menemukan petugas stasiun.Anak kecil tadi mendekat dan menarik gagang pintu, membuat Deryn sudah membantu membungkam mulutnya untuk tidak teriak jika ditemukan.Remaja tadi memundurkan langkah dengan pelan, sedang ponsel sudah turun dari jendela."Pak," panggil wanita tadi yang penasaran dengan sikap lelaki selaku petugas itu."Boleh minggir sebentar?" tanya Deryn pada remaja yang merekam dengan ponsel.Delia melotot saat suaminya mengikuti tingkah remaja tadi, meletakan ponsel dengan kamera menghadap belakang. Deryn tampak diam memperhatikan.Petugas stasiun itu terlihat aneh. Tidak merespon seorang ibu yang makin mendekat karena rasa penasaran yang tinggi. Lelaki berseragam tersebut membentur-benturkan punggung di dinding, berpindah ke ujung kursi yang sedikit runcing. Tak lama disusul dengan garukan di tangan, laju garukannya makin buas saja."Pak, kalau gatal jang