"Binatangnya!"
"Cepat bunuh binatang itu!"
"Bagaimana caranya?" teriak Andin yang masih berdiri di dekat pintu.
Deryn berbisik, "jangan ada yang bergerak."
Mereka menurut, menjadi patung untuk detik itu juga.
"Diam dan atur napas kalian."
Mereka sebisa mungkin mengatur napas, dan berusaha untuk diam tanpa kata. Namun rasa panik yang singgah cukup sulit untuk mengontrol diri.
Kaki Andin bergetar. Tak mampu menopang diri, sampai Sia dengan gerakan perlahan menggenggam kedua pundak yang dibalut dress merah tersebut. Di tengah situasi genting, masih sempatnya pria tua tersebut tersenyum, terlebih menatapi kecantikan yang melekat dalam diri Andin.
"Jangan menatapku begitu jika Anda masih ingin melihat dunia," ancam Andin berbisik, namun penuh tekanan.
"Kau harusnya berterima kasih padaku," balas Sia.
Semua mata menatap suaminya, terlihat penuh harapan. Sedang Deryn hanya mengamati situasi, binatang tersebut merangkak tanpa tujuan, kadang berputar saja.
"Deryn, ayo buat keputusan," gumamnya sambil menggigit jari.
Seorang wanita tua melangkah maju dengan berani, membuat semua mata melirik terkejut.
"Dia bilang untuk tetap diam, kenapa Anda bergerak?"
"Ibuku sudah meninggal, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain anakku yang durhaka."
Delia melirik dengan heran.
"Lagi pula aku sudah tua, sudah bau tanah, meninggal sekarang pun tidak masalah. Aku sudah tidak punya masa depan cemerlang, tidak seperti kalian para anak muda," tutur wanita tersebut.
"Kau tidak ingin menyumbangkan nyawa juga, Pak?" tanya Andin pada Sia.
"Aku masih sayang nyawa."
Deryn hanya diam, membuatnya melotot. Apakah suaminya akan membiarkan wanita tua menjadi pahlawan? Yang jelas akan sangat menyakitkan ketika merasakan binatang itu merayap bebas di dalam kulit.
Melihat wanita tua yang diketahui tak berpunya, dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan lubang sedikit pun tidak ditambal, atau membeli yang baru. Jika kaya? Kemungkinan pernah semasa muda, kemudian dirampas oleh anak yang tadi disebut durhaka.
Langkah terus bergerak, dan Delia merasa geram karena suaminya sama sekali tidak mencegah. Tubuh sudah semakin dekat dengan kematian, sayangnya aksi pengorbanan tersebut sempat disabotase oleh Nino, yang menarik tangan wanita keriput tersebut.
"Apa yang Anda lakukan, Bu? Biarpun ibu Anda sudah tiada, tapi bukan berarti Anda pun harus mengikutinya!" sentak Nino dengan mata berkaca.
Delia melirik ke sebelah suaminya, masih duduk seorang wanita yang berjuang selama sembilan bulan, mengandung dan melahirkan. Dia ... ibunda Nino yang membuat hati lelaki tersebut tergerak.
"Ah!"
Semua mata melirik pada remaja yang berteriak. Entah apa alasannya. Namun yang jelas, mata di sana melotot sempurna dengan ketakutan, tangan membungkam mulut pun bergetar.
Deryn melirik perlahan pada binatang yang sudah tidak berada di tempatnya. Lantas pupil mata berpindah, tubuh suaminya bergerak mundur teratur. Matanya mengikuti Sia yang terburu menarik Nino, menyadarkan dari keterkejutan.
Kain itu dirobek asal. Terpenting bisa masuk dan mengisi kekosongan perut. Ya karena serangga yang menghebohkan penghuni gerbong 4 kini berhasil, berada di dalam tubuh wanita tua tadi. Entah baru sampai nadi atau ... matanya membesar saat mendengar suara daging yang digegoroti gigi.
"Usir dia, cepat usir!" teriak Deryn, bahkan sudah melangkah, mendekati pintu tapi tidak sampai membukanya.
"Kau sudah gila? Di sana masih ada banyak serangga yang kelaparan? Kau mau mengeluarkan seorang wanita, sudah tua lagi? Di mana hatimu?" Andin melotot pada suaminya.
Sedang Deryn menyeringai. "Kau juga pasti merasa takut, kalau sampai wanita tua ini berubah menjadi tulang dan serangga di dalamnya keluar, kemudian memangsa kalian semua!"
Deryn menunjuk semua orang dengan tatapan mata.
"Keluarkan dia sekarang sebelum terlambat!"
Dan berhenti tepat di matanya. Menggeleng dengan air mata yang sudah berlinang. Suaminya punya ibu, ia juga. Namun dengan sikap egois, Deryn menunjuk lagi, kali tersebut dengan tangan.
"Anda sendiri yang ingin mati, kan? Mati saja sendirian silakan, kami tidak ingin ikut bersamamu."
"Deryn!" sentaknya membuat suaminya melirik, "aku mohon, jangan seperti ini. Kita bisa membiarkannya berada di toilet, atau gerbong sebelah."
"Kau mau menyelamatkan seseorang yang tetap akan mati!" bentak suaminya dari jauh.
"Aku menyesal menikah denganmu," bisiknya dengan hati yang sangat sakit.
Suaminya hanyalah seseorang yang dingin dengan semua orang. Dan Delia masih bisa maklum, namun untuk sikap Deryn yang seperti itu membuatnya menitikan air mata.
"Setidaknya dia belum meninggal, lebih baik membiarkannya meninggal di ruangan yang aman, daripada memberi para serangga itu makan!"
Tapi, pemikiran itu hanya dirinya seorang. Karena semua mata di sekitarnya tidak seperti itu. Mereka memandang takut, juga mencela.
"Kita tidak bisa ikut meninggal hanya karena ingin mempertahankannya yang sudah jelas akan meninggal," bisik salah satu penumpang.
"Aku masih ingin hidup."
"Lagi pula dia sudah tua, sudah tidak ada harapan lagi. Memberi serangga itu satu tubuh lebih baik, daripada seluruh tubuh di kereta ini."
Delia menatap Nino, satu-satunya harapan yang ia miliki. Namun nyatanya sang pembela kebenaran tersebut menghindari matanya, dan sesekali menunduk. Membuatnya menyeringai.
"Kalian masih manusia!"
Andin meliriknya. "Kau mau menjadi tulang juga? Silakan, bawa pergi wanita tua ini bersamamu."
Deryn melotot mendengarnya.
"Bukannya tadi Mba yang pertama kali ngotot, kenapa sekarang ikutan ingin mengusir?" tanyanya dengan penuh penekanan.
Deryn kembali berjalan mundur, karena wanita tua tersebut melangkah, mendekati pintu.
"Pastikan kau menutup pintu dengan benar nanti, jangan biarkan serangga itu kembali naik," ucap wanita tua tersebut untuk terakhir kalinya.
Hanya butuh dua detik saja, pintu langsung tertutup lagi. Dan serangga pun berbondong menikmati sumbangan nyawa secara gratis. Tiada teriakan yang terdengar, sekalipun rasa sakit merayapi sampai ulu hati.
Mata yang penasaran mengintip dari jendela yang dibaluri tersebut. Tangisnya pecah setelah berlari dan memukuli suaminya, sedang Deryn hanya diam saja.
"Bagaimana bisa kau tega sekali? Kau punya seorang ibu! Kenapa kau memperlakukannya seolah dia bukan manusia di sini."
Deryn menggenggam kedua tangannya. "Tenangkan dirimu Delia dan dengarkan aku."
"Aku tidak perlu mendengarkan iblis sepertimu! Kau tahu, demi menyelamatkan kita ibu tadi sama sekali tidak berteriak padahal rasanya pasti sangat menyakitkan!"
"Demi menyelamatkan kita?" bisik Nino.
Delia melirik dengan tajam. "Ya! Karena kalau dia sampai teriak, serangga itu akan kemari!"
Nino terdiam, tepatnya dengan raut wajah terkejut. Pasti rasa bersalah sangat kuat menghuni hati. Deryn menyentuh pundaknya, namun dengan kasar ditepis olehnya.
"Aku tidak percaya hanya dengan tatapan dan bibirmu, kau membunuh orang! Jangan sentuh aku!" Delia sudah berjalan mundur.
Menatap suaminya dengan amarah. Jika selamat dari kereta tersebut dan hidup damai, Delia pastikan akan meminta cerai. Tidak bisa bersama pria kejam seperti Deryn. Sedang Deryn sendiri hanya menghela napas kesal.
"Kau tidak mengerti apapun, kalau--"
"Ya, kita semua akan meninggal aku tahu! Tapi bukan seperti caranya!"
"Lalu seperti apa hah? Kau ingin mengeluarkan serangga itu dari tubuhnya dan membunuh? Kau pikir kulitmu itu setebal baja?" Andin ikut bicara, dengan nada kesal.
"Sepertinya kalian cocok," ucapnya sambil tersenyum miring.
Delia mengambil ranselnya, lantas mengeluarkan semu barang-barang milik suaminya. Melempar asal. Membuat Deryn terburu mendekat dan mencegahnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Sepertinya dia mau mengusirmu," ucap Sia melirik barang yang dilempar dan semuanya mewah. Bahkan kaki sengaja menginjak jam tangan dan menggeser kaki dengan pelan.
"Kau sungguh ingin mengusirku? Menjadi makanan serangga itu?" tanya Deryn tidak terima.
Delia menggeleng. "Aku tidak sekejam dirimu. Aku ingin pindah gerbong, aku tidak mau satu gerbong dengan kalian yang berhati dingin!"
Andin tersenyum sinis mendengar ucapannya.
Deryn menggenggam tangannya sangat erat. "Dengar. Aku tahu salah, aku melakukannya karena terdesak. Aku tidak bisa membiarkan semua orang di sini terancam. Aku memikirkanmu juga."
Delia menghela napas, apalagi saat melirik semua orang yang menatap remeh padanya, lantas melirik suaminya dengan penuh harapan.
"Suatu hari kau akan dibuang juga oleh mereka," bisiknya membuat Deryn hanya mengangguk saja.
"Aku manusia berhati dingin seperti yang kau ucapkan, aku juga sudah membunuh wanita tua, aku pantas mati nanti. Kau bisa melemparku keluar kapanpun oke?"
Delia tak menjawab. Karena bagaimana pun lelaki di depannya adalah suaminya sendiri.
"Jaga mulutmu, jangan asal keluar saja," bisiknya sambil mengelap air mata, dan Deryn tersenyum.
"Aku harus segera keluar, mereka salah mengusir," bisik seseorang di kursi paling ujung.
Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga.""Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut."Gelap,"
"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit."Ibu!" teriak salah satu dari mereka.Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kema
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak
"Apa yang harus dilakukan?" ulangnya, ikut bertanya.Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga."Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.“Ada yang tahu mesin kereta?”Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”Semua mata melirik, membuat Andin diam.“Kenapa?”“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.Deryn menggeleng.“Ya, mana aku tah
"Kau sungguh akan keluar?" tanya Delia dengan berat hati. Sekali pun ada banyak rasa tidak suka yang kadang mampir, tapi bagaimana pun Deryn adalah suaminya.Pria dingin yang langsung setuju saat orang tua menjodohkan mereka, dan Delia ingat betul kalimat yang selalu suaminya ucapkan,"Kita berdua menikah dengan cara yang benar, tiada kontrak antara kita, hanya tidak ada cinta saja. Tapi bukan berarti kita harus berpisah kamar, tidak melakukan hubungan suami-istri. Bukan orang tuaku, tapi aku yang menikahimu, jadi jangan anggap aku orang lain."Sampai saat ini Delia masih penasaran alasan Deryn menikahinya tanpa debat panjang lebar dengan orang tua, apakah karena memang sudah di usia matang namun tidak ada wanita yang mau? Atau ... karena cinta.Sepertinya itu tidak mungkin."Bisakah kita keluar dari kereta saja saat keadaan sudah aman?" tanya Delia lagi.Der
"Sayang, ayo cepat nanti keretanya berangkat."Mata hazel tersebut langsung melirik, lantas memukul pria berdada bidang yang menggoda setelah keluar dari kamar mandi. Bergandengan tangan menuju kereta, saling berbisik mesra ditemani gelak tawa. Melintas di depan Delia Nugraha. Perlahan mata merangkak, menemukan pria berkacamata hitam yang sibuk memainkan game di ponsel."Kapan aku punya suami romantis seperti itu," gumam Delia.Mendengar adanya gumaman di samping, lelaki yang Delia sebut suami melirik tipis. Membuatnya mendongkak."Apa? Kenapa memandangku?""Bisa tidak mulutmu digunakan untuk hal yang penting saja," omel suaminya, Deryn.Delia dan Deryn? Ya, lahir di hari dan jam yang sama, kelak berpasangan pasti terdengar unik. Membuat kedua orang tua pun menjodohkan, bahkan hari pernikahan saja tidak ada satu gigi yang keluar ketika berfoto.
"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi." "Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam. "Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba." "Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir. "Betul, Pak." "Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir. "Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan." "Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi." "Baik, Pak." Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya. "Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menaw
"Hanya tersisa tulang saja, Pak!" "Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan. "Tidak ada." Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok. "Apa yang kau lihat?" "Diam." "Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia. "Tidak, nanti kau terkejut." Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu. Banyak mata yang sedang menatap sinis. "Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya. Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah