Sang rawi tampak membenci, hingga pergi tanpa jejak di pelupuk mata. Tergantikan oleh rembulan yang tak merasa kesepian, ada bintang di sana. Entah mereka saling bercengkrama atau tidak. Namun yang jelas, mereka begitu betah berdiri satu sama lain.
Sama seperti penghuni gerbong 4, yang mengeluh, namun tidak saling meninggalkan. Hari sudah gelap, sayangnya Deryn dan Nino bekerja sama. Dengan berbekal pisau yang dibeli dari Sia, mereka memulai aksi, memecahkan lampu yang nantinya akan menjadi pusat perhatian serangga mematikan itu.
Sedang Sia yang melihat memukul kursi kereta beberapa kali. "Aduh, pisau bagus seperti itu malah dipakai memecahkan lampu."
Andin yang semula berdiri, segera mendekati tempat duduk sambil menatap Sia. "Harusnya kau bangga Pak, karena pisaumu menyelamatkan kita dari serangga."
"Oh Benarkah?" Sia gembira seorang diri, bahkan terus saja bergumam kalau sejarah harus mencatat detik tersebut.
"Gelap," keluh salah seorang penumpang, dan beberapa orang lainnya ikut mengeluh.
"Panas juga."
"Lebih baik menderita sehari, daripada kesakitan selama beberapa menit tapi nyawa melayang," tutur Deryn masuk akal, ya memang semua yang suaminya ucapkan selalu saja diterima.
Delia hanya melamun. Menatapi ponsel, orang tuanya juga mertua, tidak merespon dari mulai panggilan sampai chat. Ia jadi resah sendiri. Apakah mereka baik-baik saja, atau ... menjadi makanan para serangga.
Deryn melempar asal pisau tersebut, lantas mendekatinya.
"Melamun apa?"
Delia tidak mersepon, malah masih sibuk menatapi layar di tangan. Membuat Deryn terdiam.
"Kau mencemaskan orang tuamu dan orang tuaku?"
Matanya melirik sekilas. "Ya, memangnya orang tuamu ada yang mencemaskan selain aku? Sepertinya tidak ada."
Deryn menghela napas, lantas ingin duduk di sebelahnya. Namun tangannya langsung meletakan diri di atas kursi, hampir ditindihi oleh suaminya. Ya tentunya membuat Deryn dengan sangat terpaksa bangun.
"Apa yang kau lakukan?"
Delia menatap sinis, kemudian menunjuk tempat Andin. "Sana, duduk dengan calon istri keduamu saja."
Deryn langsung meliriknya. "Kau istriku, untuk saat ini dan selamanya."
Matanya mengerjap. Benarkah mulut suaminya yang mengatakannya? Tidak hasil dari meminjam milik orang lain. Tidak biasanya Deryn berbicara manis.
"Lagi pula aku tidak bisa melihat dengan benar saat gelap," ucap Deryn, ekspresi yang aneh menunjukan kalau suaminya tengah berbohong.
Lampu terakhir sudah dipecahkan oleh Nino, ya karena suaminya sempat memberi tahu lelaki tersebut, selang waktu untuk bergerak dan berhenti. Kenapa? Karena otak Deryn terlalu jenius untuknya pahami, jadi hanya bisa menyaksikan.
Lampu terakhir tentu saja membuat gernong 4 sepenuhnya menjadi gelap. Mungkin hidung akan terlihat lagi saat matahari menyapa jendela yang kotor. Dan Delia tersurung ke samping karena Deryn terburu menubruk kursi.
"Sakit," keluhnya.
Sedang suaminya hanya cengengesan, meski tidak dapat ia lihat sepenuhnya, tapi setidaknya itulah yang terlihat dari barisan rapih berwarna putih, tak lain adalah gigi.
Deryn mengerjap dengan terkejut, rupanya mata telah beristirahat. Lantas menatap Delia yang menumpangkan kepala di pundak Deryn.
Mata melirik dengan menebak, ya hari masih malam, sedang pundak terasa dicolek.
"Pak."
Deryn menghela napas, merasa lega begitu mulut bicara, setidaknya otak tidak menyimpulkan untuk memukul sekitar.
"Ada apa?" tanya Deryn sedikit ketus.
"Pelankan suaramu Pak. Ada yang ingin aku katakan."
Deryn melirik, tampaknya suara berada tepat di sebelah betis.
"Kenapa?" Suara Deryn kini jauh lebih pelan.
"Wanita tua itu tidak digigit oleh serangga--"
"Serangga itu tidak menggigit," potong Deryn, pasti membuat seseorang di sebelah merasa bingung, pria, ya karena dari suara pun jelas bukan wanita.
"Tapi, serangga itu tidak memasuki tubuh ibu tadi. Pakaian yang dikenakan memang sudah compang-camping."
Deryn terdiam cukup lama. "Aku tahu."
"Bapak tahu? Tapi kenapa ...."
Deryn langsung memutar kepala. "Menurutmu kalau aku bilang serangga tadi tidak masuk ke dalam tubuh ibu itu, apa yang akan terjadi?"
"Mereka akan panik?" tebak pria di sebelah Deryn.
"Selain itu, mereka semua akan saling menuduh dan pada akhirnya tidak akan ada yang selamat di sini."
"Lalu kenapa kita hanya di sini saja, Pak?"
"Justru karena itu, aku mengelabui mereka untuk menggelapkan kereta dan meminta mereka semua tidur, agar aku dan Delia bisa kabur dari sini," batin Deryn.
"Aku ingin keluar, bagaimana caranya Pak?"
"Selama kereta gelap, serangga itu tidak akan bergerak di luar atau di dalam tubuh, jadi lebih baik kau tidur dulu. Setelah tubuhmu segar, aku akan membawamu keluar."
"Kau berbohong Pak," ucap pria tersebut, membuat Deryn melirik.
"Kenapa kau bilang aku berbohong."
"Dua menit lalu aku mendengar gumaman kalau kulitnya gatal, ada dua orang. Itu artinya serangga itu tetap bergerak."
Deryn hanya diam, ternyata otak pintar masih ada yang bisa melampaui.
"Apakah kau berniat kabur dengan istrimu saja Pak? Hanya berdua?"
Deryn menghela napas. "Kau juga, puas?"
"Terima kasih Pak."
Deryn tak menjawab, karena tubuh sudah meninggalkan kursi, setelah membenarkan posisi kepala Delia.
Deryn memejamkan mata, mencoba merasakan situasi di gerbong 5. Namun bibir langsung berdecak karena mendengar nyanyian merdu ketika tertidur, ya mengorok.
"Apa di sana aman?"
Deryn tak menjawab, memilih mendekatkan telinga pada pintu.
"Bagaimana kalau gerbong 3?"
"Di sana jelas tidak aman."
"Tapi kita tidak tahu, apakah gerbong 5 juga aman."
Deryn terdiam. "Setidaknya lebih aman daripada terus berada di sini, menunggu kematian."
Deryn bergerak perlahan, mendekatinya. Namun menghela napas karena suara nyanyian tadi berasal dari mulut pedas sang istri. Deryn langsung mengangkat tubuh Delia yang mengalunkan tangan di leher suaminya.
"Ayam bakar," gumam Delia menggerakan kepala, jika saja Deryn tidak menghindar, maka dagu menjadi santapan manusia yang terjebak dalam mimpi.
Pria tadi membuka pintu gerbong 5 dengan perlahan. Memastikan di sana aman juga, kaca jendela tampaknya tidak tersentuh. Lantas mulai memijakan kaki di gerbong tersebut.
"Cepat Pak," bisik pria di depan Deryn, menunggu sebelum pintu benar di tutup.
Langkah Deryn terhenti. Bahkan jantung hampir lepas dari tempatnya. Lantas kepala perlahan berputar ke belakang.
"Kau mau ke mana Pak?" tanya Nino, terlihat menggandeng tangan seorang wanita tua, ah ibu dari Nino.
"Kau berniat meninggalkan kami?"
Suara Andin terdengar. Dan Deryn menajamkan mata, menemukan seorang pria cukup pendek, sedang berdiri di belakang Andin.
"Kau harus menyelamatkan mereka semua, Nak. Mereka juga manusia, punya keluarga yang menanti mereka dengan tangis," nasihat ibunda Nino, membuat Deryn menarik napas dengan berat hati.
"Kau mendengar seseorang yang menggaruk tubuh di sebelah mana?"
Pria yang tampaknya lebih tinggi dari Deryn berpikir. "Suaranya cukup jauh, yang pasti posisinya tiga kursi dari tengah."
Deryn dan Andin langsung menatap Sia, lantas bergerak mundur. Membuat pria tua tersebut melongo, dan berputar, memerkan baju yang melekat di tubuh.
"Apa ada lubang di bajuku? Seperti wanita tua tadi?"
"Di sini gelap, tidak bisa melihat dengan jelas. Lagi pula siapa yang tahu, kalau serangga itu hanya masuk dengan melubangi baju, kalau langsung masuk dari lubang lengan? Celana?" cerocos Andin.
Sedang Deryn hanya diam, mendengar ucapan Sia mengenai wanita tua yang Deryn gunakan sebagai kambing hitam untuk rencana pelarian bersama sang istri. Tapi sepertinya gagal karena dengan kehadiran empat orang.
"Bangunkan orang-orang yang tidak dimasuki serangga itu, dan minta mereka untuk tetap diam," perintah Deryn, sudah lebih dulu memasuki gerbong 5.
Nino ikut membantu dengan membangunkan beberapa orang, yang diduga tidak membahayakan.
"Pak, bangun. Kita akan pindah ke gerbong 5, tapi jangan berisik jika tetap ingin hidup."
Ya, dan mereka semua menurut jika menyangkut hidup dan mati. Setelah memastikan seluruh orang yang dibangunkan memasuki gerbong 5. Deryn langsung mengunci pintu tersebut. Melakukan hal yang sama seperti di gerbong 4. Membaluri jendela dengan apapun yang bisa membuat kaca di sebelah menjadi buram.
Sementara di gerbong 4, ketika pagi telah singgah. Mata terbelalak dengan tangan yang terus menggaruk. Rasa geli dan gatal membuat mereka sibuk pada kegiatan masing-masing, tidak menyadari jika di belakang hanya tersisa kursi saja.
"Ah!"
Delia terbangun dari tidurnya karena mendengar teriakan. Sedang Deryn dan yang lainnya hanya diam.
"Di gerbong 3 masih ada orang?" tanya Delia masih belum sadar.
Deryn menatap semua orang, lantas mengangguk ketika bertemu pada dengannya. "Sepertinya ada beberapa orang yang bersembunyi di toilet juga."
"Mereka mengira di luar sudah aman, tapi ternyata tidak," lanjut pria yang sempat membuat Deryn emosi. Ya karena wajah di sana sudah keriput, hanya suara saja terdengar muda.
Melihatnya yang merasa bingung, pria tersebut mengenalkan diri.
"Aku Tio, salah satu pegawai rumah sakit, kebetulan pindah tempat kerja jadi ...."
Ucapan pria ternyata bernama Tio berhenti berbicara, karena Delia nampak tidak tertarik. Sedang Deryn melotot karena menyadari tatapan Tio yang tertarik dengan Delia.
"Maaf."
Deryn kembali terdiam.
"Maaf karena aku kembali bersikap egois, jika kau tahu wanita tua itu meninggal karena kesengajaanku, kau pasti marah besar. Aku tidak ingin kau meninggalkan manusia tak berguna ini di mata keluarga," batin Deryn, namun tiada penyesalan terselip di hati.
Suara teriakan kembali menggema.
"Aku tidak gatal!"
"Kau menggaruk, artinya kau gatal! Dan serangga itu sudah memasuki tubuhmu!"
"Tapi, ke mana semua orang? Apa mereka sudah jadi tulang?" tanya seseorang yang ditinggalkan di gerbong 4, membuat Andin dan yang lain resah.
"Pelankan suaramu," bisik salah satu penumpang, remaja yang selalu menangis, lantas mata menatap sekeliling, sudah ada banyak serangga yang menghuni kursi, juga tulang-belulang.Seluruh tubuh bergertar sempurna, dengan tangan yang sekali lagi menggaruk kulit. Namun rencana untuk tetap diam, dan membiarkan para serangga melangkah tanpa tujuan. Nyatanya, beberapa orang di tempat tersebut berlarian, mencari cela untuk pergi ke mana saja.Bahkan berusaha mendobrag pintu gerbong 5, tiada hasil membuat mereka hanya bisa menjerit ketika kaki-kaki tipis namun tajam tersebut menusuki kulit."Ibu!" teriak salah satu dari mereka.Delia melirik seluruh penghuni gerbong. Mereka tampak lebih gugup dari sebelumnya. Seolah manusia di depan sana akan tahu keberadaan mereka, padahal Deryn sudah membuat kematian palsu.Matanya membesar. Ada yang tidak beres. Lantas menatap atap kereta, lampu yang terdiam di sana baik-baik saja. Tidak rusak, padahal kema
Kepanikan jugaa ketakutan menghuni wajah. Dengan tangan bergetar dan mata melotot. Tubuh sudah siap berlari ke gerbong di belakang, jika sampai pintu yang dipenuhi serangga tersebut terbuka.“Bagaimana ini?” tanya Delia tak berhenti menarik lengan suaminya.Deryn memeluknya, sikap suaminya seakan pasrah dengan keadaaan, namun tatapan matanya masih tegas. Yakin kalau mereka akan melewati semuanya dengan baik saja.Mata melotot karena menemukan cushion di kaca pintu tergores, oleh usapan rambut yang mencoba memecahkan kacaa tersebut. Tangan menutup mulut dengan bergetar. Ya, bukan hanya satu. Beberapa dari mereka menggunakan kepala untuk menerobos.Kenapa tidak dengan tangan? Maka jawabannya hanya satu, tubuh itu fokus menggaruk.“Kalian semua akan mati!”Deryn tampak tak sabar, lantas ikut teriak, “berhenti berteriak
"Apa yang harus dilakukan?" ulangnya, ikut bertanya.Deryn sempat terdiam. Lantas meminta beberapa orang untuk saling bekerja sama. Ingin hidup? Maka harus menyumbang pikiran dan tenaga."Kerja sama? Seperti apa?" tanya Sia penasaran.“Ada yang tahu mesin kereta?”Pertanyaan yang dilontarkan suaminya membuat mereka semua terdiam. Hanya saling lirik-melirik.“Apa yang kalian lihat, aku tidak tahu,” gerutu Sia begitu ditatapi.Andin tersenyum sinis. “Sudah tua, tidak perlu diharapkan. Bukannya menginjak rem, malah gas.”Semua mata melirik, membuat Andin diam.“Kenapa?”“Pak, dia mengerti kereta,” ucap Nino pada Deryn.“Sungguh tahu?” tanya Deryn serius. Matanya langsung melirik tidak suka.“Memangnya kereta ada rem dan gas? Diinjak memangnya?” tanya Delia tiba-tiba.Deryn menggeleng.“Ya, mana aku tah
"Kau sungguh akan keluar?" tanya Delia dengan berat hati. Sekali pun ada banyak rasa tidak suka yang kadang mampir, tapi bagaimana pun Deryn adalah suaminya.Pria dingin yang langsung setuju saat orang tua menjodohkan mereka, dan Delia ingat betul kalimat yang selalu suaminya ucapkan,"Kita berdua menikah dengan cara yang benar, tiada kontrak antara kita, hanya tidak ada cinta saja. Tapi bukan berarti kita harus berpisah kamar, tidak melakukan hubungan suami-istri. Bukan orang tuaku, tapi aku yang menikahimu, jadi jangan anggap aku orang lain."Sampai saat ini Delia masih penasaran alasan Deryn menikahinya tanpa debat panjang lebar dengan orang tua, apakah karena memang sudah di usia matang namun tidak ada wanita yang mau? Atau ... karena cinta.Sepertinya itu tidak mungkin."Bisakah kita keluar dari kereta saja saat keadaan sudah aman?" tanya Delia lagi.Der
"Sayang, ayo cepat nanti keretanya berangkat."Mata hazel tersebut langsung melirik, lantas memukul pria berdada bidang yang menggoda setelah keluar dari kamar mandi. Bergandengan tangan menuju kereta, saling berbisik mesra ditemani gelak tawa. Melintas di depan Delia Nugraha. Perlahan mata merangkak, menemukan pria berkacamata hitam yang sibuk memainkan game di ponsel."Kapan aku punya suami romantis seperti itu," gumam Delia.Mendengar adanya gumaman di samping, lelaki yang Delia sebut suami melirik tipis. Membuatnya mendongkak."Apa? Kenapa memandangku?""Bisa tidak mulutmu digunakan untuk hal yang penting saja," omel suaminya, Deryn.Delia dan Deryn? Ya, lahir di hari dan jam yang sama, kelak berpasangan pasti terdengar unik. Membuat kedua orang tua pun menjodohkan, bahkan hari pernikahan saja tidak ada satu gigi yang keluar ketika berfoto.
"Pak, yang Anda katakan benar. Ada serangga yang keluar dari kulit mayat wanita tadi." "Seperti apa bentuknya?" tanya Deryn meliriknya yang sudah terpejam. "Kakinya cuma ada tiga, terlihat tajam dan kuat, persis seperti jarum. Mereka punya dua mata, postur tubuhnya mirip laba-laba." "Berkaki tiga?" ulang Deryn mencoba berpikir. "Betul, Pak." "Serangga macam apa yang seperti itu," gumam Deryn berpikir. "Pak, aku tidak bisa lama. Masih harus melanjutkan pemeriksaan." "Jika ada perkembangan dari laboratorium segera hubungi." "Baik, Pak." Deryn memutus panggilan, melirik Delia yang sudah bersandar di pundak suami. Deryn tersenyum, lantas mengecup dahinya. "Berarti yang sering memulai pertengkaran adalah istrinya," gumam pria tua yang sempat menaw
"Hanya tersisa tulang saja, Pak!" "Dagingnya?" tanya Delia memastikan dengan pelan. "Tidak ada." Delia menutup mulutnya tidak percaya. Lantas memandang suaminya yang sepertinya mendapat gambar dari Rio, mengenai tulang yang dibicarakan. Namun Deryn mendorong kepalanya menjauh, bahkan sudah terpojok. "Apa yang kau lihat?" "Diam." "Sebentar saja, aku mau lihat," rengek Delia. "Tidak, nanti kau terkejut." Dan perdebatan singkat itu terhenti, karena pintu toilet diketuk. Deryn sempat melarang, tapi setelah telinga tidak mendengar apa pun yang merayap akhirnya mengizinkan Delia membuka pintu. Banyak mata yang sedang menatap sinis. "Apa? Apa yang kalian lihat?" sentaknya. Sia mendekat. "Dengar, Nak. Aku sudah tua, jadi sudah
Setelah duduk dengan tenang selama satu jam. Deryn menghubungi Rio, namun hanya bisa mengeluh karena tidak ada jawaban, begitu pun dengan rekan yang lain. Delia menatap keresahan di wajah suaminya, tidak biasanya."Kau kenapa?""Tidak apa, tidurlah."Delia melirik jam di ponsel. "Sebentar lagi kita sampai di stasiun pertama."Deryn langsung membuka mata semakin lebar. Lantas meliriknya dan bertanya,"Berapa menit lagi kita sampai?""Sekitar sepuluh menit lagi," balasnya setelah memastikan."Masih ada waktu.""Untuk?" tanyanya melihat Deryn yang menghela napas lega."Untuk berpikir."Delia langsung melengos mendengarnya. "Kepalamu akan cepat botak karena banyak berpikir."Deryn melirik dan tersenyum tipis. Namun suaminya langsung melotot