Erick dan Heru seketika berdiri. Seorang bapak-bapak dengan rambut putih masuk dengan dengan murka. Julian yang semula terpekur mendongak. Seketika ia berdiri dan mundur, tampak ketakutan.
Lelaki yang tak lain adalah Sasongko itu terus maju dan menerjang ke arah Julian. Ia mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya. Tinjunya tepat mengenai hidung lelaki itu. Julian terjengkang menimpa meja dibelakangnya dan terjatuh. Belum puas dengan itu, Sasongko mendorong Julian hingga terbaring ditanah dan menaikinya. Ia kembali mengayunkan tinjunya dengan brutal. Beberapa kali mengenai pipi dan pelipis lelaki yang sebaya dengannya itu.
Beberapa anggota kepolisian yang sebelumnya tertegun kemudian dengan cepat menghampiri dan menarik Sasongko. “Pak, tunggu pak, hentikan!”
“Lepaskan! Dasar bajingan!” teriak Sasongko. “Apa kau manusia?!”
Salah satu anggota polisi juga membantu Julian bangun. Ia mengaduh kesakitan. Sudut bib
Joana melihat ke langit, sudah beberapa hari hujan turun terus setiap hari. Untunglah hari ini matahari bersinar sepanjang hari. Ia memiliki waktu untuk menyiangi tanaman sayurnya dikebun di belakang rumah. Ia mengenakan topi lebar dan juga mengambil cangkul kecil dari gudang. Dengan penuh tekad ia berangkat ke kebun. Tanaman sayurnya sudah tinggi, baik terong maupun kacang panjangnya sudah mulai berbunga dan bahkan sebagian sudah memperlihatkan buahnya. Namun karena hujan turun lebat hampir setiap hari, rumputnya juga tumbuh dengan suburnya. Kalau hari tidak hujan ia mungkin bisa menyiangi seluruh rumput hari ini.Julia dan Jennifer akan memarahinya jika tahu ia bekerja di kebun. Mereka selalu bilang ia bisa menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan di kebun. Tahu apa mereka? Dia bisa gila kalau hanya diam saja seharian dirumah. Ia memang sudah tua, tapi tinggal diam dirumah sepanjang hari membuatnya terasa renta.Joana mulai membersihkan rumput-rumput liar
Keheningan pagi membangunkan Jasmine dari tidur nyenyaknya. Ia mengulurkan tangannya kesamping dan menemukan dirinya sendirian dikamar itu. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat sudah jam lima lewat enam menit.Jasmine turun dari tempat tidur sambil mengenakan sandal kamarnya. Ia menyeret langkahnya menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan angin dingin menerpa lembut wajahnya. Suara burung dan ayam terdengar menyambut pagi. Namun selain itu tidak terdengar apapun. Jasmine melongok ke halaman rumah juga nampak sepi.Kemarin sore ia berkunjung kerumah ibunya. Setidaknya dua kali sebulan ia selalu datang dan menginap disana. Begitu juga semua saudara-saudaranya beserta keluarganya. Jadi, kecuali semua pingsan, tidak mungkin akan sesunyi ini.Penasaran, Jasmine keluar kamarnya.“Hei, sayang,” sapa Edie begitu ia keluar dari kamar. Suaminya itu muncul dari arah dapur. Aroma wangi kopi menguar darinya.Jasmine tersenyum malas dan mem
Ia ingin mati.Rasa sakit yang tak tertahankan menjalar di sekujur tubuh Jasmine. Luka ini sudah terlalu lama membelenggu dan menguasainya hingga ia nyaris tak mampu lagi menanggungnya.“Bertahanlah, Jasmine. Tolong bertahanlah.” Jasmine merasa tubuhnya melayang dalam gendongan kekasihnya. “Kita sudah tiba dirumah sakit. Dokter akan segera menolongmu.”Jasmine berusaha memberontak disela tenaganya yang kian lemah. Ia tidak ingin ke rumah sakit. Dokter tidak akan bisa menolongnya. Lukanya sudah terlalu parah untuk disembuhkan. Sakit dalam dirinya tak mungkin akan bisa terobati oleh obat manapun dan siapapun. Ia tahu dirinya tak akan pernah bisa sembuh lagi seperti sediakala.“Kau akan selamat,” terdengar suara Akmal lembut disela-sela kesadarannya Jasmine yang semakin menjauh. Suara itu terdengar sangat mencemaskan dirinya. “Kau pasti akan selamat. Aku pastikan kau akan selamat.”Jasmine menggeleng lem
Jam digital di atas meja masih menunjukkan pukul 05.21. Jasmine sudah siap berangkat bekerja. Ia sengaja bersiap lebih awal hari ini. Ia mengenakan kaus kaki dan kemudian sepatu safety-nya. Ia memasukkan laptop ke dalam tas punggungnya berikut kotak kacamata, dompet, dan peralatan tulisnya. Ia juga mengambil handphone dan menaruh disaku celananya. Jasmine menatap dirinya dikaca. “Selamat ulang tahun, Jasmine.” Bel pintu berbunyi. Jasmine memejamkan mata dan berguman, “Mereka bersemangat sekali.” Bel kembali berbunyi. Sekali lagi Jasmine menatap bayangannya di cermin dan menghembuskan nafas cepat. Ia tahu salah satu saudaranya bakalan ada yang akan datang kerumahnya hari itu. Hanya saja ia tidak menduga akan sepagi itu. Dua orang saudaranya tepatnya. Julia dan Jennifer—kakak dan adiknya, berdiri didepan pintu. Raut wajah mereka jauh dari ramah. Ekor kuda Jennifer yang dicat kecoklatan bergoyang-goyang cepat saat
Baik Julia maupun Jennifer dipaksa kembali mengingat ke masa kecil mereka. Hari dimana ayah mereka pergi meninggalkan keluarga mereka. Pagi-pagi, ayahnya sudah berbenah, mengenakan pakaian terbaiknya, membawa sebuah tas kecil dan sepatu yang baru dibelinya dari pasar kemarin. Ayah bilang temannya mau mengajaknya bekerja di kota sebelah. Namun kenyataannya, itulah kali terakhir mereka bertemu dengan ayah mereka. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini waktu sudah dua puluh tahun berlalu. Tanpa ada secuil kabarpun yang pernah mereka terima. Saat itu, kondisi keluarga mereka benar-benar menyedihkan. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga tanpa keahlian apapun. Masih ingat jelas di benak mereka bagaimana ibunya setiap pagi buta pergi ke pasar berjualan apa saja, berusaha untuk menghidupi kelima anaknya. Julia sakit-sakitan pada waktu masa remajanya dan adik-adiknya masih terlalu kecil untuk bekerja. Menginjak SMP Jasmine mulai bek
Langkah Jasmine terhenti. Seorang pemuda keluar dari lift. Menatapnya dengan salah tingkah. Dia Edie, sahabatnya. Ia sudah mengenal pemuda itu bertahun-tahun yang lalu dan sekarang juga bekerja di kantor yang sama dengannya. Jasmine mengeluh lirih. Bagaimana ia bisa lupa semalam Edie mengirim pesan padanya, dan bilang akan datang pagi-pagi untuk mengantarnya. Tak perlu ditebak, Edie pasti mendengar apa yang baru saja ia teriakkan. Pemuda itu tersenyum ragu dan menyapa, “Hai.” Jasmine tersenyum kecut dan menghampiri pemuda itu, “Hai. Sudah kubilang aku akan nyetir sendiri.” “Saya sudah berjanji akan menyetir pagi ini.” Edie menyodorkan sebuah kantong kertas pada Jasmine. Jasmine memeriksanya. Dua buah pastry hangat dan sebotol jus jeruk. “Terima kasih,” guman Jasmine, masih tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Jasmine menekan tombol lift. Saat itu pintu lift terbuka lagi dan mereka berdua masuk bersama.&nb
Jasmine marah besar, Edie mengamati. Sudah bertahun-tahun sejak mereka saling kenal namun jarang sekali ia melihat Jasmine semarah ini. Oke, dikantor itu beda lagi. Kalau masalah pekerjaan—meski seorang wanita—Jasmine termasuk di segani oleh para bawahannya. Setidaknya ia akan marah beberapa kali dalam seminggu. Namun kemarahan Jasmine dalam urusan pekerjaan selalu beralasan dan biasanya alasan itu benar adanya. Jasmine sadar ia harus bersikap keras dan sedikit otoriter jika ingin dihargai para lelaki itu.Jennifer tadi mengatakan dengan keras mana mungkin di pabrik yang mayoritas pekerjanya lelaki tidak ada yang tertarik pada Jasmine sama sekali? Jawabannya adalah ada dan tidak sedikit. Jennifer mungkin akan terkejut kalau tahu berapa banyak lelaki di pabrik yang tertarik secara romantis pada kakaknya ini. Atau setidaknya pada awalnya begitu sebelum tahu tabiatnya yang keras. Ada dua kriteria para lelaki yang menyukai Jasmine. Pertama, meny
Hari ini hanyalah satu hari lain yang sama seperti hari-hari sebelumnya bagi Jasmine. Selain kedatangan kedua saudaranya pagi ini rutinitasnya di kantor masih sama. Pertama-tama ia akan menaruh tasnya di kantor, kemudian ia akan berkeliling melakukan pengecekan secara menyeluruh. Mendelegasikan pekerjaan pada para engineernya dan sekitar jam sepuluh ia akan sampai kembali dikantor dan menyelesaikan agenda pekerjaan hari itu. Hari ini ia akan meeting dengan Mr. Barness Presiden direktur perusahaan dan kemudian akan mengerjakan laporan rutin mingguan dan sore hari ia akan kembali meeting dengan keempat engineernya.Ia baru saja duduk dikantornya ketika Edie muncul dengan membawakan segelas tinggi teh hitam dingin untuknya. Jasmine menyunggingkan senyumnya dan berterima kasih.“Aku selalu bertanya-tanya apakah kau memakai alarm atau memang sengaja mengawasiku dari pantry?”Edie menatap Jasmine bingung. “Apa maksudnya?”