Jasmine marah besar, Edie mengamati. Sudah bertahun-tahun sejak mereka saling kenal namun jarang sekali ia melihat Jasmine semarah ini. Oke, dikantor itu beda lagi. Kalau masalah pekerjaan—meski seorang wanita—Jasmine termasuk di segani oleh para bawahannya. Setidaknya ia akan marah beberapa kali dalam seminggu. Namun kemarahan Jasmine dalam urusan pekerjaan selalu beralasan dan biasanya alasan itu benar adanya. Jasmine sadar ia harus bersikap keras dan sedikit otoriter jika ingin dihargai para lelaki itu.
Jennifer tadi mengatakan dengan keras mana mungkin di pabrik yang mayoritas pekerjanya lelaki tidak ada yang tertarik pada Jasmine sama sekali? Jawabannya adalah ada dan tidak sedikit. Jennifer mungkin akan terkejut kalau tahu berapa banyak lelaki di pabrik yang tertarik secara romantis pada kakaknya ini. Atau setidaknya pada awalnya begitu sebelum tahu tabiatnya yang keras. Ada dua kriteria para lelaki yang menyukai Jasmine. Pertama, menyatakan cinta dan ditolak. Kedua, naksir lalu mundur teratur ketika tahu perangainya saat memimpin para lelaki itu.
Saat pertama kali melihat Jasmine, tidak akan ada orang yang akan mengira dia adalah seorang manager engineer di sebuah perusahaan baja ternama di Indonesia. Penampilannya yang cantik selalu berhasil menipu banyak orang. Kebanyakan orang yang datang ke perusahaan akan mengira kalau Jasmine dari bagian jual beli, pemasaran atau kadang malah bagian administrasi.
Berbeda saat bekerja, berbeda pula Jasmine saat dirumah. Jasmine sebenarnya cukup ramah dan menyenangkan saat bersamanya. Mereka tidak selalu bicara—baik Jasmine maupun Edie bukanlah tipe orang-orang yang banyak bicara. Terkadang mereka hanya bersama, tanpa kata, namun mereka merasa nyaman dengan itu.
Edie memperhatikan saat Jasmine membuka cermin di balik pelindung cahaya didepannya. Ia membersihkan kotoran di sudut matanya dan merapikan rambutnya sebelum memandang Edie yang masih mengawasinya. “Terima kasih.”
Edie mengedikkan bahunya. “Sudah merasa lebih baik?”
Jasmine menelengkan kepalanya, “Tidak, belum. Ini seperti menyatakan perang dengan keluargaku. Aku marah, tapi juga merasa tidak enak pada mereka.” Jasmine menatap Edie. “ Dan tentang masalah tadi…”
Edie membalas tatapannya.
Jasmine ragu-ragu sejenak. “Ah… aku malu sekali. Tentang pembicaraan kami...”
“Jangan difikirkan.”
Jasmine tersenyum lega, “Terima kasih juga karena tidak bertanya apapun.”
Edie mengangguk.
Jasmine mendesah, “Kalau saja semua orang dikantor ini seperti kau.”
Tanpa melepaskan tatapannya pada Jasmine, Edie mematikan mesin mobil. “Selamat ulang tahun.”
Jasmine mengeluh. Tak ingin diingatkan lagi tentang hari ulang tahunnya yang memicu pertengkaran dengan keluarganya.
“Apapun yang terjadi,” lanjut Edie. “Hari ulang tahun tetap harus menjadi momen yang disyukuri. Percayalah, ada orang yang sangat bersyukur atas kelahiran kita didunia. Yang menganggap kita sebagai orang paling berharga.”
Jasmine menatap Edie beberapa saat. “Kurasa hanya kau yang bersyukur atas kelahiranku.”
Edie tersenyum. “Saya yakin bukan hanya saya.”
“Apakah ini hadiah ulang tahun untukku?” tanya Jasmine mengacungkan kotak makanan yang tadi diberikan Edie.
“Bagaimana itu bisa jadi hadiah ulang tahun?” guman Edie. “Mau hadiah apa?”
“Hei, aku hanya bercanda. Tidak. Aku tidak mau apa-apa. Tabung saja uangnya untuk keperluan yang lebih penting.”
“Ini juga penting.”
Mata Jasmine menyipit memandang lelaki muda didepannya itu. “Tidak sepenting itu. Bagaimana kalau nanti malam kita makan-makan saja?”
“Dimana?”
“Rumah makan terakhir yang kita kunjungi itu bagus juga.”
“Ada sebuah Cafe baru yang menghadap pantai. Pemandangan malamnya sepertinya bagus. Mau coba disana?”
Jasmine mengangguk. "Baiklah."
“Oke. Nanti saya akan kerumah,” Edie melepaskan sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Ia berlari melintasi parkiran menuju ke pantry perusahaan dimana ia biasa berada.
Jasmine tetap berada dimobilnya hingga Edie menghilang dibalik tembok. Jasmine memejamkan matanya, masih merasa malu sekali pada Edie. Meski mereka dekat satu sama lain, mengetahui Edie mendengarkan pertengkarannya dengan saudara-saudaranya tentang kehidupan cintanya yang suram sangatlah memalukan.
Kemudian, Jasmine menarik nafas panjang beberapa pun ikut keluar dari mobilnya dan menuju ke kantornya.
“Apa kau harus datang sepagi ini?”
Jasmine memejamkan matanya. Ia menghitung hingga lima kali sebelum berbalik dan berhadapan dengan salah seorang engineernya, Hadi. Sudah menjadi rahasia umum Hadi pernah mengincar kursi manager yang sekarang dijabatnya. Jasmine masuk kepabrik itu atas rekomendasi salah seorang top management di perusahaan itu—Mr. David—yang kebetulan juga merupakan atasannya di perusahaan dimana ia pernah bekerja dulu.
Akibatnya, banyak orang yang bekerja lebih lama diperusahaan itu tidak menyukainya. Apalagi karena dia seorang perempuan. Meski pada akhirnya ia bisa membuktikan bahwa ia mampu, tetap saja ada sebagian orang-orang yang masih merasa tidak terima. Dan Hadi termasuk diantara orang-orang itu.
Jasmine sendiri pernah mengutarakan tentang keberatan Hadi tentang kedatangan dirinya pada Mr. David namun dari pihak management meyakinkan dia kalau jabatan Manager belum cukup untuk Hadi. Untuk pekerjaan teknis Hadi memang bagus, namun untuk managerial sangat-sangatlah kurang sehingga meski Jasmine keluar, Hadi belum layak untuk duduk di kursi manager.
Sebagai seorang manager, ia punya hak untuk memecat siapa saja yang berada dibawahnya dan itu termasuk Hadi. Namun, selain mulutnya yang suka ember dan sifat itu, Hadi termasuk dalam jajaran engineer cerdas yang dimiliki perusahaan, persis seperti yang dikatakan pihak management padanya.
“Apa kau benar-benar tidak mempercayai anak buahmu hingga harus mengawasi mereka setiap saat?” lanjut Hadi sinis, masih belum puas.
Jasmine menoleh, menatap bawahannya itu namun tidak menanggapi pertanyaan sinisnya. “Tentang kerusakan mesin conveyor di stand 7 dan 11 semalam, sudah terselesaikan semua? Kau tahu kalau itu tidak segera diselesaikan akan menghambat proses pengiriman bukan? Aku tidak mau ada complain hanya gara-gara kesalahan dari pihak maintenance. Segera lakukan pengecekan terakhir dan tulis laporan lengkapnya. Sebaiknya kau serahkan sebelum jam sepuluh.”
Hadi mendengus, tidak menyembunyikan sedikitpun ketidaksukaannya. Meski demikian ia tidak memiliki pilihan selain menuruti ucapan atasannya itu.
“Hei,” serunya saat Jasmine beranjak meninggalkannya. “Kenapa kau tidak menikah saja? Menikahlah. Mungkin dengan begitu kau akan lebih lembut dan lebih terlihat seperti perempuan.”
Jasmine berhenti dan menoleh, memandang Hadi dingin, “Kenapa aku harus tampak seperti perempuan kalau sudah ada yang lebih terlihat perempuan dariku?”
“Maksud…. Hei! Apa maksudmu?! Dasar perempuan si*lan,” Hadi mencaci maki.
Cekikikan terdengar dari belakangnya. Vita dan Maya tampak sudah berdiri tidak jauh dari sana dan menikmati pertengkaran mereka berdua.
“Kalian tidak punya pekerjaan?” gerutu Hadi kesal.
“Kami tidak akan disini kalau tidak punya pekerjaan,” jawab Maya geli.
“Syukurlah. Sepertinya kita punya teman perempuan satu lagi, nih,” sahut Vita cekikikan.
“Kerjakan saja pekerjaanmu, jangan ikut campur.”
Maya berdecak sambil mengamati postur Hadi dari atas hingga kebawah, yang memicu kemarahan Hadi.
“Sebenarnya apa yang membuatmu lebih sakit hati pada bu Jasmine?” tanya Maya. “Karena dia merebut jabatan itu atau karena dia sering marah padamu?”
“Hei, kau tahu apa? Pergi sana. Pergi.”
Maya dan Vita melenggang pergi dengan masih sambil cekikikan.
Sementara Hadi menatap punggung Jasmine yang tengah melakukan check clock di pintu masuk. Sebuah senyum licik tersungging dibibir lelaki itu.
Hari ini hanyalah satu hari lain yang sama seperti hari-hari sebelumnya bagi Jasmine. Selain kedatangan kedua saudaranya pagi ini rutinitasnya di kantor masih sama. Pertama-tama ia akan menaruh tasnya di kantor, kemudian ia akan berkeliling melakukan pengecekan secara menyeluruh. Mendelegasikan pekerjaan pada para engineernya dan sekitar jam sepuluh ia akan sampai kembali dikantor dan menyelesaikan agenda pekerjaan hari itu. Hari ini ia akan meeting dengan Mr. Barness Presiden direktur perusahaan dan kemudian akan mengerjakan laporan rutin mingguan dan sore hari ia akan kembali meeting dengan keempat engineernya.Ia baru saja duduk dikantornya ketika Edie muncul dengan membawakan segelas tinggi teh hitam dingin untuknya. Jasmine menyunggingkan senyumnya dan berterima kasih.“Aku selalu bertanya-tanya apakah kau memakai alarm atau memang sengaja mengawasiku dari pantry?”Edie menatap Jasmine bingung. “Apa maksudnya?”
“Hai,” seorang lelaki muda yang tampan membukakan pintu suite room untuknya.“Selamat Siang, saya Jasmine,” kata Jasmine memperkenalkan diri.“Selamat Siang, masuklah,” lelaki itu tersenyum ramah.Jasmine melangkah masuk ke ruangan hotel yang mewah itu. Namun kesunyian di ruangan itu membuatnya mengernyit. Dan aroma kamar itu terlalu harum untuk sebuah pertemuan resmi.“Dimana kami akan mengadakan pertemuan?”“Disebelah sini,” sahut lelaki muda itu mengajaknya masuk. “Apakah Mr. Barness sudah menunggu?”Lelaki muda itu menggiringnya masuk. Dan Jasmine langsung tahu ia telah masuk perangkap. Kamar itu sama sekali bukan dirancang untuk pertemuan bisnis. Pencahayaan lampu yang temaram, aroma bunga dan lilin bernuansa romantis langsung menyergap penciumannya. Di meja kaca terdapat botol anggur yang dimasukkan kedalam wadah es. Ju
Rando memaki-maki. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang tiba-tiba menyerbu masuk ini. Namun, tatapan matanya begitu dingin dan penuh teror. Rando yakin, jika ia maju satu langkah saja, pemuda itu pasti akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dan ia tidak mau mati konyol terajam oleh botol yang bergerigi tajam itu.Sambil memaki-maki, Rando pun memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.Edie tetap berdiri membeku menatap pintu lama sebelum dengan pelan menjatuhkan botol itu dan memutar tubuhnya. Tanpa benar-benar melihat Jasmine ia menyambar selimut hotel. Ia hendak menyelimuti gadis itu ketika mendadak ia terhenti. Gadis itu meringkuk berusaha memeluk dirinya dan menyembunyikan bagian depan tubuhnya. Tapi dengan begitu ia mengekspos bagian belakang punggungnya.Hawa dingin mengalir di sekujur tubuh Edie. Ia berkedip berharap dirinya salah lihat. Bilur-bilur tidak beraturan itu tetap ada disana. Luka itu sudah sembuh total, dan nyaris
“Apa ibu harus melakukan itu?” tanya Jasmine langsung setelah ibu mengangkat telponnya.Semalaman Jasmine memikirkan kemungkinan tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh lelaki yang mengaku sebagai Rando itu. Dan ia hampir gila memikirkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya tega melakukan itu padanya. Namun, ia tidak memiliki kemungkinan lain kecuali ibu atau saudara-saudaranya yang sudah ngebet ingin dia menikah.“Apa aku benar-benar lupa mengajarimu sopan santun?” sahut ibunya tidak terdengar senang. “Ada apa dengan salam dan sebagainya? Dan kau, setelah mengabaikan ibumu yang sudah bersusah-susah membuat pesta untukmu. Berani-beraninya menelpon ibumu dengan nada seperti itu?”“Apa Ibu sangat ingin saya menikah?” Jasmine mengabaikan omelan ibunya. “Apa sangat penting bagi ibu untuk melihat semua anak ibu untuk menikah? Meski saya tidak menginginkannya?”
“Dimana Edie?” tanya Jasmine.Kasak kusuk di pantry langsung terhenti dengan kedatangan Jasmine. Para karyawan yang sedang berada disana menoleh dan terdiam. Seseorang yang dikenali Jasmine bernama Hanif itu bangkit dari duduknya dan menjawab, “Setelah kejadian tadi dia pergi keluar dan belum kembali bu.”Jasmine melihat jam tangannya gusar. “Ini bahkan belum jam istirahat.”“Sebenarnya…” Hanif terlihat ragu.“Ada apa?”“Maaf, tapi sebenarnya Edie sering begitu, bu Jasmine,” kata Hanif akhirnya. “Membolos tanpa alasan yang jelas.”“Hei, kenapa kau bilang?” bisik yang lain.Alis Jasmine sedikit terangkat. “Kenapa? Ada apa?”Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak serba salah.“Edie sebenarnya tidak terlalu suka bicara,” sahut Hanif lagi. &ldquo
Perlahan, Edie yang bergerak lebih dulu. Mengumpulkan semua obat dan memasukkannya ke dalam kotak. “Kenapa tidak ada yang tahu?” tanyanya, memecah keheningan yang tiba-tiba terasa mencekam.“Huh? Apa?”“Kak Julia dan Jenni sepertinya tidak tahu tentang luka itu. Bagaimana bisa menyembunyikan hal separah itu seorang diri?”Jasmine beringsut menjauh dari Edie. Tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Perhatian Edie ataukah rasa malunya. Edie menghembuskan nafas gusar, “Saya akan membunuh orang brengsek itu.”“Apa? Siapa?” “Hadi dan gigolo itu.”“Jangan sembarangan!” sergah Jasmine. “Kau bisa masuk penjara!”“Persetan.”“Aku tidak akan memaafkanmu.”Keduanya kembali berpandangan tajam.“Dan aku tidak akan pernah mengunjungimu jik
Jasmine membuka matanya. Ia mengerjapkan mata dengan bingung. Ia berada dikamarnya, tapi sebuah tabung infus tergantung disisinya. Jasmine menatap ke sekelilingnya.Sepi.Kamarnya juga masih seperti biasanya. Kecuali sofa itu, pikirnya saat mendapati sebuah bantal dan selimut di sofa itu seolah-olah seseorang telah tidur disana semalam. Siapa?Jasmine menatap nakas di sebelahnya dan menemukan sebuah mangkok besar dan handuk kecil yang tampaknya digunakan untuk mengompresnya. Jasmine menyentuh dahinya sendiri. Ada apa dengannya?Jasmine mencoba untuk bangun. Namun rasa pening menyerang kepalanya. Jasmine mengaduh pelan dan kembali membaringkan dirinya. Apa yang terjadi? Pikirnya.Ia berusaha mengingat-ingat. Terakhir kali ia pulang kerja…. Tidak. Tadi ia pulang dari rumah Edie. Lelaki muda itu cukup menguras emosinya dengan semua pertanyaannya. Ia terlalu malu untuk tetap bersama Edie dan ingin pulang sendiri
Bukan hanya Joana yang terkejut saat mendapati putrinya berada dikamar tidurnya berdua dengan seorang lelaki. Begitu juga halnya dengan Jasmine dan Edie. Jasmine tak percaya dengan perasaan yang mendadak berkembang pesat dihatinya. Edie tak percaya wanita dihadapannya itu akhirnya mulai menganggapnya lebih dari sekedar anak lelaki!Setelah untuk beberapa saat ketiga orang itu terlalu terkejut untuk melakukan apapun, Edie yang pertama bergerak pelan menarik tangannya dari bibir Jasmine dan berdiri.“Jadi kalian bukan hanya berpacaran tapi juga hidup bersama?”“Apa?”“Apa?”Baik Jasmine maupun Edie menyahut serempak.Dengan geram Joana berjalan cepat menghampiri mereka dan langsung memandang terang-terangan pada Edie. Wanita itu mengenakan celana panjang kain berwarna coklat dan blus lengan pendek berwarna hijau botol. Rambutnya yang berwarna abu-abu disisir rapi dan diikat menjadi sat
Keheningan pagi membangunkan Jasmine dari tidur nyenyaknya. Ia mengulurkan tangannya kesamping dan menemukan dirinya sendirian dikamar itu. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat sudah jam lima lewat enam menit.Jasmine turun dari tempat tidur sambil mengenakan sandal kamarnya. Ia menyeret langkahnya menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan angin dingin menerpa lembut wajahnya. Suara burung dan ayam terdengar menyambut pagi. Namun selain itu tidak terdengar apapun. Jasmine melongok ke halaman rumah juga nampak sepi.Kemarin sore ia berkunjung kerumah ibunya. Setidaknya dua kali sebulan ia selalu datang dan menginap disana. Begitu juga semua saudara-saudaranya beserta keluarganya. Jadi, kecuali semua pingsan, tidak mungkin akan sesunyi ini.Penasaran, Jasmine keluar kamarnya.“Hei, sayang,” sapa Edie begitu ia keluar dari kamar. Suaminya itu muncul dari arah dapur. Aroma wangi kopi menguar darinya.Jasmine tersenyum malas dan mem
Joana melihat ke langit, sudah beberapa hari hujan turun terus setiap hari. Untunglah hari ini matahari bersinar sepanjang hari. Ia memiliki waktu untuk menyiangi tanaman sayurnya dikebun di belakang rumah. Ia mengenakan topi lebar dan juga mengambil cangkul kecil dari gudang. Dengan penuh tekad ia berangkat ke kebun. Tanaman sayurnya sudah tinggi, baik terong maupun kacang panjangnya sudah mulai berbunga dan bahkan sebagian sudah memperlihatkan buahnya. Namun karena hujan turun lebat hampir setiap hari, rumputnya juga tumbuh dengan suburnya. Kalau hari tidak hujan ia mungkin bisa menyiangi seluruh rumput hari ini.Julia dan Jennifer akan memarahinya jika tahu ia bekerja di kebun. Mereka selalu bilang ia bisa menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan di kebun. Tahu apa mereka? Dia bisa gila kalau hanya diam saja seharian dirumah. Ia memang sudah tua, tapi tinggal diam dirumah sepanjang hari membuatnya terasa renta.Joana mulai membersihkan rumput-rumput liar
Erick dan Heru seketika berdiri. Seorang bapak-bapak dengan rambut putih masuk dengan dengan murka. Julian yang semula terpekur mendongak. Seketika ia berdiri dan mundur, tampak ketakutan.Lelaki yang tak lain adalah Sasongko itu terus maju dan menerjang ke arah Julian. Ia mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya. Tinjunya tepat mengenai hidung lelaki itu. Julian terjengkang menimpa meja dibelakangnya dan terjatuh. Belum puas dengan itu, Sasongko mendorong Julian hingga terbaring ditanah dan menaikinya. Ia kembali mengayunkan tinjunya dengan brutal. Beberapa kali mengenai pipi dan pelipis lelaki yang sebaya dengannya itu.Beberapa anggota kepolisian yang sebelumnya tertegun kemudian dengan cepat menghampiri dan menarik Sasongko. “Pak, tunggu pak, hentikan!”“Lepaskan! Dasar bajingan!” teriak Sasongko. “Apa kau manusia?!”Salah satu anggota polisi juga membantu Julian bangun. Ia mengaduh kesakitan. Sudut bib
Siang itu, Edie pergi ke Rumah Sakit untuk mengunjungi korban runtuhnya bangunan mall. Awalnya ia akan berangkat sendiri bersama Mia, sekretarisnya. Namun Jasmine bersikeras untuk ikut dan mendampinginya. Ia bahkan mengajukan cuti tiga hari untuk mendampinginya. Diakui atau tidak, Edie sangat berterima kasih pada wanita terkasihnya itu.Sudah sejak lama Jasmine merupakan sosok yang istimewa di hatinya. Dulu ia adalah sahabat, penyemangat dan pendukung terbesarnya. Kini, Jasmine adalah nafas dan masa depannya. Kehadiran Jasmine disisinya kini memberikan lebih banyak keberanian untuk menghadapi masalah yang tengah menderanya.Tak perduli benar atau salah, kecelakaan itu sudah terjadi. Dan ia masuk dalam lingkaran penyebab malapetaka itu. Jasmine meyakinkan dirinya untuk menghadapi semuanya dengan t
“Aku akan ikut masuk denganmu.”“Apa yang akan kau katakan pada Anton?” tanya Jasmine.Semalam ia benar-benar lupa kalau Anton sedang menginap dirumahnya. Awalnya ia hanya ingin menghibur Edie dengan menemaninya disisinya. Namun setelah melihatnya, begitu sedih dan patah hati. Jasmine menjadi lupa diri dan merengkuh lelaki yang sangat dirindukannya itu. Ia ingin menghiburnya dan membuatnya melupakan sejenak masalah yang membelenggunya.Ia berencana pulang pagi-pagi sekali dengan harapan Anton belum bangun tidur. Namun Edie kembali mendekap dan menciuminya hingga mereka lupa diri, sekali lagi.Hari sudah terang ketika akhirnya ia benar-benar bangun. Ia berniat untuk langsung pulang, namun sekali lagi Edie berhasil meyakinkannya untuk sarapan dulu bersamanya—karena dia sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dan sekarang, Edie dengan keras kepala ingin mengantarnya hingga depan pintu apartemennya.&ld
Edie tidak bisa melepaskan tatapannya dari Jasmine. Mata Jasmine tampak lelah. Blusnya yang berwarna putih itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang kurus.“Bagaimana kabarmu?” tanya Edie serak. Ia sangat merindukan Jasmine, namun ia sadar betul apa yang telah dilakukannya selama ini menyakiti gadis itu lebih dari yang dipikirkannya.“Biasa saja,” sahut Jasmine menghindari tatapan Edie yang terasa mengulitinya. “Maya memastikan aku makan tiap hari. Dia bilang kau yang menyuruhnya.”“Kau lebih kurus.”“Kau juga.”Edie menaruh sendoknya dan minum. “Aku mencemaskanmu. Kau seringkali mengabaikan rasa laparmu.”Jasmine mengambil kembali sendok yang baru ditaruh Edie. “Makanlah lagi. Apa ini saatnya mengkhawatirkan aku?”Edie kembali memakan buburnya. Namun setelah beberapa suap ia menyerah. “Sudah cukup.”“Dua
“Belum ada kabar dari pak Julian?” tanya Edie pada Hendra, pengacara perusahaan yang mendampinginya selama penyelidikan atas runtuhnya bangunan mall yang sedang dalam tahap pembangunan itu.Sudah dua hari ia berada kantor polisi untuk penyidikan kasus runtuhnya bangunan mall rancangannya yang sedang dalam tahap pembangunan. Namun sekalipun ia belum melihat Julian—yang ingin sekali dibunuhnya saat ini.“Mereka belum menemukannya.”Edie mengusap wajahnya dengan gusar. “Bajingan itu.”Hari sudah larut malam ketika akhirnya Edie diijinkan untuk meninggalkan kantor polisi. Para wartawan yang berkumpul di depan kantor polisi langsung menyerbunya. Edie yang sudah kehabisan tenaganya hanya diam saja membiarkan pengacaranya menjawab semua pertanyaan wartawan itu. Syukurlah Mia yang menunggunya di luar langsung membukakan pintu mobil untuknya hingga ia segera terbebas dari kerumuman itu.“Bapak ba
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Miranda pada Edward. “Apa semua lancar?”Malam itu Miranda sengaja mengajak suami dan anaknya makan malam disebuah restoran. Bukan hal mudah mengajak Edie yang masih marah besar pada mereka berdua. Namun, akhirnya Edie luluh juga setelah ia menungguinya dikantor dan tidak mau pergi sebelum berhasil menemui anaknya itu. Ia mengenal Edie dengan baik. Berbeda dengan Akmal, Edie adalah anak yang berhati lembut dan tidak tegaan. Dipungkiri atau tidak, Miranda tahu Akmal menyimpan sebuah sifat kejam jauh disudut hatinya—bahkan setelah diterapi selama bertahun-tahun, kekerasan yang dilakukan ayahnya masih mengendap didasar hatinya. Hanya saja ia tidak tahu Akmal akan bertindak sejauh itu pada wanita yang dicintainya.Wanita yang dicintai kedua anaknya, batin Miranda sedih.“Kenapa tiba-tiba mengajak makan direstoran?” pertanyaan malas Edie membangunkan Miranda dari lamuna
“Ibu menyuruhmu kesini?” tanya Jasmine ketika malam itu Anton muncul di apartemennya.“Aku ingin kesini.”“Proyek di Papua sudah selesai?”“Masih akan butuh waktu lama. Tapi aku libur seminggu.” Anton langsung menuju kulkas dan memindai isi kulkas. Tidak apapun disana, batinnya. Ia mengambil sebotol air putih dan memandang kakaknya. “Kau baik-baik saja?”Jasmine mendesah lelah, “Kau sudah dengar?”Anton mengangguk. Ia menaruh botol itu di meja makan dan mendekati kakaknya itu. Ia merengkuhnya dan memeluknya erat. “Maafkan aku.”Jasmine sedikit terkejut namun membalas pelukan adiknya, sedikit malu namun juga bersyukur dengan keberadaan adiknya disana. “Kenapa kau minta maaf?”Anton melepaskan pelukannya dan mengamati muka kakaknya yang terlihat lebih tirus dibandingkan saat berkunjung kerumah tempo hari.“Dulu, aku