Rando memaki-maki. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang tiba-tiba menyerbu masuk ini. Namun, tatapan matanya begitu dingin dan penuh teror. Rando yakin, jika ia maju satu langkah saja, pemuda itu pasti akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dan ia tidak mau mati konyol terajam oleh botol yang bergerigi tajam itu.
Sambil memaki-maki, Rando pun memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.
Edie tetap berdiri membeku menatap pintu lama sebelum dengan pelan menjatuhkan botol itu dan memutar tubuhnya. Tanpa benar-benar melihat Jasmine ia menyambar selimut hotel. Ia hendak menyelimuti gadis itu ketika mendadak ia terhenti. Gadis itu meringkuk berusaha memeluk dirinya dan menyembunyikan bagian depan tubuhnya. Tapi dengan begitu ia mengekspos bagian belakang punggungnya.
Hawa dingin mengalir di sekujur tubuh Edie. Ia berkedip berharap dirinya salah lihat. Bilur-bilur tidak beraturan itu tetap ada disana. Luka itu sudah sembuh total, dan nyaris
“Apa ibu harus melakukan itu?” tanya Jasmine langsung setelah ibu mengangkat telponnya.Semalaman Jasmine memikirkan kemungkinan tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh lelaki yang mengaku sebagai Rando itu. Dan ia hampir gila memikirkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya tega melakukan itu padanya. Namun, ia tidak memiliki kemungkinan lain kecuali ibu atau saudara-saudaranya yang sudah ngebet ingin dia menikah.“Apa aku benar-benar lupa mengajarimu sopan santun?” sahut ibunya tidak terdengar senang. “Ada apa dengan salam dan sebagainya? Dan kau, setelah mengabaikan ibumu yang sudah bersusah-susah membuat pesta untukmu. Berani-beraninya menelpon ibumu dengan nada seperti itu?”“Apa Ibu sangat ingin saya menikah?” Jasmine mengabaikan omelan ibunya. “Apa sangat penting bagi ibu untuk melihat semua anak ibu untuk menikah? Meski saya tidak menginginkannya?”
“Dimana Edie?” tanya Jasmine.Kasak kusuk di pantry langsung terhenti dengan kedatangan Jasmine. Para karyawan yang sedang berada disana menoleh dan terdiam. Seseorang yang dikenali Jasmine bernama Hanif itu bangkit dari duduknya dan menjawab, “Setelah kejadian tadi dia pergi keluar dan belum kembali bu.”Jasmine melihat jam tangannya gusar. “Ini bahkan belum jam istirahat.”“Sebenarnya…” Hanif terlihat ragu.“Ada apa?”“Maaf, tapi sebenarnya Edie sering begitu, bu Jasmine,” kata Hanif akhirnya. “Membolos tanpa alasan yang jelas.”“Hei, kenapa kau bilang?” bisik yang lain.Alis Jasmine sedikit terangkat. “Kenapa? Ada apa?”Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak serba salah.“Edie sebenarnya tidak terlalu suka bicara,” sahut Hanif lagi. &ldquo
Perlahan, Edie yang bergerak lebih dulu. Mengumpulkan semua obat dan memasukkannya ke dalam kotak. “Kenapa tidak ada yang tahu?” tanyanya, memecah keheningan yang tiba-tiba terasa mencekam.“Huh? Apa?”“Kak Julia dan Jenni sepertinya tidak tahu tentang luka itu. Bagaimana bisa menyembunyikan hal separah itu seorang diri?”Jasmine beringsut menjauh dari Edie. Tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Perhatian Edie ataukah rasa malunya. Edie menghembuskan nafas gusar, “Saya akan membunuh orang brengsek itu.”“Apa? Siapa?” “Hadi dan gigolo itu.”“Jangan sembarangan!” sergah Jasmine. “Kau bisa masuk penjara!”“Persetan.”“Aku tidak akan memaafkanmu.”Keduanya kembali berpandangan tajam.“Dan aku tidak akan pernah mengunjungimu jik
Jasmine membuka matanya. Ia mengerjapkan mata dengan bingung. Ia berada dikamarnya, tapi sebuah tabung infus tergantung disisinya. Jasmine menatap ke sekelilingnya.Sepi.Kamarnya juga masih seperti biasanya. Kecuali sofa itu, pikirnya saat mendapati sebuah bantal dan selimut di sofa itu seolah-olah seseorang telah tidur disana semalam. Siapa?Jasmine menatap nakas di sebelahnya dan menemukan sebuah mangkok besar dan handuk kecil yang tampaknya digunakan untuk mengompresnya. Jasmine menyentuh dahinya sendiri. Ada apa dengannya?Jasmine mencoba untuk bangun. Namun rasa pening menyerang kepalanya. Jasmine mengaduh pelan dan kembali membaringkan dirinya. Apa yang terjadi? Pikirnya.Ia berusaha mengingat-ingat. Terakhir kali ia pulang kerja…. Tidak. Tadi ia pulang dari rumah Edie. Lelaki muda itu cukup menguras emosinya dengan semua pertanyaannya. Ia terlalu malu untuk tetap bersama Edie dan ingin pulang sendiri
Bukan hanya Joana yang terkejut saat mendapati putrinya berada dikamar tidurnya berdua dengan seorang lelaki. Begitu juga halnya dengan Jasmine dan Edie. Jasmine tak percaya dengan perasaan yang mendadak berkembang pesat dihatinya. Edie tak percaya wanita dihadapannya itu akhirnya mulai menganggapnya lebih dari sekedar anak lelaki!Setelah untuk beberapa saat ketiga orang itu terlalu terkejut untuk melakukan apapun, Edie yang pertama bergerak pelan menarik tangannya dari bibir Jasmine dan berdiri.“Jadi kalian bukan hanya berpacaran tapi juga hidup bersama?”“Apa?”“Apa?”Baik Jasmine maupun Edie menyahut serempak.Dengan geram Joana berjalan cepat menghampiri mereka dan langsung memandang terang-terangan pada Edie. Wanita itu mengenakan celana panjang kain berwarna coklat dan blus lengan pendek berwarna hijau botol. Rambutnya yang berwarna abu-abu disisir rapi dan diikat menjadi sat
Perlahan, Edie berbalik dari pintu apartemen Jasmine dan masuk lift. Ia menekan angka dua puluh, lantai paling atas di gedung apartemen itu. Ia menyandarkan dirinya didinding lift dan memejamkan matanya. Ia nyaris terjaga semalaman karena suhu tubuh Jasmine yang demam tinggi. Kata dokter Arga—yang dipanggilnya semalam—selain dalam kondisi kelaparan, Jasmine juga ada indikasi tekanan yang berat yang menyebabkan kondisinya drop.Jasmine yang dikenalnya selama delapan tahun terakhir bukanlah wanita yang gampang terintimidasi dalam tekanan. Ia tidak akan mampu menjalankan pabrik yang mayoritas pegawainya lelaki kalau semudah itu terintimidasi. Jadi, hal yang bisa dipikirkannya adalah kejadian di hotel itu pasti meninggalkan pengalaman traumatis dalam dirinya. Juga, terungkapnya luka lamanya tentang Akmal. Selama ini ia bertanya-tanya sejauh mana Akmal telah menyakiti Jasmine. Atau sedalam apa Jasmine mencintai Akmal, hingga gadis itu
“Boleh masuk?”Jasmine yang sedang mempelajari cara kerja sebuah mesin baru mengangkat wajahnya dan melihat Hadi berdiri kaku didepan pintu kantornya. Jasmine menggertakkan giginya, menebarkan pandangan di mejanya, mencari sesuatu yang bisa dilempar pada lelaki brengsek itu. Namun satu-satunya barang yang memungkinkan hanyalah laptop yang sedang dipakainya dan telepon ruangan yang selalu ia gunakan untuk berhubungan dengan departemen lain di perusahaan itu.“Kau sudah dipecat,” katanya dingin.Dengan langkah berat Hadi masuk, mendekati meja Jasmine, “Aku minta maaf. Tolong jangan memecatku. ”Selama lima tahun menjabat engineering manager Jasmine cukup mengenal para bawahannya. Ia tahu siapa-siapa yang minta maaf secara ikhlas atau yang sekedar ingin menyelamatkan pekerjaannya. Dan Hadi adalah tipe yang kedua. Meski mengucapkan maaf, namun matanya tetaplah tak mampu menyembunyikan kedengkiannya.&ld
Sore itu Jasmine pulang lebih awal dari biasanya. Ia harus bersiap untuk pulang kekampung halamannya. Ia telah membeli oleh-oleh untuk semua saudara-saudara dan juga tetangga-tetangga dekat mereka.Terakhir kali ia pulang adalah saat lebaran empat bulan yang lalu. Itupun hanya berada disana selama 2 hari. Ia merasa tidak nyaman dengan semua tetangga dan sanak saudara yang selalu berbisik-bisik membicarakan tentang dirinya dan menanyakan tentang kesendiriannya. Ia juga benci tatapan-tatapan prihatin yang tertuju padanya.Karena perusahaan libur selama seminggu penuh selama lebaran ia menghabiskan sebagian besar waktunya di apartemennya. Untunglah kemudian Edie menelponnya. Dan satu jam setelahnya ia sudah datang diapartemennya dan mengajaknya jalan. Jasmine yang nyaris mati kebosanan menyambar kesempatan itu dan mengajak Edie berwisata ke sepanjang pantai pantura hingga banyuwangi. Mereka mengunjungi semua tempat wisata yang menarik hati mereka, menginap d