“Belum ada kabar dari pak Julian?” tanya Edie pada Hendra, pengacara perusahaan yang mendampinginya selama penyelidikan atas runtuhnya bangunan mall yang sedang dalam tahap pembangunan itu.
Sudah dua hari ia berada kantor polisi untuk penyidikan kasus runtuhnya bangunan mall rancangannya yang sedang dalam tahap pembangunan. Namun sekalipun ia belum melihat Julian—yang ingin sekali dibunuhnya saat ini.
“Mereka belum menemukannya.”
Edie mengusap wajahnya dengan gusar. “Bajingan itu.”
Hari sudah larut malam ketika akhirnya Edie diijinkan untuk meninggalkan kantor polisi. Para wartawan yang berkumpul di depan kantor polisi langsung menyerbunya. Edie yang sudah kehabisan tenaganya hanya diam saja membiarkan pengacaranya menjawab semua pertanyaan wartawan itu. Syukurlah Mia yang menunggunya di luar langsung membukakan pintu mobil untuknya hingga ia segera terbebas dari kerumuman itu.
“Bapak ba
Edie tidak bisa melepaskan tatapannya dari Jasmine. Mata Jasmine tampak lelah. Blusnya yang berwarna putih itu tidak mampu menutupi tubuhnya yang kurus.“Bagaimana kabarmu?” tanya Edie serak. Ia sangat merindukan Jasmine, namun ia sadar betul apa yang telah dilakukannya selama ini menyakiti gadis itu lebih dari yang dipikirkannya.“Biasa saja,” sahut Jasmine menghindari tatapan Edie yang terasa mengulitinya. “Maya memastikan aku makan tiap hari. Dia bilang kau yang menyuruhnya.”“Kau lebih kurus.”“Kau juga.”Edie menaruh sendoknya dan minum. “Aku mencemaskanmu. Kau seringkali mengabaikan rasa laparmu.”Jasmine mengambil kembali sendok yang baru ditaruh Edie. “Makanlah lagi. Apa ini saatnya mengkhawatirkan aku?”Edie kembali memakan buburnya. Namun setelah beberapa suap ia menyerah. “Sudah cukup.”“Dua
“Aku akan ikut masuk denganmu.”“Apa yang akan kau katakan pada Anton?” tanya Jasmine.Semalam ia benar-benar lupa kalau Anton sedang menginap dirumahnya. Awalnya ia hanya ingin menghibur Edie dengan menemaninya disisinya. Namun setelah melihatnya, begitu sedih dan patah hati. Jasmine menjadi lupa diri dan merengkuh lelaki yang sangat dirindukannya itu. Ia ingin menghiburnya dan membuatnya melupakan sejenak masalah yang membelenggunya.Ia berencana pulang pagi-pagi sekali dengan harapan Anton belum bangun tidur. Namun Edie kembali mendekap dan menciuminya hingga mereka lupa diri, sekali lagi.Hari sudah terang ketika akhirnya ia benar-benar bangun. Ia berniat untuk langsung pulang, namun sekali lagi Edie berhasil meyakinkannya untuk sarapan dulu bersamanya—karena dia sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Dan sekarang, Edie dengan keras kepala ingin mengantarnya hingga depan pintu apartemennya.&ld
Siang itu, Edie pergi ke Rumah Sakit untuk mengunjungi korban runtuhnya bangunan mall. Awalnya ia akan berangkat sendiri bersama Mia, sekretarisnya. Namun Jasmine bersikeras untuk ikut dan mendampinginya. Ia bahkan mengajukan cuti tiga hari untuk mendampinginya. Diakui atau tidak, Edie sangat berterima kasih pada wanita terkasihnya itu.Sudah sejak lama Jasmine merupakan sosok yang istimewa di hatinya. Dulu ia adalah sahabat, penyemangat dan pendukung terbesarnya. Kini, Jasmine adalah nafas dan masa depannya. Kehadiran Jasmine disisinya kini memberikan lebih banyak keberanian untuk menghadapi masalah yang tengah menderanya.Tak perduli benar atau salah, kecelakaan itu sudah terjadi. Dan ia masuk dalam lingkaran penyebab malapetaka itu. Jasmine meyakinkan dirinya untuk menghadapi semuanya dengan t
Erick dan Heru seketika berdiri. Seorang bapak-bapak dengan rambut putih masuk dengan dengan murka. Julian yang semula terpekur mendongak. Seketika ia berdiri dan mundur, tampak ketakutan.Lelaki yang tak lain adalah Sasongko itu terus maju dan menerjang ke arah Julian. Ia mengepalkan tinjunya dan mengayunkannya. Tinjunya tepat mengenai hidung lelaki itu. Julian terjengkang menimpa meja dibelakangnya dan terjatuh. Belum puas dengan itu, Sasongko mendorong Julian hingga terbaring ditanah dan menaikinya. Ia kembali mengayunkan tinjunya dengan brutal. Beberapa kali mengenai pipi dan pelipis lelaki yang sebaya dengannya itu.Beberapa anggota kepolisian yang sebelumnya tertegun kemudian dengan cepat menghampiri dan menarik Sasongko. “Pak, tunggu pak, hentikan!”“Lepaskan! Dasar bajingan!” teriak Sasongko. “Apa kau manusia?!”Salah satu anggota polisi juga membantu Julian bangun. Ia mengaduh kesakitan. Sudut bib
Joana melihat ke langit, sudah beberapa hari hujan turun terus setiap hari. Untunglah hari ini matahari bersinar sepanjang hari. Ia memiliki waktu untuk menyiangi tanaman sayurnya dikebun di belakang rumah. Ia mengenakan topi lebar dan juga mengambil cangkul kecil dari gudang. Dengan penuh tekad ia berangkat ke kebun. Tanaman sayurnya sudah tinggi, baik terong maupun kacang panjangnya sudah mulai berbunga dan bahkan sebagian sudah memperlihatkan buahnya. Namun karena hujan turun lebat hampir setiap hari, rumputnya juga tumbuh dengan suburnya. Kalau hari tidak hujan ia mungkin bisa menyiangi seluruh rumput hari ini.Julia dan Jennifer akan memarahinya jika tahu ia bekerja di kebun. Mereka selalu bilang ia bisa menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan di kebun. Tahu apa mereka? Dia bisa gila kalau hanya diam saja seharian dirumah. Ia memang sudah tua, tapi tinggal diam dirumah sepanjang hari membuatnya terasa renta.Joana mulai membersihkan rumput-rumput liar
Keheningan pagi membangunkan Jasmine dari tidur nyenyaknya. Ia mengulurkan tangannya kesamping dan menemukan dirinya sendirian dikamar itu. Jasmine mengambil ponselnya dan melihat sudah jam lima lewat enam menit.Jasmine turun dari tempat tidur sambil mengenakan sandal kamarnya. Ia menyeret langkahnya menuju jendela kamar dan membukanya, membiarkan angin dingin menerpa lembut wajahnya. Suara burung dan ayam terdengar menyambut pagi. Namun selain itu tidak terdengar apapun. Jasmine melongok ke halaman rumah juga nampak sepi.Kemarin sore ia berkunjung kerumah ibunya. Setidaknya dua kali sebulan ia selalu datang dan menginap disana. Begitu juga semua saudara-saudaranya beserta keluarganya. Jadi, kecuali semua pingsan, tidak mungkin akan sesunyi ini.Penasaran, Jasmine keluar kamarnya.“Hei, sayang,” sapa Edie begitu ia keluar dari kamar. Suaminya itu muncul dari arah dapur. Aroma wangi kopi menguar darinya.Jasmine tersenyum malas dan mem
Ia ingin mati.Rasa sakit yang tak tertahankan menjalar di sekujur tubuh Jasmine. Luka ini sudah terlalu lama membelenggu dan menguasainya hingga ia nyaris tak mampu lagi menanggungnya.“Bertahanlah, Jasmine. Tolong bertahanlah.” Jasmine merasa tubuhnya melayang dalam gendongan kekasihnya. “Kita sudah tiba dirumah sakit. Dokter akan segera menolongmu.”Jasmine berusaha memberontak disela tenaganya yang kian lemah. Ia tidak ingin ke rumah sakit. Dokter tidak akan bisa menolongnya. Lukanya sudah terlalu parah untuk disembuhkan. Sakit dalam dirinya tak mungkin akan bisa terobati oleh obat manapun dan siapapun. Ia tahu dirinya tak akan pernah bisa sembuh lagi seperti sediakala.“Kau akan selamat,” terdengar suara Akmal lembut disela-sela kesadarannya Jasmine yang semakin menjauh. Suara itu terdengar sangat mencemaskan dirinya. “Kau pasti akan selamat. Aku pastikan kau akan selamat.”Jasmine menggeleng lem
Jam digital di atas meja masih menunjukkan pukul 05.21. Jasmine sudah siap berangkat bekerja. Ia sengaja bersiap lebih awal hari ini. Ia mengenakan kaus kaki dan kemudian sepatu safety-nya. Ia memasukkan laptop ke dalam tas punggungnya berikut kotak kacamata, dompet, dan peralatan tulisnya. Ia juga mengambil handphone dan menaruh disaku celananya. Jasmine menatap dirinya dikaca. “Selamat ulang tahun, Jasmine.” Bel pintu berbunyi. Jasmine memejamkan mata dan berguman, “Mereka bersemangat sekali.” Bel kembali berbunyi. Sekali lagi Jasmine menatap bayangannya di cermin dan menghembuskan nafas cepat. Ia tahu salah satu saudaranya bakalan ada yang akan datang kerumahnya hari itu. Hanya saja ia tidak menduga akan sepagi itu. Dua orang saudaranya tepatnya. Julia dan Jennifer—kakak dan adiknya, berdiri didepan pintu. Raut wajah mereka jauh dari ramah. Ekor kuda Jennifer yang dicat kecoklatan bergoyang-goyang cepat saat