Jam digital di atas meja masih menunjukkan pukul 05.21.
Jasmine sudah siap berangkat bekerja. Ia sengaja bersiap lebih awal hari ini. Ia mengenakan kaus kaki dan kemudian sepatu safety-nya. Ia memasukkan laptop ke dalam tas punggungnya berikut kotak kacamata, dompet, dan peralatan tulisnya. Ia juga mengambil handphone dan menaruh disaku celananya.
Jasmine menatap dirinya dikaca. “Selamat ulang tahun, Jasmine.”
Bel pintu berbunyi.
Jasmine memejamkan mata dan berguman, “Mereka bersemangat sekali.”
Bel kembali berbunyi. Sekali lagi Jasmine menatap bayangannya di cermin dan menghembuskan nafas cepat. Ia tahu salah satu saudaranya bakalan ada yang akan datang kerumahnya hari itu. Hanya saja ia tidak menduga akan sepagi itu.
Dua orang saudaranya tepatnya.
Julia dan Jennifer—kakak dan adiknya, berdiri didepan pintu. Raut wajah mereka jauh dari ramah. Ekor kuda Jennifer yang dicat kecoklatan bergoyang-goyang cepat saat sang empunya melangkah masuk dengan sandal hak tingginya terentak-entak kelantai. Seolah ingin memastikan Jasmine tahu kekesalannya.
“Kau benar-benar sibuk?” Julia bertanya dengan menahan kesal.
Jasmine menutup pintu pelan. Dengan enggan mengikuti kedua saudarinya itu. Jennifer melemparkan tasnya disofa dan membanting dirinya disana. Julia berjalan lurus ke dapur dan mengambil gelas. “Kau punya teh panas?”
Jasmine menunjuk teko kecil diatas meja. “Kopi.”
Julia menuangkan kopi untuk dirinya sendiri dan menyesapnya. Baru kemudian menatap adiknya yang masih berdiri dengan tas dibahunya.
“Taruh dulu tasmu. Kita harus bicara.”
“Kalau ini masalah pesta semalam…”
“Ya, masalah itu,” tukas Jennifer. “Kau membuat kami naik bis jam satu malam padahal kami baru saja menyiapkan pesta seharian untuk ulang tahunmu.”
Tanpa menutupi rasa enggannya Jasmine duduk disalah satu sofa, namun tidak menurunkan tasnya.
“Aku sudah bilang tidak bisa datang.”
“Tidak bisa atau tidak mau?” sela Jennifer seraya mengambil cangkir dari tangan Julia. Ia akan meminumnya namun kemudian mengurungkannya. “Kau tidak punya teh?”
Julia mengambil kembali cangkirnya dari tangan Jennifer. “Hampir seminggu penuh ibu sibuk menyiapkan perayaan ulang tahunmu.”
“Ibu mengundang seluruh keluarga, bibi, paman dan saudara-saudara lain,” sambung Jennifer. “Tapi kau, orang yang menjadi alasan ibu membuat acara itu malah tidak datang.”
“Kau juga sengaja mematikan hape-mu,” sambung Julia.
“Kau tahu bagaimana malunya ibu?” Jennifer menyambar kembali. “Bagaimana malunya kami? Bagaimana cemasnya kami karena tidak bisa menghubungimu? Kami sudah memikirkan hal-hal buruk tentangmu!”
“Maaf.”
Jawaban pendek Jasmine malah membuat Jennifer semakin kesal.
“Kau sengaja melakukan itu untuk mempermalukan kami bukan?”
“Aku tidak pernah merayakan ulang tahun saat anak-anak,” ujar Jasmine datar. “Kenapa aku harus melakukannya saat usiaku sudah segini?”
“Kau tahu bagaimana ibu,” kata Julia. “Setidaknya kau bisa menghargai niat baiknya. Ibu benar-benar menginginkan kebahagiaanmu.”
“Minta maaflah. Sikapmu itu sangat menyakiti ibu,” sambung Jennifer kesal.
Bagaimana itu bisa menjadi kesalahannya? Ia sudah berulang kali menolak acara itu. Saat ibunya menelponnya dan mengatakan semua telah siap, ia mengalami dilema antara datang atau tidak. Tapi kemudian ia memilih untuk tidak pergi dan mematikan handphonenya. Bukan untuk menyakiti ibunya, tapi lebih untuk melindungi dirinya sendiri.
“Aku harus lembur semalam dan ibu tahu aku tidak akan datang,” kata Jasmine sembari melirik jam tangannya. Ia sudah tidak sabar untuk segera pergi. Semua pekerjaan berlumur oli dipabrik terasa lebih menggiurkan dibandingkan melakukan pembicaraan ini.
“Ibu pasti berharap kau tidak akan setega itu,” ujar Julia getir.
“Lagipula kau punya banyak bawahan, kan?” sambung Jennifer masih kesal.
“Aku tidak bisa meninggalkan mereka.”
Oke, yang ini bisa dipertanyakan kebenarannya. Ia memiliki tiga orang engineer cerdas dan selusin lebih mekanik yang terlatih dengan baik. Satu hal yang selalu dilakukannya, ia tidak pernah membiarkan bawahannya tergantung pada teman atau atasan. Ia memastikan semuanya mampu menganalisis dan mengatasi permasalahan yang terjadi pada mesin. Dan sejauh ini ia cukup berhasil hingga ia nyaris bisa mempercayakan seluruh permasalahan yang terjadi dipabrik pada mereka.
Hanya saja, ia tidak akan menyombongkan hal itu pada Julia dan Jennifer sekarang. Karena sesungguhnya ia sangat bersyukur atas problem yang terjadi di pabrik semalam.
“Kau seorang manager,” Jennifer menegaskan sekali lagi. “Kau tidak harus selalu ada disana selama dua puluh empat jam untuk menunggui pabrik berjalan.”
Jennifer memang selalu cerdas dan tidak mudah tertipu. Disaat tertentu Jasmine berharap adiknya itu tidak mudah tanggap secepat itu.
Umurnya hanya merupakan salah satu dari sekian masalah yang membuat pertikaian sering terjadi antara dia dan ibunya. Kemarin adalah hari ulang tahunnya yang ketiga puluh lima dan Itu membuat ibunya semakin kelabakan mencarikan jodoh untuknya.
Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara. Satu-satunya anak perempuan yang belum menikah. Julia sudah hidup mapan dengan suami dan ketiga anaknya. Jessica sekarang tinggal di luar negeri dengan suaminya dan juga memiliki dua orang anak balita. Jennifer sudah menikah dua tahun yang lalu meski belum memiliki anak. Sementara Anton—adik bungsunya—sudah bersiap melamar Yuri, kekasihnya.
Ia merasa nyaman dan aman dengan kesendiriannya. Tapi tidak begitu halnya dengan ibu dan saudara-saudaranya. Kesendiriannya adalah bara yang selalu menjadi sumber pembicaraan—pertikaian—diantara dia dan keluarganya.
“Ibu sangat kecewa, Jasmine,” kata Julia, berusaha keras untuk mengendalikan kejengkelannya.
“Aku akan menelpon ibu,” Jasmine bangkit. “Nanti.”
“Tunggu dulu,” pinta Julia. “Kami sengaja datang pagi-pagi kemari agar kau tidak menggunakan alasan pekerjaan.”
“Aku memang harus bekerja,” kata Jasmine. “Aku akan menelpon ibu nanti malam.”
“Bagaimana kau bisa setenang itu?” Jennifer terheran-heran.
“Aku tidak suka dengan pesta ulang tahun atau pesta apapun,” tukas Jasmine, menekankan setiap katanya. “Aku tidak suka kalian berkumpul dan mengingatkan aku pada umurku. Lalu ujung-ujungnya, kalian akan memojokkan aku dan mendesakku untuk segera mencari lelaki mana saja yang berminat denganku.”
“Jas…mine!”
Julia tampak terkejut dan nyaris tak mampu menahan amarahnya. Sementara Jennifer hanya bisa menutup mulutnya saking terkejutnya.
“Astaga, mbak Jasmine!” pekik Jennifer dengan suara melengking. “Bisa-bisanya kau bicara sekasar itu?”
“Kami memang ingin kau segera menikah!” suara Julia meninggi. “Tapi bukan … astaga Jasmine. Kami menyayangimu. Karena itu kami memikirkanmu.”
“Kalian hanya tidak tahan mendengar gunjingan tetangga saja bukan?” sahut Jasmine keki.
Keluarganya memang tinggal dipinggiran kota Kediri yang mana warganya masih aktif bersosialisasi dan suka menggosipkan segalanya. Dan dia yang sudah dua kali ‘dilangkahi’ adiknya sudah tentu menjadi bahan perbincangan.
“Apa itu penting sekarang?” sahut Julia sakit hati. “Kau tahu sudah berapa lama kami menghadapi gosip-gosip yang kau timbulkan? Apa kau pikir itu masih membuat kami kaget? Ya, mereka memang membicarakanmu, tapi kami sudah tidak perduli lagi. Kami sudah kebal dengan semua gosip yang kau timbulkan pada keluarga kita!”
Beberapa lama Jasmine terdiam, sedikit tersentuh oleh perkataan kakaknya.
“Yang kami inginkan sekarang adalah, kau hidup normal dan memiliki keluargamu sendiri. Kami ingin kau bahagia.”
“Aku baik-baik saja sekarang.” Jasmine kembali bangkit. Ia menyambar kunci mobil diatas nakas. “Aku harus berangkat.”
Jennifer menghela nafas muram, “Kau tidak bisa selamanya mengabaikan masalah ini.”
“Aku tahu apa yang kubutuhkan,” kata Jasmine datar.
“Kau ingin kami percaya kau baik-baik saja?!” seru Jennifer tidak sabar. “Bekerja dan hanya bekerja seumur hidupmu? Apa hanya itu semua yang kau butuhkan?”
Jasmine menghela nafas panjang, “Aku tidak bermaksud mengungkit, tapi kupikir aku memang tidak punya pilihan selain harus bekerja. Dari dulu juga begitu.”
Kedua perempuan itu serta merta terdiam. Mereka harus mengakui, sebagian besar karena Jasmine-lah hingga mereka bisa hidup hingga sekarang.
Baik Julia maupun Jennifer dipaksa kembali mengingat ke masa kecil mereka. Hari dimana ayah mereka pergi meninggalkan keluarga mereka. Pagi-pagi, ayahnya sudah berbenah, mengenakan pakaian terbaiknya, membawa sebuah tas kecil dan sepatu yang baru dibelinya dari pasar kemarin. Ayah bilang temannya mau mengajaknya bekerja di kota sebelah. Namun kenyataannya, itulah kali terakhir mereka bertemu dengan ayah mereka. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini waktu sudah dua puluh tahun berlalu. Tanpa ada secuil kabarpun yang pernah mereka terima. Saat itu, kondisi keluarga mereka benar-benar menyedihkan. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga tanpa keahlian apapun. Masih ingat jelas di benak mereka bagaimana ibunya setiap pagi buta pergi ke pasar berjualan apa saja, berusaha untuk menghidupi kelima anaknya. Julia sakit-sakitan pada waktu masa remajanya dan adik-adiknya masih terlalu kecil untuk bekerja. Menginjak SMP Jasmine mulai bek
Langkah Jasmine terhenti. Seorang pemuda keluar dari lift. Menatapnya dengan salah tingkah. Dia Edie, sahabatnya. Ia sudah mengenal pemuda itu bertahun-tahun yang lalu dan sekarang juga bekerja di kantor yang sama dengannya. Jasmine mengeluh lirih. Bagaimana ia bisa lupa semalam Edie mengirim pesan padanya, dan bilang akan datang pagi-pagi untuk mengantarnya. Tak perlu ditebak, Edie pasti mendengar apa yang baru saja ia teriakkan. Pemuda itu tersenyum ragu dan menyapa, “Hai.” Jasmine tersenyum kecut dan menghampiri pemuda itu, “Hai. Sudah kubilang aku akan nyetir sendiri.” “Saya sudah berjanji akan menyetir pagi ini.” Edie menyodorkan sebuah kantong kertas pada Jasmine. Jasmine memeriksanya. Dua buah pastry hangat dan sebotol jus jeruk. “Terima kasih,” guman Jasmine, masih tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Jasmine menekan tombol lift. Saat itu pintu lift terbuka lagi dan mereka berdua masuk bersama.&nb
Jasmine marah besar, Edie mengamati. Sudah bertahun-tahun sejak mereka saling kenal namun jarang sekali ia melihat Jasmine semarah ini. Oke, dikantor itu beda lagi. Kalau masalah pekerjaan—meski seorang wanita—Jasmine termasuk di segani oleh para bawahannya. Setidaknya ia akan marah beberapa kali dalam seminggu. Namun kemarahan Jasmine dalam urusan pekerjaan selalu beralasan dan biasanya alasan itu benar adanya. Jasmine sadar ia harus bersikap keras dan sedikit otoriter jika ingin dihargai para lelaki itu.Jennifer tadi mengatakan dengan keras mana mungkin di pabrik yang mayoritas pekerjanya lelaki tidak ada yang tertarik pada Jasmine sama sekali? Jawabannya adalah ada dan tidak sedikit. Jennifer mungkin akan terkejut kalau tahu berapa banyak lelaki di pabrik yang tertarik secara romantis pada kakaknya ini. Atau setidaknya pada awalnya begitu sebelum tahu tabiatnya yang keras. Ada dua kriteria para lelaki yang menyukai Jasmine. Pertama, meny
Hari ini hanyalah satu hari lain yang sama seperti hari-hari sebelumnya bagi Jasmine. Selain kedatangan kedua saudaranya pagi ini rutinitasnya di kantor masih sama. Pertama-tama ia akan menaruh tasnya di kantor, kemudian ia akan berkeliling melakukan pengecekan secara menyeluruh. Mendelegasikan pekerjaan pada para engineernya dan sekitar jam sepuluh ia akan sampai kembali dikantor dan menyelesaikan agenda pekerjaan hari itu. Hari ini ia akan meeting dengan Mr. Barness Presiden direktur perusahaan dan kemudian akan mengerjakan laporan rutin mingguan dan sore hari ia akan kembali meeting dengan keempat engineernya.Ia baru saja duduk dikantornya ketika Edie muncul dengan membawakan segelas tinggi teh hitam dingin untuknya. Jasmine menyunggingkan senyumnya dan berterima kasih.“Aku selalu bertanya-tanya apakah kau memakai alarm atau memang sengaja mengawasiku dari pantry?”Edie menatap Jasmine bingung. “Apa maksudnya?”
“Hai,” seorang lelaki muda yang tampan membukakan pintu suite room untuknya.“Selamat Siang, saya Jasmine,” kata Jasmine memperkenalkan diri.“Selamat Siang, masuklah,” lelaki itu tersenyum ramah.Jasmine melangkah masuk ke ruangan hotel yang mewah itu. Namun kesunyian di ruangan itu membuatnya mengernyit. Dan aroma kamar itu terlalu harum untuk sebuah pertemuan resmi.“Dimana kami akan mengadakan pertemuan?”“Disebelah sini,” sahut lelaki muda itu mengajaknya masuk. “Apakah Mr. Barness sudah menunggu?”Lelaki muda itu menggiringnya masuk. Dan Jasmine langsung tahu ia telah masuk perangkap. Kamar itu sama sekali bukan dirancang untuk pertemuan bisnis. Pencahayaan lampu yang temaram, aroma bunga dan lilin bernuansa romantis langsung menyergap penciumannya. Di meja kaca terdapat botol anggur yang dimasukkan kedalam wadah es. Ju
Rando memaki-maki. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang tiba-tiba menyerbu masuk ini. Namun, tatapan matanya begitu dingin dan penuh teror. Rando yakin, jika ia maju satu langkah saja, pemuda itu pasti akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dan ia tidak mau mati konyol terajam oleh botol yang bergerigi tajam itu.Sambil memaki-maki, Rando pun memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.Edie tetap berdiri membeku menatap pintu lama sebelum dengan pelan menjatuhkan botol itu dan memutar tubuhnya. Tanpa benar-benar melihat Jasmine ia menyambar selimut hotel. Ia hendak menyelimuti gadis itu ketika mendadak ia terhenti. Gadis itu meringkuk berusaha memeluk dirinya dan menyembunyikan bagian depan tubuhnya. Tapi dengan begitu ia mengekspos bagian belakang punggungnya.Hawa dingin mengalir di sekujur tubuh Edie. Ia berkedip berharap dirinya salah lihat. Bilur-bilur tidak beraturan itu tetap ada disana. Luka itu sudah sembuh total, dan nyaris
“Apa ibu harus melakukan itu?” tanya Jasmine langsung setelah ibu mengangkat telponnya.Semalaman Jasmine memikirkan kemungkinan tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh lelaki yang mengaku sebagai Rando itu. Dan ia hampir gila memikirkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya tega melakukan itu padanya. Namun, ia tidak memiliki kemungkinan lain kecuali ibu atau saudara-saudaranya yang sudah ngebet ingin dia menikah.“Apa aku benar-benar lupa mengajarimu sopan santun?” sahut ibunya tidak terdengar senang. “Ada apa dengan salam dan sebagainya? Dan kau, setelah mengabaikan ibumu yang sudah bersusah-susah membuat pesta untukmu. Berani-beraninya menelpon ibumu dengan nada seperti itu?”“Apa Ibu sangat ingin saya menikah?” Jasmine mengabaikan omelan ibunya. “Apa sangat penting bagi ibu untuk melihat semua anak ibu untuk menikah? Meski saya tidak menginginkannya?”
“Dimana Edie?” tanya Jasmine.Kasak kusuk di pantry langsung terhenti dengan kedatangan Jasmine. Para karyawan yang sedang berada disana menoleh dan terdiam. Seseorang yang dikenali Jasmine bernama Hanif itu bangkit dari duduknya dan menjawab, “Setelah kejadian tadi dia pergi keluar dan belum kembali bu.”Jasmine melihat jam tangannya gusar. “Ini bahkan belum jam istirahat.”“Sebenarnya…” Hanif terlihat ragu.“Ada apa?”“Maaf, tapi sebenarnya Edie sering begitu, bu Jasmine,” kata Hanif akhirnya. “Membolos tanpa alasan yang jelas.”“Hei, kenapa kau bilang?” bisik yang lain.Alis Jasmine sedikit terangkat. “Kenapa? Ada apa?”Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak serba salah.“Edie sebenarnya tidak terlalu suka bicara,” sahut Hanif lagi. &ldquo