Hari ini hanyalah satu hari lain yang sama seperti hari-hari sebelumnya bagi Jasmine. Selain kedatangan kedua saudaranya pagi ini rutinitasnya di kantor masih sama. Pertama-tama ia akan menaruh tasnya di kantor, kemudian ia akan berkeliling melakukan pengecekan secara menyeluruh. Mendelegasikan pekerjaan pada para engineernya dan sekitar jam sepuluh ia akan sampai kembali dikantor dan menyelesaikan agenda pekerjaan hari itu. Hari ini ia akan meeting dengan Mr. Barness Presiden direktur perusahaan dan kemudian akan mengerjakan laporan rutin mingguan dan sore hari ia akan kembali meeting dengan keempat engineernya.
Ia baru saja duduk dikantornya ketika Edie muncul dengan membawakan segelas tinggi teh hitam dingin untuknya. Jasmine menyunggingkan senyumnya dan berterima kasih.
“Aku selalu bertanya-tanya apakah kau memakai alarm atau memang sengaja mengawasiku dari pantry?”
Edie menatap Jasmine bingung. “Apa maksudnya?”
“Hai,” seorang lelaki muda yang tampan membukakan pintu suite room untuknya.“Selamat Siang, saya Jasmine,” kata Jasmine memperkenalkan diri.“Selamat Siang, masuklah,” lelaki itu tersenyum ramah.Jasmine melangkah masuk ke ruangan hotel yang mewah itu. Namun kesunyian di ruangan itu membuatnya mengernyit. Dan aroma kamar itu terlalu harum untuk sebuah pertemuan resmi.“Dimana kami akan mengadakan pertemuan?”“Disebelah sini,” sahut lelaki muda itu mengajaknya masuk. “Apakah Mr. Barness sudah menunggu?”Lelaki muda itu menggiringnya masuk. Dan Jasmine langsung tahu ia telah masuk perangkap. Kamar itu sama sekali bukan dirancang untuk pertemuan bisnis. Pencahayaan lampu yang temaram, aroma bunga dan lilin bernuansa romantis langsung menyergap penciumannya. Di meja kaca terdapat botol anggur yang dimasukkan kedalam wadah es. Ju
Rando memaki-maki. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang tiba-tiba menyerbu masuk ini. Namun, tatapan matanya begitu dingin dan penuh teror. Rando yakin, jika ia maju satu langkah saja, pemuda itu pasti akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dan ia tidak mau mati konyol terajam oleh botol yang bergerigi tajam itu.Sambil memaki-maki, Rando pun memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.Edie tetap berdiri membeku menatap pintu lama sebelum dengan pelan menjatuhkan botol itu dan memutar tubuhnya. Tanpa benar-benar melihat Jasmine ia menyambar selimut hotel. Ia hendak menyelimuti gadis itu ketika mendadak ia terhenti. Gadis itu meringkuk berusaha memeluk dirinya dan menyembunyikan bagian depan tubuhnya. Tapi dengan begitu ia mengekspos bagian belakang punggungnya.Hawa dingin mengalir di sekujur tubuh Edie. Ia berkedip berharap dirinya salah lihat. Bilur-bilur tidak beraturan itu tetap ada disana. Luka itu sudah sembuh total, dan nyaris
“Apa ibu harus melakukan itu?” tanya Jasmine langsung setelah ibu mengangkat telponnya.Semalaman Jasmine memikirkan kemungkinan tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh lelaki yang mengaku sebagai Rando itu. Dan ia hampir gila memikirkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya tega melakukan itu padanya. Namun, ia tidak memiliki kemungkinan lain kecuali ibu atau saudara-saudaranya yang sudah ngebet ingin dia menikah.“Apa aku benar-benar lupa mengajarimu sopan santun?” sahut ibunya tidak terdengar senang. “Ada apa dengan salam dan sebagainya? Dan kau, setelah mengabaikan ibumu yang sudah bersusah-susah membuat pesta untukmu. Berani-beraninya menelpon ibumu dengan nada seperti itu?”“Apa Ibu sangat ingin saya menikah?” Jasmine mengabaikan omelan ibunya. “Apa sangat penting bagi ibu untuk melihat semua anak ibu untuk menikah? Meski saya tidak menginginkannya?”
“Dimana Edie?” tanya Jasmine.Kasak kusuk di pantry langsung terhenti dengan kedatangan Jasmine. Para karyawan yang sedang berada disana menoleh dan terdiam. Seseorang yang dikenali Jasmine bernama Hanif itu bangkit dari duduknya dan menjawab, “Setelah kejadian tadi dia pergi keluar dan belum kembali bu.”Jasmine melihat jam tangannya gusar. “Ini bahkan belum jam istirahat.”“Sebenarnya…” Hanif terlihat ragu.“Ada apa?”“Maaf, tapi sebenarnya Edie sering begitu, bu Jasmine,” kata Hanif akhirnya. “Membolos tanpa alasan yang jelas.”“Hei, kenapa kau bilang?” bisik yang lain.Alis Jasmine sedikit terangkat. “Kenapa? Ada apa?”Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak serba salah.“Edie sebenarnya tidak terlalu suka bicara,” sahut Hanif lagi. &ldquo
Perlahan, Edie yang bergerak lebih dulu. Mengumpulkan semua obat dan memasukkannya ke dalam kotak. “Kenapa tidak ada yang tahu?” tanyanya, memecah keheningan yang tiba-tiba terasa mencekam.“Huh? Apa?”“Kak Julia dan Jenni sepertinya tidak tahu tentang luka itu. Bagaimana bisa menyembunyikan hal separah itu seorang diri?”Jasmine beringsut menjauh dari Edie. Tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Perhatian Edie ataukah rasa malunya. Edie menghembuskan nafas gusar, “Saya akan membunuh orang brengsek itu.”“Apa? Siapa?” “Hadi dan gigolo itu.”“Jangan sembarangan!” sergah Jasmine. “Kau bisa masuk penjara!”“Persetan.”“Aku tidak akan memaafkanmu.”Keduanya kembali berpandangan tajam.“Dan aku tidak akan pernah mengunjungimu jik
Jasmine membuka matanya. Ia mengerjapkan mata dengan bingung. Ia berada dikamarnya, tapi sebuah tabung infus tergantung disisinya. Jasmine menatap ke sekelilingnya.Sepi.Kamarnya juga masih seperti biasanya. Kecuali sofa itu, pikirnya saat mendapati sebuah bantal dan selimut di sofa itu seolah-olah seseorang telah tidur disana semalam. Siapa?Jasmine menatap nakas di sebelahnya dan menemukan sebuah mangkok besar dan handuk kecil yang tampaknya digunakan untuk mengompresnya. Jasmine menyentuh dahinya sendiri. Ada apa dengannya?Jasmine mencoba untuk bangun. Namun rasa pening menyerang kepalanya. Jasmine mengaduh pelan dan kembali membaringkan dirinya. Apa yang terjadi? Pikirnya.Ia berusaha mengingat-ingat. Terakhir kali ia pulang kerja…. Tidak. Tadi ia pulang dari rumah Edie. Lelaki muda itu cukup menguras emosinya dengan semua pertanyaannya. Ia terlalu malu untuk tetap bersama Edie dan ingin pulang sendiri
Bukan hanya Joana yang terkejut saat mendapati putrinya berada dikamar tidurnya berdua dengan seorang lelaki. Begitu juga halnya dengan Jasmine dan Edie. Jasmine tak percaya dengan perasaan yang mendadak berkembang pesat dihatinya. Edie tak percaya wanita dihadapannya itu akhirnya mulai menganggapnya lebih dari sekedar anak lelaki!Setelah untuk beberapa saat ketiga orang itu terlalu terkejut untuk melakukan apapun, Edie yang pertama bergerak pelan menarik tangannya dari bibir Jasmine dan berdiri.“Jadi kalian bukan hanya berpacaran tapi juga hidup bersama?”“Apa?”“Apa?”Baik Jasmine maupun Edie menyahut serempak.Dengan geram Joana berjalan cepat menghampiri mereka dan langsung memandang terang-terangan pada Edie. Wanita itu mengenakan celana panjang kain berwarna coklat dan blus lengan pendek berwarna hijau botol. Rambutnya yang berwarna abu-abu disisir rapi dan diikat menjadi sat
Perlahan, Edie berbalik dari pintu apartemen Jasmine dan masuk lift. Ia menekan angka dua puluh, lantai paling atas di gedung apartemen itu. Ia menyandarkan dirinya didinding lift dan memejamkan matanya. Ia nyaris terjaga semalaman karena suhu tubuh Jasmine yang demam tinggi. Kata dokter Arga—yang dipanggilnya semalam—selain dalam kondisi kelaparan, Jasmine juga ada indikasi tekanan yang berat yang menyebabkan kondisinya drop.Jasmine yang dikenalnya selama delapan tahun terakhir bukanlah wanita yang gampang terintimidasi dalam tekanan. Ia tidak akan mampu menjalankan pabrik yang mayoritas pegawainya lelaki kalau semudah itu terintimidasi. Jadi, hal yang bisa dipikirkannya adalah kejadian di hotel itu pasti meninggalkan pengalaman traumatis dalam dirinya. Juga, terungkapnya luka lamanya tentang Akmal. Selama ini ia bertanya-tanya sejauh mana Akmal telah menyakiti Jasmine. Atau sedalam apa Jasmine mencintai Akmal, hingga gadis itu