Perlahan, Edie berbalik dari pintu apartemen Jasmine dan masuk lift. Ia menekan angka dua puluh, lantai paling atas di gedung apartemen itu. Ia menyandarkan dirinya didinding lift dan memejamkan matanya. Ia nyaris terjaga semalaman karena suhu tubuh Jasmine yang demam tinggi. Kata dokter Arga—yang dipanggilnya semalam—selain dalam kondisi kelaparan, Jasmine juga ada indikasi tekanan yang berat yang menyebabkan kondisinya drop.
Jasmine yang dikenalnya selama delapan tahun terakhir bukanlah wanita yang gampang terintimidasi dalam tekanan. Ia tidak akan mampu menjalankan pabrik yang mayoritas pegawainya lelaki kalau semudah itu terintimidasi. Jadi, hal yang bisa dipikirkannya adalah kejadian di hotel itu pasti meninggalkan pengalaman traumatis dalam dirinya. Juga, terungkapnya luka lamanya tentang Akmal.
Selama ini ia bertanya-tanya sejauh mana Akmal telah menyakiti Jasmine. Atau sedalam apa Jasmine mencintai Akmal, hingga gadis itu
“Boleh masuk?”Jasmine yang sedang mempelajari cara kerja sebuah mesin baru mengangkat wajahnya dan melihat Hadi berdiri kaku didepan pintu kantornya. Jasmine menggertakkan giginya, menebarkan pandangan di mejanya, mencari sesuatu yang bisa dilempar pada lelaki brengsek itu. Namun satu-satunya barang yang memungkinkan hanyalah laptop yang sedang dipakainya dan telepon ruangan yang selalu ia gunakan untuk berhubungan dengan departemen lain di perusahaan itu.“Kau sudah dipecat,” katanya dingin.Dengan langkah berat Hadi masuk, mendekati meja Jasmine, “Aku minta maaf. Tolong jangan memecatku. ”Selama lima tahun menjabat engineering manager Jasmine cukup mengenal para bawahannya. Ia tahu siapa-siapa yang minta maaf secara ikhlas atau yang sekedar ingin menyelamatkan pekerjaannya. Dan Hadi adalah tipe yang kedua. Meski mengucapkan maaf, namun matanya tetaplah tak mampu menyembunyikan kedengkiannya.&ld
Sore itu Jasmine pulang lebih awal dari biasanya. Ia harus bersiap untuk pulang kekampung halamannya. Ia telah membeli oleh-oleh untuk semua saudara-saudara dan juga tetangga-tetangga dekat mereka.Terakhir kali ia pulang adalah saat lebaran empat bulan yang lalu. Itupun hanya berada disana selama 2 hari. Ia merasa tidak nyaman dengan semua tetangga dan sanak saudara yang selalu berbisik-bisik membicarakan tentang dirinya dan menanyakan tentang kesendiriannya. Ia juga benci tatapan-tatapan prihatin yang tertuju padanya.Karena perusahaan libur selama seminggu penuh selama lebaran ia menghabiskan sebagian besar waktunya di apartemennya. Untunglah kemudian Edie menelponnya. Dan satu jam setelahnya ia sudah datang diapartemennya dan mengajaknya jalan. Jasmine yang nyaris mati kebosanan menyambar kesempatan itu dan mengajak Edie berwisata ke sepanjang pantai pantura hingga banyuwangi. Mereka mengunjungi semua tempat wisata yang menarik hati mereka, menginap d
Jasmine menyeret Edie ke kamarnya, menutup pintu rapat-rapat dan mendorongnya hingga pemuda itu terjajar didinding.“Apa yang kau lakukan?” semprotnya. “Tujuan kita kemari untuk menjelaskan pada ibu bahwa kita tidak berkencan, bukannya minta restu.”Edie menghindari tatapan Jasmine, namun ia meringis. Tangan Jasmine sangat kuat menahannya tetap didinding, “Beliau sakit.”“Kau bilang kita akan menjelaskannya secara baik-baik hingga ibu mengerti,” desis Jasmine gusar. Ia menjaga suaranya agar tidak sampai terdengar dari luar.“Tapi akan sangat bahaya kalau sampai tekanan darahnya naik lagi. Wajahnya sangat pucat.”Jasmine meremas kaus depan Edie sebelum melepaskan pemuda itu dan berjongkok, memeluk kedua lututnya. Ia benar-benar bingung.Edie berdeham lirih dan ikut berjongkok di sebelah gadis itu. “Jangan terlalu khawatir. Kita akan menjelaskannya setelah beliau l
Seolah mengerti kehawatirannya, Edie merengkuh bahu Jasmine dan meremasnya pelan.“Tidak apa-apa,” bisiknya seraya melemparkan sebuah senyuman lembut padanya sebelum mengikuti Anton.Jasmine kembali terpaku. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Edie yang memperlakukannya seolah dirinya benar-benar wanita yang dicintainya. Ya ampun. Ia mengipasi wajahnya yang terasa membara. Ia sungguh penasaran, kemana lenyapnya cowok sederhana yang selalu bersikap malu-malu itu?“Bagus sekali. Kau bilang kalian tidak punya hubungan, hah?” Julia mendekatinya. “Lalu apa itu tadi? Akting? Dia bukan aktor bukan?”“Kalau dia aktor ngapain dia disini bersamaku sekarang?” gerutu Jasmine. Sedikit linglung, Jasmine meninggalkan Julia dan berbalik kekamarnya. Ia buru-buru mandi dan berganti pakaian. Takut jika Edie sudah keluar duluan dan menjadi bulan-bulanan ibu dan saudara-saudaranya.Jasmine merasa lega k
Di ruang makan, Edie menarikkan kursi untuknya. Dengan senyum menawannya ia mempersilakan Jasmine duduk. Meski sedikit kikuk dengan pertunjukan kemesraan itu, mau tidak mau senyum Edie membuatnya ikut tersenyum. Begitu duduk ia langsung bertemu pandang dengan ibunya yang tengah mengawasi gerak-gerik mereka.“Jasmine, perkenalkan kami padanya.”Permintaan Merry itu otomatis membuat perhatian Jasmine teralih dari ibunya.“Oh, ya,” Jasmine berusaha menguasai dirinya. “Karena ini pertama kalinya dia kesini maka aku perkenalkan saja pada semuanya. Edie, ibuku, Julia, Jennifer, dan Anton kau sudah kenal semua….” Kemudian satu persatu Jasmine memperkenalkan semua orang yang ada diruang makan itu satu persatu yang total ada sembilan belas orang. “Ini adalah Edie Sandyano.”“Kau lebih muda dari Jasmine, bukan?” tanya Merry sambil memamerkan senyum manisnya. Disebelahnya, Naya be
Jasmine menyibakkan selimutnya dan duduk ditengah temaram kamarnya. Jam dinding kamarnya sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam, namun ia tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Ia mengambil botol minum di meja dan meminumnya banyak-banyak. Ia kembali duduk di tepian tempat tidurnya dan menghela nafas panjang beberapa kali.“Ini akibatnya kalau berbohong,” gerutunya sambil kembali memukul-mukul dadanya. Ia yakin jantungnya belum pernah berdebar sekencang ini atau selama ini. Bahkan saat pertama kali berpacaran dengan Akmal sekalipun.Jasmine tertegun.Kalau dipikir-pikir, bukan kebohongan-kebohongannya yang membuat jantungnya bermasalah. Jasmine memegang kepalanya ngeri. Yah, ia tahu benar kapan dan siapa yang membuat jantungnya mulai berdebar sekencang ini.“Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?”Jasmine mengipas-ngipasi wajahnya yang terasa membara. Ia menghela nafas panjang beberapa kali, berusa
Jasmine berusaha menepiskan rasa sesak yang memenuhi dadanya. Ya Tuhan, selamatkan hambamu ini, batinnya pilu. Kenapa dia merasa sakit membayangkan Edie akan menyatakan cintanya pada gadis lain?“Kurasa dia cantik?”“Sangat.”“Secantik itu?” Jasmine berdeham. “Ah, kenapa aku iri padanya?”Edie menatap Jasmine beberapa saat, “Dia cantik, tapi tidak terlalu perduli dengan kecantikannya. Dia juga cerdas. Kecerdasannya seperti sebuah pancaran magnet dari dalam dirinya, membuat orang-orang disekitarnya tertarik padanya. Dia juga sangat mandiri. Sangat yakin pada dirinya sendiri. Tidak membutuhkan perhatian ataupun sanjungan dari siapapun.”“Wah,” bisik Jasmine, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melilit hatinya. Hanya mendengar kata-katanya ia tahu Edie memuja siapapun wanita itu.“Tapi… kemandiriannya kadang membuat orang yang ingin mendeka
Suara pekikan riuh rendah membangunkan Jasmine dari tidurnya yang nyenyak. Jasmine meraba-raba dan menemukan hapenya diatas meja. Ia memaksa dirinya membuka mata untuk melihat jam. Sudah jam enam lewat!Jasmine menggeliat dan duduk. Perlahan ia membuka matanya. Ia sudah lama sekali tidak tidur senyenyak itu. Biasanya jam berapapun ia tidur ia akan selalu terbangun jam empat pagi dan ia tidak akan bisa tidur lagi.Jasmine merapikan rambutnya dan tertegun. Bukankah semalam ia tidur ditaman belakang? Mata Jasmine benar-benar terbuka sekarang. Bagaimana ia bisa terbangun dikamarnya?Kening Jasmine mengernyit, apa ia berjalan sambil tidur ke kamarnya?Atau perbincangannya dengan Edie semalam hanya mimpi?“Itu bukan mimpi,” gelengnya. Lalu bagaimana ia bisa tidur dikamarnya? Jasmine berfikir dan sebuah kilasan ingatan samar berkelebat dalam benaknya. Seseorang mengangkat dan menggendongnya. Dan ia mengalungkan kedu