Langkah Jasmine terhenti.
Seorang pemuda keluar dari lift. Menatapnya dengan salah tingkah. Dia Edie, sahabatnya. Ia sudah mengenal pemuda itu bertahun-tahun yang lalu dan sekarang juga bekerja di kantor yang sama dengannya.
Jasmine mengeluh lirih. Bagaimana ia bisa lupa semalam Edie mengirim pesan padanya, dan bilang akan datang pagi-pagi untuk mengantarnya. Tak perlu ditebak, Edie pasti mendengar apa yang baru saja ia teriakkan.
Pemuda itu tersenyum ragu dan menyapa, “Hai.”
Jasmine tersenyum kecut dan menghampiri pemuda itu, “Hai. Sudah kubilang aku akan nyetir sendiri.”
“Saya sudah berjanji akan menyetir pagi ini.”
Edie menyodorkan sebuah kantong kertas pada Jasmine. Jasmine memeriksanya. Dua buah pastry hangat dan sebotol jus jeruk.
“Terima kasih,” guman Jasmine, masih tidak bisa menyembunyikan rasa malunya.
Jasmine menekan tombol lift. Saat itu pintu lift terbuka lagi dan mereka berdua masuk bersama. Sementara Julia dan Jennifer hanya memandang mereka berdua.
“Kalian tidak akan masuk?” tanya Jasmine.
Keduanya pun melangkah masuk. Julia melirik Edie dengan penuh selidik.
“Bukankah kita pernah bertemu?” Julia menatap Edie tajam.
Edie tersenyum dan mengangguk, “Ya.”
“Aku masih ingat kita bertemu dirumah Jasmine yang dulu. Waktu itu kau membantu memperbaiki pompa air Jasmine yang rusak. Kalau tidak salah … kau bernama Edie?”
“Ya,” angguk Edie. “Apa kabar?”
“Aku mengingatmu karena kau anak yang tampan.” Julia mengernyit. Memandang keduanya bergantian. “Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Dan sekarang kau membawakan sarapan untuknya. Apa hubungan kalian sebaik itu?”
Jennifer ikut melirik Edie dengan pandangan sedikit terpesona. Lelaki itu memang tampan. Posturnya tinggi, langsing namun tidak bisa dikatakan kurus. Dan daya tarik utama adalah kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang tampan dengan rambut yang dibiarkan sedikit berantakan.
“Kalian berkencan?” tanyanya tak bisa menahan diri.
Jasmine melotot menatap adiknya itu, “Kami bekerja ditempat yang sama dan kami berteman.”
Jennifer mengangkat kedua bahunya. “Sayang sekali,” bisiknya, dan ia mendapat senggolan dari Julia.
Selama beberapa detik, lift itu sunyi sebelum Jennifer mulai angkat bicara lagi.
“Katakan. Apa Akmal yang membuatmu begitu? Apa cintamu padanya begitu besarnya hingga tak tergantikan? Bahkan setelah ia mati?”
Jasmine memejamkan matanya. Wajahnya memanas. Sesaat tadi ia berharap dengan adanya orang lain didekat mereka akan membuat kedua saudaranya itu setidaknya menahan diri untuk tidak mengungkapkan masalah intern keluarga mereka. Seharusnya ia ingat Jennifer bukanlah tipe orang yang memiliki tenggang rasa sebesar itu.
“Kau tidak bisa memutuskan untuk menjadi perawan seumur hidupmu hanya gara-gara seorang lelaki saja.”
Jasmine mendengar sentakan nafas dan itu bukanlah berasal dari Julia maupun Jennifer. Tak terbayangkan lagi apa yang ada dipikiran pemuda itu.
“Aku hanya melewatkan acara makan malam, Jenni,” desis Jasmine. “Itu tidak memberimu hak untuk mengumumkan pada dunia tentang kehidupan percintaanku.”
“Kalau saja kau tahu acara apa yang menunggumu selain pesta ulang tahunmu.. aw!”
Julia menginjak kaki adiknya yang tidak bisa menahan lidahnya.
Jasmine menatap kakak dan adiknya itu tajam. “Ada apa?”
“Ibu sudah bilang untuk tidak mengatakan itu padanya!”
Jennifer mengerang. “Memangnya kenapa? Pada akhirnya dia toh harus tahu juga kalau kita memang sedang berusaha mencarikan jodoh untuknya!”
Edie terbatuk-batuk kecil dan Jasmine merasa tidak mungkin bisa lebih malu dari ini.
“Kalian tidak bisa diam?” desis Jasmine nyaris kehilangan kesabaran.
Julia menatap Jennifer mencela, sementara Jennifer hanya melengos, jelas tidak puas dengan pembicaraan mereka.
“Kalau tidak mau dijodohkan, ya cari sendiri. Kau toh kerja ditempat yang penuh dengan lelaki. Masa satu saja tidak ada yang tertarik padamu,” celetuknya.
“Jenni!” Jasmine dan Julia berseru bersamaan.
“Baiklah, baiklah…” sungut Jennifer. “Aku akan diam.” Jennifer berdiri gelisah ditempatnya. “Yang mau kukatakan adalah, masih banyak lelaki diluar sana. Lagian, kalau kau cinta mati pada Akmal, seharusnya kau tidak lari meninggalkannya dulu dan membuat dia mengalami kecelakaan itu.”
Kata-kata itu menimbulkan gema diseluruh penjuru lift. Juga pada dinding-dinding kepala Jasmine. Selama bertahun-tahun, hanya ibunya yang terang-terangan mempersalahkan dirinya tentang musibah itu. Ia tak pernah berharap apapun tentang apa yang dipikirkan keempat saudaranya. Namun sepertinya itu tidak terlalu jauh berbeda dengan ibunya.
“Apa yang kau katakan?” desis Julia menyikut lengan adiknya.
Lift berhenti di basement. Dengan tubuh sekaku papan Jasmine keluar diikuti Julia dan Jennifer.
“Jasmine…” Julia berusaha menghampiri Jasmine.
“Tolong jangan bicara lagi.”
Tanpa memperdulikan siapapun, Jasmine menekan remote mobilnya dan berjalan cepat kearah mobil berwarna biru ditempat parkir pribadinya.
Edie yang keluar belakangan, hanya mengamati Jasmine beberapa lama sebelum berlari menghampirinya.
“Tunggu dulu.”
Jasmine yang tengah membuka pintu kemudi berhenti namun tidak menatap pemuda itu sama sekali.
“Berikan kuncinya.”
Ada pertentangan batin diwajah wanita itu. Ia sedang ingin sendirian. Ia tidak ingin bersama orang lain saat ia sedang sangat marah. Ia tak pernah bergantung pada siapapun. Setidaknya selama beberapa tahun belakangan ini ia tak pernah mencoba menyandarkan diri pada siapapun. Bahkan Edie sekalipun.
Namun, menyadari anggapan ibu dan saudara-saudara tentang dirinya, membuatnya emosi dan memaksa pikirannya kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Hanya kepahitan yang bisa diingatnya. Kepahitan yang tidak akan pernah mampu ia ungkapkan pada orang lain. Kecuali terapisnya, tentu saja.
“Akan sangat bahaya mengemudi sekarang,” kata Edie lagi, membaca keraguan diwajah wanita itu.
“Bisa-bisanya kau mengatakan itu?” terdengar suara Julia memarahi Jennifer.
Jasmine menghela nafas panjang dan memandang Edie. Setidaknya ia bisa mempercayai pemuda itu.
Jasmine menyerahkan kuncinya.
“Terima kasih. Maaf kau sampai mengetahui hal seperti ini.”
Edie tidak menyahut, hanya membukakan pintu penumpang untuk Jasmine dan berlari memutar kembali ke belakang kemudi. Mobil baru saja bergerak ketika tiba-tiba Julia dan Jennifer mengetuk pintu kaca mobilnya. Edie membuka sedikit kaca jendelanya.
“Hei, kami tadi kemari naik taksi dari terminal. Setidaknya kau harus mengantar kami sampai ke halte bus.”
Edie menatap Jasmine dengan mata bertanya. Jasmine sendiri hanya menatap kedua saudaranya itu dengan muram sebelum berkata.
“Kalian panggil taksi lagi saja.”
Jasmine menolak memandang kedua saudara perempuannya yang berteriak-teriak memanggilnya. Begitu mobil berjalan ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya.
Tiga puluh lima.
Diusia ini, bukankah seharusnya ia telah menjalani hidupnya dengan tenang? Tak perduli ia sendirian atau bersama pasangan. Ia merasa sudah melewati masa dimana ia masih harus dibingungkan oleh jodoh. Begitu juga dengan orang disekitarnya, seharusnya mereka menghargai pilihannya.
Beberapa tahun setelah meninggalnya Akmal, ibunya tidak begitu ribut menyuruhnya menikah. Namun setelah Jessica menikah, ibunya mulai resah dan bingung mencarikan jodoh untuknya. Pernikahan Jennifer dua tahun lalu hanya membuat ibunya semakin panik dan berusaha keras untuk mencarikan calon suami yang dianggapnya potensial untuknya. Nyaris sebulan sekali ibunya selalu memiliki calon yang dikirimkan lewat handphonenya, lengkap dengan semua kualifikasinya. Semuanya serba unggul, sukses, dan kaya.
Kadang ia berfikir bagaimana ibunya memiliki calon yang begitu banyak? Dan apa mereka semua masih sendiri?
Kali ini rupanya ibunya ingin bergerak diam-diam dan langsung menjebaknya ditengah-tengah pertemuan dengan seorang lelaki setelah selama ini ia selalu menolak semua rencana perjodohannya. Ibunya sudah bosan dengan alasan basi belum ingin menikah dan ingin membina karir yang dulu sering ia lontarkan.
Dulu, seperti gadis-gadis lain pada umumnya ia menginginkan sebuah pernikahan yang indah. Ia pernah bercita-cita menikah muda, menjadi ibu muda dengan dua orang anak lelaki perempuan yang lucu. Ia bahkan sudah merancang nama dan juga les-les yang akan ia peruntukkan bagi anak-anaknya kelak. Untuk anak lelaki, ia ingin memasukkannya pada sebuah perkumpulan tae kwon do dan renang. Sementara untuk putri kecilnya, ia akan memasukkan pada les balet dan piano.
Namun kini, diusia tiga puluh lima, ia telah kehilangan minat terhadap kehidupan yang dulu pernah ia idam-idamkan itu. Benar yang dikatakan saudara-saudaranya. Ia menjalani hidupnya dalam gersang. Tak ada lelaki dalam hidupnya, tak ada lelaki yang merengkuh dirinya dalam cinta. Tapi ia juga tidak percaya dirinya akan pernah tertarik lagi pada cinta untuk kedua kalinya. Ia pernah sangat mencintai Akmal dan itu sudah cukup untuknya.
Ironis memang. Ia bekerja bersama hampir tiga puluh orang dikantornya yang mayoritas berlabel lelaki. Hanya ada dua wanita dikantornya yaitu Maya dan Vita. Masing-masing sebagai kepala administrasi dan staff pembelian. Maya berumur tiga puluh tiga tahun, sudah menikah dengan seorang anak dan sekarang sedang mengandung anak keduanya.
Sementara Vita, gadis itu mungkin baru berumur dua puluhan dan baru bekerja disana sekitar sepuluh bulan. Tergila-gila pada Edie sejak pertama melihatnya. Ketampanannya membuatnya tergila-gila namun terkendala oleh gengsi yang kekeh dijaganya. Ia tidak bisa berkencan dengan Edie yang hanya seorang Officeboy.
Ia yang paling tua diantara mereka bertiga. Selama 7 tahun sejak ia mulai bekerja di perusahaan itu, beberapa pria dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikan padanya. Namun tak seorangpun diantara mereka yang mampu menggetarkan hatinya ataupun sekedar membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat.
“Kita sudah sampai.”
Kata-kata Edie membuat Jasmine mengerjap, mengembalikan dirinya dari lamunannya. Ia membuka matanya dan bertatapan dengan Edie.
Edie?
Dia hanyalah seorang adik untuknya.
Jasmine marah besar, Edie mengamati. Sudah bertahun-tahun sejak mereka saling kenal namun jarang sekali ia melihat Jasmine semarah ini. Oke, dikantor itu beda lagi. Kalau masalah pekerjaan—meski seorang wanita—Jasmine termasuk di segani oleh para bawahannya. Setidaknya ia akan marah beberapa kali dalam seminggu. Namun kemarahan Jasmine dalam urusan pekerjaan selalu beralasan dan biasanya alasan itu benar adanya. Jasmine sadar ia harus bersikap keras dan sedikit otoriter jika ingin dihargai para lelaki itu.Jennifer tadi mengatakan dengan keras mana mungkin di pabrik yang mayoritas pekerjanya lelaki tidak ada yang tertarik pada Jasmine sama sekali? Jawabannya adalah ada dan tidak sedikit. Jennifer mungkin akan terkejut kalau tahu berapa banyak lelaki di pabrik yang tertarik secara romantis pada kakaknya ini. Atau setidaknya pada awalnya begitu sebelum tahu tabiatnya yang keras. Ada dua kriteria para lelaki yang menyukai Jasmine. Pertama, meny
Hari ini hanyalah satu hari lain yang sama seperti hari-hari sebelumnya bagi Jasmine. Selain kedatangan kedua saudaranya pagi ini rutinitasnya di kantor masih sama. Pertama-tama ia akan menaruh tasnya di kantor, kemudian ia akan berkeliling melakukan pengecekan secara menyeluruh. Mendelegasikan pekerjaan pada para engineernya dan sekitar jam sepuluh ia akan sampai kembali dikantor dan menyelesaikan agenda pekerjaan hari itu. Hari ini ia akan meeting dengan Mr. Barness Presiden direktur perusahaan dan kemudian akan mengerjakan laporan rutin mingguan dan sore hari ia akan kembali meeting dengan keempat engineernya.Ia baru saja duduk dikantornya ketika Edie muncul dengan membawakan segelas tinggi teh hitam dingin untuknya. Jasmine menyunggingkan senyumnya dan berterima kasih.“Aku selalu bertanya-tanya apakah kau memakai alarm atau memang sengaja mengawasiku dari pantry?”Edie menatap Jasmine bingung. “Apa maksudnya?”
“Hai,” seorang lelaki muda yang tampan membukakan pintu suite room untuknya.“Selamat Siang, saya Jasmine,” kata Jasmine memperkenalkan diri.“Selamat Siang, masuklah,” lelaki itu tersenyum ramah.Jasmine melangkah masuk ke ruangan hotel yang mewah itu. Namun kesunyian di ruangan itu membuatnya mengernyit. Dan aroma kamar itu terlalu harum untuk sebuah pertemuan resmi.“Dimana kami akan mengadakan pertemuan?”“Disebelah sini,” sahut lelaki muda itu mengajaknya masuk. “Apakah Mr. Barness sudah menunggu?”Lelaki muda itu menggiringnya masuk. Dan Jasmine langsung tahu ia telah masuk perangkap. Kamar itu sama sekali bukan dirancang untuk pertemuan bisnis. Pencahayaan lampu yang temaram, aroma bunga dan lilin bernuansa romantis langsung menyergap penciumannya. Di meja kaca terdapat botol anggur yang dimasukkan kedalam wadah es. Ju
Rando memaki-maki. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang tiba-tiba menyerbu masuk ini. Namun, tatapan matanya begitu dingin dan penuh teror. Rando yakin, jika ia maju satu langkah saja, pemuda itu pasti akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dan ia tidak mau mati konyol terajam oleh botol yang bergerigi tajam itu.Sambil memaki-maki, Rando pun memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.Edie tetap berdiri membeku menatap pintu lama sebelum dengan pelan menjatuhkan botol itu dan memutar tubuhnya. Tanpa benar-benar melihat Jasmine ia menyambar selimut hotel. Ia hendak menyelimuti gadis itu ketika mendadak ia terhenti. Gadis itu meringkuk berusaha memeluk dirinya dan menyembunyikan bagian depan tubuhnya. Tapi dengan begitu ia mengekspos bagian belakang punggungnya.Hawa dingin mengalir di sekujur tubuh Edie. Ia berkedip berharap dirinya salah lihat. Bilur-bilur tidak beraturan itu tetap ada disana. Luka itu sudah sembuh total, dan nyaris
“Apa ibu harus melakukan itu?” tanya Jasmine langsung setelah ibu mengangkat telponnya.Semalaman Jasmine memikirkan kemungkinan tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh lelaki yang mengaku sebagai Rando itu. Dan ia hampir gila memikirkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya tega melakukan itu padanya. Namun, ia tidak memiliki kemungkinan lain kecuali ibu atau saudara-saudaranya yang sudah ngebet ingin dia menikah.“Apa aku benar-benar lupa mengajarimu sopan santun?” sahut ibunya tidak terdengar senang. “Ada apa dengan salam dan sebagainya? Dan kau, setelah mengabaikan ibumu yang sudah bersusah-susah membuat pesta untukmu. Berani-beraninya menelpon ibumu dengan nada seperti itu?”“Apa Ibu sangat ingin saya menikah?” Jasmine mengabaikan omelan ibunya. “Apa sangat penting bagi ibu untuk melihat semua anak ibu untuk menikah? Meski saya tidak menginginkannya?”
“Dimana Edie?” tanya Jasmine.Kasak kusuk di pantry langsung terhenti dengan kedatangan Jasmine. Para karyawan yang sedang berada disana menoleh dan terdiam. Seseorang yang dikenali Jasmine bernama Hanif itu bangkit dari duduknya dan menjawab, “Setelah kejadian tadi dia pergi keluar dan belum kembali bu.”Jasmine melihat jam tangannya gusar. “Ini bahkan belum jam istirahat.”“Sebenarnya…” Hanif terlihat ragu.“Ada apa?”“Maaf, tapi sebenarnya Edie sering begitu, bu Jasmine,” kata Hanif akhirnya. “Membolos tanpa alasan yang jelas.”“Hei, kenapa kau bilang?” bisik yang lain.Alis Jasmine sedikit terangkat. “Kenapa? Ada apa?”Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak serba salah.“Edie sebenarnya tidak terlalu suka bicara,” sahut Hanif lagi. &ldquo
Perlahan, Edie yang bergerak lebih dulu. Mengumpulkan semua obat dan memasukkannya ke dalam kotak. “Kenapa tidak ada yang tahu?” tanyanya, memecah keheningan yang tiba-tiba terasa mencekam.“Huh? Apa?”“Kak Julia dan Jenni sepertinya tidak tahu tentang luka itu. Bagaimana bisa menyembunyikan hal separah itu seorang diri?”Jasmine beringsut menjauh dari Edie. Tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Perhatian Edie ataukah rasa malunya. Edie menghembuskan nafas gusar, “Saya akan membunuh orang brengsek itu.”“Apa? Siapa?” “Hadi dan gigolo itu.”“Jangan sembarangan!” sergah Jasmine. “Kau bisa masuk penjara!”“Persetan.”“Aku tidak akan memaafkanmu.”Keduanya kembali berpandangan tajam.“Dan aku tidak akan pernah mengunjungimu jik
Jasmine membuka matanya. Ia mengerjapkan mata dengan bingung. Ia berada dikamarnya, tapi sebuah tabung infus tergantung disisinya. Jasmine menatap ke sekelilingnya.Sepi.Kamarnya juga masih seperti biasanya. Kecuali sofa itu, pikirnya saat mendapati sebuah bantal dan selimut di sofa itu seolah-olah seseorang telah tidur disana semalam. Siapa?Jasmine menatap nakas di sebelahnya dan menemukan sebuah mangkok besar dan handuk kecil yang tampaknya digunakan untuk mengompresnya. Jasmine menyentuh dahinya sendiri. Ada apa dengannya?Jasmine mencoba untuk bangun. Namun rasa pening menyerang kepalanya. Jasmine mengaduh pelan dan kembali membaringkan dirinya. Apa yang terjadi? Pikirnya.Ia berusaha mengingat-ingat. Terakhir kali ia pulang kerja…. Tidak. Tadi ia pulang dari rumah Edie. Lelaki muda itu cukup menguras emosinya dengan semua pertanyaannya. Ia terlalu malu untuk tetap bersama Edie dan ingin pulang sendiri