Baik Julia maupun Jennifer dipaksa kembali mengingat ke masa kecil mereka. Hari dimana ayah mereka pergi meninggalkan keluarga mereka. Pagi-pagi, ayahnya sudah berbenah, mengenakan pakaian terbaiknya, membawa sebuah tas kecil dan sepatu yang baru dibelinya dari pasar kemarin. Ayah bilang temannya mau mengajaknya bekerja di kota sebelah.
Namun kenyataannya, itulah kali terakhir mereka bertemu dengan ayah mereka. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini waktu sudah dua puluh tahun berlalu. Tanpa ada secuil kabarpun yang pernah mereka terima.
Saat itu, kondisi keluarga mereka benar-benar menyedihkan. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga tanpa keahlian apapun. Masih ingat jelas di benak mereka bagaimana ibunya setiap pagi buta pergi ke pasar berjualan apa saja, berusaha untuk menghidupi kelima anaknya.
Julia sakit-sakitan pada waktu masa remajanya dan adik-adiknya masih terlalu kecil untuk bekerja. Menginjak SMP Jasmine mulai bekerja di dibengkel mesin milik salah satu pamannya. Awalnya dia membantu dibagian toko. Melayani penjualan sparepart barang dan juga membantu menangani penulisan nota dan kwitansi.
Namun semakin kemari Jasmine mulai tertarik untuk membantu perbaikan mesin dan itulah satu langkah awal yang membawanya menjadi engineer manager saat ini.
Sungguh tahun-tahun yang berat untuk seluruh anggota keluarga. Semua sangat bersyukur ketika akhirnya Jasmine mendapatkan pekerjaan sebagai seorang mekanik disebuah pabrik peleburan besi selepasnya dia keluar dari SMK.
Bersama ibunya yang terus berjualan sayur di pasar, Jasmine menjadi penopang perekonomian di keluarganya. Meski hidup mereka masih pas-pasan, namun ada biaya untuk kuliahnya sendiri dan sekolah adik-adiknya. Jennifer ingat Anton menjuluki Jasmine sebagai wanita super.
Tapi menurut Jennifer, wanita super tetaplah seorang wanita yang harus memiliki cinta dalam hidupnya, menikah, merawat suami, mengandung, dan punya anak. Sementara wanita super yang ini sepertinya terlalu super hingga tidak mau memikirkan sedikitpun tentang berkencan, apalagi pernikahan.
“Kami tentu saja sangat menghargai apa yang telah kau lakukan untuk kami semua,” kata Jennifer akhirnya. “Kalau bukan karena kau, mungkin kami hanya akan jadi orang-orang bodoh tidak berguna. Tapi kami semua sudah lulus sekarang! Kami semua juga sudah bekerja.”
Julia mengangguk, “Sekarang, yang kami inginkan darimu hanyalah agar kau memikirkan hidupmu sendiri.”
Jasmine mencengkeram kunci mobil ditangannya kuat-kuat, “Kalian mau tinggal disini? Aku harus segera berangkat.”
“Kami juga harus pulang hari ini. Karena itu kita harus bicara dulu.”
Jasmine menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Aku ada pertemuan dengan orang dari kantor pusat hari ini.”
“Memangnya kenapa kalau ibu dan kami semua ingin mengenalkanmu pada lelaki yang baik?” Jennifer belum mau menyerah.
Jasmine bukannya gadis buruk rupa. Jauh dari kata buruk malah. Ia cantik, dibandingkan saudara-saudaranya dialah yang paling menonjol. Ia tidak punya tubuh setinggi model, namun semuanya proporsional. Wajah cantik, kulit terang, hidung bangir, mata indah dan rambut hitam berkilau. Saat berkumpul dengan saudara-saudaranya, orang yang tidak tahu akan menganggap Jasmine lah si bungsu dan bukannya si nomor dua. Singkat kata, ia terlahir dengan semua kebagusan yang menyertainya.
Jasmine adalah tipe wanita yang bisa membuat lelaki dan wanita lain menoleh dua kali saat berpapasan dengannya. Bahkan ia juga memiliki otak paling encer diantara saudara-saudaranya. Berpendidikan tinggi, pintar, memiliki karir yang bagus. Dia adalah gambaran wanita sempurna yang diimpikan lelaki manapun.
Dulu, Jasmine selalu membiarkan rambutnya panjang tergerai dan membuat orang berdecak iri saat melihatnya. Untuk alasan yang tidak bisa dimengerti, sejak beberapa tahun terakhir ini Jasmine selalu memotong pendek rambutnya dan tak pernah membiarkan rambutnya lebih panjang dari bahunya.
“Kami melakukan ini demi kebaikanmu!” lanjut Jennifer. “Karena kau selalu mengabaikan hal itu maka kami yang memikirkannya untukmu!”
“Kalau memang ibu, atau kalian memiliki calon yang cocok, terserah kalian saja.”
Bibir Jennifer mengatup rapat, “Kau… kau egois…”
Julia mengeluh pelan. Jennifer hendak berkata lagi namun Julia buru-buru menyikutnya dan menyuruhnya diam. “Diamlah, Jenni. Maaf, Jasmine. Tapi… kami benar-benar tidak bermaksud begitu….”
“Jadi kalian tidak ingin aku menikah?”
“Kami hanya ingin kau lebih membuka diri. Kita sama-sama tahu bukan karena tidak ada lelaki yang tertarik padamu makanya kau belum punya pasangan hingga sekarang. Tapi sikap dinginmu itu yang membuat semua lelaki memilih menjauh. Kau sudah melotot setiap kali ada yang mencoba mendekatimu. Kau memasang bentengmu sendiri dan membuat orang takut memasuki hidupmu.”
“Lagipula ada apa dengan baju-bajumu itu?” sambung Jennifer. “Dulu kau bukannya sangat suka mengenakan pakaian-pakaian seksi? Kenapa sekarang jadi begitu?” Jennifer melirik tidak suka pada pada kaus dan celana panjang yang dikenakan kakaknya.
Memang sih, baju itu tampak bagus dikenakan Jasmine, Jennifer membatin iri. Ia tidak ingat pernah ada pakaian yang tidak bagus jika dikenakan oleh Jasmine. Tapi warna-warna gelap yang selalu dipilih kakaknya itu benar-benar membosankan.
“Tidak ada yang salah dengan pakaianku.”
“Aku menyesal, Jasmine. Tapi kali ini Jennifer benar. Kau dulu suka sekali mengenakan gaun-gaun yang modis bahkan saat kau sedang bekerja.”
“Kau jadi seperti wanita yang hidup ditahun delapanpuluhan dan bukannya lahir ditahun itu.”
“Sudahlah. Semua jadi kemana-mana bukan? Aku cukup puas dengan hidupku sekarang. Aku tidak membutuhkan lelaki dalam hidupku.”
Jennifer tampak ngeri. “Jangan bicara begitu!”
Julia tidak ngalah ngerinya. “Jangan ngomong sembarangan. Pamali, tahu?”
“Mbak Jasmine. Kami benar-benar ingin kau bahagia. Itu satu-satunya keinginan kami sekarang. Kami ingin kau menikmati hal yang seharusnya dimiliki oleh wanita manapun didunia ini.” Jennifer meletakkan sebelah tangannya diperutnya yang rata. “Kami ingin kau juga merasakan kebahagiaan yang aku rasakan.”
Tingkah Jennifer menarik perhatian Jasmine. “Kenapa? Kau sakit perut?”
Julia memutar bola matanya. “Dia hamil.”
“Oh.” Jasmine menatap adik perempuannya itu beberapa lama sebelum mengerjapkan meratanya dan menelan ludah. Ia berdeham dan ingin mengatakan sesuatu, namun seperti ada biji kedondong dalam tenggorokannya hingga ia tak mampu mengatakan apapun.
Seperti orang bingung, Jasmine melangkah pergi. Julia buru-buru meraih tangan adiknya itu.
“Tunggu dulu, Jasmine.”
“Aku … aku benar-benar harus pergi.”
“Tunggu sebentar.”
Sekali lagi Jasmine menarik nafas panjang, menahan emosinya. Pembicaraan tentang umur, kekasih, pasangan hidup dan anak selalu membuat aliran darahnya menjadi dingin. Karena itu ia merasa akan lebih baik jika ia secepatnya keluar dari rumah itu. Minimal, setelah tidak menghadiri acara ulang tahunnya sendiri semalam yang pasti telah cukup mempermalukan semuanya, ia tidak ingin sekali lagi mencari perkara dengan bertengkar dengan kedua saudara perempuannya itu.
“Apa kau belum bisa melupakannya?”
Pertanyaan Julia itu serta merta membuat Jasmine berhenti, terdiam beberapa lama sebelum memutar tubuhnya. Menatap kakak perempuannya itu lekat-lekat dan melontarkan pertanyaan sedingin es. “Siapa?”
“Akmal,” Julia tidak mau terintimidasi oleh sikap dingin Jasmine. “Apa kau belum melupakan dia? “
“Apa yang membuat kalian berfikir begitu?”
“Karena setelah dia kau tidak pernah menjalin hubungan lagi dengan siapapun.”
Jasmine terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Itu pilihanku.”
Rasanya percuma saja Julia berharap mendapatkan jawaban yang lebih mendetail. Adiknya yang satu itu memang benar-benar tertutup saat mereka membicarakan masalah laki-laki. “Apa kau menyalahkan ibu?”
“Apa menurutmu ibu ada kaitannya dengan itu?”
“Dulu kupikir ibu memang tidak berkaitan dengan berpisahnya kamu dengan Akmal. Tapi kemudian…”
Jasmine mendengus, “Ibu yang paling menyesali perpisahan kami.”
“Justru karena itu.”
“Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kenapa tiba-tiba diungkit lagi?”
“Sejak kecil kau sering tidak cocok dengan ibu. Bisa dibilang Akmal satu-satunya hal yang membuat kalian sepakat. Ibu sangat menyukai Akmal. Aku berfikir karena itu kemudian kau...”
Jasmine menatap kakaknya tak percaya. “Kau pikir aku berpisah dengannya gara-gara ibu terlalu menyukainya? Yang benar saja.”
Baik Julia maupun Jennifer hanya menatapnya. Mereka benar-benar berfikir seperti itu.
Jasmine mendengus. “Kalian menghayal.”
“Kalau begitu kenapa?”
“Itu sudah lewat bertahun-tahun yang lalu. Aku tidak ingin membicarakannya lagi.”
“Selama ini kami selalu bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada waktu itu,” kata Julia. “Saat tiba-tiba kau menghilang selama hampir tiga bulan penuh. Kami sudah kehilangan harapan untuk menemukanmu ketika tiba-tiba saja kau pulang. Tanpa mengatakan apapun. Tidak sepatah katapun hingga sekarang. Kami bahkan tahu tentang kematian Akmal juga dari surat kabar.”
Jasmine berkedip, sudah bertahun-tahun tidak pernah ada yang menyebut nama itu lagi. Bukan berarti ia melupakannya. Namun masa itu, seakan telah terpisah dari kehidupannya yang sekarang.
“Apa sebenarnya yang terjadi waktu itu? Anton bilang Akmal menjumpai ibu beberapa kali saat kau menghilang. Namun ibu tidak mengatakan apapun pada kami.”
“Kalau begitu tanyalah pada ibu.”
Julia menghela nafas panjang. “Selain Akmal calon menantu yang paling sempurna yang pernah diketahuinya, tak ada hal lain yang bisa dibicarakan ibu.”
Jasmine tidak menyalahkan ibunya. Dilihat dari sudut manapun, Akmal memenuhi syarat sebagai menantu idaman ibu manapun. Postur tinggi, wajah menawan, materi berlimpah, dan penuh perhatian pada keluarga kekasihnya. Akmal beberapa kali mengajak mereka semua sekeluarga berlibur ke Bali dan lombok. Yang paling penting, ia pewaris sebuah perusahaan property dan seorang arsitek berbakat dengan masa depan cerah.
Jasmine tahu, meski tidak secara terang-terangan, ibunya mendurigai kecelakaan mobil yang dialami Akmal hingga merenggut nyawanya waktu itu berhubungan dengan dirinya.
Jasmine sendiri tak pernah mau menanggapi percakapan apapun tentang Akmal. Baginya itu benar-benar sudah terjadi dimasa lalu.
“Apa yang terjadi waktu itu?”
Julia melihat bahu Jasmine tampak kaku saat menoleh padanya. “Berhentilah membicarakan dia.”
“Apa ada masalah yang tidak kami tahu?”
Jasmine bergerak gelisah. Tidak nyaman dengan masalah yang sedang mereka bahas.
“Kau punya sesuatu … yang tidak kami ketahui?” tanya Jennifer.
“Sesuatu apa?”
Jennifer mengangkat bahu, “Entahlah, itu yang sedang kami tanyakan padamu. Siapa tahu karena kau memiliki sesuatu … penyakit atau apa yang membuatmu merasa tidak bisa bersama lagi dengan Akmal?”
“Kau benar-benar suka menghayal,” kata Jasmine seraya melambaikan tangannya.
“Jasmine…”
“Berhentilah memikirkan Akmal. Masalah itu sudah berlalu delapan tahun lalu. Sudah basi.”
“Ada masalah yang lebih baru dari itu,” sahut Jennifer masih belum mau menyerah. “Masalah kau tidak pernah berkencan lagi setelah Akmal meninggal.”
Jasmine tidak perduli. Ia membuka pintu apartemennya “Aku harus pergi sekarang.”
Dengan terpaksa Julia dan Jennifer pun keluar dan tetap menunggu Jasmine yang mengunci apartemennya.
“Ingatlah, jam biologismu terus berdetak. Beberapa tahun lagi kau sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang ibu. Seharusnya itu menjadi prioritasmu sekarang.”
Jasmine menghela nafas panjang sebelum menatap kedua saudaranya itu bergantian. Kemudian dengan tegas ia berkata, “Aku tidak akan menikah.”
Langkah Jasmine terhenti. Seorang pemuda keluar dari lift. Menatapnya dengan salah tingkah. Dia Edie, sahabatnya. Ia sudah mengenal pemuda itu bertahun-tahun yang lalu dan sekarang juga bekerja di kantor yang sama dengannya. Jasmine mengeluh lirih. Bagaimana ia bisa lupa semalam Edie mengirim pesan padanya, dan bilang akan datang pagi-pagi untuk mengantarnya. Tak perlu ditebak, Edie pasti mendengar apa yang baru saja ia teriakkan. Pemuda itu tersenyum ragu dan menyapa, “Hai.” Jasmine tersenyum kecut dan menghampiri pemuda itu, “Hai. Sudah kubilang aku akan nyetir sendiri.” “Saya sudah berjanji akan menyetir pagi ini.” Edie menyodorkan sebuah kantong kertas pada Jasmine. Jasmine memeriksanya. Dua buah pastry hangat dan sebotol jus jeruk. “Terima kasih,” guman Jasmine, masih tidak bisa menyembunyikan rasa malunya. Jasmine menekan tombol lift. Saat itu pintu lift terbuka lagi dan mereka berdua masuk bersama.&nb
Jasmine marah besar, Edie mengamati. Sudah bertahun-tahun sejak mereka saling kenal namun jarang sekali ia melihat Jasmine semarah ini. Oke, dikantor itu beda lagi. Kalau masalah pekerjaan—meski seorang wanita—Jasmine termasuk di segani oleh para bawahannya. Setidaknya ia akan marah beberapa kali dalam seminggu. Namun kemarahan Jasmine dalam urusan pekerjaan selalu beralasan dan biasanya alasan itu benar adanya. Jasmine sadar ia harus bersikap keras dan sedikit otoriter jika ingin dihargai para lelaki itu.Jennifer tadi mengatakan dengan keras mana mungkin di pabrik yang mayoritas pekerjanya lelaki tidak ada yang tertarik pada Jasmine sama sekali? Jawabannya adalah ada dan tidak sedikit. Jennifer mungkin akan terkejut kalau tahu berapa banyak lelaki di pabrik yang tertarik secara romantis pada kakaknya ini. Atau setidaknya pada awalnya begitu sebelum tahu tabiatnya yang keras. Ada dua kriteria para lelaki yang menyukai Jasmine. Pertama, meny
Hari ini hanyalah satu hari lain yang sama seperti hari-hari sebelumnya bagi Jasmine. Selain kedatangan kedua saudaranya pagi ini rutinitasnya di kantor masih sama. Pertama-tama ia akan menaruh tasnya di kantor, kemudian ia akan berkeliling melakukan pengecekan secara menyeluruh. Mendelegasikan pekerjaan pada para engineernya dan sekitar jam sepuluh ia akan sampai kembali dikantor dan menyelesaikan agenda pekerjaan hari itu. Hari ini ia akan meeting dengan Mr. Barness Presiden direktur perusahaan dan kemudian akan mengerjakan laporan rutin mingguan dan sore hari ia akan kembali meeting dengan keempat engineernya.Ia baru saja duduk dikantornya ketika Edie muncul dengan membawakan segelas tinggi teh hitam dingin untuknya. Jasmine menyunggingkan senyumnya dan berterima kasih.“Aku selalu bertanya-tanya apakah kau memakai alarm atau memang sengaja mengawasiku dari pantry?”Edie menatap Jasmine bingung. “Apa maksudnya?”
“Hai,” seorang lelaki muda yang tampan membukakan pintu suite room untuknya.“Selamat Siang, saya Jasmine,” kata Jasmine memperkenalkan diri.“Selamat Siang, masuklah,” lelaki itu tersenyum ramah.Jasmine melangkah masuk ke ruangan hotel yang mewah itu. Namun kesunyian di ruangan itu membuatnya mengernyit. Dan aroma kamar itu terlalu harum untuk sebuah pertemuan resmi.“Dimana kami akan mengadakan pertemuan?”“Disebelah sini,” sahut lelaki muda itu mengajaknya masuk. “Apakah Mr. Barness sudah menunggu?”Lelaki muda itu menggiringnya masuk. Dan Jasmine langsung tahu ia telah masuk perangkap. Kamar itu sama sekali bukan dirancang untuk pertemuan bisnis. Pencahayaan lampu yang temaram, aroma bunga dan lilin bernuansa romantis langsung menyergap penciumannya. Di meja kaca terdapat botol anggur yang dimasukkan kedalam wadah es. Ju
Rando memaki-maki. Ia tidak tahu siapa lelaki muda yang tiba-tiba menyerbu masuk ini. Namun, tatapan matanya begitu dingin dan penuh teror. Rando yakin, jika ia maju satu langkah saja, pemuda itu pasti akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dan ia tidak mau mati konyol terajam oleh botol yang bergerigi tajam itu.Sambil memaki-maki, Rando pun memutar tubuhnya dan mengambil langkah seribu.Edie tetap berdiri membeku menatap pintu lama sebelum dengan pelan menjatuhkan botol itu dan memutar tubuhnya. Tanpa benar-benar melihat Jasmine ia menyambar selimut hotel. Ia hendak menyelimuti gadis itu ketika mendadak ia terhenti. Gadis itu meringkuk berusaha memeluk dirinya dan menyembunyikan bagian depan tubuhnya. Tapi dengan begitu ia mengekspos bagian belakang punggungnya.Hawa dingin mengalir di sekujur tubuh Edie. Ia berkedip berharap dirinya salah lihat. Bilur-bilur tidak beraturan itu tetap ada disana. Luka itu sudah sembuh total, dan nyaris
“Apa ibu harus melakukan itu?” tanya Jasmine langsung setelah ibu mengangkat telponnya.Semalaman Jasmine memikirkan kemungkinan tentang siapa yang dimaksud ‘mereka’ oleh lelaki yang mengaku sebagai Rando itu. Dan ia hampir gila memikirkan bahwa ibu dan saudara-saudaranya tega melakukan itu padanya. Namun, ia tidak memiliki kemungkinan lain kecuali ibu atau saudara-saudaranya yang sudah ngebet ingin dia menikah.“Apa aku benar-benar lupa mengajarimu sopan santun?” sahut ibunya tidak terdengar senang. “Ada apa dengan salam dan sebagainya? Dan kau, setelah mengabaikan ibumu yang sudah bersusah-susah membuat pesta untukmu. Berani-beraninya menelpon ibumu dengan nada seperti itu?”“Apa Ibu sangat ingin saya menikah?” Jasmine mengabaikan omelan ibunya. “Apa sangat penting bagi ibu untuk melihat semua anak ibu untuk menikah? Meski saya tidak menginginkannya?”
“Dimana Edie?” tanya Jasmine.Kasak kusuk di pantry langsung terhenti dengan kedatangan Jasmine. Para karyawan yang sedang berada disana menoleh dan terdiam. Seseorang yang dikenali Jasmine bernama Hanif itu bangkit dari duduknya dan menjawab, “Setelah kejadian tadi dia pergi keluar dan belum kembali bu.”Jasmine melihat jam tangannya gusar. “Ini bahkan belum jam istirahat.”“Sebenarnya…” Hanif terlihat ragu.“Ada apa?”“Maaf, tapi sebenarnya Edie sering begitu, bu Jasmine,” kata Hanif akhirnya. “Membolos tanpa alasan yang jelas.”“Hei, kenapa kau bilang?” bisik yang lain.Alis Jasmine sedikit terangkat. “Kenapa? Ada apa?”Hanif menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tampak serba salah.“Edie sebenarnya tidak terlalu suka bicara,” sahut Hanif lagi. &ldquo
Perlahan, Edie yang bergerak lebih dulu. Mengumpulkan semua obat dan memasukkannya ke dalam kotak. “Kenapa tidak ada yang tahu?” tanyanya, memecah keheningan yang tiba-tiba terasa mencekam.“Huh? Apa?”“Kak Julia dan Jenni sepertinya tidak tahu tentang luka itu. Bagaimana bisa menyembunyikan hal separah itu seorang diri?”Jasmine beringsut menjauh dari Edie. Tidak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Perhatian Edie ataukah rasa malunya. Edie menghembuskan nafas gusar, “Saya akan membunuh orang brengsek itu.”“Apa? Siapa?” “Hadi dan gigolo itu.”“Jangan sembarangan!” sergah Jasmine. “Kau bisa masuk penjara!”“Persetan.”“Aku tidak akan memaafkanmu.”Keduanya kembali berpandangan tajam.“Dan aku tidak akan pernah mengunjungimu jik