“Gue bakal melamar Anira.” Deril menatap Reksa lekat sembari mengucapkan kalimatnya itu. Tidak ingin melewatkan sedikitpun reaksi sahabatnya itu.
Wajah Reksa masih tetap datar, tapi dia menatap Deril tajam. “Om sama tante sudah tahu tentang ini? Velma gimana?” Tangan Reksa yang terselip di sakunya, mengepal kuat, berusaha menahan perasaannya sendiri.
Dua pria tampan itu bertatapan lama, sampai pada akhirnya Deril yang kalah, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia menatap ke pemandangan malam kota Jakarta terlihat dengan sangat jelas dari restoran itu.
“Belum,” gumamnya sedikit merasa bersalah. “Gue bakal bilang secepatnya ke mereka, untung sekarang, masih lo yang tahu tentang ini sekarang.”
Reksa menghela napas panjang, sekuat tenaga dia menepuk punggung Deril sampai menimbulkan suara nyaring.
Plak!!
Deril mengernyitkan keningnya merasakan perih di punggungnya, tapi dia sama sekali tidak marah ke Reksa. “Sorry Rek,” gumamnya.
Reksa memukul punggung Deril sekali lagi. “Gue nggak butuh permintaan maaf dari lo. Anira udah milih lo. Gue Cuma minta, jangan sakitin dia. Kalau memang lo berniat melamar dia, pastikan keluarga lo udah bisa nerima dia!”
Deril tersenyum getir, perasaannya sungguh campur aduk, mengatakan ini semua kepada sahabatnya itu. Meski Reksa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, rasa bersalah itu tidak bisa hilang sepenuhnya dari dirinya.
Kedua laki-laki tampan itu tidak lagi berbicara, keduanya memilih diam, menyesap rokok elektrik yang menempel di bibir masing-masing, membiarkan asap yang mengepul itu bisa menjernihkan pikiran mereka saat ini.
“Hei, kalian ngomongin apa? Asyik banget di luar sini. Nggak dingin apa? Bukannya di dalam. Kalian berdua dicariin loh.”
Nyaris serentak keduanya mematikan rokok di tangan mereka, dan menoleh ke sumber suara itu.
Malam ini, adalah acara pernikahan salah seorang teman mereka semasa kuliah dulu, tapi apa daya, dua pria itu malah lebih tertarik di luar, ketimbang bernostalgia di dalam sana.
Anira, perempuan yang menjadi objek pembicaraan mereka tadi, berjalan ke arah keduanya, dia berhenti di samping Deril, kemudian merangkul lengan pria itu manja. “Aku udah pamitan, kita pulang sekarang ya? Papa udah nanyain.”
Deril dengan gemas mengacak rambut kekasihnya itu. “Iya, kita pulang sekarang.”
“Hahh, kayanya baru kemarin kita semua ospek, nggak nyangka, sekarang, teman kita udah mulai married aja,” gumamnya.
“Kenapa? Kamu mau nikah juga? Tinggal bilang saja, aku ready kapanpun kok,” seloroh Deril, tapi matanya menatap Anira dengan sangat lembut. Sama sekali tidak ada canda di sana.
Wajah Anira bersemu merah. “Apa sih! Kamu pikir nikah segampang beli mekdi di Rawamangun, ready 24 jam!”
Melihat kemesraan dua orang itu, Reksa memilih diam, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ini pemandangan yang sudah sangat sering dia saksikan, tapi rasanya dia tidak akan pernah terbiasa. Rasa sakit yang menusuk dadanya itu, masih senantiasa menemaninya.
Reksa dan Deril sudah berteman semenjak mereka bisa masih kanak-kanak. Kemudian Anira bergabung dengan mereka ketika kuliah. Dari sejak itu, sudah nyaris tujuh tahun berlalu.
Seperti layaknya persahabatan pada umumnya, tiga orang itu menikmati masa muda mereka dengan penuh warna, sampai satu rasa bernama cinta hadir di antara ketiganya.
Persahabatan laki-laki dan wanita sangat sulit murni, karena rasa yang seringkali muncul tidak pada tempatnya. Itu juga yang terjadi di antara tiga orang itu.
“Hoi, bengong aja, mikirin apa lo?” Reksa tersentak, ketika melihat wajah Anira entah sejak kapan begitu dekat dengannya. Dengan cepat, Reksa melangkah ke samping menjauhi wajah manis itu.
“Ngomong santai aja! Nggak usah mepet-mepet!” ujarnya ketus.
“Dih sensi!”
Deril menarik Anira kembali mendekat ke arahnya, hingga tubuh mereka bersentuhan. Anira dengan pongah menyandarkan kepalanya di dada Deril. “Ckck, sama cewek aja takut, gimana lo mau punya pacar. Ini baru gue, gimana orang lain?”
“Jangan digodain terus, nanti dia marah.”
“Dih aku nggak takut.” Anira mengeluarkan lidahnya manja ke arah kekasihnya itu. Deril tidak punya pilihan selain mengetuk dahi Anira. “Aku ke toilet bentar, kalian duluan saja ke mobil.”
Deril menatap Reksa sekali lagi, menunggu anggukan Reksa baru dia pergi menjauh dari sana. Meninggalkan kekasihnya dekat dengan pria lain yang punya perasaan pada Anira, apa Deril tidak khawatir?
Ironisnya tidak sama sekali. Reksa terlalu pandai menyembunyikan perasaannya sendiri. Anira tidak pernah menyadari, perasaan Reksa padanya, dia sedikit kasihan juga pada Reksa. Di sisi lain, kalau bukan karena itu, mungkin juga dua tahun lalu, bukan dia laki-laki yang akan mendapatkan Anira.
Anira menggosok lengannya kedinginan. Angin malam di tempat itu mulai terasa menusuk kulit.
Reksa mengerutkan keningnya. “Nggak bawa jaket?”
Alih-alih menjawab, Anira menunjuk ke arah dirinya sendiri, dari atas ke bawah. “Lihat gaun dong gue pakai apa? Bagian mana dari gaun ini yang menunjukkan kalau dia cocok dipadukan sama jaket?” gerutunya.
Reksa menilai Anira dari atas ke bawah. Perempuan itu masih secantik yang dia ingat. Gaun satin tali spageti yang membungkus badan Anira membuat pandangannya sulit teralihkan. “Siapa yang menyuruhmu mengenakan pakaian seperti ini?”
“Nggak ada! Gue Cuma pengen cantik aja. Gue juga perempuan, kalo lo nggak ingat!” jawab Anira pasrah. “Lo nggak ada niat gentle gitu, nawarin gue jas lo?”
Ingat? Tentu saja Reksa ingat. Setiap saat dia menyadari kalau Anira adalah perempuan, perempuan yang menempati hatinya, tapi di saat yang sama, perempuan yang tidak mungkin untuk digapainya.
Reksa memilih menatap wanita itu datar. “Itu bukan kapasitas gue, udah ada Deril, kan?”
Wajah Anira langsung melembut begitu ingat Deril. “Well, lo bener sih. Sayangnya orangnya juga kurang peka tadi.”
“Lo mau tetap di sini, kedinginan atau nunggu di mobil?” tanya Reksa, menolak mengomentari hubungan pasangan kekasih itu.
“Hmm ....” Anira mengusap lengannya yang mulai merinding karena kedinginan. “Tunggu di bawah aja lah. Di sini terlalu dingin.”
Reksa dan Anira akhirnya berjalan beriringan menuju ke lift yang akan membawa mereka ke parkiran.
“Ra,” panggil Reksa, memecah kebisuan itu.
“Kenapa?”
“Lo bahagia sama Deril?”
Mata Anira melebar, dia memiringkan kepalanya menoleh ke Reksa. “Pertanyaan lo kok gitu?”
Sebenarnya, Reksa juga terkejut dengan pertanyaannya itu. “Bukan apa-apa, Cuma nanya saja.”
Anira menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan satu dua hari gue kenal sama lo.” Pria itu tidak akan pernah mengatakan sesuatu, tanpa dasar.
Jantung Reksa berdebar sangat keras. Di lift sempit itu, dia merasa seperti wanita itu bisa mendengar degup jantungnya saat ini. “Cuma kepo aja.”
“Dih nggak jelas!” Anira mengernyitkan keningnya, menatap Reksa dengan pandangan menyelidik. “Gue kira, Deril ngomong apa gitu sama lo. Dia nggak bilang, mau ngelamar gue atau apa gitu?”
Tepat sasaran! Harus diakui, Anira cukup pintar membaca sahabat sekaligus kekasihnya itu. Kalau bukan Reksa yang ditanya, mungkin rencana Deril sudah terbongkar begitu saja, bahkan sebelum apapun.
“Kenapa? Lo juga udah pengen nikah?” tanya Reksa datar. “Kalau lo emang udah pengen, ngomong saja sama Deril, gampang kan?”
Seperti ini, selalu cara Reksa menyembunyikan perasaannya, tidak heran sebenarnya, Anira sendiri tidak menyadari perasaan pria itu.
“Lo pikir, gampang? Gue cewek, masa gue yang nyosor sih?”
Reksa mengangkat bahunya santai. “Cewek sama cowok bedanya apa? Kalau lo nggak ngomong, darimana Deril tahu?”
Anira mendengus kesal, dia melangkah lebih cepat mendahului Reksa sembari menghentakkan kakinya, dan baru berhenti tepat di depan mobil Deril.
“Lo nggak mau nunggu di mobil gue dulu?” tanya Reksa, berjalan ke arah mobilnya sendiri.
Kening Anira masih berkerut kesal, menatap pria itu, tapi pada akhirnya kakinya melangkah mendekati Reksa, kemudian menghentakkan punggungnya sedikit kasar ke bagian body mobil pria itu.
“Kenapa? Marah? Emangnya yang gue bilang itu salah?”
“Salah! Ini makanya lo nggak pernah punya cewek. Lo nggak paham perempuan sih.”
Reksa memilih memutar bola matanya, terlalu malas menanggapi ucapan Anira itu.
“Sebentar lagi umur gue udah 26 tahun, gue juga pengen kaya perempuan lain, married, punya anak, tapi gue nggak tahu maunya Deril. Gue udah coba ngasih kode, tapi entah dia peka atau nggak.”
“Lo mau gue ngomong langsung ke Deril?”
Mata Anira berbinar, tapi secepat itu juga dia lunglai. “Jangan deh, gue nggak mau Deril jadi tertekan. Lo tahu sendiri, keadaan keluarganya kaya apa.”
“Bukan tugas lo mikirin semua itu. Deril pasti udah mikirin semuanya, kalau dia memang niat serius sama lo.”
“Dan lo pikir, dia serius sama gue?”
Reksa mengerutkan keningnya. “Kenapa nanya? Nggak yakin sama Deril?”
“Jawab aja dulu!”
Kalau ada kesempatan untuk menggoyahkan hubungan dua orang itu, ini adalah satu di antaranya, tapi yang jadi pertanyaan, apakah Reksa akan melakukan itu?
“Lo tahu Deril kaya apa. Kalau dia nggak serius, dia nggak bakalan ngedekatin lo, dan beresiko ngerusak pertemanan kita.” Reksa mengangkat tangannya ragu, tapi kemudian dia menepuk pundak Anira lembut.Selama dia bisa melihat senyum Anira, rasanya dia bisa melakukan apa saja. Melihat wanita itu bahagia sudah lebih dari cukup untuknya. Dia tidak akan merusak kebahagiaan Anira, dengan perasaannya.“Ah, itu Deril udah datang. Lo jangan bilang apa-apa ke dia!” ancam Anira cepat, ketika melihat sosok Deril berjalan ke arah mereka.“Hmm.”Deril menghampiri keduanya, menggandeng Anira, sembari berpamitan dengan Reksa, kemudian menuju ke mobilnya sendiri.“Kamu tadi bicara apa sama Reksa?” tanya Deril di dalam mobil. Sebelah tangannya terjulur menggenggam tangan Anira erat. Anira memilih mengangkat bahunya, sebagai jawaban. Deril juga tidak melihat ada yang aneh dengan jawaban itu. Dua orang itu juga sudah bersahabat sedemikian lama, apa saja bisa jadi pembicaraan di antara keduanya.“Ka
“Velma, mau sampai kapan lo keras kepala kaya gini? Apa harus banget lo buat semuanya jadi rumit?”Velma menatap kakaknya itu tajam. “Gue yang bikin semua rumit? Dari semua perempuan, kenapa harus dia sih, memangnya?”Deril mulai capek, dia tidak pernah menyukai perdebatan. Dibanding Velma, dia akan selalu kekurangan kosakata untuk meladeni adiknya itu. “Jadi, lo lebih milih Anira sama Reksa dibanding sama gue?” tanyanya tajam.Seketika itu juga, air mata yang sejak tadi masih menumpuk di mata Velma, mulai jatuh mengalir ke pipinya. “Lo bilang apa?” suaranya yang keluar dari mulutnya sampai bergetar.Nyaris saat itu juga, Deril langsung menyesali apa yang dia ucapkan tadi. “Bukan apa-apa! Gue balik ke apartemen dulu, kayanya kita nggak bisa ngomong sekarang.”Tadinya dia datang ke sini hendak membicarakan tentang semuanya ke keluarganya, tapi sepertinya dia harus menerima kegagalan.“Nggak! Lo nggak boleh pergi, sebelum jawab gue! Lo bilang apa? Cincin itu? Punya siapa sebenarnya?”D
“Vel, Kakak mau, kita bicara baik-baik. Apa yang bikin lo anti banget sama Anira? Terlepas dari semua prasangka buruk kamu?” Velma terdiam. “Itu bukan prasangka buruk, Kak! Gue juga perempuan, gue tahu modelan cewek kaya dia itu.” Deril tidak senang, adiknya menjelek-jelakkan kekasihnya sendiri, tapi dia mencoba sabar. Tadi dia terlalu emosi, dan malah meninggalkan Velma begitu saja. Hasilnya, malah muncul masalah baru. “Kaya apa? Coba jelasin ke kakak.” “Kaya gitu. Licik, ganjen. Hobi tebar jaring di mana-mana. Terus pura-pura polos.” Deril mengacak rambut Velma gemas. “Lo kebanyakan nonton drama. Sekarang gue tanya, tujuan Anira kaya gitu apa? Kalau memang semisal yang lo bilang itu benar?” “Ya, mana gue tahu, lo tanya aja sama dia.” “Vel, gue jauh lebih dulu kenal Anira daripada lo. Dia sama sekali nggak kaya gitu. Gue pacar pertama dia. Dan dia juga nggak pernah ngasih sinyal aneh-aneh ke cowok lain.” Velma masih cemberut, terlihat jelas kalau dia tidak percaya penjela
Setelah berjanji akan menghubungi orang tua Anira, kalau dia mendapatkan kabar, Deril mengakhiri panggilan itu.Dia tidak ingin menimbulkan kecemasan yang berlebihan, tapi ternyata malah sebaliknya. Dia sama sekali belum mendapatkan informasi tentang keberadaan Anira.Tidak lagi tertarik meneruskan semua rencananya, Deril segera pergi dari sana, menghubungi semua teman Anira yang dia tahu, mencari Anira ke tempat biasa dia pergi.Tempat Gym, cafe favorit, sampai klinik kecantikan tempat Anira biasa perawatan, semua dia datangi, tapi masih nihil.Hingga tengah malam, mereka belum mendapatkan kabar mengenai Anira. Kecemasan itu semakin meningkat saja.Reksa bahkan sudah hendak melapor semuanya ke polisi, tapi karena belum sampai 24 jam, mereka masih belum bisa melaporkan itu sebagai kehilangan.“Anira nggak pernah kaya gini sebelumnya. Kalau pun dia nggak bawa hp, dia pasti akan coba kasih tahu keluarganya dengan cara lain!”Reksa tidak menanggapi, tapi dia tidak menyangkal juga.
“Kamu harusnya tanya adik kamu itu! Kalau bukan dia mengurungku dan meninggalkankanku dalam keadaan terkunci, aku nggak akan pulang terlambat! Papa nggak akan perlu keluar mencariku! Papa nggak perlu berbaring di dalam sana!” tunjukknya ke arah ruang operasi dengan mata nyalang. Deril terkejut bukan main. “Ta-tapi Velma bilang dia sama sekali nggak ketemu kamu di kantormu.”“Aku sudah heran, kenapa adikmu yang biasanya ketus, mau berinisiatif menjemputku! Harusnya aku tidak ikut dengannya! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Kakinya lemas, dia merasa seluruh tulangnya dilolosi dari tubuhnya.Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk, tapi kenapa dia tidak kunjung terbangun. Warna merah di ruang operasi yang tidak kunjung padam membuat Anira semakin putus asa. Penyesalan itu makin menggunung bagai bola salju.Beribu tanya kenapa, bermunculan di kepalanya. Kenapa harus ayahnya? Kenapa dia tidak berteriak lebih awal tadi, kenapa dia harus berusaha mendekatkan diri ke Velma? Dia tidak b
Ibu Deril, dengan ragu, membela Velma. “Ini semua kecelakaan Ril. Velma juga nggak nyangka kejadiannya bakal kaya gini.” Velma menganggukkan kepalanya cepat. “Iya, Kak. Aku Cuma iseng.” Bagaimana mungkin sebuah keisengan itu, berakir seperti ini?“Iseng? Vel, kamu mengurung Anira di tempat asing, malam-malam sendirian! Kalau nggak ada kejadian ini, sampai kapan kamu mau mengurung dia di sana?!”Velma mengkerut, gemetar. Deril tidak pernah semarah ini, padanya. “Toh, dia bisa keluar juga kan.” Dia tidak akan pernah mengakui, kalau dia berniat membiarkan Anira semalaman di sana.Seorang temannya bekerja di perpustakaan itu, dan dia sudah meminta, temannya itu untuk datang pagi sekali, dan mengeluarkan Anira dari sana.“Dia beruntung ketemu orang baik! Gimana kalau orang itu jahat? Kamu nggak mikir sama sekali!”“Ril, udah jangan marahi adik kamu lagi. Marah nggak akan menyelesaikan apapun.”“Ma, coba kalau Velma diperlakukan kaya gitu! Apa mama masih bisa seperti ini?”Ibu Deril
“Nir, dengar dulu. Papa nggak bermaksud bicara seperti itu.” Panik, Deril buru-buru menjelaskan. Dia tidak mengerti, kenapa ayahnya malah menambah buruk keadaan?“Keluarga kami masih mampu! Kami tidak butuh belas kasihan kalian!” Menusuk suara Leo, pandangannya dingin menatap keluarga pacar adiknya itu. “Pergi!”“Leo, please jangan kaya gini. Dengerin dulu, penjelasan gue.” Anira benar-benar merasa malu pada ibu dan kakaknya saat itu. Dia marah, sedih, dan benar-benar kecewa. Namun, dia tidak ingin terus-menerus berlindung di belakang pundak kakaknya. Anira menghapus kasar air matanya.“Saya berterima kasih, atas kesediaan Om sekeluarga untuk datang ke sini. Om sudah menyampaikan semuanya! Apa bisa kalian pergi sekarang?” Tenggorokannya tercekat. Bukan permintaan maaf seperti ini yang dia harapkan. Kalau seperti ini, dia juga tidak butuh.“Nak, Anira. Jangan begini, Kami semua juga ikut sedih dengan keadaan ayah kamu. Biarkan. Kami bertanggung jawab, dengan begini, tante dan
Anira menatap kakaknya cemas, mulutnya kaku, tidak bisa bersuara. Bahkan ibunya yang tadi mulai tertidur di kursi, segera terbangun, mendengar teriakan panik Leo itu.“Papa kamu kenapa?”“Papa sadar, Ma!”Tidak lama setelah Leo berkata demikian, seorang suster jaga, datang menghampiri mereka.“Ada apa?” tanya perawat itu. Dia datang karena panggilan tombol nurse call yang ditekan Leo di ruangan tadi.“Ayah saya, sadar, Sus.”“Sebentar! Saya panggil dokter dulu.” Menyadari kalau itu di luar wewenangnya, perawat itu segera menelepon dokter. Kemudian masuk ke dalam ruang ICU itu. “Jangan ada yang masuk dulu!” ujarnya.Anira dan keluarganya, menunggu dalam keadaan tidak tenang di luar.“Papa kamu benar-benar sadar?” Mata ibu Anira berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk, ada bahagia yang membuncah, tapi ada ketakutan kalau itu hanya harapan semu.Anira lekat menatap ruangan tempat ayahnya berbaring lemah itu. Ketika dokter datang dan masuk ke ruangan itu, Anira memanfaatkan celah ke