Share

Iseng Berujung Tragedi

“Vel, Kakak mau, kita bicara baik-baik. Apa yang bikin lo anti banget sama Anira? Terlepas dari semua  prasangka buruk kamu?”

Velma terdiam. “Itu bukan prasangka buruk, Kak! Gue juga perempuan, gue tahu modelan cewek kaya dia itu.”

Deril tidak senang, adiknya menjelek-jelakkan kekasihnya sendiri, tapi dia mencoba sabar. Tadi dia terlalu emosi, dan malah meninggalkan Velma begitu saja. Hasilnya, malah muncul masalah baru.

“Kaya apa? Coba jelasin ke kakak.”

“Kaya gitu. Licik, ganjen. Hobi tebar jaring di mana-mana.  Terus pura-pura polos.”

Deril mengacak rambut Velma gemas.  “Lo kebanyakan nonton drama. Sekarang gue tanya, tujuan Anira kaya gitu apa? Kalau memang semisal yang lo bilang itu benar?”

“Ya, mana gue tahu, lo tanya aja sama dia.”

“Vel,  gue jauh lebih dulu kenal Anira daripada lo. Dia sama sekali nggak kaya gitu. Gue pacar pertama dia. Dan dia juga nggak pernah ngasih sinyal aneh-aneh ke cowok lain.” 

Velma masih cemberut, terlihat jelas kalau dia tidak percaya penjelasan kakaknya itu.

“Kalau Anira  mau, dia bisa mendapatkan laki-laki lain. Nggak usah jauh-jauh,  kamu tahu siapa yang kakak maksud.” Dia melirik Velma, melihat reaksi gadis itu. “Tapi nggak. Dia milih kakak kan?”

Velma cemberut, tapi kali ini dia tidak bisa membantah lagi. “Sejak kapan lo pacaran sama dia?”

“Sudah lebih dari dua tahun.”

“Dan lo nggak ngasih tahu siapapun?”

Deril tersenyum getir. “Semua teman gue tahu, gue Cuma nggak pernah bilang secara gamblang tentang ini ke kalian.”

“Kan, lo juga nggak gitu yakin sama dia. Kalau yakin lo nggak bakal nutup-nutupin hubungan lo dari mama dan papa!” Velma tersenyum penuh kemenangan.

“Justru karena gue serius sama dia, Vel.” Deril menatap lurus ke depan.  “Kalau gue bilang dari awal, apa lo akan bisa nerima Anira?” tanyanya.

“Nggak!”

“See?” Deril tersenyum, ada sedikit kesedihan di sana. “Gue Cuma menghindari masalah panjang.”

Orang tuanya bukan  orang yang suka mengontrol kehidupan anaknya, tapi mereka selalu menekankan, pada mereka berdua, untuk tetap rukun, dan jangan sampai bertengkar karena orang luar.

Kalau dua tahun lalu, dia memberitahu keluarganya, dia takut kalau hubungannya dengan Anira, tidak akan sampai  di titik ini.   “Vel, dua tahun mencoba sama-sama, gue yakin kalau dia adalah perempuan yang tepat. Dan gue mau restu dari semuanya. Termasuk lo, adik gue.”

Velma  terdiam, dia tahu kakaknya itu sangat serius kali ini. Masih ada penolakan dalam hatinya, tapi dia tidak lagi mengatakan apa-apa.

“Gue nggak maksa lo untuk dekat banget sama Anira, tapi minimal, lo bisa menghargai dia.” Dia tidak berencana tinggal di rumah  bersama keluarganya setelah menikah.  Namun, mereka akan jadi keluarga, setidaknya  mereka bisa saling melempar senyum sapa, kalaa bertemu. Itu saja.

“Kapan lo mau lamar dia?”

Deril tersenyum, lega dia bisa  memberikan  pengertian untuk adiknya itu.  “Secepatnya, gue mau ngomong sama mama dan papa dulu.”

“Oh.” Velma menundukkan kepalanya, tidak ada yang tahu, apa yang ada di benak gadis itu. Apa dia akan secepat itu, menerima Anira dan  berdamai dengan kenyataan.

Melihat adiknya mulai tenang. Deril akhirnya mendekat, dan menarik adiknya itu ke pelukannya. “Sorry, tadi gue terlalu emosi.”

Velma bergumam tidak jelas. “Kak Reksa, benar-benar tahu tentang ini kan?”

Ingin rasanya Deril menepuk jidatnya sendiri. “Iya, dia tahu.”   Deril ingin mengatakan pada Velma untuk tidak terlalu banyak berharap, tapi pada akhirnya dia memilih diam saja, tidak ingin merusak impian adiknya. 

Adikknya itu masih sangat muda, kalau Reksa terus-menerus menolak, dia juga akan segera bosan.

***

Anira keluar dari kantornya dengan terburu-buru. Kepalanya celingukan mencari seseorang.

“Velma,” panggilnya canggung.  Dia lalu berjalan menghampiri adik kekasihnya itu. “Lo belum lama nunggu kan?” tanyanya kikuk.

“Belum. Kita langsung pergi?” tanya Velma kaku. 

“Kita? Mau kemana?”

Anira  bingung tidak mengerti, kemana adik kekasihnya itu membawanya? Tidak biasanya, adik Deril itu berada dekat dengannya. Apalagi sampai meminta untuk bertemu segala.

Kemana Velma akan membawanya? Ada apa ini sebenarnya?  Dia tidak mengerti kemana Velma akan membawanya. Ini adalah kali pertama  dia dan Velma hanya pergi berdua saja. Anira tidak tahu harus berkata apa, tapi dia mengikuti adik kekasihnya itu.

“Kamu bawa mobil sendiri?”  Anira sedikit heran. Yang dia ketahui, Velma sama sekali belum diizinkan untuk membawa mobil sendiri oleh orang tuanya.

“Udah, masuk aja! Jangan banyak tanya! Kalau bukan karena disuruh kak Deril, gue juga malas   ketemu lo.”

Dengan bijak Anira langsung menutup mulutnya, dan ikut masuk ke dalam mobil itu, meskipun ragu, akhirnya dia ikut pergi bersama Velma. Begitu duduk, dia  langsung memasang sabuk pengaman, karena  tidak begitu yakin.

Beberapa kali, mobil itu terguncang, dan  bahkan nyaris menabrak mobil lain. Terlihat jelas kalau gadis itu belum terbiasa membawa mobil. Dan beberapa kali juga Velma menghembuskan napas gusar, terlihat gugup.

Anira sangat ingin turun, beberapa kali dia ingin berteriak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk  menutup rapat mulutnya, sembari terus berdoa dalam hati. 

Untungnya, meskipun sedikit beresiko, tapi mereka sampai di tempat tujuan.

“Kita mau ngapain ke sini?” tanya Anira heran.    

“Nggak tahu. Kak Deril yang suruh,” jawab Velma ketus.

Deril? Untuk apa Deril  menyuruhnya ke tempat seperti ini?  Yang dia tahu ini adalah perpustakaan t ua, yang sudah sangat lama berdiri. 

Dibanding perpustakaan lain, dan teknologi yang juga sudah cukup maju dengan buku eletronik yang menjamur dan lebih mudah diakses, tempat ini nyaris tidak punya pengunjung lagi.

 Dia bahkan tidak ingat, apakah dia pernah ke tempat ini sebelumnya.

“Lo masuk aja, Kak Deril udah nunggu di dalam.”

Sikap Velma dari awal sampai akhir, sama sekali tidak bisa dibilang baik, bahkan cenderung ketus. Adik Deril itu sama sekali tidak berusaha menyembunyikan kalau dia tidak suka dengan Anira.

“Thanks.” Dengan canggung, hanya satu respon itu yang bisa dia keluarkan. Anira lalu melangkah masuk ke dalam perpustakaan yang cukup sepi itu.   Ketika dia melangkah masuk ke dalam, dia sama sekali tidak melihat siapapun.

Tempat itu tidak terlalu luas, tapi tidak ada seorang pun yang ada di dalam sana. Anira sudah mengelilingi  tempat itu, tapi nihil. Dengan kening berkerut, akhirnya dia memutuskan untuk keluar.

Tetapi, sampai di pintu, dia mencoba beberapa kali dan menyadari, kalau pintu itu terkunci!  “Velma!” serunya, mulai panik! “Apa ada orang di luar?” Tangannya terus berusaha mendorong pintu itu, tapi tidak berhasil.

 Barulah dia sadar, kalau ada sesuatu yang tidak beres!

“Deril? Kamu di luar? Ta, ini sama sekali nggak lucu!” seru Anira, mengeraskan volume suaranya.

“Percuma lo teriak! Nggak akan ada yang dengar!    Kak  Deril sama sekali nggak tahu gue bawa lo ke sini!” 

Anira terdiam, mendengar suara Velma. Ini sama sekali bukan hal yang pernah dia pertimbangkan. Dia tidak tahu, kalau ketidak sukaan Velma padanya sudah sampai pada titik ini.

“Gue nggak akan pernah setuju lo sama Kak Deril! Kalau lo bersikeras mau jadi kakak ipar gue, lo punya bayangan, apa yang akan terjadi!”

Setelah mengatakan itu, Velma pergi menjauh, tidak lama kemudian, Anira mendengar  suara mesin mobil yang semakin lama semakin menjauh.

“Vel! Velma!!”  Anira menggedor pintu itu sekuat tenaga.

Dia tidak menyangka, kalau prank kekanakan ini akan dia dapatkan, sepulang kerja.   Hampir 10 menit dia menggedor sambil berteriak, tidak ada tanggapan sama sekali.

Anira mencoba menenangkan dirinya, melihat usahanya tidak membuahkan hasil, dia berhenti  berteriak, menatap ke  sekeliling tempat itu. Karena itu masih perpustakaan lama, sekelilingnya belum menggunakan kaca, tapi masih menggunakan terali kayu.

Dia bisa mengintip dari sela-sela pintu panjang itu, tapi  hanya sedikit bagian  yang terlihat di luar. Sepanjang penglihatannya, tidak ada orang sama sekali  di tempat itu.  Velma benar-benar meninggalkannya sendirian di tempat itu.

Bodohnya Anira, dia sama sekali tidak curiga dengan Velma.  Mungkin, karena sikap adiknya itu sama sekali tidak berubah saat menghadapinya, Anira tanpa sadar, percaya saja.

Dia mencoba mencari ponselnya dari dalam tas, tapi   bahkan ketika seluruh isi tas itu sudah keluar dia tidak menemukan benda pipih itu.

“Arghh! Jangan bilang ....” Anira mulai benar-benar panik, teringat kalau ponselnya masih dalam posisi mengisi baterai di kantornya tadi. Karena terburu-buru,  menghampiri Velma, dia meninggalkan benda itu.

Hari semakin gelap, matahari sudah benar-benar terbenam sekarang,  hari berganti malam, dengan begitu cepat.

Sendirian di tempat sebesar itu, membuat Anira mulai takut.  Dia kembali ke pintu, berteriak sekuat tenaga, berusaha menarik perhatian siapa saja yang kemungkinan lewat di sana, tapi masih tidak ada yang menolongnya.

Mau sampai kapan Velma mengurungnya di tempat ini? Apa yang membuat gadis itu melakukan semua ini, apa untungnya untuknya?  

 Sampai kepalanya terasa panas, Anira tidak bisa menemukan alasan kenapa Velma melakukan ini.     Dia benar-benar lelah, lapar dan haus.   Di tambah lagi, ini sudah malam. Orang tuanya akan khawatir, kalau dia tidak segera pulang.

Sementara itu di tempat lain, Deril ternyata sudah menghubungi Anira berkali-kali, tapi tidak ada yang mengangkat.

Dia sedang berada di venue yang sudah dia siapkan untuk melamar gadis itu. Namun, siapa sangka sekarang pemeran utama semua event itu malah tidak kelihatan rimbanya.

“Halo? Gimana? Anira di kantor?” tanyanya, menelepon Reksa yang  menjemput Anira ke kantornya.

“Nggak. Semua orang kantornya bilang kalau dia udah pulang dari tadi. Hpnya ketingggalan di kantor.”

“Kam, coba cari di sekitar situ, gue akan coba nanya orang rumah Anira.”

“Oke.”

Deril menghela napas gusar. Dia menatap  ruangan resto  yang sudah dihias sedemikian rupa dengan bunga dan dekorasi manis.  Beberapa waiter sudah menunggu, siap menghidangkan makan malam mereka.

“Anira kamu di mana sebenarnya ....”

   Deril berniat menyuruh Reksa menjemput Anira, tapi karena terjebak macet, Reksa sedikit terlambat dan Anira sudah pergi terlebih dahulu.

Sedikit ragu, akhirnya dia memutuskan untuk menelepon ibu Anira. “Halo, Tan, ini Deril.”

“Iya, nak Deril, ada apa ya?” Ibu Anira menyambut dengan sangat ramah.

“Aku mau bicara sama Anira, Tan. Hpnya ketinggalan di  kantor soalnya, Aniranya ada?”

“Loh? Anira bukannya sama kamu? Anaknya dari tadi belum pulang.” 

Deg!

Deril  jadi semakin was-was. Kekasihnya itu bukan orang yang sulit dihubungi biasanya. Dan kemana pun dia pergi hp tidak pernah terlepas dari tangannya.  Sekalinya terjadi seperti ini, dia  langsung bingung.  

“Oh iya, Tan? Soalnya teman kantornya bilang Anira sudah pulang dari dua jam yang lalu?”

“Kemana anak itu?  Coba kamu telepon temannya, nak? Mungkin dia lagi sama temannya?” 

Saat itu, Deril sama sekali tidak menyadari, kalau keisengan Velma, akan menjadi bom yang meluluh-lantahkan semua yang sudah dia rencanakan. Satu keisengan kecil, berakhir menjadi tragedi yang menyebabkan luka ke banyak orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status